Tulisan ini adalah Makalah yang disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10 November 2016:
A. Pendahuluan
Makalah ini pada
mulanya berjudul “Orang Mandar Orang Laut”, namun dengan beberapa pertimbangan
maka dilakukan penyempurnaan. Berdasar pada
abstrak makalah yang diajukan ke panitia Kongres Nasional Sejarah X
dan telah dinyatakan lolos seleksi berdasarkan berita acara nomor :
2912/E5/LL/2016, maka makalah ini lebih tepat diberi judul “Orang Mandar Pelaut
Ulung – Suatu Tinjauan Historis“. Makalah ini akan disampaikan kepada panitia
kongres paling lambat 15 Oktober 2016 dan akan dipresentasikan di Jakarta pada
tanggal 5 – 7 Nopember 2016.
Membincang
kehidupan bahari, maka tidaklah tepat jika tidak melibatkan cerita tentang pelaut
Mandar. Nenek moyang orang Mandar yang dimitoskan selama ini berasal dari
langit dan digelar dengan sebutan “Tomanurung”,
menurut hemat penulis merupakan kejumudan
berpikir generasi Mandar. Penulis
berpendapat bahwa Tomanurung, baik Tokombong di bura (orang yang muncul
dari busa air) maupun Tobisse di tallang (Orang
yang tenggelam lalu muncul dari pecahan bambu) dan Tonisesse’ di Tingalor (orang yang didapat dari perut ikan merah) proses
kehadirannya/kedatangannya semuanya berasal dari laut. Begitu juga tokoh
legendaris, bapak orang Mandar, Pongkapadang yang berasal dari daratan Ulu Salu (hulu sungai) yang mempersunting Torije’ne’. Torije’ne’, secara harfiah
terdiri dari dua kata; To berarti
orang dan Ri-je’ne’ berarti dari air
laut. Torije’ne’ adalah seorang
perempuan yang menurut hikayat terbawa oleh air bah ke sebuah daratan (Landa Banua) dan ditemukan oleh Pongkapadang
di atas perahu yang berukuran kecil yang disebut “Olang Mesa“. Perahu Olang
Mesa, terbuat dari sebatang kayu golondongan yang dikeruk menjadi perahu
yang bentuknya menyerupai lesung. Olang
Mesa inilah menjadi cikal bakal lahirnya perahu
tradisonal Mandar, yaitu “Pakur dan Sande’“. Untuk mengabadikan perahu
tradisional “Olang Mesa” ini di tanah
Mandar (wilayah Provinsi Sulawesi Barat), Pemerintah Daerah Kabupaten Majene telah
menetapkan Olang Mesa sebagai logo daerah
melalui Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene No. 3 Tahun 1979 Tentang Lambang Daerah.
Latar belakang
perjumpaan nenek moyang orang Mandar di atas, kelak di kemudian hari (1000
tahun kemudian) menginspirasi terbentuknya Negara konfederasi Mandar yang lebih populer dengan sebutan Pitu Ba’ba Binanga dan Pitu Ulu Salu (tujuh kerajaan di darat
dan tujuh kerajaan Maritim di pesisir) yang
terdiri dari:
a. Kerajaan maritim, yang meliputi: 1) Kerajaan
Balanipa, 2) Kerajaan sendana, 3) Kerajaan Banggae, 4) Kerajaan Pambuang, 5)
Kerajaan Tappalang, 6) Kerajaan Mamuju, 7) Kerajaan Binuang.
b. Kerajaan di hulu sungai, yang meliputi
: 1)Kerajaan Tabulahan, 2) Kerajaan Rattebulahang, 3) Kerajaan Aralle, 4) Kerajaan
Bambang, 5) Kerajaan Tabang, 6) Kerajaan Mambi , 7) Kerajaan Matangnga.
Oleh karena
itu, tidaklah berlebihan jika penulis berpendapat bahwa jauh sebelum naskah sumpah
pemuda dicetuskan 28 oktober 1928, Negara konfederasi
Mandar sudah menerapkan konsep “Tanah dan Air”. Air yang dimaksud tentulah tujuh
Kerajaan Maritim di pesisir Mandar, yang panjang pantainya kurang lebih 600 km,
memanjang dari utara ke selatan. Dan tanah yang dimaksud adalah tujuh Kerajaan
di Hulu Sungai (Pegunungan Mandar).
