Selasa, 10 Januari 2017

Menyonsong FSM-4 Tahun 2017 : Membangun Peradaban Sungai

Oleh : Muhammad Munir
Festival Sungai Mandar adalah sebuah program tahunan yang digagas oleh teman-teman di Uwake’ Cultuur Fondation yang dipunggawai oleh Muhammad Rahmat Muchtar. Pada perhelatan fsm i 2014 mengusung tema “Sungai Sahabatku”, FSM II 2015 mengangkat tema “ Dengan Sungai Aku Mencintaimu”. Dan perhelatan FSM III yang tahun 2016 di back-up oleh pemerintah daerah Polewali Mandar (disbudpar) mengangkat tema “Pessungo Potaq Pettamao Randang”.

Ada beberapa hal yang menarik untuk di elaborasi dalam pemaknaan dan pembacaan kita pada Festival Sungai Mandar di Tinambung ini, yaitu; pertama: tema yang diusung dari perhelatan pertama sampai ketiga adalah sebuah proses pertumbuhan ideologi seiring dengan pematangan strategi konsep dalam memesrai sungai sebagai anugerah tuhan.  Ada sebuah tahapan yang begitu dinamis seiring dengan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaannya setiap tahun.

Kata “sahabat” pada FSM I adalah fase anak-anak. Kata sahabat memang sering digunakan anak-anak dalam interaksi sosialnya. Kemudian kata “mencintaimu” pada FSM II adalah fase yang bisa dipadankan dengan usia remaja, sebab pada usia remaja inilah tumbuh benih-benih cinta yang kerap menyelinap dalam setiap proses perjalanan manusia yang sudah remaja. Lalu pada FSM III memilih sebuah kalimat “pessungo pota’ pettamao randang” adalah sebuah fase yang menunjukkan kematangan atau beranjak dari remaja ke dewasa.

Fase-fase itu tumbuh secara alami. Dari fase anak-anak yang menjadikan sungai sebagai sahabat, perlahan tapi pasti melahirkan sebuah rasa yang membuncah sehingga rasa itu terungkapkan lewat sebait kata “aku mencintaimu”. Dari proses menjadi sahabat yang melahirkan perasaan cinta itulah yang membentuk karakternya sehingga bermuara pada sebuah fase kedewasaan. “pessungo pota’ pettamao randang” tentu saja bukanlah sebatas kata slogan, tapi ia adalah sebuah ledakan kata. Ledakan kata yang mewujud sebagai pernyataan untuk menarasikan kenyataan yang ada. Ia adalah kesatuan kata yang utuh dan tak menyisakan kalimat yang mubassir sehingga menjadikan FSM III ini tidak saja meluruskan tapi sekaligus menyempurnakan sebuah gerakan yang tidak asal jadi tapi menjadi. FSM telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah gerakan yang mencopy paste peristiwa menjadi spektrum rasa yang tak lagi bisa terbendung.

Kedua: dari segi materi kegiatan yang akan diselenggarakan dan ditampilkan dalam FSM III ini merupakan isu-isu sentral yang diharapkan menjadi solusi dari masalah yang melingkupi masyarakat kita hari ini. Mulai seminar, persentase dan diskusi dengan berbagai komunitas, reboisasi/penanaman pohon, pertunjukan seni tradisional dan modern, bakti sosial sampai kepada rekomendasi-rekomendasi yang telah dan akan dilahirkan sepanjang sejarah FSM tak lain adalah sebuah proses politik kebudayaan dan pembebasan budaya-budaya kita untuk menata diri dan membangun peradaban sungai.

Ketertarikan dan apresiasi saya terhadap FSM sesungguhnya terletak pada materi yang saya anggap sejalan dengan tema yang diusung pada Kongres Sungai Indonesia (KSI), di Banjarnegara, 26-30 Agustus 2015 lalu, yaitu "Sungai Sebagai Pusat Peradaban Bagi Kelangsungan Hidup Dan Kesejahteraan Bersama". Lebih dari itu, saya melihat ada beberapa  hal yang ikut terproses dan terfaktualkan, yaitu: pendidikan, pembangunan dan pemaknaan Mandar sebagai identitas. Ketiganya itu merupakan suatu penegasan dari suatu peran yang sangat positif dari masyarakat dan pemuda, sehingga saya tentu tidak harus resah dengan bahaya pemuda yang kehilangan identitasnya, sebab dengan FSM ini sekaligus menjadi usaha mencegah jangan sampai pemuda hanya main-main di jalan, ngebut, narkoba dan pelanggaran lain.

