Rabu, 04 Mei 2016

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 2) “ M. Takbir, Camping dan Lahirnya Flamboyant ”

Oleh Muhammad Munir-Tinambung 
Pada menjelang akhir era 70-an sampai 80-an juga terbentuk komunitas seni yang dibina oleh Amru Sa'dong yang diberi nama "MEKAR". Komunitas Mekar besutan Amru di Tinggas- Tinggas ini kurang melejit tapi mampu menjadi bagian penting yang menanamkan bakat seni budaya ke personilnya. Hingga pada suatu ketika (1981) alm. M.Takbir menemui M. Sukhri Dahlan dan menyampaikan keinginannya untuk berkemah (Camping). Pada saat yang sama, Bung Ali Syahbana mudik berlibur di Tinambung. Keinginan M. Takbir itu disampaikannya ke Bung Ali. Bung Ali merespon baik rencana itu dan menetapkan lokasi campingnya yaitu di Salarri' kampung leluhurnya.
M. Sukhri Dahlan menyampaikan respon Bung Ali ke M. Takbir. Informasi itu kemudian ditindak lanjuti oleh M. Takbir bersama Amru Sa'dong sehingga disepakatilah untuk pergi Camping dengan cara patungan (masing-asing peserta harus bayar Rp.1000). Peserta Camping antara lain Bung Ali Syahbana, M. Takbir, M. Sukhri Dahlan, Amru Sadong, Haidir, Abd. Manaf Baas, Abd. Rahman Karim atau Epo', Bahmid, Mujahid, Amril, Firdaus, Badawi Nur, Pudding, Khaerul (Labaco) dan lain-lain (peserta sekitar 18 orang). Banyak cerita dan kenangan yang terlukiskan dari lokasi Camping tersebut. Ada semangat yang tiba-tiba melecut mereka untuk kerap bersama-sama dalam situasi dan kondisi apapun. Semangat inilah yang kemudian membuat mereka berfikir keras untuk menata diri. Satu-satunya yang bisa membuat mereka tetap bercengkrama adalah dengan membentuk komunitas.
Pasca Camping tersebut, pertemuan dan diskusi intensif dilakukan. Dari diskusi itulah lahir sebuah komitmen bersama untuk medirikan sebuah komunitas. Untuk upaya itu, pertemuan demi pertemuan semakin gencar dilakukan. Tempat pertemuan disepakati diadakan dikediaman M. Sukhri Dahlan, kadang juga di rumah Bu Kumala (saudara Khairul atau Labaco). Kesimpulannya adalah kesepakatan untuk mendirikan komunitas. Diskusi kecil dan pertemuan itu rupanya membuat semakin banyaknya para pemuda yang tertarik. Hal tersebut ditandai dengan bergabungnya Tappa, Hamzah Ismail, dan lain-lainnya. Tindak lanjutnya adalah rapat untuk menyapakati nama komunitas. Dalam rapat muncul beberapa usulan nama, antara lain mawar, melati dan flamboyant. Forum kemudian sepakat memberi nama komunitasnya dengan nama Teater Flamboyant - Mandar dan secara aklamasi menunjuk Amru Sa'dong sebagai Ketua dan M. Sukhri Dahlan sebagai Sekretaris (belakangan sekretaris dijabat oleh Hamzah Ismail).
Demikianlah kronologis lahirnya sebuah komunitas besar yang digagas kurang lebih 1 tahun itu. Perjalanan sejarah kemudian mencatat komunitas Teater Flamboyant Mandar (TF) ini didirikan sebagai Lembaga pada tanggal 5 September 1983 dan diresmikan pada tanggal 15 September 1984. Dalam proses itulah Bung Ali Syahbana merasa bertanggung jawab atas pengembangan Teater Flamboyant tersebut. Ali Syahbana kemudian memboyong Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ke Mandar. Cak Nun melecut semangat berkesenian mereka. Berlatih dan merekrut pemuda-pemuda lain untuk berkarya. Tak heran jika kemudian pada tahun-tahun selanjutnya TF sudah merambah dunia jejaringnya dengan komunitas serupa diberbagai penjuru nusantara. Hal itu diawali dengan keterlibatannya di beberapa kegiatan, antara lain: mengikuti Pentas Seni Musik di Polmas 1984; Pentas Tradisional "Pencari Rezeki" di Polmas tahun 1985; Pentas Teater "Perahu Nuh" di Polmas tahun 1986; Pentas Drama "Terjebak" dan Pentas Teater "Cahaya Maha Cahaya" di Polmas pada tahun yang sama 1987.
Demikian juga tahun 1988, TF mulai merambah wilayah luar Polmas yaitu Pentas Teater Keliling "Lautan Jilbab" di Sulsel Pada tahun 1990 kembali TF mengikuti Pertunjukan Rakyat "Kerikil Tajam" di Makassar dan Pertunjukkan Rakyat "Dibalik Batu" di Pinrang tahun 1992. Tahun 1993 kembali ikut Pertunjukan Rakyat "Kaca Mata" di Polmas. Lalu pada tahun 1995, TF kemudian tampil lagi di Pertunjukkan Rakyat "Kauseng" di Makassar. Tahun 1997 menjadi penanda semakin eksistnya Flamboyant dengan ikutnya di Pentas Teater yang mengangkat "Koa-Koayang" di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berikut mendapat kesempatan di Pentas Musik Puisi di Jombang dan pada tahun 1999 Mementaskan lagi Teater "Koa-Koayang" di beberapa tempat di Yogyakarta. Setelah dari Jawa, TF merambah ke Sulawesi Tengah pada tahun 2001 di ajang Indonesia Dance Forum di Palu. Naskah "Kauseng" ditampilkan dengan sutradara Amru Sa'dong.
Kisah sukses TF tersebut diatas terlakonkan seiring pergantian demi pergantian kepengurusan dari Amru Sa'dong ke Hamzah Ismail hingga ke Abdul Rahman Karim. Ketiga sosok yang pernah menjadi Ketua TF ini merupakan sebuah proses yang luar biasa. Betapa tidak, tiga generasi tersebut melintasi era Orde Baru pemerintahan Soeharto ke Era Reformasi. Perjalanan sejarah itulah yang membuat TF semakin memposisikan dirinya sebagai satu-satunya komunitas seni budaya yang tak pernah lekang dan lapuk, baik secara kualitas maupun nilai. Bung Ali Syahbana dan Emha Ainun Nadjib serta Nurdahlan Jirana berhasil meretas jalan generasi generasi kreatif dan cemerlang dari Tinambung dan berkarya entah di Mandar maupun di Luar Mandar, termasuk mampu mengambil bagian dari sebuah proses lahirnya Provinsi Sulawesi Barat. (Bersambung)




