Sabtu, 14 Januari 2017

ORANG MANDAR PELAUT ULUNG : Dari Orang Mandar Orang Laut Ke Orang Mandar Pelaut Ulung(Bagian Pertama)



Tulisan ini adalah Makalah yang disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10 November 2016:

A.   Pendahuluan

Makalah ini pada mulanya berjudul “Orang Mandar Orang Laut”, namun dengan beberapa pertimbangan maka dilakukan penyempurnaan. Berdasar pada  abstrak makalah yang diajukan ke panitia Kongres Nasional  Sejarah X  dan telah dinyatakan lolos seleksi berdasarkan berita acara nomor : 2912/E5/LL/2016, maka makalah ini lebih tepat diberi judul “Orang Mandar Pelaut Ulung – Suatu Tinjauan Historis“. Makalah ini akan disampaikan kepada panitia kongres paling lambat 15 Oktober 2016 dan akan dipresentasikan di Jakarta pada tanggal 5 – 7 Nopember 2016.

Membincang kehidupan bahari, maka tidaklah tepat jika tidak melibatkan cerita tentang pelaut Mandar. Nenek moyang orang Mandar yang dimitoskan selama ini berasal dari langit dan digelar dengan sebutan “Tomanurung”, menurut hemat penulis merupakan kejumudan berpikir generasi Mandar. Penulis berpendapat bahwa Tomanurung, baik Tokombong di bura (orang yang muncul dari busa air) maupun Tobisse di tallang (Orang yang tenggelam lalu muncul dari pecahan bambu) dan Tonisesse’ di Tingalor (orang yang didapat dari perut ikan merah) proses kehadirannya/kedatangannya semuanya berasal dari laut. Begitu juga tokoh legendaris, bapak orang Mandar, Pongkapadang yang berasal dari daratan Ulu Salu  (hulu sungai) yang mempersunting Torije’ne’. Torije’ne’, secara harfiah terdiri dari dua kata; To berarti orang dan Ri-je’ne’ berarti dari air laut. Torije’ne’ adalah seorang perempuan yang menurut hikayat terbawa oleh air bah ke sebuah daratan (Landa Banua) dan ditemukan oleh Pongkapadang di atas perahu yang berukuran kecil yang disebut “Olang Mesa“. Perahu Olang Mesa, terbuat dari sebatang kayu golondongan yang dikeruk menjadi perahu yang bentuknya menyerupai lesung. Olang Mesa inilah  menjadi cikal bakal lahirnya perahu tradisonal Mandar, yaitu “Pakur dan Sande’“. Untuk mengabadikan perahu tradisional “Olang Mesa” ini di tanah Mandar (wilayah Provinsi Sulawesi Barat), Pemerintah Daerah Kabupaten Majene telah menetapkan Olang Mesa sebagai logo daerah melalui Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene No. 3  Tahun 1979 Tentang Lambang Daerah.

Latar belakang perjumpaan nenek moyang orang Mandar di atas, kelak di kemudian hari (1000 tahun kemudian) menginspirasi terbentuknya Negara konfederasi Mandar yang lebih populer dengan sebutan Pitu Ba’ba Binanga dan Pitu Ulu Salu (tujuh kerajaan di darat dan tujuh kerajaan Maritim di pesisir) yang terdiri dari:
a.  Kerajaan maritim, yang meliputi: 1) Kerajaan Balanipa, 2) Kerajaan sendana, 3) Kerajaan Banggae, 4) Kerajaan Pambuang, 5) Kerajaan Tappalang, 6) Kerajaan Mamuju, 7) Kerajaan Binuang.
b. Kerajaan di hulu sungai, yang meliputi : 1)Kerajaan Tabulahan, 2) Kerajaan Rattebulahang, 3) Kerajaan Aralle, 4) Kerajaan Bambang, 5) Kerajaan Tabang, 6) Kerajaan Mambi , 7) Kerajaan Matangnga.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika penulis berpendapat bahwa jauh sebelum naskah sumpah pemuda dicetuskan 28 oktober 1928, Negara konfederasi Mandar sudah menerapkan konsep “Tanah dan Air”. Air yang dimaksud tentulah tujuh Kerajaan Maritim di pesisir Mandar, yang panjang pantainya kurang lebih 600 km, memanjang dari utara ke selatan. Dan tanah yang dimaksud adalah tujuh Kerajaan di Hulu Sungai (Pegunungan Mandar).

Bukti dalam sejarah yang menunjukkan bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung ialah orang Mandar telah menjadikan lautan sebagai lahan kehidupan. Orang Mandar umumnya hidup dari hasil laut karena kondisi alamnya di daratan tidak menguntungkan (kurang subur), juga pemukiman penduduk berjejer - berderet berhadapan langsung dengan laut lepas. Itulah yang membuat orang-orang Mandar menjadi pelaut, baik sebagai saudagar antar pulau maupun sebagai nelayan (penangkap ikan di laut).

 Bukti sejarah lain yang menunjukkan kepada khalayak bahwa orang Mandar sangat akrab dengan kehidupan laut adalah terciptanya sebuah teknologi tradisional yang disebut “rumpon”. Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang ramah lingkungan, dipasang di laut dalam maupun di laut dangkal. Rumpon dibuat untuk mengundang gerombolan ikan agar datang bernaung/berlindung sehingga memudahkan nelayan dalam menangkap ikan. Teknologi rumpon diduga pertama kali diciptakan dan dikembangkan oleh nelayan Mandar, demikian pendapat Dr. Horts Leibner, seorang peneliti dari Jerman. Dalam  penelitiannya menyebutkan bahwa nelayan Mandarlah yang menciptakan dan menyebarkan teknologi rumpon ini ke berbagai daerah di Nusantara.

Di Mandar sudah berkembang pemakaian rumpon sebagai alat penangkap ikan sejak abad ke-17 Masehi. Rumpon berasal dari bahasa Mandar, dari kata roppong atau rappang yang berarti rumput. Dalam sejarahnya, pada zaman dahulu, di pesisir pantai atau alam laut teluk Mandar, berserakan rumput yang dibawa oleh air sungai, begitu juga rumput kiriman dari pulau Kalimantan. Rumput yang berserakan berupa daun kelapa, daun pisang, pohon bambu, batang pohon bakau, tongkol batang nipa, dan lain sebagainya. Rumput yang berserakan dijadikan ikan sebagai tempat bernaung dan itulah yang menginspirasi nelayan Mandar dalam menemukan/menciptakan rumpon fish aggregating device (FAD).

