Senin, 26 September 2016

Mengenal Lebih Dekat ANDI ALI BAAL MASDAR (ABM)


Andi Ali Baal Masdar adalah putra HM. Masdar Pasmar, salah satu pejabat kepala badan pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang tinggal di bilangan Jl. Cendrawasih, Makassar. HM. Masdar kerap dipindah tugaskan ke Polmas untuk menjabat Camat Campalagian, Camat Polewali.  HM. Masdar tinggal di rumah dinas pemda di kawasan kompleks Pekkabata.

Ketika Ali masih kecil, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar (SD) bertingkat dua di Pekkabata, tapi hanya sampai kelas empat saja karena mulai kelas 5 sampai selesai ia tempuh di SD Lantora dekat rumah kediaman pribadi keluarga HM. Masdar Pasmar.

Jika dilihat dari tempat dimana ia tinggal, mulai dari Pekkabata dan Lantora,  ali pasti adalah sosok yang hidup ekslusif tapi ternyata tidak. Ia bahkan bergaul umum dengan anak kecil dilingkungannya. Ia ikut bermain kelereng, main bola. Tak ada gambaran hidup mewah-mewahan apalagi membatasi diri dalam pergaulan.
Di sekolah ia diberi kepercayaan oleh guru dan teman-temannya sebagai pemimpin. Setiap kali ada masalah yang menimpa temannya, maka Ali lah yang menjadi pihak menengahi persoalan tersebut. 

Ali melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Polewali. Meski termasuk siswa yang rata-rata dalam hal pelajaran di sekolah, tapi dari segi olahraga ia termasuk jago, terutama dibidang olahraga renang dan polo air. Khusus olahraga ini, ia tak hanya jago kandang tapi ditingkat provinsi ia pernah mendapat penghargaan pada tahun 1976 sebagai perenang dengan spesifikasi jarak jauh dalam pelbagai gaya renang, mulai dari gaya bebas, gaya kupu-kupu sampai gaya punggung ia kuasai. Selain olahraga, ia juga aktif di pramuka. Dari kegiatan pramukalah Ali ditempa mengenai kedisiplinan.
               
Pendidikan ditingkat atas ia tempuh di SMA Polewali. Dari segi pelajaran, yang menonjol dari Ali adalah bidang ilmu biologi. Selain ilmu ini, ia hanya bisa menyelesaikan sebatas pekerjaan rumah. Mungkin karena itulah sehingga ia tidak lulus pada saat mendaftar di perguruan Negeri. Namun demikian, ia bisa masuk di Fakultas Ekonomi UMI Makassar.
               
Suatu ketika, H. Baharuddin Lopa bertandan kerumah ayahnya HM. Masdar Pasmar yang memang masih punya kekerabatan. Saat itu Barlop menawarkan pada Ali untuk kuliah di Jakarta. Ia tak pikir panjang langsung setuju dan berkemas untuk berangkat ke Jakarta. Tiba di Jakarta, ia mencoba mendaftar di ITB dan UNPAD Bandung, namun lagi-lagi tidak lulus.
                Kondisi tersebut tak membuatnya putus asa, sebab di Jakarta banyak pilihan untuk bisa kuliah terutama di perguruan tinggi swasta yang juga tak kalah favoritnya. Ali memiilih masuk ke Universitas 17 Agustus Jakarta. Hanya tiga semester yang ia ikuti sebab lebih tertarik mengambil mata kuliah jurusan ilmu politik di Universitas Nasional yang kampusnya di bilangan pasar minggu Jakarta Selatan.

                Hidup dan kuliah di Jakarta ternyata membuatnya tidak betah. Kerinduan akan kampung halaman kerap menghantuinya. Rasa rindu itu begitu kuat menderanya sehingga pada tahun 1985 ia memutuskan untuk pulang kampung dan memilih masuk Pegawai Negeri Sipil. Menjadi PNS bagi dia memang tak begitu sulit sebab ayahnya adalah salah satu dari tokoh dan pejabat teras.
                Pada tahun 1989, Ali menikahi Andi Ruskati, seorang putri bangsawan Majene. Setelah menikah itulah, Ali konsentrasi mengelola harta kekayaan orang tuanya disamping sebagai PNS. Bersama istri tercinta, ia terjun langsung ke tambaknya untuk mengisi waktu luang sepulang kantor. Dari mengelola tambak itu, ia bisa mempekerjakan banyak orang, termasuk memotivasi adik-adiknya untuk giat berusaha.

                Setelah dirasa cukup penghasilan dari PNS dan tambak, ia kemudian menyelesaikan studi. Bukan hanya S1-nya yang ia selesaikan, tapi sekaligus menempuh S2-nya di UNHAS Makassar. Dua tahun ia di Makassar menyelesaikan kuliahnya. Setelah itu ia kembali ke kampung dan langsung bertugas di Tapango, kampung leluhur ayahnya. Di Tapango, ia diberi amanah untuk menjadi Kepala Pemerintahan Persiapan Kecamatan Tapango.

                Ali Baal termasuk sukses menjadi kepala pemerintahan di Tapango, sehingga pada dinaikkan menjadi Sekretaris Bappedalda Kabupaten Polmas. Menjadi Sekretaris Bappedalda memang  tidak lama sebab kemudian Ali Baal menuju tangga puncak yang mungkin tak pernah dibayangkan akan semudah dan semuda itu menjadi bupati. Tahun 2003 melalui pemilihan di DPRD Polmas, Ali Baal terpilih menjadi bupati termuda di Polmas saat itu.