Era globalisasi, modernisasi, westernisasi sampai pada MEA merupakan era keterbukaan di negara kita. Dan saya ingin menegaskan bahwa meski era keterbukaan pada asing tak jarang konklusi-konklusinya tidak selalu membuat kita maksyuk dalam keasikan, tapi manfaatnya tentu lebih besar terhadap kebudayaan kita untuk melihat cerminannya pada cermin kebudayaan lain, meski kemudian akan menimbulkan distorsi-distorsi yang tak bisa dihindari dari akibat perbedaan kebudayaan kita.

Namun semua itu, tentu akan menjadikan budayawan dan pelaku seni kita dituntut untuk lebih kreatif dan ilmiah sifatnya. Untuk itu, menjadi penting membuka dialog dengan masyarakat kita, dengan sejarah kita, dengan realitas sosial kita, yang kesemuanya itu merupakan sesuatu yang asing bagi orang asing.

Ada semacam kekhawatiran dari masyarakat kita ketika daerah dan kebudayaan kita tata, kelola dan kembangkan akan membuat daerah kita menjadi destinasi budaya yang dikunjungi banyak wisatawan manca negara dan lalu Mandar ini akan serupa dan senasib dengan bali. Saya tidak terlalu khawatir dengan persoalan itu, sebab dari pantauan saya, tak ada yang menonjol di bali selain revitalisasi atau suatu peningkatan rasa harga diri pada orang-orang Bali.

Justru dengan kondisi seperti itu, kita harus lebih terlecut dan melihatnya sebagai manifestasi bagi peningkatan kesadaran religius dan sebagai respon positif terhadap proses akulturasi budaya. Dan fsm serta kerja-kerja budaya yang dihelat oleh teman-teman adalah geliat untuk sampai pada proses yang mendewasakan itu. Disinilah makna pota’ dan randang diejawantah dan difaktualkan lewat kata pessungo dan pettamao.  

Ketiga: tentu saja pada obyeknya, yaitu sungai Mandar. Mengapa harus sungai?, ada apa dengan sungai ?. Indonesia kita ini adalah negara kepulauan terbesar didunia. Dari data kementerian kelautan dan perikanan RI tahun 2010, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut Indonesia sebesar 7, 900, 000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan luas daratan dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia beraneka ragam, seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan faunanya.

Menurut Dr. Yulius Paonganan, M.Sc. selaku Direktur Indonesia Maritime Institute, bahwa potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan sebesar Rp. 7,200 triliun. Jumlah yang sangat besar. Dan kepulauan kita ini, sekitar 70 persen wilayahnya terdiri dari perairan, pulau-pulau yang mewujud sebagai bagian dari perairan yang dijalin sebagai satu kesatuan oleh sungai-sungai. Jalinan sungai itu adalah wujud yang kemudian kita maknai sebagai sebuah entitas: tanah air.

Penyelenggaraan FSM tahun ini tentu diharapkan menjadi sebuah gerakan mengembalikan fungsi sungai dan kegunaannya. Air, udar­a dan tanah jangan hanya bisa di pergunakan seenaknya, tapi harus dijaga dan dirawat oleh pengguna itu sendiri. Sungai harus ditopang oleh kebijakan dan regulasi oleh pemerintah, serta melakukan pendekatan pendampingan kepada masyarakat, untuk memberikan edukasi/penyuluhan sekaitan daya, fungsi dan  guna sungai.

Selain itu, FSM mesti melahirkan rekomendasi puncak terkait sungai sebagai: 1. Satuan ekologi sungai sebagai daya dukung peradaban bangsa; 2. Peran sungai dalam mensejahterakan masyarakat; 3. Aliran sungai sebagai energi terbarukan dari anugerah hingga musibah; 4. Ekowisata sebagai upaya konservasi budaya dan konservasi daerah aliran sungai; 5. Mengabaikan peradaban sungai dalam mewujudkan poros maritim adalah marginalisasi; dan 6. Sungai sebagai kesatuan sistim politik dan ketahanan negara maritim.