Menurut Baharuddin Lopa, roppo (rumpon) yang dipasang pada zaman pemerintahan tradisional, dijadikan sebagai batas daerah teritorial laut dari kerajaan. Roppo (rumpon) yang dipasang di tengah pada  wilayah laut yang mencapai kedalaman 200 – 1.800 meter misalnya merupakan batas wilayah yang masuk dalam hukum tentang landasan continental (tebing dasar laut). Sementara roppo yang dipasang jauh melewati tengah laut sudah berada pada zona ekonomi ekslusif (ZEE).

Orang yang pertama kali menciptakan roppo dan sande’ tidak diketahui secara pasti. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akan ditemukan dalam catatan sejarah bahwa ada seorang raja di Mandar yang digelar Tomissawe di Mangiwang dan Tomatindo di Balitung (Raja Sendana), beliau telah banyak melanglang buana ke berbagai negeri di Nusantara dengan menggunakan perahu sande’. Raja ini telah menjadikan pelabuhan Pulau Taimanu’ di Palipi Sendana sebagai bandar niaga kala itu. Beliaulah yang mendatangkan bibit pohon jati yang diperoleh dari Bangka Belitung. Hamparan pohon kayu jati yang berpuluh-puluh hektar sebagai amal jariah  Tomatindo di Balitung, dapat kita temukan di wilayah bekas pusat Kerajaan Sendana, di bukit Podang.

Asbabunnuzul rumpon di Mandar, juga menginspirasi raja Tomatindo di Balitung melahirkan falsafah bagi para pemimpin di Mandar yang mengatakan bahwa seorang mara’dia (raja) hendaknya menjadi roppo (pelindung) bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang raja, ibarat pohon yang hanyut di lautan (rumpon), di bawahnya ada rakyat yang sedang berlindung dan bernaung. Falsafah itu lengkapnya sebagai berikut : ”I’o dziting bunga kodza’ dao melo’ nisullu’ moa’ tania to mamea gambana. To mameapa gambana tamma’ topa mangayi, marete’ topa pano pindang dadzanna. Pano pindang di dzadzanna paindo mesa-mesa naindo naung ku’bur meghara-ghara. Ku’bur mo meghara-ghara, lembong memonge-monge’, labuang pio’ - namaccappu’i nyawa
  
Makna harpiah dari falsafah di atas, kurang lebih seperti ini: I’o dziting bunga kodza’. Bunga kodza’ adalah lambang kaum adat di Mandar, kurang lebih sama dengan Bate Salapang di Kerajaan Gowa/Makassar dan Arung PituE bagi kerajaan Bone, Hulu Balang di Kerajaan Melayu. Dao melo’ nisullu’ artinya jangan mencalonkan jadi mara’dia (raja),  moa’ tania to mamea gambana artinya kalau bukan sosok manusia yang memiliki moral, teguh pendirian, konsisten, adil, jujur dan berani di atas kebenaran, (odziadza – odzibiasa), tegas, serta kuat jiwa dan raganya, bijaksana dalam mengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak. Tomameapa gambana tamma’ topa mangayi artinya selain tegas, jujur, juga luas dan dalam ilmunya, utamanya ilmu yang menyebabkan takut kepada Allah, memiliki kecerdasan intelektual, memahami kondisi geografis dan demokrafis daerah, memiliki keahlian dalam memimpin serta paham benar tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan.

Memiliki kecerdasan emosional yang dimaksud di atas adalah dapat berbaur dengan rakyat yang dipimpinnya, mengetahui serta merasakan penderitaan rakyat sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik, hidupnya diabdikan/diwakafkan untuk kepentingan rakyat. Itulah sebabnya sehingga di masyarakat Mandar lahir falsafah yang berbunyi moa’ nitami balimbunganna mara’dia siola se’ i adza, tuomi tau tammate yang arti harpiahnya sebagai berikut jika sudah nampak mata bubungan atap rumah raja dan para pemangku adat, maka harapan hidup sudah terbangun.

Memiliki kecerdasan spiritual maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin harus sadar bahwa jabatan yang disandang merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui perwakilannya sappulo sokko’(sepuluh anggota lembaga adat) dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT.

Marete’ topa pano pindang dadzanna artinya memiliki pengalaman yang banyak dalam memimpin organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Seorang pemimpin yang handal bukan karbitan (tania anu nisou maksudnya ibarat pisang yang diperam hingga masak, masak belum waktunya). Pemimpin karbitan dan dipaksakan memimpin meskipun tidak mampu bakal akan menemui masalah hingga pada akhirnya ia akan dipaksa turun atau berhenti dari jabatannya lewat aksi unjuk rasa.

Pano pindang di dzadzanna paindo mesa-mesa maknanya kepemimpinan yang ia miliki terbukti mampu menciptakan keteladanan, ide dan gagasannya cemerlang serta karya-karyanya bersinar, dirasakan, dan bermanfaat bagi orang banyak.

Naindo naung ku’bur menghara-ghara artinya yang terbaik di antara orang pilihan, memiliki idealisme, pikirannya jernih, gagasan dan ide-idenya bersinar (menjadi falsafah) walau pemimpin tersebut sudah berada di liang lahat. Dan pemimpin yang baik adalah mereka yang  berkarya secara ikhlas, tulus, tidak mengharapkan pujian, yang mereka harapkan adalah  amal jariah yang dapat mengalir walau ia sudah tiada.

Ku’bur mo menghara-ghara lembong memonge-monge artinya mereka yang rela mengorbankan jiwa dan raganya, tidak peduli dengan dirinya sendiri, keluarga dan kerabat, serta kelompoknya demi kepentingan orang banyak. Tarrare di tindo, tannasai’ tanggal, tannayappangngi cipur, o nanasurung lewa pa’banua, o nanasurung tumballe’ lita’ maksudnya Tidurnya di malam hari tak nyenyak karena memikirkan rakyat yang tak makan di malam hari. Di siang hari tak kenal lelah, tepat waktu, disiplin, bekerja secara professional demi wilayah yang dipimpinnya.