                Cerita tentang Ali Baal menuju kursi bupati berawal dari tawaran Fraksi PDI-P untuk menjadi bupati dengan menawarkan kadernya sebagai wakil bupati, namun tak ada kespakatan yang terbangun sebab fraksi Golkar juga mengusung ayahnya HM. Masdar yang menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar. Hal yang tak mungkin bisa dilakukan oleh Ali Baal, sebab akan bertarung dengan ayahnya sendiri.

                Kondisi kesehatan ayahnya cenderung memburuk saat itu  membuat konstelasi politik diinternal Golkar mulai menggadang-gadang untuk mengusung Ali Baal sebagai bupati dukungan fraksi Golkar. Setelah melalui proses negisisasi akhirnya disepakati Ali Baal berpasangan dengan M. Yusuf Tuali. Pasangan ini resmi setelah syarat Ali Baal diterima oleh Fraksi Golkar.

                Persyaratan yang diminta oleh Ali Baal adalah: pertama, ia tak ingin diintervensi oleh partai yang mengusungnya, termasuk intervensi dari pihak keluarga. Kedua, ia tak mau ada keluarga yang sombong lantaran ia menjadi bupati. Dan yang ketiga ia tak ingin dijadikan mesin pencari uang oleh partai yang mencalonkannya. Partai Golkar ternyata siap dan sepakat dengan persyaratan dari Ali Baal.

Pada saat menjelang pemilihan, HM. Masdar dipanggil yang kuasa. Dalam keadaan berduka yang dalam itu, proses pemilihan bupati membuatnya jadi pemenang dan resmi menjadi Bupati Polmas periode 2003-2008.

Saat menjadi Bupati Polmas, ia mengkampanyekan untuk menjalin kebersamaan. Tak hanya dikalangan birokrasi, tapi juga dengan masyarakat. Dan itu dibuktikan diusia kepemimpinannya yang 6 bulan hampir seluruh wilayah kecamatannya ia sambangi. Kesempatan berkunjung ke masyarakatnya itu menjadi wahana untuk menggali keinginan dan harapan-harapan masyarakat pada pemimpinnya. Masyarakat memang bergairah dengan kepemimpinannya.

Ali Baal dalam kepemimpinannya ia menggenjot PAD yang hanya 5 miliar menjadi 11 miliar saat memimpin ditahun pertama. Manajemen birokrasi ia benahi. SDM dibangun dengan cara menyekolahkan pegawainya yang berprestasi demi menunjang tugas-tugasnya. Dari segi stereotip keunggulan daerah, Polmas memiliki keunggulan dari segi potensi pertanian sehungan SDM untuk mengelola potensi pertanian juga ia genjot habis-habisan.

Semua ia genjot hingga merubah tampilan Polmas menjadi lebih baik dan membanggakan. Sektor ekonomi, SDM, SDA, agama, seni dan budaya tak ketinggalan ia sentuh dengan sangat profesional sehingga tak heran ketika periode kedua melalui pemilihan langsung pun ia tetap mampu menjadi pemenang ditengah gempuran lawan-lawan politiknya.

Yang menarik dari periode kepemimpinannya terletak ketika periode pertama masih Polewali Mamasa tapi periode keduanya telah berubah menjadi Polewali Mandar. Termasuk sistem pemilihan pada peride pertam ia dipilih oleh Anggota DPRD Polmas, tapi pada periode keduanya dipilih secara langsung oleh seluruh rakyat Polewali Mandar. Dan pada periode keduanya juga melekat sebuah inisial yang begitu populer yaitu ABM.


ABM kian populer ketika tampil menjadi kandidat 01 di pilgub Sulbar 2011. Meski kemudian pilgub dimenangi oleh AAS (Anwar Adnan Saleh) tapi ABM tetap menjadi tokoh sentral yang layak diperhitungkan untuk memimpin banua malaqbiq yang bernama  Sulawesi Barat. (diramu dari buku “Dalam Sejarah Akan Dikenang” Sarman Sahuding, 2006)

Sabtu, 17 September 2016

Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Krisis Minat Baca di Indonesia dan Peran Penting Kaum Literat (Bagian


Oleh: Muhammad Munir-Tinambung

Gerakan Indonesia Membaca (GIM) ini dicanangkan dalam bentuk deklarasi dihadapan 1000 masyarakat pemerhati dan pelaku literasi di Sulawesi Barat pada tanggal 17 September 2016. Pencanangan dalam bentuk deklarasi ini bertujuan untuk memberi respon kepada bangsa ini bahwa minat baca masyarakat Sulbar itu sebenarnya tinggi, hanya saja kadang pemerintah dalam merumuskan kebijakannya masih kurang memberi ruang untuk berkreasi dalam mengelola perpustakaan. Di Sulbar ini, banyak bertumbuh komunitas penggiat literasi, tapi mereka berserakan dan tidak tertata keorganisasiannya. Disisi lain, pemerintah juga masih sangat mengandalkan TBM dan PKBM yang berserakan dan menjamur di daerah ini. Sejatinya memang, TBM dan atau PKBM itu juga keberadaannya sangatlah dibutuhkan, tapi melihat grafik perkembangan pendidikan luar sekolah (PLS) sesungguhnya masih jauh panggang dari pada api.