M. Sukhri Dahlan: Bahasa Cinta pada Cak Nun, Masyarakat dan Pemerintah Sulawesi Barat !


Emha Ainun Nadjib biasa dipanggil Emha atau Cak Nun adalah “Idola” bagi masyarakat Mandar. Ia selalu ditunggu kedatangannya. Dan bila ia datang, maka masyarakat akan menyambutnya dengan luapan gembira yang tak bisa digambarkan. Cak Nun dan masyarakat Mandar seakan telah menyatu dalam sosok Cak Nun. Hal itu tergambar dari kedatangannya pada Minggu, 30 April di Lapangan Sepak Bola Desa Bala Kec. Balanipa. Manusia berbondong-bondong,menyemut memenuhi lapangan tersebut. Entah ia petani, nelayan, pelajar, mahasiswa, anak-anak, remaja sampai orang tua. Bahkan pejabat dan Wakil rakyat sekalipun tak mau ketinggalan momentun untuk menyaksikan penampilan Kyai Kanjeng dan siraman rohani dari Emha Ainun Nadjib.

Tak terasa, emapat tahun setelah kedatangannya di Mandar. Tahun ini Cak Nun menyambangi Jamaah Maiyah Mandar dengan mengusung topik “RISALAH CINTA DI JAZIRAH MANDAR”. Meski kedatangannya atas inisiatif dan prakarsa dari Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat melalui jasa aspirasi Syamsul Samad, Anggota DPRD Provinsi, namun tak menyurutkan niat untuk bahu-membahu menyambut dan menyaksikan sosok idaman yang kerap dirindukan itu. Masyarakat dan Flamboyant ikut menjadi penyaksi atas kedatangan Maha Guru itu di Mandar. Cak Nun dan Flamboyant adalah sebuah kesatuan yang utuh dan integral. Tak bisa dipisahkan dan tak seorangpun mampu mengubah keutuhan cinta tersebut.