Lawuang pio’ (Rumpon) namaccappu’ i nyawa artinya rela membela dan melindungi kepentingan kaum marginal, rakyat kecil, demi kesejahteraan masyarakat secara umum walau jiwa jadi taruhannya. Pio’  adalah sejenis ikan kecil yang hidupnya bergerombol, bernaung di bawah pohon besar (roppong) yang terapung di lautan. Itulah pemimpin, ibarat pohon yang hanyut di lautan dijadikan rakyat sebagai tempat  bernaung sehingga kelangsungan hidupnya tidak terancam. Mo siasollor bandangang, siasolli’ mata gayang, sisembe’ kondobulo, siapi’  bulang anna’ lita’, moa’ nitami balimbunganna mara’dia siola seiadza’,  tuomi tau tammate, mapiami takkadzake’ maknanya segala kemelut dan penderitaan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, masyarakat tidak perlu khawatir karena kita sudah terlindung dan dinaungi oleh pohon besar yaitu mara’dia/ raja dan kaum hadat (rumpon).

Memaknai falsafah leluhur Mandar di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya Mandar mengharapkan sosok pemimpin yang memiliki idealisme kerakyatan, memiliki moral force yang tangguh serta rasa optimisme yang kuat dalam mencapai  cita-cita luhur seluruh rakyat. Menjelang pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia, penulis menyarankan kepada partai politik dan masyarakat  pada umumnya untuk memilih pemimpin yang ingin menjadi pelindung “roppo” bagi rakyat yang dipimpinnya.

Sejalan dengan falsafah di atas, seorang raja yang terpilih (khususnya di kerajaan Sendana dan Pambuang) dilantik diatas punggung penyu karena penyu memiliki nilai filosofis bagi seorang raja di Mandar. Penyu sebagai simbol bahwa seorang pemimpin yang letak geografisnya berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu. Penyu, merupakan jenis hewan laut yang dalam bahasa Mandar disebut Pannu.  Filosofis serta makna yang terkandung dalam penyu adalah : 1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun. Diharapkan raja dapat bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat. 2) Penyu mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Ini berarti bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung  yang sumber kehidupannya berada di laut. 3) Penyu itu berpenampilan pendiam tapi ketika mencari makanan di lautan pantang menyerah pada ombak besar. Dan ketika kembali ke darat untuk bertelur, telurnyapun tidak sedikit. Itulah sebabnya orang-orang Mandar dengan gagah berani menyeberangi lautan dengan perahu “Sande’nya”. Begitu juga dengan gagah dan berani mempertaruhkan hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah pada laut yang dalam. 4) Penyu itu berkulit tebal untuk melindungi tubuhnya dari predator. Diharapkan raja dapat melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Untuk mengenang penyu di Mandar maka diabadikan melalui kue Mandar yang disebut “Tallo’ Pannu”.

Begitu juga perahu sande’ merupakan bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung. Perahu sande’ digunakan sebagai alat transportasi dalam melakukan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara. Perahu tradisional sande’ adalah hasil cipta orang Mandar yang telah diakui sebagai warisan budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dengan nomor registrasi : 154004/B/MPK.A/DO/2014. Perahu tradisional sande’ juga telah terlibat dalam dunia perdagangan maritim dan telah berlayar sampai ke Tumase’ (Singapura = Tumasik).

Dalam pengembaraan niaga orang-orang Mandar, telah banyak menemukan pulau-pulau tak berpenghuni dan mereka mendiaminya. Itulah sebabnya sejak tahun 1930 telah menetap 216 orang dari Afdeling Mandar di Kepulauan Paternoster. Menurut Edwar L. Palenggomang bahwa Kepulauan Paternoster salah satu pulaunya adalah pulau Lerek-lerekkan. Pulau Paternoster, oleh Pemerintah Hindia Belanda telah ditata wilayah pemerintahannya dan menjadi wilayah kekuasan kerajaan Mamuju (onder afdeling Mamuju) yang pusat pemerintahannya berada di Majene. (Bersambung)

Teori Evolusi Darwin Versus Teori Bare Lesang Prof. Lamboruso

Oleh: Muhammad Munir
Rumah Kopi dan Perpustakaan (Rumpita) Kandemeng kerap secara kebetulan menjadi ruang yang tiba-tiba saja mengubah takdirnya sebagai aula untuk diskusi budaya. Adalah Tammalele atau Abdul Mujib alias Prof. Dr. Lamboruso dan atau siapalah. Yang pasti saya seketika tersedak ketika mendengar sebuah cerita yang kira-kira judulnya adalah "Bare Lesang" (Pembagian barang ala monyet).

Suatu ketika terjadi kesepakatan antara kucing dan anjing disebuah halaman rumah Lamboruso. Kesepakatan itu lahir dari sebuah kondisi yang menyebabkan keduanya harus bekerja sama untuk mendapatkan makanan. Si Kucing yang lihai memanjat didaulat untuk mendapatkan seekor ikan asing diatas bate-bate (tempat penyimpanan ikan dan kayu bakar diatas tungku dapur). Kesepakatan kedua intinya, jika ikan tersebut jatuh sampai ke tanah, maka ikan tersebut adalah jatah anjing, demikian juga sebaliknya. Maka dengan penuh optimisme yang tinggi, kucing segera beraksi dan memanjat sampai keatas bate-bate. Entah karena lompatannya kurang cermat, ikan yang menjadi targetnya lepas dan jatuh hingga menyentuh tanah.

Jika keduanya konsisten, maka anjinglah yang mempunyai hak penuh untuk barang yang jatuh ke tanah tersebut. Tapi Si Kucing mencoba persuasif dan menggoda Si Anjing. Awalnya anjing bersikukuh untuk mempertahankan dan menganggap Si Kucing tidak konsisten. Namun lagi-lagi si Kucing berdiplomasi bahwa "Matindoi adaq muaq diang assamaturuang" (Hukum menjadi gugur ketika terjadi kesepakatan). Karna Kucing tidak menggugat, maka Si Anjing tergugah untuk berbagi demi menjaga persahabatan keduanya. Maka kesepakatan keduanya terjadi. Ikan di bagi dua dan pembagiannya mesti imbang.