Bukti dalam sejarah yang menunjukkan bahwa orang
Mandar adalah pelaut ulung ialah orang Mandar telah menjadikan lautan sebagai
lahan kehidupan. Orang Mandar umumnya hidup dari hasil laut karena kondisi
alamnya di daratan tidak menguntungkan (kurang subur), juga pemukiman penduduk
berjejer - berderet berhadapan langsung dengan laut lepas. Itulah yang membuat
orang-orang Mandar menjadi pelaut, baik sebagai saudagar antar pulau maupun
sebagai nelayan (penangkap ikan di laut).
Bukti
sejarah lain yang menunjukkan kepada khalayak bahwa orang Mandar sangat akrab
dengan kehidupan laut adalah terciptanya sebuah teknologi tradisional yang
disebut “rumpon”. Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang ramah
lingkungan, dipasang di laut dalam maupun di laut dangkal. Rumpon dibuat untuk
mengundang gerombolan ikan agar datang bernaung/berlindung sehingga memudahkan
nelayan dalam menangkap ikan. Teknologi rumpon diduga pertama kali diciptakan
dan dikembangkan oleh nelayan Mandar, demikian pendapat Dr. Horts Leibner, seorang peneliti dari Jerman. Dalam penelitiannya menyebutkan bahwa nelayan
Mandarlah yang menciptakan dan menyebarkan teknologi rumpon ini ke berbagai daerah
di Nusantara.
Di Mandar sudah berkembang pemakaian rumpon sebagai
alat penangkap ikan sejak abad ke-17 Masehi. Rumpon berasal dari bahasa Mandar,
dari kata roppong atau rappang yang
berarti rumput. Dalam sejarahnya, pada zaman dahulu, di pesisir pantai atau
alam laut teluk Mandar, berserakan rumput yang dibawa oleh air sungai, begitu
juga rumput kiriman dari pulau Kalimantan. Rumput yang berserakan berupa daun
kelapa, daun pisang, pohon bambu, batang pohon bakau, tongkol batang nipa, dan
lain sebagainya. Rumput yang berserakan dijadikan ikan sebagai tempat bernaung
dan itulah yang menginspirasi nelayan Mandar dalam menemukan/menciptakan rumpon
fish aggregating device (FAD).
Menurut Baharuddin Lopa, roppo (rumpon) yang dipasang pada zaman pemerintahan tradisional, dijadikan
sebagai batas daerah teritorial laut dari kerajaan. Roppo (rumpon) yang dipasang di tengah pada wilayah laut yang mencapai kedalaman 200 –
1.800 meter misalnya merupakan batas wilayah yang masuk dalam hukum tentang
landasan continental (tebing dasar
laut). Sementara roppo yang dipasang jauh
melewati tengah laut sudah berada pada zona
ekonomi ekslusif (ZEE).
Orang yang pertama kali menciptakan roppo dan sande’ tidak diketahui secara pasti. Namun, jika ditelusuri lebih
dalam, akan ditemukan dalam catatan sejarah bahwa ada seorang raja di Mandar
yang digelar Tomissawe di Mangiwang dan
Tomatindo di Balitung (Raja Sendana),
beliau telah banyak melanglang buana ke berbagai negeri di Nusantara dengan
menggunakan perahu sande’. Raja ini
telah menjadikan pelabuhan Pulau Taimanu’
di Palipi Sendana sebagai bandar niaga kala itu. Beliaulah yang
mendatangkan bibit pohon jati yang diperoleh dari Bangka Belitung. Hamparan
pohon kayu jati yang berpuluh-puluh hektar sebagai amal jariah Tomatindo di
Balitung, dapat kita temukan di wilayah bekas pusat Kerajaan Sendana, di bukit
Podang.