Kendati demikian, TBM dan PKBM yang disuplai dana dari pemerintah tersebut mesti terlecut semangatnya untuk bisa menjadi media partner pemerintah dalam pelaksanaan program pembangunan sumber daya manusia. Mereka (pelaku TBM) tidak harus terkalahkan dengan peran-peran dari komunitas penggiat literasi yang hanya mengandalkan donasi buku yang miskin anggaran operasional. Pencanangan GIM ini berorientasi kepada bagaimana memberi moral kepada semua lapisan masyarakat untuk tidak lagi hanya menghitung sembilan bahan pokok (sembako) tapi sudah saatnya menjadi sepuluh bahan pokok, yaitu buku untuk kebutuhan memnbaca. Buku mesti dihadirkan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan ruhani dan membaca mesti menjadi proses yang melingkupinya.

Dalam beberapa informasi yang dilansir oleh media nasional, Indonesia kita ini berada pada titik Krisis Minat baca. Jika berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dan UNESCO (The United National Education Scuentific and Cultural) pada tahun 2012, indeks minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001. Itu artinya, dari 1000 orang Indonesia, yang mempunyai minat baca hanya satu orang saja. Selain data tersebut, laporan Bank Dunia No. 16369 menyebutkan, tingkat membaca pada usia kelas VI Sekolah Dasar (SD) di Indonesia hanya mampu meraih skor 51.7 dibawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Kemudian berdasarkan penelitian yang sama, Indeks Pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 121 dari 187 negara di dunia. IPM sendiri adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. Parahnya, BPS menyebutkan, anak usia 10 tahun di Indonesia 91,68 persen menggunakan waktunya untuk menonton televisi dibandingkan dengan membaca (Fajar. 31 Agustus 2016)
      
Berangkat dari data-data tersebutlah Gerakan Indonesia membaca digaungkan untuk memberi moral kepada siapapun agar bisa merefleksi diri tentang kemampuan membaca kita selama ini? Sulawesi Barat pada bulan ini telah memasuki usia ke-12 tahun. Seharusnya sudah mengalami peningkatan dari segi minat baca, tapi ternyata masih berbanding terbalik, jangankankan minat bacanya, angka buta aksara saja masih menjadi sebuah problem yang belum ditemukan solusi penanganannya.Lalu bagaimana mempola gerakan untuk sampai pada target yang ingin dicapai dari program GIM ini?

Mulailah dengan penguatan literasi dalam lingkup tujuh dimensi seperti yang ditulis oleh Muhammad Haedar Ali dalam haidarism.wordpress.com, yaitu: pertama, Dimensi geografis meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial. Kedua, Dimensi bidang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa dibidang pendidikan, komunikasi, militer, dan lain sebagainya. Ketiga, Dimensi ketrampilan meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu dilihat dari tampaknya kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Dalam teradisi orang barat, ada tiga ketrampilan 3R yang lazim diutamakan seperti reading, writing, dan arithmetic. Keempat, Dimensi fungsi, literasi untuk memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri. Kelima, Dimensi media, (teks, cetak, visual, digital) sesuai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi. Keenam, Dimensi jumlah, kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikanyang berkualitas tinggi. literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi bersifat relative. Dan terakhir yang ketujuh, Dimensi bahasa, (etnis, lokal, internasional) literasi singular dan plural, hal ini yang nenjadikan monolingual, bilingual, dan multilingual. Ketika seseorang menulias dan berlitersi dengan bahasa derah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka ia disebut seseorang yang multilingual (Bersambung).


Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Membangun Sinergitas Kaum Literat dengan Lingkungan (Bagian 2)

Oleh: Muhammad Munir

Membincang Literasi, adalah membincang Balanipa dan Tinambung. Pernyataan ini mungkin mengandung nilai subyektifitas yang tinggi. Tapi jika mau jujur, jauh sebelum kata literasi semakin populer dikalangan masyarakat kita dengan menjamurnya kegiatan literasi yang tidak saja ada di kampong-kampung tapi sekaligus menjadi menu tontonan di beberapa stasiun TV yang tentunya menjadi objek persaingan dalam dunia pertelevisian khususnya perebutan rating. Tak salah memang jika dunia literasi menjadi isu nasional bahkan mendunia, namun harus diimbangi dengan upaya menciptakan lingkungan literasi yang kondusif guna melahirkan generasi literat yang ideal dengan mensinergikan literasi anak, keluarga, sekolah dan masyarakat. Tidak semua harus berfikir untuk bisa diliput dan tampil di TV, pun tak bisa hanya berfikir mendulang dukungan dan donasi untuk mendapatkan keuntungan.

Salah satu item acara dalam Pencanangan GIM dan Kampung Literasi di Desa Bala Kec. Balanipa adalah SEMINAR LITERASI yang menghadirkan pembicara nasional Dr. Firman Venayaksa (Ketua Forum TBM RI), Adi Arwan Alimin, Cerpenis yang juga Komisioner KPU Sulawesi Barat serta Bustan Basir Maras, penulis produktif yang juga Chief Editor Annora Media Group Jogyakarta. Hasil Seminar menunjukkan bahwa GIM ini adalah cara untuk mendorong keluarga terlibat secara dominan dalam penguatan literasi terhadap anak. Seminar yang mendapuk Tammalele sebagai moderator ini memgungkap beberapa hasil riset yang menunjukkan bahwa umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orang tua di rumah. Mereka akan membaca jika orang tuanya member contoh. Jika orang tua membaca, besar kemungkinan seorang anak akan ikut membaca meski tanpa disuruh. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan kata Bustan Basir Maras, ketika masih dalam kandungan ibunya. Riset juga menunjukan bahwa wanita hamil yang sering membacakan buku bagi janinnya yang dikandung cenderung melahirkan anak gemar membaca.