Cak Nun tampil memukau dan menggugah lewat ceramah berisi guyonan yang masuk akal. Sehingga guyonan tersebut tidak sekedar menjadi banyolan-banyolan liar,  namun sangat inspiratif serta menjadi spirit yang menancap ke hati. Cak Nun dengan piawai menguasai ribuan manusia tanpa sekat, menyatu dengan penonton tanpa jarak. Sangat kontras ketika menyaksikan konser-konser artis papan atas. Siapa yang tak kenal dengan sosok Cak Nun, siapa yang tak mengakui bahwa Cak Nun lebih populer dibanding artis selebriti nasional?. Cak Nun adalah fenomena zaman yang mungkin setelahnya tak akan lahir sosok yang multi talenta ini.

Atas nama penulis, saya ingin menghaturkan ribuan rasa terima kasih kepada Cak Nun, kepada masyarakat, kepada pemerintah, wabilkhusus kepada panitia dan Syamsul Samad atas segala bentuk upaya dan perhatian untuk memenuhi keinginan kami bertemu dengan sosok yang kami cintai dan kami rindukan. Kepada Cak Nun yang mendaulat Cammana sebagai kekasih Cammanallah, menjadikan Flamboyant sebagai rumahnya di Mandar. Sebegitu dalam keinginan kami menggambarkan kecintaan kami lewat narasi cinta, namun bahasa saja tak mampu mewakili rasa itu, akhirnya kami mewakili segenap masyarakat Mandar, Sulawesi Barat memohon maaf atas ketidak mampuan kami menarasikan cinta lewat kata. Namun yang pasti, setelah Allah dan Rasul-Nya, maka engkaulah muara dari Cinta dan kerinduan kami.

Wassalam bilmaaf dari Luluare Mandar-mu,



M. SUKHRI DAHLAN (Dewan Kehormatan Flamboyant Mandar)

       

Mengenang Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, SH (Dari Patung Hingga Gerbang)


Berawal dari sebuah status yang saya posting di media sosial facebook, tentang keinginan membuat patung Baharuddin Lopa, I Maqga Daeng Riosoq dan I Calo Ammana Wewang yang terinspirasi dari Patung Sultan Hasanuddin yang berdiri megah di halaman depan Bandara Hasanuddin Makassar.

Dari postingan yang saya upload di group Appeq Jannangang itu, kemudian ditangagapi oleh sebagian member Appeq Jannangang yang intens membincang soal kerja-kerja budaya Mandar; Seni, kuliner, wisata, sejarah dan kearifan lokal. Dan diantara beberapa komentar yang masuk itu, Abdul Rasyid Ruslan (salah satu member Appeq Jannangang yang lagi berthalibul ilmi di Makassar), secara spontan memberi dukungan penuh dan siap membantu mewujudkan impian itu.

Sontak teman-teman mahasiswa di Makassar semua bersuara dan langsung membuat rencana kerja tindak lanjut dengan membentuk Tim Kreatif Appeq Jannangang reg Makassar dan meminta saya jadi punggawa dalam program pembangunan Patung Pahlawan dan Pejuang dari Mandar.

Setelah terbentuk personil melalui rapat online yang kemudian disepakati bahwa langkah pertama untuk program ini adalah Pembuatan Patung Baharuddin Lopa dengan menggunakan donasi. Maka dibuatlah selebaran/poster " Mandar Berbisik ! GERAKAN DONASI Rp.10.000, untuk pembuatan Patung Pahlawan dan Pejuang dari Tanah Mandar ". Desain posternya kemudian diposting keberbagai group di medsos. Dukungan mengalir dan mereka rata-rata siap berdonasi.

Melihat animo masyarakat Mandar diluar Sulbar yang begitu antusias itu, kami kemudian membuat Rapat Pelaksana Program di RM. Pondok Kelapa Campalagian (08/04) dengan mengundang langsung salah satu Putra almarhum Baharuddin Lopa, yaitu Iskandar Muda Barlop, anggota DPD RI untuk hadir bersama kami dengan Tim Kreatif Appeq Jannangang selaku inisiator dan Tim pelaksana kegiatan.