Asbabunnuzul rumpon di Mandar, juga menginspirasi raja Tomatindo di Balitung melahirkan falsafah
bagi para pemimpin di Mandar yang mengatakan bahwa seorang mara’dia (raja) hendaknya menjadi roppo (pelindung) bagi
rakyat yang dipimpinnya. Seorang raja, ibarat pohon yang hanyut di lautan
(rumpon), di bawahnya ada rakyat yang sedang berlindung dan bernaung. Falsafah
itu lengkapnya sebagai berikut : ”I’o
dziting bunga kodza’ dao melo’ nisullu’ moa’ tania to mamea gambana. To mameapa
gambana tamma’ topa mangayi, marete’ topa pano pindang dadzanna. Pano pindang
di dzadzanna paindo mesa-mesa naindo naung ku’bur meghara-ghara. Ku’bur mo meghara-ghara,
lembong memonge-monge’, labuang pio’ -
namaccappu’i nyawa”
Makna harpiah dari falsafah di atas, kurang
lebih seperti ini: I’o dziting bunga
kodza’. Bunga kodza’ adalah lambang kaum adat di Mandar, kurang lebih sama
dengan Bate Salapang di Kerajaan
Gowa/Makassar dan Arung PituE bagi
kerajaan Bone, Hulu Balang di Kerajaan
Melayu. Dao melo’ nisullu’ artinya
jangan mencalonkan jadi mara’dia (raja), moa’ tania to mamea gambana artinya kalau bukan sosok manusia yang memiliki
moral, teguh pendirian, konsisten, adil, jujur dan berani di atas kebenaran, (odziadza – odzibiasa), tegas, serta
kuat jiwa dan raganya, bijaksana dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
orang banyak. Tomameapa gambana tamma’ topa mangayi artinya selain tegas, jujur, juga luas dan dalam ilmunya, utamanya ilmu
yang menyebabkan takut kepada Allah, memiliki kecerdasan intelektual, memahami
kondisi geografis dan demokrafis daerah, memiliki keahlian dalam memimpin serta
paham benar tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan.
Memiliki
kecerdasan emosional yang dimaksud di atas adalah dapat berbaur dengan rakyat
yang dipimpinnya, mengetahui serta merasakan penderitaan rakyat sehingga dapat
memberikan pelayanan yang terbaik, hidupnya diabdikan/diwakafkan untuk
kepentingan rakyat. Itulah sebabnya sehingga di masyarakat Mandar lahir
falsafah yang berbunyi moa’ nitami
balimbunganna mara’dia siola se’ i adza, tuomi tau tammate yang arti
harpiahnya sebagai berikut jika sudah nampak mata bubungan atap rumah raja dan
para pemangku adat, maka harapan hidup sudah terbangun.
Memiliki
kecerdasan spiritual maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin harus sadar bahwa
jabatan yang disandang merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada
rakyat melalui perwakilannya sappulo
sokko’(sepuluh anggota lembaga
adat) dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah akan mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya di hadapan Allah SWT.
Marete’ topa pano pindang dadzanna artinya memiliki pengalaman
yang banyak dalam memimpin organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi
sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Seorang pemimpin yang handal
bukan karbitan (tania anu nisou maksudnya ibarat pisang yang diperam hingga masak,
masak belum waktunya). Pemimpin karbitan dan
dipaksakan memimpin meskipun tidak mampu bakal akan menemui masalah hingga pada
akhirnya ia akan dipaksa turun atau berhenti dari jabatannya lewat aksi unjuk
rasa.
Pano pindang di dzadzanna paindo
mesa-mesa maknanya
kepemimpinan yang ia miliki terbukti mampu menciptakan keteladanan, ide dan
gagasannya cemerlang serta karya-karyanya bersinar, dirasakan, dan bermanfaat
bagi orang banyak.
Naindo naung ku’bur menghara-ghara artinya yang terbaik di antara
orang pilihan, memiliki idealisme, pikirannya jernih, gagasan dan ide-idenya bersinar
(menjadi falsafah) walau pemimpin tersebut sudah berada di liang lahat. Dan
pemimpin yang baik adalah mereka yang
berkarya secara ikhlas, tulus, tidak mengharapkan pujian, yang mereka
harapkan adalah amal jariah yang dapat mengalir walau ia sudah tiada.
Ku’bur mo menghara-ghara lembong
memonge-monge artinya
mereka yang rela mengorbankan jiwa dan raganya, tidak peduli dengan dirinya
sendiri, keluarga dan kerabat, serta kelompoknya demi kepentingan orang banyak.
Tarrare di tindo, tannasai’ tanggal,
tannayappangngi cipur, o nanasurung lewa pa’banua, o nanasurung tumballe’ lita’
maksudnya Tidurnya di malam hari tak nyenyak karena memikirkan rakyat yang
tak makan di malam hari. Di siang hari tak kenal lelah, tepat waktu, disiplin,
bekerja secara professional demi wilayah yang dipimpinnya.