Hasil seminar nantinya akan menjadi acuan untuk rekomendasi ke pemerintah agar program PLS (Pendidikan Luar Sekolah) lebih fokus membidik penggiat literasi dalam menyelenggarakan proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak usia dini juga hendaknya digarap lebih serius untuk meningkatkan minat baca anak. Mungkin bisa diwali dengan kegiatan reading aloud atau membaca nyaring. Hal ini bisa mengganti kegiatan mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orang tua di masyarakat kita sejak dulu. Seorang ibu juga bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca seperti membaca resep masakan, sering menulis pesan buat anak dan meminta balasan tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Kegiatan ini adalah langkah awal peralihan dari budaya orasi melalui dongeng ke budaya membaca (buka link: iproudbemuslim.blogspot.co.id/).

Jika dunia literasi dan kaum literat kita di Mandar semakin memahami makna kedalaman kata literasi, besar kemungkinan kita akan menjumpai daerah kita kembali menjadi pusat peradaban besar sebagaimana yang mampu diraih oleh peradaban Passokkorang (Tahun 1300-1400), Balanipa, Sendana, Banggae dan Pamboang (1750-1870). Kerajaan Passokkorang adalah salah satu kerajaan  yang berhasil menarik minat penduduk dunia khususnya Cina untuk menyuplai hasil industry keramik mereka. Termasuk Passokkorang juga menjadi salah satu kerajaan selain Palopo yang paling banyak menyuplai pasokan besi ke kerajaan Majapahit. Demikian juga di pesisir pantai wilayah konfederasi Pitu Baqbana Binanga pada sekitar tahun 1750-1870 berhasil menjadi pusat niaga, pusat perdagangan dunia dengan tersedianya beberapa pelabuhan yang ramai dikunjungi para saudagar, termasuk Belanda yang ikut menjajah dan menguasai daerah ini pada puncaknya dimulai pada tahun 1900-an.
Runtuhnya beberapa kerajaan besar yang berdaulat pada masa lalu itu lebih disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat pada dunia literasi sehingga generasi setelahnya menjadi generasi yang bodoh dan gampang diadu domba oleh Belanda.. Keruntuhan peradaban besar di Mandar itu tentu saja bukan dipengaruhi oleh kondisi lemahnya masyarakat Mandar secara ekonomi. Justru daerah kita pada saat itu menjadi pusat perekonomian dunia, khususnya komoditas Kopi dan Kelapa (kopra) atau bokaq. Pada tahun 1819 perdagangan dunia mulai mapan. Singapura adalah pusat perdagangan dunia. Orang Mandar sebelumnya telah banyak melakukan transaksi penjualan disana. Itu bisa dilihat dari catatan lontaraq tentang Pattumasik (orang Mandar yang berlayar untuk berdagang ke Singapura). Dengan kata lain, Mandar pada tahun-tahun itu telah terlibat dalam perdagangan internasional. Dan sekitar tahun 1850, perdagangan antara orang Mandar dengan orang Eropa juga  mulai marak.

Menurut catatan Belanda, seperti yang dikutip oleh Muhammad Ridwan Alimuddinpada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para maraqdia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang membuat Belanda juga bisa seenaknya membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Singapura.


Catatn sejarah dalam lontaraq tersebut mengambarkan betapa masyarakat kita yang saat itu menguasai perdagangan dunia harus jatuh dalam kungkungan penjajah Belanda itu lebih disebabkan oleh kurangnya samangat literasi dikalangan pemerintahan yang otomatis membuat masyarakat hanya berfikir bagaimana bisa menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa pernah mempertimbangkan kualitas kemampuan mereka untuk bersaing dengan para pendatang dari Negara luar yang saat itu banyak berdatangan di wilayah Mandar. (Bersambung)

Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Membaca Mandar, Mandar Membaca (Bagian 1)

 OLEH: MUHAMMAD MUNIR

Tanggal 16-17 September 2016, sebuah peristiwa kebudayaan telah usai  dihelat di Negeri Pusaka, Tanah Pustaka Balanipa. Lapangan Bala Desa Bala Kecamatan Balanipa Kab. Polewali Mandar menjadi saksi ketika bunyi Gong dipukul dan bunyinya menandai dicanangkannya Gerakan Indonesia Membaca (GIM) dan Kampung Literasi. Kegiatan yang mengusung tema Mandar Membaca, Membaca Mandar yang digawangi oleh Muhammad Adil Tambono, putra Balanipa yang selama ini eksis dalam dunia pembangunan sumber daya manusia khususnya penguatan literasi di tanah Mandar lewat TBM Kakanna yang sudah menahun mengambil bagian mencerdaskan kehidupan bangsa dan Negara.

Kegiatan GIM dan Kampung Literasi ini menjadi sebuah peristiwa yang patut diapresiasi sebab selama ini gaung literasi di tanah Mandar kerap kita saksikan melalui tayangan televisi swasta, tapi masih belum menunjukkan penguatan dan gregetnya dimasyarakat Mandar. Penguatan yang dimaksud adalah terciptanya virus literasi di setiap titik di daerah ini. Kendati demikian, apa yang telah dilakukan oleh beberapa penggiat literasi di Mandar patut kita acungi jempol sebab upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca sudah ada tinggal memoles gerakan untuk mengasah kemampuan menulis dimasyarakat. Hal terakhir ini yang penulis maksudkan belum adanya penguatan literasi.