Dari pertemuan di Pondok Kelapa ini, setelah melalui diskusi panjang lebar tentang program ini, oleh pihak keluarga kurang respek jika almarhum dibuatkan patung sebab patung menurutnya kurang islami, sementara almarhum dikenal sebagai tokoh pendekar hukum yang sangat kental agamanya (islam). Dan dari diskusi ini kemudian lahir kesepakatan untuk membuat Gerbang Barlop yang disepakati di depan Ponpes Nuhiyah, Pambusuang.

Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan di Campalagian, saya kemudian menggelar rapat lagi di Ponpes Nuhiyah Pambusuang. Dari Rapat ini rencana awal gerbang akan di bangun di depan Ponpes Nuhiyah harus dibatalkan dan mufakat Gebang Barlop akan dibangun di Palippis dan di batas Desa Sabang-Subik dengan Desa Galung Tulu. Alasannya karna sebagian masyarakat Bala dan Sabang Subik komplain jika Gerbang di tempatkan di Pambusuang. Mereka mengklaim diri sebagai orang Pambusuang, tentu punya hak untuk masuk dalam kawasan ini. Mengantisipasi polemik di masyarakat itulah sehingga dibuat kesepakatan untuk membuat Gerbang didua titik tersebut.

Sampai disini, sebuah rencana telah mempunyai dasar pijiakan menjadi perencanaan untuk masuk dalam tahapan pelaksanaan. Dan dengan dasar itu pula, kemudian Gerakan Donasi di lauching pertama kali di Makassar.

SaliliMANDAR

Acara SaliliMANDAR (15/04) adalah acara Kopdar (kopi darat) yang diselenggarakan oleh Komunitas Appeq Jannangang reg. Makassar bekerjasama dengan KPM-PM Makassar. Yang disamping sebagai ajang silaturrahmi antar mahasiswa Mandar di Makassar, juga digelar untuk malam donasi Gerbang Barlop.

Cafe TOM-TOM di Jalan Emy Saelan Makassar ini menjadi saksi sejarah tak terlupakan bagi mahasiswa-mahasiwi Mandar di Makassar. Betapa tidak, malam itu, acara kopdar yang berdasarkan undangan hanya akan diikuti oleh sekira 30-50an orang, Tumpah ruah mejadi ratusan orang yang tentu saja harus berdiri karna tidak kebagian tempat duduk. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dibelantara gedung kota Makassar. Hujan malam itu ternyata hanya sekedar membasahi mereka tapi tidak sampai menghalangi untuk sampai di tempat acara malam itu.

Sekitar jam 20.00 malam itu mulai dengan penampilan musik akuistik Mandar, Passayang-Sayang, lagu Titi-Titing Balao memukau hadirin. Semua terhanyut dalam nuansa kerinduannya pada tanamandar. Sebuah kesadaran membuncah akan histori masa lampau Mandar yang betul-betul bernilai, tak lapuk dimakan rayap waktu. Segumpal gumam yang selama ini membuatnya hanya sugiging ditempat seketika menjadi teriakan ketika petikan kacaping Mandar dari Tajriani Talib yang sungguh diluar dugaan. Tajriani melagukan syair pujian khas kacaping yang diiringi tepuk tangan. Pada detik yang sama panitia menyiapkan Kappar (baki besar) dihadapan Tajriani Talib sebagai pertanda bahwa saatnya Paqmaccoq (saweran) dimulai. Saya dan panitia menjadi pappaqmaccoq pertama yang diikuti dengan hadirin yang hadir malam itu. Paqmaccoq itulah yang menjadi awal pertanda bahwa Gerakan Donasi Untuk Pembangunan Gerbang Barlop telah resmi dibuka.

Uang kertas nominal mulai 5 ribu-an sampai 50 ribu-an memadati kappar malam itu. Sebuah wujud kepedulian dan rasa cinta pada sosok Baharuddin Lopa, Pendekar Hukum dari Mandar. Sosok beliau tidak saja menjadi kebanggaan Mandar, tapi sekaligus satu-satunya manusia Indonesia yang concern dan fokus pada penegakan supremasi hukum di Indonesia. Beliau menjadi inspirasi bagi setiap generasi Mandar. Sosok beliau tidak saja dilisan tuliskan oleh orang Mandar, tapi Indonesia.