Masalah kemudian muncul ketika tiba pada proses menyeimbangkan bagian masing-masing. Dalam kondisi seperti itu, Monyet (Lesang) datang memberi solusi dengan menawarkan jasa timbangan (dacing). Keduanya sepakat untuk menerima tawaran Si Monyet. Monyet pasang wibawa dan menjaga sikap agar Si Anjing dan Si Kucing bisa menerima hasil pembagian ala monyet. Monyet menimbang ikan untuk pembagian yang adil.. Tentu saja tidak bisa imbang, karena jasa yang ditawarkan Si Monyet hanya modus belaka. Si Anjing protes karena takarannya tidak seimbang, demikian juga Si Kucing.

Solusi yang ditawarkan si Monyet adalah dengan silih berganti mengambil sedikit demi sedikit ikan yang ada di timbangan tersebut. Hasilnya selalu tidak seimbang, dan tentu saja monyet mendapat kesempatan untuk terus mengurangi takaran secara bergantian. Hingga tanpa sadar, Monyet menghabiskan ikan tersebut.

Cerita ini mungkin tidak menarik, tapi ada hal yang bisa ditarik sebagai pelajaran dan hikmah tentang methode "Bare Lesang" yang di negara kita sistem ini bukan hal baru. Saya tentu tidak harus menjelaskan lagi siapa sebagai apa, tapi siapa melakukan apa dan sampai pada apa dan siapa yang melakukan. Monyet memang punya takdir yang lebih beruntung hadir mewarnai berbagai peradaban dunia, karena monyet lahir sebagai binatang dan manusia menjadikannya sebagai jenis hewan homosimbolitikum. Tak perlu meneliti fosil monyet sebagai homosimbolitikum, sebagaimana homosoloensis, homowajakkensis dan homo-homo lainnya.

Cukup hari ini kita baca teori Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari monyet. Sampai disini, mungkin tak penting buat kita menyerapahi Darwin dengan menarasikan berbagai sanggahan dalam bentuk hasil penelitian dan karya ilmiah, sebab saya yakin Darwin-lah monyet itu, dan monyet itu bisa saja dari Darwin. Monyet sungguh beruntung, punya garis tangan dan guratan dahi yang dipenuhi bulu yang memang nyaris sebentuk dengan postur manusia. Sepanjang sejarah peradaban manusia, monyet memang menjadi satwa yang unik, dilindungi habitatnya, dijaga dan kadang dieksploitasi karena hanya modal topeng, maka model monyet berubah jadi topeng monyet. Lagi-lagi monyet bisa jadi modal.

Lalu apa rahasia tuhan dengan melestarikan hewan yang berjenis monyet ini? Entah kebetulan atau apa, yang pasti pamor monyet menjadi begitu meroket ketika manusia ikut menanggapi pernyataan Bapak Monyet sedunia (Charles Darwin). Dan hari ini, saya melihat teori Darwin masih kurang lengkap, sebab ternyata di Indonesia ada monyet dan manusia yang hampir tak bisa dibedakan antara keduanya. Ada monyet yang dipelihara oleh manusia, ada manusia yang dijaga monyet, ada manusia yang jadi monyet, dan ada monyet yang punya kemampuan sama dengan manusia. Lalu apakah monyet adalah manusia atau manusia adalah monyet? Anggap ini sekedar upaya untuk memanusiakan monyet tanpa harus memonyetkan manusia, sebab tanpa itu, monyet di Indonesia tak akan mampu kita hilangkan jejaknya, sebab ia dijaga-dilindungi oleh manusia. Bahkan tabiat, karakter dan sifat monyet dibudayakan selain sebagai pembudidaya monyet.

Terkait karakter dan sifat monyet, secara bentuk dan sifatnya yang serakah, monyet memang sosok yang tepat dengan tabiat itu. Ketika monyet melihat makanan, ia pasti menjadi yang paling rakus, mulutnya ia suapi sampai tersumpal, tangan dan kakinya pun penuh dengan makanan, bahkan melihat temannya dapat makanan, ia sudah pasti menyergap untuk coba merebut. Itulah monyet, bahkan ketika terpaksa harus membagi makanan, pembagiannya pasati dengan teori monyet.
Sampai disini, saya minta manusia jangan marah ketika membaca narasi yang menyandingkan nama monyet dengan manusia, sebab monyetpun belum tentu terima, bahkan boleh jadi, monyet juga marah dan menggugat karena malu namanya dicatut dan diserupakan manusia oleh manusia.

Mengoreksi Koruptor ala Monyet

Monyet mungkin hanya akan menjadi sejarah sebab Darwin mengapresiasinya. Tapi ketika monyet menjadi jati diri manusia, maka namanya bukan lagi monyet, tapi ia menjadi koruptor. Koruptor itulah monyet yang dimaksudkan oleh Charles Darwin. Lihatlah pejabat kita yang korupsi. Bukankah monyet bisa lebih berharga dari pada para koruptor. Korupsi yang mendarah daging di Indonesia adalah wujud dari teori evolusi sekaligus eksploitasi yang melupakan jati diri sebagai manusia. Apakah ketika manusia menjadi monyet, maka monyet akan bersuka ria? Tidak. Ia mungkin sedih, sebab hutan-hutan akan dibalak, habitat mereka dihutan tentu punah. Ketika Koruptor menjadi-jadi, maka musnahlah monyet secara hakiki. Sebab habitatnya punah, jati dirinyapun diambil alih oleh manusia.

Monyet berdasi itu semakin menyulitkan, menyulitkan kawanan monyet lain, menggagalkan upaya kita untuk menempuh jalur bisnis yang lurus, bersih dan jujur. Meski urusan bisa berjalan lancer, namun budaya saling pengertian bahkan semua bisa diatur sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Inilah yang menggurita dan sangat berdampak buruk bagi individu, masyarakat dan negara. Pelaksanaan tender  proyek di instansi pemerintahan misalnya, seperti proyek pengadaan barang dan jasa, pembangunan, bahkan sampai dengan kasus PAPA minta SAHAM Freeport dan lain-lain.
Semua akhirnya berjalan tidak sesuai yang diharapkan dan jauh dari apa yang namanya profesional. Nilai kontrak dalam pengadaan barang sering kali di ma­rk up atau digelembungkan terlebih dahulu sesuai dengan kesukaan mereka sebelum dilaksanakan dan dikerjakan oleh rekanan atau kontraktor. Dan sudah bukan rahasia umum lagi, bahwa setiap pegawai yang melaksanakan pekerjaan seperti itu akan mendapat bagian atas tanda tangannya tentunya. Padahal mereka semua sudah mendapatkan gaji dari pemerintah atau negara. Bagaimana uang seperti itu bisa mengalir kepada mereka, padahal tidak ada dalam perincian anggaran.