Literasi sendiri mempunyai pemaknaan sebagai ruang untuk menumbuh kembangkan dan menebar virus membaca dan menulis dimasyarakat. Literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis. Dr, Herman Venayaksa (Ketua Forum TBM RI) saat berbicara dihadapan pesrta seminar literasi di lapangan Bala memaknai literasi sebagai proses melahirkan dan menciptakan karya. Jika kita merujuk pada penyampaian Firman, maka pada tahap ini jelas bahwa penguatan literasi kita masih belum maksimal. Kondisi ini melatari Adil Tambono mencari cara untuk bisa membuat sebuah kegiatan dengan skala lebih besar dan melibatkan insan-insan literasi dan pelaku TBM di Sulbar.

Pencanangan Gerakan Indonesia Membaca dan Kampung Literasi inilah jawabannya. Di ajang ini, masyarakat kita akan terpola gerakan penguatan literasinya sebab melibatkan ratusan pelaku TBM dan Penggiat Literasi. Bukan hanya itu, masyarakat umumpun dilbatkan dalam proses kegiatan lomba mulai dari lomba menulis cerpen, menulis surat kepada menteri, membaca puisi, mewarnai gambar, mancing literasi, laying-layang literasi, lomba fotografi, sampai kepada kegiatan pengumpulan arsip kampung tertua, seminar literasi dan puncaknya adalah Pencanangan Gerakan Indonesia Membaca yang rencananya dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.Ap. Kegiatan pencanangan GIM ini akan diikuti oleh 1000 orang yang terdiri dari pemerhati, penggiat, pelaku TBM dan masyarakat umum dirangkaikan dengan launching Kampung Literasi serta penghargaan dan pemberian bantuan pada 10 komunitas penggiat literasi dan pelaku TBM di Sulbar.  
Muhammad Adil Tambono, Pendiri TBM Kakanna yang menjadi Ketua Panitia pada kegiatan ini berharap, kedepan kegiatan semacam ini diharapkan bisa menjadi stimulan dan memberi spirit bagi komunitas lain untuk mengambil bagian dalam upaya menebarkan virus literasi dikalangan masyarakat Mandar pada umumnya dan Polewali Mandar pada khususnya. Kepada penulis ia membeberkan bahwa melalui kegiatan ini diharpkan menjadi ruang konsolidasi untuk membentuk kesepahaman dalam hal pemaknaan terhadapliterasi. Literasi mesti menjadi sebuah gerakan kolektif untuk menggali kemampuan membaca, menulis atau melek aksara.

Sampai disini, kita berharap keberadaan komunitas penggiat literasi seperti Nusa Pustaka (Muhammad Ridwan Alimuddin dkk), Rumah Pustaka (Ramli Rusli dkk) Rumah baca I Manggewilu Teppo (Thamrin dkk) Rumah Kopi Sendana (St. Mutmainnah Syamsu dkk) serta RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan) ditambah ketersediaan TBM-TBM yang difasilitasi oleh pemerintah menjadi sentra penguatan dalam meredefenisi pemaknaan literasi. Sudah saatnya Literasi berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult seperti yang ditulis dalam iproudbemuslim.blogspot.co.id, mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.


Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar. (Bersambung)

Rabu, 17 Agustus 2016

MEMBANGUN RUMAH PAN YANG MAPAN

OLEH: MUHAMMAD MUNIR (Wakil Ketua DPD PAN Polewali Mandar) 


Musda PAN IV yang digelar Sabtu, 14 Mei 2016 lalu di Hotel Ratih menghasilkan empat orang tim formatur. Tim formatur tersebut antara lain menetapkan Ajbar Abd. Kadir, Nahar Bakri, Jamar Jasin Badu dan Efendy S. Singkarru. Setelah melalui proses diskusi akhirnya disepakati bersama DPW PAN Sulbar member amanah kepada Ajbar Abd. Kadir sebagai Ketua, Jamar Jasin Badu didapuk sebagai sekretaris dan Nahar Bakri diplot menjadi bendahara DPD PAN untuk periode 2016-2021.


Keputusan menunjuk Ajbar sebagai ketua DPD PAN bukanlah sebuah persoalan kebetulan tapi sebuah kesadaran yang didasari niat dan kesungguhan untuk membangun image partai dalam bingkai saudaraku (panggilan/sapaan akrab sesama kader PAN). Ajbar yang kini menjadi Ketua Komisi 4 ini menjadi muara dari sebentuk arus perubahan dalam menata masa depan partai berlambang matahari ini. Betapa tidak, terpilihnya Ajbar sebagai ketua DPD mutlak menjadi spectrum untuk member spirit perubahan.

Benar saja, ditangan politisi PBR yang melebur ke PAN ini langsung tancap gas dan mengubah tampilan partai ini selangkah lebih maju dari kepemimpinan periode sebelumnya. Langkah pertama yang dilakukan adalah membangun rumah PAN. Rumah PAN yang dibangun ini bukan sekedar tempat ngumpul sebagai kantor/secretariat. Ia menjadi rumah yang mapan untuk sebuah proses perubahan. Perubahan yang dimaksud tersebut dapat dilihat dari formasi kepengurusan yang 60 persen terdiri dari kader muda berkarakter.