Kesemuanya itu mesti terfaktualkan sebab sungai adalah habitat hidup dan sumber penghidupan, luruh dalam kesatuan ekosistem dari unsur hayati, non hayati dan manusia. Sungai tak hanya harus difahami sebagai sebuah arus yang tenang, tapi ia adalah titah tuhan yang seringkali bergejolak dan menunjukkan hukum alamnya kala manusia lalai dan abai padanya.

Terkait itu pula saya ingin memberi catatan tentang bagaimana “membangun peradaban sungai Mandar” sebagai upaya menjaga kedaulatan sungai. FSM III yang dihelat pada awal Maret 2016. Sebagaimana kita mafhum, keberadaan sungai adalah kesatuan yang utuh dan integral dengan gunung, hutan dan daratan yang merupakan wilayah tangkapan air hujan dan pemasok air, rembesan dan aliran. Degradasi dan ancaman terhadap sungai adalah merupakan ancaman terhadap ekologi dan ekosistem air yang sekaligus juga menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia.

Dalam sejarah peradaban manusia yang diwarnai oleh berbagai kreatifitas dan pengembangan peradaban, sungai adalah pengusung terdepan. Sebutlah misalnya, mesir dengan sungai Nil-nya, Babilon, Mesopotamia dengan tigris-nya, India dengan sungai Hindus, sampai pada Sriwijaya, Majapahit, Gowa, Bone, Ternate, Tidore, Banten, termasuk di Mandar yang dikenal sebagai wilayah Pitu Ulunna Salu (tujuh hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh muara sungai) yang sekaligus menjadi simbol konferderasi 14 kerajaan (7 di hulu dan 7 di muara) yang menata sebagai manusia Mandar.

Kesemuanya itu menunjukkan ketakterpisahan historis bangsa-bangsa dengan Indonesia dengan sungai dan perairan. Pada skala hidup sehari-hari, kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri olahan rakyat, perdagangan, perhubungan, pemukiman lagi-lagi menunjukkan ketakterpisahan itu. Demikian juga aktifitas sebagian masyarakat Tinambung yang kerjaannya mengais rejeki lewat jasa antar “uwai sau”. Semua deretan ini seharusnya menjadi tumpukan kesadaran untuk kembali mencintai sungai.

Kaitannya dengan sungai, ada beberapa poin pertanyaan yang mesti menjadi renungan kita bersama untuk kembali membangun peradaban sungai, yaitu: mengapa sungai-sungai makin menyempit dan seperti comberan ? (kasus sungai di Jawa), mengapa sengai-sungai besar yang mestinya menjadi sumber kehidupan justru menjadi musibah bagi manusia ? (kasus sungai di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, termasuk sungai Mandar 1987 dan 2009), seberapa besar dan dimana saja potensi sumberdaya aliran sungai yang mampu didaya gunakan untuk energy terbarukan?, apakah gerakan konservasi DAS (daerah aliran sungai) sekaligus mengembangkannya menjadi wilayah tujuan ekowisata sudah difahami oleh kita semua?, seberapa besar peluang dan potensi mengembangkan ekowisata sungai yang berbasis DAS?, dan bagaimana strategi mengembangkan ekowisata sungai yang berbasis pada masyarakat tempatan?, serta siapa saja kelompok kepentingan yang harus terlibat?

Deretan pertanyaan itu lagi-lagi harus kita seriusi. Dan tanpa diJawabpun saya yakin akan menemukan sebuah konsep tentang arah pembangunan peradaban sungai dengan sebentuk tanya mengapa peradaban sungai menjadi penting untuk terus dikembangkan?, bagaimana cara dan strategi untuk mentautkan peradaban sungai, daratan, pesisiran agar melahirkan sebuah kemajuan dan kesejahteraan bersama? Lalu hal-hal apa saja dari aspek regulasi-konsepsi-basis yang harus disiapkan untuk memperkuat perwujudan negara poros maritim?.

Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama, terbayang sebagai kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air (sungai). Interaksi antar pulau tidak bisa dipisahkan dengan laut, lautpun tak bisa dilepaskan dari keberadaan sungai. Demikian juga sungai tak dapat dipisahkan dari peradaban yang dibentuk oleh kebudayaan. Karena hal tersebut tertaut dengan relasi sejarah peradaban. Sebagai sebuah perspektif, sungai-sungai ini mesti menjadi penali bagi persekutuan komunitas yang menghuni pulau-pulau ataupun kampung-kampung.