Oh monyet, ini bukan lagi sebatas teori, yang pasti saat mark up dilakukan, upeti dijalankan, hasil kerja tidak akan sesuai dengan yang diharapkan dan jauh dari apa yang namanya profesional. Karena sering kali saling pengertian tersebut ditempuh, secara otomatis akan menurunkan komponen dan spesifikasi pekerjaan. Meskipun pekerjaan seperti itu, semua bisa lolos dari unsur pengawasan dan pemeriksaan, semua karena “SALING PENGERTIAN”


Kini saatnya monyet berdasi itu dikarantina, direhabilitasi untuk kembali menjadi manusia, sebab jika tidak bahkan monyetpun akan berdemo, karna hak-hak mereka yang azasi telah dicaplok oleh manusia. Hentikan teori Bare Lesang !

Pencanangan GIM di Mandar


MENULIS PUISI


Kutulis puisi dibola matamu
Agar aku dengan leluasa hidup dikornea matamu
Kutulis puisi dibibirmu
Agar lisanmu terjaga mengeja namaku
Dengan bola mata dan bibirmu
Aku puas berpuisi meski kadang harus puasa karnamu
Dimatamulah aku memasung riduku
Dan dibibirmu sempat aku nikmati kata jujurmu

Aku memang harus selalu menulis puisi
Sebab kutahu dimata dan bibirmu kulihat banyak puisi
Puisi yang ditulis oleh mereka yang punya rasa sama denganku
Dan puisi-puisi itu tak harus kubiarkan merongrongku
Sebab aku belum bisa merampungkan puisiku jadi kolekserium dihatimu
Aku memang harus selalu menulis puisi
Sampai kutemukan jazadku lebur di lidah jiwamu
Dan segala tentangmu kanikmati bagai puisi

Bola mata yang indah dan bibirmu yang basah
Adalah makhluk tuhan yang tercipta dari sifat-Nya
Maka izinkan aku mensifati sifat tuhan itu diduniamu
Agar duniaku yang terpagut cemas berkemas menjadikanmu emas
Hingga kau menemukan diriku menjadikanmu kehormatan
Bukan sebagai penikmat yang hanya mengikis malam dengan birahi
Dengan bola mata itu, tataplah aku apa adanya
Dengan bibir itu basahilah dengan rasa syukur apa yang ada
Kelak kita akan terbaca dan semak bibir akan memuji
Untuk kita jadikan pujaan hidup dalam memuja Tuhan

                                                Barane,
                                                Dua Delapan Januari

                                                2015 


ANDI KUBE DAUDA : Pencetus Slogan Tarrare di Allo Tammatindo di Bongi


            Andi Kube Dauda[1] lahir di Sengkang, Wajo. Ia masuk sekolah dasar di kampung kelahirannya sampai menjelang naik ke kelas 6. Ia pindah ke Makassar dan tinggal dirumah pamannya. Setamat SD ia melanjutkan sekolahnya di SMP Nasional Makassar, dilanjutkan ke SMA katolik di Surabaya, Jawa Timur.
           
Selesai SMA ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Airlangga, Surabaya, tapi tak sampai satu tahun sebab kesulitan biaya kuliah. Kiriman dari orang tuanya di kampong tak lagi bisa ia harapkan sebab di Sulawesi Selatan saat itu sedang terjadi pergolakan besar yang digerakkan oleh Kahar Muzakkar. Jangankan biaya kuliah, untuk biaya hidup di Surabaya saja sudah sangat silit.

            Untuk menyiasati kesulitan biaya hidup, ia akhirnya memilih bekerja di sebuah perusahaan Watras-Wajo Trading System Compeny milik orang Wajo di Surabaya. Ia bekerja selama empat tahun dan setelah merasa kondisi keuangannya mulai membaik, ia kemudian melanjutkan kuliahnya, namun lagi-lagi tak sampai selesai.

            Pada tahun 1958 orang tuanya di Sengkang memanggilnya untuk pulang kampung. Di Wajo ia diangkat jadi pegawai negeri sipil. Menjadi PNS membuatnya selalu berfikir untuk bisa melanjutkan kuliahnya. Dan kesempatan itu datang setelah bekerja di Pemda Wajo. Ia mendapatkan tawaran beasiswa untuk jurusan Sospol. Kendati sebenarnya ia menginginkan untuk bisa kuliah mengambil jurusan kedokteran atau teknik. Hanya satu pilihan, menerima beasiswa berarti harus mengambil jurusan Sospol.

Begitulah ketentuan dari peluang beasiswa tersebut, sehinga ia harus rela memilih kuliah di Fakultas Sospol UNHAS Makassar pada tahun 1963. Selama di kampus,  ia sempat menjadi Ketua Senat Fakultas Sospol UNHAS dan menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) komisariat Sospol. Ia selesaikan dulu diploma tiga di Sospol. Usai sarjana muda, ia tak langsung pulang ke Wajo sebab di kampus ia dipercaya menjadi asisten dosen sekaligus lanjut kuliah hingga sarjana lengkap. Selesai sarjana lengkapnya, pihak kampus menawarkan bea siswa S2 ke Amerika Serikat, namun ia tolak karena statusnya sekolah adalah tugas belajar dari Pemkab Wajo. Ia kembali ke Sengkang dan langsung menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Pemkab Wajo (1971).

Menjadi Kepala Bagian hanya satu setengah tahun dan dipindahkan menjabat Kepala Bagian Umum. Saat Pemilu pertama Orde Baru sudah mulai mendekat, ia kemudian dipercaya sebagai Sekretaris PEMILU 1971. Dengan berbagai pengalaman dibeberapa tempat itulah sehingga ia dipercaya untuk menjabat sebagai Sekda Kabupaten Barru pada tahun 1974-1979.

Dari Barru ia ditarik ke kantor Gubernur Sulsel sebagai Kepala Biro Pemerintahan Umum Pemprov. Sulawesi Selatan. Disana ia hanya bekerja 8 bulansebab pada tahun 1985, DPRD Kab. Bulukumba memilihnya sebagai Buapti Bulukumba untuk periode 1985-1990. Selesai di Bulukumba ia langsung menjabat sebagai Buapti Polmas setelah HS. Mengga memerintah selama 10 tahun (1980-1990).