Hasil Musda PAN IV kali ini setidaknya menjadi ruang konsolidasi bagi kader PAN di Polewali Mandar. Tulisan berjudul “Membangun Rumah PAN yang Mapan” ini mencoba mengapresiasi kinerja kader PAN yang dinakhodai oleh Ajbar ini. Apresiasi dimaksudkan untuk memberi moril pada sebuah agenda politik yang tiap tahun akan digelar di Polewali Mandar ini. Agenda politik yang dimaksudkan adalah Pilgub 2017, Pilkada Polman 2018 untuk selanjutnya menghadapi Pemilu 2019.

Berbagai agenda politik tersebut menuntuk konsentrasi dan konstribusi pada partai untuk mengkalkulasi kemenangan pada setiap perhelatan demokrasi di daerah ini. Olehnya, kedepan tugas pertama yang harus dilakukan oleh Ajbar dan jajaran pengurusnya adalah: Pertama: mengelaborasi makana kader. Siapa mereka? Kemana harapan mereka akan dibawa? Dalam lingkungan pergaulan partai, istilah ‘kader’ adalah kosa kata yang setiap saat kita sebuttapi tidak terlalu banyak yang mencoba mengelaborasi makna kedalamannya. Kader ada dua macam yaitu “Kader formalitas” dan “kader esensial”. Kader formalitas adalah sebutan bagi siapapun pengurus struktural partai dan pernah mengikuti pelatihan kader. Sementara kader esensial adalah penjumlahan kualitas yang terdapat dalam diri seseorang tanpa melihat apakah orang itu berada dalam struktur partai atau tidak.

Kualitas yang dimaksud meliputi bentuk immaterial seperti cita-cita, angan-angan, niat baik, sifat ikhlash, tulus dll. Hingga bentuk material yang dapat dilihat dalam konstribusi pemikiran, tenaga, dana dll. Pada pengertian kader formalitas yang tidak memiliki kualitas kader esensial, cenderung akan menjadi beban dan penghalang untuk menang, bahkan mungkin tepat disebut “benalu partai”.

Partai mesti menjadi ruang akademis dan hati nurani, dan politik sebagai lapangan kompetisi sekaligus sportifitas. Karenanya, penyelewengan, pembiaran dan apapun bentuknya adalah sebuah kesalahan fatal yang yang tidak bisa di tolerir. Saatnya kita tinggalkan dandanan-dandanan politik yang sifatnya menina bobokan kader. Partai harus dijadikan seragam kolektif untuk mengakomodasi keinginan masyarakat, karena atas nama demokrasilah partai politik menemui takdirnya untuk dilahirkan dengan fungsi utama sebagai rumah aspirasi rakyat.Jangan lagi mengeja konsep politik Belanda yang ketika ada segolongan yang tidak pro atau menentang maka jalan satu-satunya adalah disingkirkan.

Lembaga partai politik dan DPR adalah wadah aspirasi dan aksentasi konstituen dan masyarakat secara umum. Karenanya, pengurus partai dan anggota dewan seharus memposisikan diri sebagai aspirator, inisiator dan mediator bagi kebutuhan masyarakat secara umum dan konstituen secara khusus. Apabila aspirasi tidak mampu diakomodir secara baik dan benar, maka itu akan dilarikan dalam bentuk demonstrasi, kritik, opini, mosi tidak percaya dan jangan salahkan apabila dibumbuhi makian dan sumpah serapah.

Kedua: Ajbar dan jajarannya mesti membuat sebuah perubahan yang signifikan. Perubahan yang dimaksud terutama pada peran intitusional dari pengurus partai, anggota legislative dan institusi kampanye lainnya sebagai prasyarat untuk menjemput prestasi kerja yang lebih membanggakan. Pengurus partai disebut berprestasi jika memiliki kinerja yang baik dalam tiga hal yakni: Pertama, Kemampuan pengurus dalam meningkatkan jumlah rekruitmen anggota partai atau kader. Tentu dalam hal ini tidak berhenti pada terdaftarnya anggota saja, akan tetapi sampai pada bentuk mempertahankan anggota melalui berbagai program yang riil dan dirasakan manfaatnya oleh anggota. Peningkatan jumlah anggota secara tidak langsung dilakukan dengan meningkatkan leverage partai ditengah kehidupan sosial masyarakat. Leverage maksudnya adalah kemampuan pengurus partai memberi reaksi atau kemampuan pengurus dalam menjamah problem sosial maupun kebijakan pemerintah yang muncul.

Kedua, adalah kemampuan pengurus dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dari partai. Disini yang ditekankan adalah ketersediaan fasilitas program pengembangan SDM baik dalam bentuk training maupun dalam bentuk kegiatan keorganisasian yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemampuan pengurus dan anggota. Yang tak kalah pentingnya adalah yang Ketiga, yakni pengurus yang menjadi anggota dewan seharusnya lebih dekat dengan kader dan konstituennya serta memanfaatkan media massa seoptimal mungkin. Dalam artian mereka hendaknya mampu menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat secara menyeluruh dalam rangka mengelaborasi pemikiran dan yang terakhir ini hanya dapat dilakukan dalam wujud masukan, kritikan, gagasan atau opini.