Acara SaliliMANDAR malam itu benar-benar menjadi bara dan membakar semangat sipamandar dan melecut jiwa untuk satu dalam ikatan buhul passemandaran. Hal itu terbaca dalam sesi acara beatle kalindaqdaq dan deklamasi puisi Mandar berjudul "Masih adakah Mandarku" Karya Nur Dahlan Jirana (almarhum adalah Penulis dan Sastrawan Mandar, Pendiri dan Pembina komunitas sastra Todilaling Campalagian).

GERAKAN DONASI

Setelah malam SaliliMANDAR di Makassar itu, gerakan donasi terus digalakkan oleh teman-teman mahasiswa di Makassar, ratusan bahkan jutaan telah berhasil kami kumpulkan dari program ini. Lokasi dan pelaksana kegiatan telah mantap, calon donastur masih sangat banyak untuk kami ajak menjadikan gerbang ini sebagai ladang amal, termasuk Darmansyah, Ketua DPRD Majene yang tidak saja berdonasi tapi sekaligus siap menjadi penanggung jawab penggalangan dana di lingkup Kabupaten Majene, karena menurut beliau, Pak Barlop adalah Tokoh nasional yang sekaligus menjadi Bupati pertama yang dicatat dalam sejarah Kabupaten Majene. Desain Gerbang juga sudah ada dan kami posting di media sosial. Tinggal pelaksanaannya saja yang mau ditentukan. Kepada para pembaca dapat menyampaikan informasi, saran dan kritiknya kepada kami. Begitu juga jika ingin berdonasi untuk Gerbang ini bisa langsung menghubungi kami via Facebook: Muhammad Munir ToMandar. PIN BB 2653FE37 atau
email: galerikopicoqboq@gmail.com Blog: galerikopicoqboq.blogspot.com.

(Penulis adalah Joaq Appeq Jannangang dan Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Provinsi Sulawesi Barat).

Gerbang Barlop di Palippis sangkah lagi akan terwujud !

Dalam Kelompok Diskusi terarah atau Focus Group Discussion (FGD) Disbudpar Polewali Mandar di Ruang Pertemuan Café dan Resto Beruq-Beruq Polewali, 03 Mei 2016 yang mengangkat topik "Refresentasi Tokoh atau Simbol Pada Tugu Kota Polewali" sempat terungkap adanya usulan untuk pembuatan patung Barlop dan beberapa usulana naman pejuang yang sempat mengemuka.
Khusus Patung Barlop, saya yang kebetulan didaulat kedalam tim Perumus menyampaikan kepada Ka. Disbudpar Polewali Mandar bahwa keluarga Patung Barlop tidak akan pernah diizinkan oleh keluarga almarhum untuk dibuatkan patung. Pengakuan saya tersebut didasarkan pada apa yang disampaikan oleh Iskandar Muda Baharuddin Lopa dalam diskusi "Barlop dari Patung Hingga Gerbang" di RM. Pondok Kelapa Campalagian.
Pada kesempatan yang sama saya mengutarakan rencana pembangunan Gerbang Barlop di Palippis. Kepada Kadis Andi Nursami Masdar saya menyampaikan kiranya Disbudpar Polewali Mandar membantu urusan perizinan agar gerbang Barlop bisa dilaksanakan. Gayung bersambut dan berkelindan dengan apa yang diharapkan sebab pihak Tarkim yang kebetulan hadir juga menyampaikan langsung tehnis pengurusan izin gerbang.
Pihak Disbudpar Polewali Mandar melalui Kadis dan pihak terkait berjanji akan mengawal dan membantu proses itu. Kepada Kadis dan peserta FGD saya sampaikan bahwa Donasi Gerbang Barlop sampai saat ini sudah berkisar 20-an juta.
Semoga keinginan pemerintah merefresentasi tokoh dan simbol kota Polewali ini semakin mempertegas bahwa Pemerintah kita saat ini, selangkah lebih maju dalam urusan identitas kita sebagai Mandar.
dengan demikian rencana untuk mewujudkan Gerbang Barlop akan sedikit meringankan beban kami dalam mewujudkan impian tersebut. Selamat Datang di Kampung Kelahiran Pendekar Hukum Baharuddin Lopa.