Ia datang ke Polmas betul-betul menjadikannya sebagai orang asing. Betapa tidak, selain ia harus bekerja dilingkungan orang-orang yang tak mengenalnya, sehingga kondisi ini membuatnya harus bekerja keras untuk memperkenalkan dirinya dimana-mana tak terkecuali masyarakat di pantai dan pegunungan. Dan dalam setiap kesempatan ia selalu menyampaikan bahwa kedatangannya ke Polmas hanya semata-mata mengemban tugas pelaksanaan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kinerja 6 bulan di tahun pertama Andi Kube di Polman adalah membenahi birokrasi. Ia memperkenalkan paradigm baru hakekat birokrasi sebagai pelayan masyarakat banyak. Tahun kedua mulailah ia menyentuh program-program pembangunan yang lebih berwawasan kepentingan public langsung. Termasuk pengembangan pendidikan  dengan cara banyak mengunjungi sekolah-sekolah untuk menyampaikan ide-ide pengembangan SDM.

Cetusannya yang paling terkenal di periodenya adalah “ Tarrare diallo tammatindo dibongi mappikkirri atuwoanna pa’banua”. Inilah yang kerapia sampaikan ketika memimpin apel pagi di kantor daerah Polewali Mamasa, termasuk juga ketika berada di masyarakat yang ia kunjungi.

Dalam lingkungan birokrasinya, ada empat doktrin yang ia sangat tekankan, Pertama, haruspercaya pada diri sendiri. Kedua, harus punya keberanian. Ketiga, harus menguasai bidangnya dan mengembangkan apa yang menjadi tugasnya. Keempat, kreatif dan tidak hanya menunggu perintah atasan. Inti dari keempat doktrin tersebut adalah kemandirian, kreativitas, keberanian dan professional.

“Lakukan saja, kalau ada yang salah nanti saya yang bertanggung jawab. Yang penting dalam melaksanakan tugas punya itikad baik”. Demikian ia menekankan pada pegawainya. Sebab yang terpenting baginya adalah bagaimana masyarakat bisa sejahtera dan mandiri.

Selama menjadi Bupati di Polmas, ia sadar betul bahwa orang Mandar jika mau berhsil memimpinnya bukan dengan kekerasan. Sebab jika yang digunakan adalah kekerasan maka orang Mandar bisa lebih keras lagi responnya terhadap sikap keras yang kita nampakkan padanya.

Kesadaran itulah yang mendorongnya untuk memenage birokrasinya, sehingga yang diutamakan adalah sikap kekeluargaan. Sikap kekeluargaan itu ia tampakkan dengan panggilan “Andik”[2] dan jika ada masyarakat yang mau menghadap ke rumah jabatan, maka ia akan lebih dahulu keluar untuk menjemput para tamunya.

Demikianlah Andi Kube Dauda menjalani hari-harinya sebagai Bupati di Polmas. Bagai pedati yang terus berputar. Hingga mendekati akhir masa jabatannya. Namun sebuah keberuntungan dalam menjalankan tugasnya, sebab jabatan sebagai bupati berakhir Maret 1995, namun jabatan itu baru diserahterimakan pada bulan Agustus. Jadi ia menjalani tugas sebagai Bupati lebih dari 5 tahun.

Selepas menjadi Bupati Polmas, ia pensiun betul di rumahnya Jl. Bau Mangga 13 Makassar. Namun yang mengusiknya adalah dorongan untuk terus belajar dan menambah ilmu pengetahuannya. Hal ini yang membuatnya memilih melanjutkan pendidikan S2-nya dan setelah selesai ia  dipercaya menjadi dosen di STIA-LAN kerjasama UNHAS, Makassar. Di lingkungan kampus kembali ia menemukan kebahagiaan sebab bisa bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan jenjang pendidikan.

Kebahagiaan lain yang juga sangat ia syukuri adalah karena delapan orang buah cintanya dengan Hj. Faridah (istrinya yang telah mendahuluinya menghadap sang khalik pada 1994) kini sudah sibuk dengan dunianya masing-masing, ada yang jadi birokrat, ada militer, dan ada yang masih kuliah tingkat doctoral.

Sepeninggal istrinya Hj. Faridah, ia memilih melabuhkan hati dan berkeluh kesah kepada seorang perempuan karir, Hj. Andi Syamsiah yang bekerja sebagai Hakim di Pengadilan Agama Kota Makassar. Wanita inilah yang menjadi pendamping hidupnya sejak 1994.[3]




[1] Bupati Polewali Mandar ke-4 periode 1990-1995
[2] Sapaan akrab yang sepada dengan kata dinda atau adik.
[3] Sarman Sahuding, 2006

MENGENAL LETKOL H. ABDULLAH MADJID (1966-1979),

Abdullah Madjid lahir di Karama Tinambung pada tahun 1927. Terlahir dari rahim seorang ibu yang dipersunting oleh H. Yahyaddin. Abdullah Madjid terlahir ketika seluruh kawasan Mandar berada dalam kekuasaan penjajah Belanda. Abdullah kecil tumbuh dan berkembang sebagai seorang anak yatim sebab tak lama setelah ia lahir, ibu tercintanya dipanggil oleh yang maha kuasa. Kondisi keamanan yang tak kondusif saat itu lagi-lagi menjadi bagian dari takdir seorang Abdullah untuk ikut dalam asuhan pamannya, H. Abdul Rasyak, seorang pejuang yang juga Kadhi Balanipa yang kerap ditangkap oleh Belanda.

Baik H. Yahyaddin maupun H. Abdul Rasyak adalah anggota pasukan Kris Muda Mandar  dibawah pimpinan Hj. Andi Depu. Hj. Andi Depu adalah tokoh pejuang kesohor yang berhasil menitipkan embrio perjuangan dalam diri Abdullah Madjid. Abdullah Madjid ketika umur belasan tahun sudah terbiasa ikut dalam medan perang melawan Belanda. Baik Abdullah, maupun pihak pejuang termasuk diuntungkan dengan postur Abdullah yang kecil sehingga memudahkannya untuk ikut dari tempat ke tempat lain mengikuti pejuang senior. Abdullah dipercayakan untuk membawa semua dokumen-dokumen rahasia.