Lawuang
pio’
(Rumpon) namaccappu’ i nyawa artinya rela membela dan
melindungi kepentingan kaum marginal, rakyat kecil, demi kesejahteraan
masyarakat secara umum walau jiwa jadi taruhannya. Pio’ adalah sejenis ikan
kecil yang hidupnya bergerombol, bernaung di bawah pohon besar (roppong) yang terapung di lautan.
Itulah pemimpin, ibarat pohon yang hanyut di lautan dijadikan rakyat sebagai
tempat bernaung sehingga kelangsungan
hidupnya tidak terancam. Mo siasollor
bandangang, siasolli’ mata gayang, sisembe’ kondobulo, siapi’ bulang anna’ lita’, moa’ nitami balimbunganna
mara’dia siola seiadza’, tuomi tau
tammate, mapiami takkadzake’ maknanya
segala kemelut dan penderitaan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, masyarakat
tidak perlu khawatir karena kita sudah terlindung dan dinaungi oleh pohon besar
yaitu mara’dia/ raja dan kaum hadat
(rumpon).
Memaknai
falsafah leluhur Mandar di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya Mandar
mengharapkan sosok pemimpin yang memiliki idealisme kerakyatan, memiliki moral force yang tangguh serta rasa optimisme yang
kuat dalam mencapai cita-cita luhur seluruh rakyat.
Menjelang
pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia,
penulis menyarankan kepada partai politik dan masyarakat pada umumnya untuk
memilih pemimpin yang ingin menjadi pelindung “roppo” bagi rakyat yang dipimpinnya.
Sejalan
dengan falsafah di atas, seorang raja yang terpilih (khususnya di kerajaan
Sendana dan Pambuang) dilantik diatas punggung penyu karena penyu memiliki
nilai filosofis bagi seorang raja di Mandar. Penyu sebagai simbol bahwa seorang pemimpin yang letak geografisnya
berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu. Penyu,
merupakan jenis hewan laut yang dalam bahasa Mandar disebut Pannu.
Filosofis serta makna yang terkandung dalam penyu adalah : 1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun. Diharapkan
raja dapat bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat. 2)
Penyu mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Ini berarti bahwa orang
Mandar adalah pelaut ulung yang sumber
kehidupannya berada di laut. 3) Penyu itu berpenampilan pendiam tapi ketika
mencari makanan di lautan pantang menyerah pada ombak besar. Dan ketika kembali
ke darat untuk bertelur, telurnyapun tidak sedikit. Itulah sebabnya orang-orang
Mandar dengan gagah berani menyeberangi lautan dengan perahu “Sande’nya”. Begitu juga dengan gagah dan
berani mempertaruhkan hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon
untuk mencari nafkah pada laut yang dalam.
4) Penyu itu berkulit tebal untuk melindungi tubuhnya dari predator.
Diharapkan raja dapat melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Untuk
mengenang penyu di Mandar maka diabadikan melalui kue Mandar yang disebut “Tallo’ Pannu”.
Begitu juga perahu sande’ merupakan bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung.
Perahu sande’ digunakan sebagai alat transportasi
dalam melakukan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara. Perahu tradisional sande’ adalah hasil cipta orang Mandar
yang telah diakui sebagai warisan budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, dengan nomor registrasi : 154004/B/MPK.A/DO/2014.
Perahu tradisional sande’ juga telah
terlibat dalam dunia perdagangan maritim dan telah berlayar sampai ke Tumase’ (Singapura = Tumasik).
Dalam pengembaraan niaga orang-orang Mandar, telah
banyak menemukan pulau-pulau tak berpenghuni dan mereka mendiaminya. Itulah
sebabnya sejak tahun 1930 telah menetap 216 orang dari Afdeling Mandar di Kepulauan Paternoster. Menurut Edwar L.
Palenggomang bahwa Kepulauan Paternoster salah satu pulaunya adalah pulau Lerek-lerekkan.
Pulau Paternoster, oleh Pemerintah Hindia Belanda telah ditata wilayah pemerintahannya
dan menjadi wilayah kekuasan kerajaan Mamuju (onder afdeling Mamuju) yang pusat pemerintahannya berada di Majene. (Bersambung)