Mereka harus mampu memosisikan diri sebagai bagian dari solusi setiap masalah bukan malah menjadi bagian dari masalah. Masyarakat ketika mendapat masalah sejatinya menjadikan anggota dewan sebagai pelarian untuk mencari solusi, tapi faktanya anggota dewan kita belumlah bisa diharapkan untuk menjadi partner dalam memecahan persoalan. 

Selasa, 12 Juli 2016

UPACARA ADAT CAKKURIRI KERAJAAN SENDANA DESA PUTTA'DA

Serunya Upacara Adat Cakkuriri Kerajaan Sendana Di Desa Puttada

Cetak
Oleh: Indra Ariana   


Upacara Adat Kerajaan Sendana (CAKKURIRI) tahun ini diselenggarakan pada hari Senin, 30 November 2015, setelah beredar kabar sebelumnya akan dilaksanakan pada tanggal 22 November, namun mengalami penundaan. Upacara adat ini sangat langka, betapa tidak upacara hanya dilaksanakan satu kali dalam lima tahun dan merupakan satu-satunya acara tradisi yang diselenggarakan dan berhubungan dengan kerajaan Sendana.
Acara yang dilaksanakan oleh pihak Pappuangang Puttada di desa Puttada, kecamatan Sendana ini didahului oleh ritual membunyi-bunyikan alat musik, beragam alat musik tradisi tampak, mulai dari calong, rebana, kecapi, dan alat musik serupa suling, uniknya acara pendahuluan ini dilakoni oleh kaum hawa atau ibu-ibu, dengan meletakkan dan membakar dupa sebelumnya.
acara sebelum upacara adat cakkuriri sendana
Ritual awal sebelum upacara adat Cakkuriri kerajaan Sendana (Foto : Indra Ariana)
Acara pertama didahului dengan pemotongan hewan kerbau (manggere’ terong), ritual yang hampir ditemui dalam acara-acara tradisi kuno yang ada di Mandar, Sulawesi Barat, seperti Massumaya yang dilakukan oleh masyarakat adat di Mosso, salah satu banua kaiyyang di kerajaan Balanipa,  pemotongan hewan berukuran besar biasanya menunjukkan skala kebesaran acara yang dilaksanakan.
Tahun ini upacara adat Cakkuriri dihadiri oleh seluruh pappuangan di Sendana (Pappuangan Somba, Pappuangan Paminggalan, Pappuangan Mosso, Toribonde dan masyarakat Sendana pada umumnya.
pappuangang kerajaan sendana
Pihak pappuangang di wilayah kerajaan Sendana saat upacara adat Cakkuriri kerajaan Sendana (Foto : Indra Ariana)
Upacara adat ini menghadirkan sebagian besar wilayah Pappuangang yang ada di Sendana, singkatnya tetua-tetua adat menghadiri acara tradisi ini dari kampung-kampung besar masa dahulu.
Berbagai ritual tradisi dilakukan dalam upacara adat ini, setelah pengibaran bendera Cakkuriri yang menjadi pusaka kerajaan Sendana.
pappuangang sendana di upacara adat cakkuriri sendana majene
Ritual didepan bendera Cakkuriri kerajaan Sendana (Foto : Indra Ariana)
ritual upacara adat cakkuriri sendana
Ritual di upacara adat Cakkuriri kerajaan Sendana (Foto : Indra Ariana)
bendera cakkuriri kerajaan sendana
Pengibaran bendera Cakkuriri, bendera kerajaan Sendana (Foto : Indra Ariana)
pembentangan bendera cakkuriri sendana
Pengibaran bendera Cakkuriri, bendera kerajaan Sendana (Foto : Indra Ariana)
Setelah acara pengibaran bendera Cakkuriri maka dilanjutkan dengan Todipoga. Acara terakhir ditutup dengan penampilan para penari anak dan remaja serta pertunjukan musik tradisional.
penari anak di upacara tradisi cakkuriri sendana majene
Penari remaja dan anak di upacara adat Cakkuriri kerajaan Sendana (Foto : Indra Ariana)

member kompa dansa mandar di upacara adat cakkuriri sendana
Member Kompa Dansa Mandar bersama salah satu tokoh masyarakat hadat di upacara adat Cakkuriri Sendana (Foto : Indra Ariana)
Upacara adat Cakkuriri adalah bentuk penghormatan dan penghargaan yang masih terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat hadat di kerajaan Sendana yang dipegang oleh para Pappuangang. Kelompok-kelompok ini dahulu mengangkat dan melantik raja atau maraqdia di kerajaan Sendana. 

SUMBER: 
http://www.kompadansamandar.or.id/budaya/637-serunya-upacara-adat-cakkuriri-kerajaan-sendana-di-desa-puttada.html

PESONA CAKKURIRI 2016: Membaui Energi Leluhur (Leburan Adat dan Budaya Sendana Dipanggungkan).




Oleh: Muhammad Munir

Pesona Cakkuriri adalah konsep pertunjukan seni budaya yang digagas oleh Darmansyah (Ketua MSI Cabang Sulbar) bersama tokoh dan pemangku adat Sendana. Setelah melalui proses penggodogan selama beberapa kali pertemuan di Kecamatan Sendana, akhirnya Kamis, 30 Juni 2016 difinalkan. Bertempat di lantai dua Gedung DPRD Mejene Darmansyah selaku Ketua DPRD memimpin rapat pemantapan dan finalisasi materi Pesona Cakkuriri. Nampak hadir Wakil Ketua DPRD Majene, Hj. Hasbiana, Basri Mallillingan (Tokoh Masyarakat Adolang dan Anggota DPRD Majene),  Andi Djaeti Pawelai (Puang Jae), Andi Amriana Chairani Mappatunru (Puang Ina), Andi Irma Nilawati, Drs. Nur Amin Haeba, SM.Hk., Drs. Khairuddin Haeba, Opy Muis Mandra, Ilham, Asri Abdullah serta Muhammad Rahmat Muchtar, Muhammad Ishaq dan puluhan panitia yang akan ikut meleburkan diri dalam pesona cakkuriri.