Membawa dokumen rahasia sesungguhnya merupakan strategi yang cerdas dari para pejuang, sebab Abdullah Madjid ketika Belanda menangkap atau menggeledah, tidak mungkin anak sekecil Abdullah akan ikut digeledah sebab Belanda menganggap Abdullah hanya seorang anak kecil yang tak tahu menahu soal dokumen penting. Ternyata taktik ini berhasil mengelabui para penjajah itu.

Abdullah Madjid termasuk sosok yang luar biasa, sebab diantara deru mesiu perang di Mandar, justeru bisa menamatkan pendidikannya di SR (Sekolah Rakyat). Dan ketika pamannya H. Abdul Rasyak pindah ke Sidrap, Abdullah pun ikut serta. Tak lama di Sidrap, pamannya pindah ke Makassar dan mendaftarkan Abdullah di sekolah MULO (setingkat SMP). Sekolah ini sebenarnya khusus untuk anak bangsawan dan para bule. Abdullah bisa diterima belajar di sekolah Belanda, sebab Abdullah Madjid juga seorang bangsawan. Itu juga yang memberinya peluang bisa lanjut kdi AMS (sekolah Belanda setingkat SLTA).
******
Tahun 1950-an Abdullah Madjid masuk tentara. Ia berpindah-pindah tugas dari satu daerah ke daerah yang lain. Dari Makassar pindah ke Bone, pernah juga tugas di Palopo. Abdullah tugas di Palopo bersamaan Kahar Muzakkar tengah gencar-gencarnya menyusun kekuatan pemberontakan bersenjata terhadap republik. Kahar Muzakkar bahkan sudah menguasai beberapa daerah yang membuat Kepala Militer di Sulawesi mulai gusar dengan pengerahan kekuatan pemberontak republik tersebut.

Abdullah Madjid diutus ke Palopo, terutama di Masamba dengan pertimbangan bahwa di Masamba banyak orang Mandar bermukim sejak lama. Abdullah menerima tugas itu dan merumuskan strategi gerakan dengan cara memperkecil ruang gerak Kahar Muzakkar. Daerah-daerah yang dikuasai Kahar Muzakkar pelan-pelan diambil alih penguasaan oleh Abdullah Madjid sebagai Komandan di Kompi Masamba. Untuk menumpas gerakan Kahar Muzakkar ini, ada tiga Kompi yang diturunkan, yaitu Kompi Masamba dipimpin oleh Abdullah Madjid dan Kompi lainnya ada di Bone-Bone dan Malili.

Abdullah Madjid menjalankan tugas dan tanggung jawabnya menghadapi pemberontakan Kahar Muzakkar. Bahkan sampai kedatangan pasukan Siliwangi pun, Abdullah Madjid masih tetap berada di front terdepan. Sampai pada suatu ketika, Kahar Muzakkar ditempat yang terjal, Kahar Muzakkar terjebak yang membuatnya harus menyerah dengan pasukannya. Tahun 1963, Abdullah Madjid ditarik dari Palopo untuk kembali ke Makassar.

Di Makassar, Abdullah memutuskan untuk ikut pendidikan formal kemiliteran di Pakkatto. Ini membuat Abdullah bisa langsung ditempatkan di kesatuan territorial Sulawesi setelah menempuh pendidikan formal militer. Pada saat itu, bertepatan hampir semua  daerah kabupaten di Sulawesi Selatan mempunyai kesatuan militer (setingkat Kodim), namanya Koordinator Teritorial. Abdullah Madjid dipindah tugaskan lalu diangkat sebagai perwira Koordinator Teritorial (Pa’koster) Polewali, menggantikan pejabat lama, Daeng Patompo yang kebetulan saat itu Bupati Polmas dijabat oleh Andi Hasan Manggabarani.

Tak lama di Polewali, ia dipindahkan ke Parepare dengan jabatan Komandan Sektor Kota (Setingkat dibawah Korem). Abdullah saat itu sudah berpangkat Letnan. Dari Parepare ia dipindahkan lagi ke Pinrang dengan jabatan Kepala Staf (setingkat Kasdim) dan sudah menjadi Kapten (1964-1965). Pada tahun 1965, Polmas masih dalam suasana berkabut.  Pergolakan baru saja usai dan belum bisa pulih benar di perparah lagi adanya transisi pemerintahan yang tentunya peralihan kekuasan dari Orde Lama ke Orde Baru yang berdampak pada carut marutnya situasi dalam negeri. Peralihan kekuasaan di tingkat nasional ternyata juga berimbas ke daerah, termasuk Polmas.

Andi Hasan Manggabarani yang menjabat sebagai Bupati Polmas saat itu harus menerima kenyataan. Bahkan Andi Hasan dimasa-masa terakhir kekuasaanya diperhadapkan dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang menuntut perubahan kepemimpinan. Tuntutan Mahasiswa tersebut ternyata mempertemukan takdir Abdullah Madjid sebagai Bapati Polmas kedua untuk periode 1966-1971. Bisa dibayangkan, menjadi Bupati dalam kondisi daerah yang dipimpinnya terpuruk. Mulai dari sektor ekonomi yang morat marit, keamanan yang belum terkendali sehingga sebagai Bupati harus berfikir ekstra untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan.

Abdullah Madjid mulai berbenah. Dimulai pada sektor pertanian karena Polmas memang mempunyai potensi pertanian. Setelah pertanian, ia menyentuh wilayah pendidikan. Satu persatu dibangun sekolah. SMA Negeri 1 Polewali mulai di bangun, bendungan air di Lakkese dan di Kunyi juga dibangun dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat yang dipimpinnya. Untuk mendukung sektor pertanian, Inmas dan Bimas digerakkan. Pengembangan perekonomian daerah tak luput dari perhatiannya, pasar Tinambung, Polewali, Wonomulyo (pasar pertama) mulai dibangun sebagai pusat transaksi antar komunitas ramai di beberapa titik. Bahkan, perumahan pegawai di sepanjang Lantora pun ia garap. Perumahan ini disamping sebagai tuntutan untuk tempat tinggal yang layak bagi pegawai kelas atas, juga untuk memperkenalkan penataan kota Polewali sebagai ibukota kabupaten. Dan pada periodenya memang ada semacam keputusan tak tertulis bahwa, sepanjang jalur kanan dari Pekkabata-Polewali akan dijadikan jalur hijau, dan tak diperuntukkan untuk  bangunan apapun.