Membangun Peradaban Sungai
Mandar

Indonesia hari ini punya modal sumber daya manusia sebesar 250 orang penduduk. Jumlah terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif. Dengan jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal kekayaan alam yang melimpah dan beragam baik didarat maupun lautan, serta posisi geoekonomi yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global. Menurut UNTCTAD, 2010 sekitatar 45 persen dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan didunia dengan nilai US 1. 500 triliun dolar pertahun itu diangkut melalui laut Indonesia. Tapi sampai hari ini Negeri kaya raya ini belum mampu mensejahterakan rakyatnya.

Jika selama ini rakyat belum bisa sejahtera, ini adalah merupakan imbas dari sebuah ironi dari kebijakan nasional yang mendasari dilosofinya bertumpu pada paradigma "daratan". Padahal negara kita adalah negara maritim dengan wilayah 75 persen lautan, namun kita justru lebih enjoi mengabaikan bahkan memunggungi lautan dan sungai. Ini tentu menjadi peluang bagi negara-negara lainnya yang justru lebih banyak mengeruk keuntungan dari semua kekayaan laut dan merusak sungai kita dengan limbah industri perusahaan asing.

Kembali pada konsep peradaban sungai. Perlu dicatat bahwa peradaban sungai adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya pesisir. Artinya, jika upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada paradgma " kelautan" semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau ketimpangan pembangunan pasti akan mengulang sejarah seperti pada masa Orde Baru meski dengan wujud yang berbeda.
Untuk itu dibutuhkan sebuah gerakan kolektif untuk tidak mengulang sejarah.

Sampai disini saya ingin mengerucutkan masalah untuk kembali membincang sungai dan lebih spesifik pada peradaban sungai Mandar. Salah satu arti dari kata Mandar adalah "air" atau "sungai". Ini artinya Mandar sejak awal senantiasa dilekatkan dengan air, sungai, salu/maloso. Lihatlah cerita tentang dua sosok pongka Padang dan torijeqne yang sekaligus dikonsepsikan sebagai manusia yang mengusung kerangka peradaban Mandar.

Pasangan lelaki tangguh dan kuat pongka Padang adalah merupakan simbol dari air pegunungan yang berasal dari sungai saqdang dan torijeqne merupakan simbol dari kehidupan air dari daratan rendah (laut dan sungai). Dan ternyata air adalah merupakan elemen penting dalam kebudayaan Mandar.  Hal itu terlihat dari persekutuan kerajaan yang lahir di Mandar juga dilekatkan dengan aliran air, yaitu Pitu Ulunna Salu (sebagai simbol dari Pongka Padang representasi dari air yang mengalir dari hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (sebagai simbol dari Torijene, representasi dari air yang mengalir sampai di lautan)[1].

Dari fakta sejarah inilah kemudian saya melekatkan Mandar sebagai peradaban sungai dikenal dengan konfederasi 14 kerajaan yaitu 7 di hulu (Tabulahan, Rante Bulahan, Mambi, Aralle, Matangnga, Tabang dan Bambang) dan 7 di muara (Balanipa, Banggae, Sendana, Pamboang, Tapalang, Mamuju dan Binuang) dan pada tahun 2004 wilayah ini resmi menjadi sebuah provinsi yaitu Sulawesi Barat.

Lalu apa yang harus dibangun dari peradaban sungai Mandar yang bernama Sulawesi Barat ini? Sebab sejak perubahan nama belakang dari selatan ke barat, yang berbeda hanya kantor Jawatan baru. Perubahan ini rupanya tidak dibarengi dengan perubahan pada bidang-bidang kehidupan lainnya. Termasuk sarana transportasi, ekonomi masyarakat, dan layanan publik ditengarai tidak mengalami tanda-tanda perbaikan yang signifikan.

Keberadaan Bandara Tampa Padang Mamuju tak banyak menolong, karena terbukti orang yang mau ke Sulbar tetap merasa aman dan lancar melalui Bandara Hasanuddin Makassar. Bidang pendidikan maupun layanan kesehatan. Bersekolah di Makassar lebih trend dan di idamkan ketimbang di Mamuju, Majene atau Polewali. Berobat di rumah sakit Makassar masih menjadi pilihan akibat kurangnya peralatan dan tenaga ahli kesehatan di Sulbar[2].