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 6) " Persekutuan Bocco Tallu Adalah Kerjasama Pertahanan dan Ekonomi "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung
Pada mulanya, semua kerajaan yang ada di Mandar belum terjalin dalam satu persekutuan atau kerjasama antar kerajaan. Masing-masing  kerajaan sendiri  dan memerintah serta berdaulat penuh diwilayah kerajaannya sendiri tanpa  ada hubungan kerjasama dengan kerajaan lain, baik yang ada di kawasan Mandar, terlebih kerajaan yang ada di luar wilayah Mandar. Masing-masing kerajaan berusaha memperluas wilayah kekuasaan, sehingga sering terjadi perselisihan yang berlanjut pada perang  antara kerajaan. Upaya menghancurkan kerajaan lain dengan tujuan menjadi terkuat dan terbesar adalah kejadian rutin pada saat itu. Puncak kekacauan terjadi ketika munculnya peralihan kekuasaan melalui kudeta di kerajaan Passokkorang. Passokkorang dengan kekuatan militer dan kekayaan yang melimpah membuat keonaran hampir disetiap kerajaan  yang ada di Mandar.
                Salah satu wilayah yang tak mampu ditaklukkan oleh Pasokkorang adalah wilayah persekutuan Bocco Tallu, yaitu Sendana, Alu dan Taramanu. Salah satu strategi yang bisa membentengi wilayah ini adalah kekuatan persekutuan yang tercermin dalam ikrar puraloa di Sibunoang. Ikrar Bocco Tallu itu begitu mengakar dan disakralkan oleh masyarakat yang ada diwilayah tersebut. Bahkan perjalanan sejarah keruntuhan Passokkorang oleh Sekutu Balanipa tidak terlepas dari campur tangan Alu yang berhasil menyusup masuk ke wilayah Passokkorang dan menjadi duri dalam daging, sehingga Raja Passokkorang tidak menyadari bahwa orang yang masuk sebagai dukun sakti itulah yang mengantarnya menemukan takdirnya untuk berakhir dalam kebesaran dan keberlimpahannya.
                Tak dapat disangkal, apa yang tertuang dalam ikrar puraloa itu bukan saja sebentuk kalimat yang terdiri dari susunan kata biasa, tapi ia adalah akumulasi dari mantra, sumpah yang kerap dibathinkan oleh semua warga yang berada di garis batas Bocco Tallu itu. Untuk tidak membuat tulisan ini sekedar menjadi bacaan yang lumrah, menarik kita telisik kembali bunyi yang terkadung dalam perjanjian di Sibunoang itu. Ini penting, agar kita semakin yakin bahwa sesungguhnya leleuhur kita bukanlah sekumpulan manusia yang tak tahu apa-apa, disamping itu, ikrar tersebut diharapkan bisa menjadi spirit bagi kita menemukenali kesejatian Mandar yang kita jadikan sebagai identitas.
                Inilah ikrar puraloa di Sibunoang yang dikenal dengan Assitalliang Bocco Tallu Pertama: Madzondong duang bongi anna dziang mappasisala Pattallumboccoang, ongani balimbunganna baoangi arianna. Iya-iyannamo tau mambueq puraloa meppondoq diallewuang di Pattallumboccoang mendaung raqbas, mettaqe sapeq, pappang naola pappang raqba, buttu naola buttu latta, puppus sorokawu mangandeapi dipennannaranna tomamboeq pura loa.
“Besok lusa bila ada yang memecah belah persekutuan Bocco Tallu, Balikkan bubungan rumahnya kebawah dan tiangnya keatas. Barang siapa diantara kita mengingkari perjanjian dan membelakangi kesepakatan dalam persekutuan Bocco Tallu, berdaun gugur bertangkai jatuh,  lembah diallui lembag runtuh, gunung dilalui gunung terpotong. Hidupnya terkutuk bagai api membakar turun temurun yang ingkar pada perjanjian” .
Adapun butir butir perjanjian yang disepakati dalam pertemuan ini merupakan hasil pemikiran Puatta di Saragiang dan Daeng Palulung yang tertulis dalam lontar Sendana Mandar sebagai berikut :