Tak berhenti sampai disitu, penataan kota Polewali terus digenjot. Konsep pembangunan tanggul sepanjang pantai bahari Polewali ia lahirkan agar kelak Polewali tak tercemari kotoran dari laut. Sejalan dengan itu, pembenahan pendidikan mulai dinampakkan. Peningkatan SDM anak-anak daerah tak cukup hanya membangun sekolah. Bagi mahasiswa yang tengah menuntut ilmu di Makassar, masing-masing kecamatan dibangunkan asrama mahasiswa.

Bupati Abdullah Madjid juga tidak menyepelekan kondisi sumber daya aparatnya sendiri. Sebab pada tahun 1970-an, hampir bisa dikatakan aparatur belum professional. Mulailah ia membenahi administrasi sebagai implementasi dari pengalamannya selama di militer. Dalam pandangannya, seluk beluk administrasi pemerintahan butuh kesungguhan dan persoalan administrasi ini bukan hal sulit buatnya, sebab ia unggul dibidang ini.

Berdasarkan kondisi itu, ia melakukan terobosan-terobosan baru, untik mendukung kegiatan aparatnya (meski saat itu belum ada inpres), Bupati melengkapi aparatnya dengan fasilitas sepeda untuk setiap aparat, terutama bagi mereka yang tugas di lapangan dan tempat tinggalnya jauh dari kantor pemerintah daerah. Hal ini juga menjadi motivasi besar bagi aparatnya, sebab mobil truk yang diperuntukkan untuk mengantar-jemput pegawai dari Polewali ke Pekkabata, tempat kantor daerah lama kelamaan tak maksimal lagi fungsinya dan tak bisa lagi dipertahankan, sehingga sepedalah yang menjadi penggantinya. Tak hanya sepeda, kendaraan roda dua bermesin (motor)pun disiapkan bagi aparat yang memang teramat berat tugasnya di lapangan. 

Pada saat itu, jika dikalkulasi pendapatan daerah untuk gaji pegawai saja, bupati masih pusing tujuh keliling, apalagi harus menambah fasilitas sepeda dengan motor bagi aparatnya. Tapi toh kenyataannya, itu bisa terwujud dalam pemerintahannya. Beruntung saat itu ketika program efektifitas mau dilaksanakan, jauh-jauh hari bupati sudah punya sedikit persiapan dana yang bersumber dari usaha-usaha pemerintah dengan adanya upaya-upaya pencarian dana pihak ketiga. Mungkin upaya itu bisa dipadankan dengan Perusahaan Daerah (PERUSDA). Rupanya pula, ini menjadi alternative ketika pemerintah kewalahan membayar gaji pegawai. Jadi usaha-usaha daerah saat itu benar-benar efektif.

Bupati Abdullah Madjid memang jeli merangkul masyarakatnya. Daerah yang terdiri dari sub-sub etnik dengan medannya yang terdiri dari pantai dan gunung mampu ia kunjungi dan konsisten ingin lebih dekat dengan rakyatnya. Tak peduli harus mendaki gunung, jika tak mampu ia jangkau dengan kendaraan, maka menunggang kudapun ia lakukan asalkan bisa bertemu dengan warga masyarakat yang dipimpinnya. Kebetulan juga, Abdullah keci adalah seorang penunggang kuda yang hebat dan lincah. Bahkan tak jarangm ia harus melakukan perjalanan dengan jalan kaki. Ini adalah konsep pembinaan territorial kawasan.

Abdullah Madjid benar-benar total meletakkan dasar-dasar penataan pembangunan. Terlebih pada level diatasnya bertepatan Dr. Ahmad Amiruddin menggantikan Ahmad Lamosebagai Gubernur Sulawesi Selatan ternyata juga dikenal “gila” ide. Salah satu konsep pembangunan yang popular ia terapkan adalah Konsep Trikonsepsi Pembangunan: Perubahan pola pikir, pengwilayahan komoditas dan petik olah jual.

Ternyata, jauh hari sebelum konsep itu membumi di tingkat provinsi, Abdullah Madjid sudah lebih awal menerapkannya, meski tidak secara langsung terkonsep dengan anama Tri konsepsi. Sebab berdasar dari dimensi kewilayahan di Polmas,di wilayah pegunungan jutru sudah ia perkenalkan penanaman kopi dan kakao, sebab memang peluang untuk komoditas ini juga sangat cocok di wilayah gunung. Bahkan ketika itu Kopi Jember sudah dikenal. Terkait kopi Jember ini, pernah suatu ketika Bupati dan rombongan berkunjung ke Jember, saat itulah ia membawa bibit kopi untuk ditanam di Mandar. Dan hasil dari kopi pegunungan ini telah membuat ratusan bahkan ribuan rakyat Polmas menjadi seorang haji berkat kopi Jember.

Di wilayah pantai, komoditas kelapa dalam masih tetap ia pertahankan sebagai salah satu primadona penghasilan petani. Khusus di Wonomulyo, kawasan kolonis Jawa yang datang pada sekitar tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an dikembangkan padi dan palawija. Inilah pendekatan keunggulan kewilayahan yang diterapkan oleh Abdullah Madjid.

Abdullah Madjid sikapnya jelas, kukuh dan punya dedikasi yang tinggi, tak neko-neko, sederhana, pekerja, kosisten, jujur dan berwibawa. Potensi dalam Abdullah Madjid itulah yang menjadi alat yang ampuh meredam dinamika panas politik yang ada di Polmas. Mungkin semua itu yang mebuat Abdullah Madjid lebih lama menjadi Bupati. Selam 13 tahun ia menjadi Bupati di Polmas tentu sangat banyak menyimpan banyak kesan.

Masyarakat mencintainya sebab ia juga sangat menyayangi rakyatnya. Abdullah Madjid adalah sosok yang tak serakah pada jabatan. Masyarakat meminta untuk tetap menjadi Bupati di Polmas, tapi ia menolak, termasuk ditawari menjadi Bupati Mamuju, lagi-lagi ia tolak dan lebih memilih pensiun total. Menjadi masyarakat biasa dan toatal mengabdi kepada khaliq-Nya. Ia banyak berguru agama pada kedua tokoh besar di Mandar, Annangguru Saleh dan KH. Dr. Sahabuddin. Rupanya pemahaman agamanya yang membuat Ia lebih damai menhadap Tuhan-Nya pada tahun 1999.[1]



[1] Sarman Sahuding, 2006