Cakkuriri adalah bendera atau panji pusaka kerajaan Sendana yang kerap dikibarkan pada acara adat patappariama yang digelar setiap empat tahun sekali. Cakkuriri sendiri menurut pengakuan Opy Muis Mandra, dikibarkan pada setiap acara pelantikan raja Sendana dan pada saat masyarakay kerajaan Sendana dilanda paceklik atau (makarraq nawang). Sendana dan Cakkuriri mempunyai garis sejarah yang dimulai dari pucak Sa’Adawang hingga ke Podang yang hingga kini kearifan lokalnya masih dilestarikan dan pada 3-5 Agustus mendatang untuk pertama kalinya akan diusung lewat pertunjukan seni budaya di atas panggung.

Jika merujuk pada Edward Burnett  Tylor, maka Sendana dan Cakkuriri adalah implementasi dari pemahaman Edward tentang kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat, seperti mata pencahariannya. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain. Tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Apapun alasannya, hari ini dan seterusnya, kebudayaan menempati posisi sentral dalam tatanan hidup manusia. Bermacam-macam kekuatan yang harus di hadapl masyarakat  dan anggotanya seperti kekuatan alam dan kekuatan lain yang tidak selalu baik. Kecuali itu, manusia memerlukan kepuasan baik mental dan spiritual maupun materal. Olehnya itu, masyarakat mesti terus menegaskan diri untuk terus mempola hubungan interaksi antar individu  baik secara vertikal maupun horizontal, sehingga melahirkan suatu peradaban yang di dalamnya ada tradisi. Tradisi berasal dari bahasa latin tratio yang berarti di teruskan. Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berperan dalam waktu yang lama dan di lakukan secara turun temurun dari nenek moyang. Oleh karena itu, gambaran kehidupan yang berlangsung lama secara turun temurun dari nenek moyang yang telah menjadi tradisi diidentifikasi sebagai perilaku dirinya.
Suku Mandar khususnya Sendana mempunyai ragam tradisi dalam bentuk kesenian, adat istiadat yang tentu sangat menginspirasi perkembangan kreativitas masa kini karena mengandung kearifan budaya lokal yang otentik dan mempunyai nilai-nilai universal dengan kekhasannya. Kesenian Mandar tradisional yang kita warisi sekarang ini adalah kesenian dari nenek moyang dulu. Sebagai generasi, mengenal dan menghayati budaya dan kesenian Mandar adalah  niscaya. Dalam rangka itulah Pesona Cakkuriri dikemas sebagai upaya membaui energi leluhur pada setiap generasi yang sudah mulai rapuh dengan akar tradisinya.
Pesona Cakkuriri bukanlah ritual adat, ia hanya menjadi medium dan episentrum dalam mempola gerakan secara kolektif untuk menyadarkan generasi Sendana betapa luhur dan arifnya moyang kita dalam menanamkan adat tradisi dan kebudayaan yang selalu up to date dengan zaman dan rezim apapun. Bangunan peradaban leluhur Sendana memang bukan sebuah konsep bangunan peradaban batu, melainkan sebuah bangunan peradaban spiritual yang akan selalu menjadi spirit generasinya dalam menata masa depannya.
Pesona Cakkuri nantinya akan dihelat dalam sebuah pertunjukan panggung yang spektakuler dengan mengusung Tarian Kolosal Ca’bitte dan Pemanna/Taroala dalam acara opening seremonial bersama para pemerhati budaya dan tokoh adat Sendana di hari pertama. Hari kedua akan dilangsungkan sebuah seminar budaya dirangkaikan dengan sosialisasi Perda Cagar Budaya Majene. Demikian juga pada hari ketiga akan diselenggarakan agenda lawatan budaya dengan lokasi kunjungan ke bekas perkampungan tua di Sa’Adawang dan puncak Buttu Suso di Desa Putta’da Kec. Sendana. Demikian juga pada malam harinya para pengunjung dan masyarakat Sendana akan disuguhi dengan berbagai pertunjukan seni tradisi, teater rakyat, permainan rakyat, tarian dan music tradisi.
Tak ketinggalan para pecinta benda-benda pusaka bisa lebih dekat menyaksikan benda-benda peninggalan leluhur Mandar yang sampai hari ini masih terpelihara dengan baik. Termasuk para pengunjung akan dimanjakan dengan kehadiran RUMPITA yang akan menggelar buku di areal pertunjukan. Acara Gelar Buku itu memungkinkan para pengunjung untuk membaca berbagai referensi dari berbagai disiplin ilmu secara gratis.
Sekedar diketahui bahwa tahapan dari acara Pesona Cakkuriri dimulai hari ini (Selasa, 12 Juli 2016) di secretariat panitia Café INA Sendana. Persiapan-persiapan dan perlengkapan mulai disiapkan sampai pada puncak pertunjukan. Selamat Menantikan dan mari menjadi bagian dari sebuah peristiwa sejarah dan mulai ikut menuliskannya !.