Nauamo Daeng Palulung: “Tallumi tau anna mesa, mesami anna tallu, Sendana, Alu, Taramanuq. Litaq silambang tassipomalla, tassitundang matadzang tassiroyong masandeq, tautta sisolong tassisawaq, mesa balami tanni atonang, Sendana,  Alu, Taramanuq di Puang di Kondo Budata, mate simateang tuo situoang”.
Berkatalah Daeng Palulung: ”Kita adalah tiga menjadi satu, satu tapi tiga. Sendana, Alu, Taramanuq. Pemimpin saling menyebrang tak keberata, tak saling mengingatkan dengan keras apalagi kasar, rakyat saling mengunjungi dengan aman. Kitasudah satu pagar tak berbatas, Sendana, Alu, Taramanuqbagi pemimpin dan bagi rakyat. Mati satu mati semua hidup satu hidup semua”.
Nauamo Puatta di Saragiang: “Mammesa puammi tau mammesa tau, maqjuluq sara maqjuluq rio, mammesa pattuju dilatte sallambar siola paqdisang. Daqdua memmata di Sawa, mesa memmata di mangiwang, monasisaraq tubhu anna nyawa tassisaraqi Alu, Taramanuq, Sendana. Tassipaoro di adzaq, sipalete di rapang, padza nipeadzaq adzaqta, padza niperapangi rapattaq, tasibore-boreang gauq tassipolong tanjeng,tassiraqba tanang-tanang, sitaiang apiangan tassitaiang adzaeang”.
Berkatalah Puatta I Saragian: “Bangsawan kita sudah menyatu rakyat juga jadi satu menghadapi kesusahan dan kebahagiaan, menyatukan keinginan diatas tikar selembar sebantal bersama. Dua mengawasi ular satu mengawasi ikan hiu. Walau terpisah tubuh dengan nyawa, Alu, Taramanuq dan Sendana tidak akan terpisahkan. Tidak saling mencampuri urusan adat dan aturan masing-masing, menjalankan adat dan kebiasaan serta hukum dan peraturan masing-masing, tidak saling keras mengerasi, tidak salingmerusak tanaman, saling membawa pada kebaikan, saling menghindarkan dari keburukan”.
Nauwa bomo Daeng Palulung: “Mate arawiang Alu Taramanuq, mate di baya-bayai Sendana. Sara pole sara nisolai, leboq tanni joriq, uwai tanni latta, buttu tanni polong dilalanna Bocco Tallu”.
Berkata Daeng Palulung: “Bila Alu dan Taramanuq mati diwaktu sore, Sendana mati diwaktu pagi. Kesusahan yang datangkesusahan yang dibagi, kebahagiaan yang datang kebahagiaan yang kita bagi. Laut tidak kita garis, gunung tidak kita potong di wilayah Bocco Tallu”.
Melihat latar belakang pembentukan serta butir kesepkatan yang ada di dalamnya, dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Bocco Tallu pertama dibentuk untuk membangun satu kekuatan dengan melihat situasi dan kondisi di Mandar pada saat itu. Sangat jelas dalam butir kesepakatan bahwa pertahanan dan keamanan merupakan prioritas utama disamping kerjasama pada bidang ekonomi. Ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perang saudara antara Sendana, Alu dan Taramanuq yang bisa saja terjadi akibat hasutan dan strategi adu domba yang dijalankan oleh orang-orang Passokkorang pada saat itu.
Kalimat daqdua memmata disawa mesa memmata di mangiwang adalah kalimat kiasan yang memiliki makna; Dua kerajaan (Alu dan Taramanuq) yang menjaga dan mengawasi musuh dari arah gunung atau hutan, dan satu kerajaan (Sendana)yang mengawasi musuh yang datang dari laut atau pesisir. Kesepakatan ini lahir dengan melihat letak geografis wilayah masing-masing, dimana Alu dan Taramanuq merupakan kerajaan yang ada dipegunungan dan Sendana adalah kerajaan yang berada di daerah pesisir atau pantai.  Ini berarti, keamanan atas ancaman musuh yang datang dari arah hutan menjadi tanggung jawab kerajaan Alu dan kerajaan Taramanuq sementara musuh yang datang dari arah laut atau pesisir menjadi tanggung jawab kerajaan Sendana.
Persekutuan Bocco Tallu bertahan sampai pada abad XV masehi dan baru mulai memudar seiringdengan terbentuknya persekutuan Pitu Baqbana Binanga.