Siapa melakukan apa ?

Dalam diskursus tentang peradaban sungai Mandar, peran pemuda hari ini menjadi tumpuan harapan untuk melakukan mega proyek bangsa ini. Dalam sejarah bangsa Indonesia, dari mulai syarekat dagang islam, budi utomo, proklamasi kemerdekaan, gerakan mahasiswa 1967, gerakan mahasiswa 1978, hingga tumbangnya presiden soeharto tahun 1998, semua gerakan ini di motori oleh pemuda.

Gerakan pemuda harus terus dihidupkan, sebagai bagian upaya mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa ini, sudah seharusnya pemuda ikut serta dalam upaya menjaga peradaban dan kebudayaan tentang sungai, yang semakin hari, semakin mengkhawatirkan keadaanya.

Ada beberapa peran bagi pemuda dalam membagun peradaban sungai ini, yaitu; pertama: mempersiapkan diri sebagai pemimpin Indonesia di masa depan yang berjiwa religius dan nasionalis serta pemerhati;

Kedua: peduli pada kondisi bangsa, jangan sampai menjadi pemuda buta politik, seperti yang disampaikan oleh penyair jerman, bertolt brecht “buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar “aku benci politik!” Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk adalah korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan Negeri, termasuk dalam hal ini kekayaan perairan kita, sungai dan laut.

Selanjutnya yang ketiga: adalah melakukan gerakan sosial yang langsung menyentuh permasalahan masyarakat, seperti kebodohan, kemiskinan, dan sulitnya akses kesehatan yang layak. Ada banyak gerakan sosial yang di motori para pemuda, seperti Rumah Kopi dan Perpustakaan (RUMPITA), Indonesia Mengajar, Forum Indonesia Muda, Ayo Belajar, Komunitas Rumah Pustaka, Perahu Pustaka, Bendi Pustaka, Becak Pustaka, Motor Pustaka, Sepeda Pustaka yang tentunya melalui gerakan literasinya ini, konsep peradaban sungai Mandar terus dilisan tuliskan.

Berangkatlah dari apa yang ada, apa yang bisa dilakukan untuk orang banyak, untuk lingkungan kita, lakukan saja; terus yang keempat: turut serta mengkampanyekan bahaya perpecahan bangsa, dan kembali kepada ideologi bangsa ini, yaitu pancasila serta menerapkan falsafah bangsa, bhineka tunggal ika. Dan terakhir atau yang kelima: menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, karena pemuda adalah generasi penerus bangsa, tidak pernah ada bangsa yang berjaya tanpa menguasai iptek. Seperti kata Soekarno tentang pemuda “beri aku 1,000 orang tua, maka akan kucabut gunung semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya akan aku goncangkan dunia”.

Menjaga keutuhan bangsa ini adalah tugas kita bersama, demikian juga segala kekayaan dan keindahan alam yang kita miliki ditambah dengan keberagaman suku bangsa dan agama, Indonesia seperti surga yang hadir di dunia tetapi jika tidak dijaga dengan baik dan benar, bisa menjadi neraka.  Ada spirit yang sering saya dengar dari pesan-pesan orang tua kita, terkhusus pada mereka yang ada di das sungai. Pesan itu adalah “pemali pambawa naung parewa ummandeangmu di maloso, nandeo tuu kanene” (pantangan membawa (mencuci) peralatan dapurmu di sungai, karena buaya bisa memangsamu). Hal ini memberi bukti, betapa orang-orang tua kita begitu menyayangi sungai, jangankan membuang sampah ke sungai, membuang sisa makanan yang ada diperalatan dapur saja dilarang dan disakralkan sebagai sebuah pemali atau pamali.

Wahai para pemuda, mari kita jaga Mandar yang kita tempati ini, mari kita cintai sungai kita dengan sebaik-baiknya dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, bangsa dan negara ini, Indonesia adalah tanah air kita, tanah air kita itu adalah lita(tanah) Mandar (air) !.



[1] Dr. Idham Khalid Bodi dan Saprillah, 2010
[2]Muhammad Syariat Tajuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar