Senin, 02 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian2) " Makam Daeng Palulung dan Daeng Sirua "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Turun dari puncak Buttu Suso dengan ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut, penelusuran dilanjutkan dengan mencari keberadaan Makam Daeng Palullung. Dengan diantar oleh I Tangka, salah satu petani sawah di areal perkapungan Sa'Adawang kami berjalan meniti pematang sawah. Setelah itu menembus semak belukar ke sebuah bukit yang berada pas di kaki gunung Buttu Bulidzo. Buttu Bulidzo ini memiliki situs berupa Gua Bulidzo. Gua yang memiliki panjang sekitar 10 meter dengan lebar 4,5 cm dan tinggi ruang kurang lebih 1,5 meter. Menurut pengakuan Jahar dan I Tangka, gua tersebut memiliki sejarah yang panjang sepanjang sejarah peradaban masyarakat Kerajaan Sendana. Gua ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Dalam perjuangan melawan penjajah, gua inipun berperan sebagai pusat persembunyian para pemimpin pasukan untuk memantau lawan.
Dari balik semak belukar tepat di lereng gunung Bulidzo tersebut, terdapat 2 buah makam yang diyakini sebagai makam Topapo atau Daeng Palulung, suami dari Tomesaraung Bulawang. Entah pertimbangan apa, sehingga makamnya harus terpisah dari istri tercintanya, Tomesaraung Bulawang. Justru disekitar makamnya terdapat makam Daeng Sirua. Makam Daeng Sirua ini ditandai dengan batu yang bentuknya sangat sederhana. Daeng Sirua dan Daeng Palulung adalah bersaudara. Daeng Sirua inilah yang menikah dengan putri Mara'dia Alu (Puatta Di Saragiang) yang kemudian menjadi awal pertalian dalam membentuk persekutuan Bocco Tallu, yaitu Alu, Sendana dan Taramanu. Kedua makam tersebut juga tak luput dari penggalian dan penjarahan benda-benda purbakala pada tahun 1971-1973. Hanya saja, menurut informasi dari I Tangka, di situs ini, tak banyak harta kekayaan yang berhasil didapatkan oleh para penjarah. Bekas galiannya masih nampak dan membuat kondisi situs ini dangat memprihatinkan. Penggalian dan penjarahan kubuuran tua oleh masyarakat sekitar inilah yang menghilangkan jejak kepurbakalaannya.
Penggalian situs purbakala yang dilakukan oleh masyarakat Putta’da Sendana ini adalah bentuk kejahatan yang lebih kejam dari penjajah Belanda. Penjajah Belanda, meski mengambil untung dari aset bangsa ini, tapi tetap menjaga kelestarian cagar budaya dan menyimpan banyak arsif tentang sejarah lampau kerajaan ini. Yang ironi kemudian, karena jusru warga peribumi yang nota bene keturunan dari Topapo atau Daeng Palulung ini justru rela dan tak merasa berdosa menjarah kekayaan yang dimiliki oleh leluhur mereka. Peristiwa penjarahan benda-benda purbakala dari tahun 1971 sampai hari inipun terus dilakukan oleh masyarakat. Tak terkecuali pemerintah juga sudah seenaknya merubah, merusak, memindahkan situs-situs budaya yang merupakan jejak nenek moyang.
Sejatinya, situs sejarah dan artefak tersebut dijaga, dipelihara olen masyarakat dan pemerintah, bukan malah menjadi pelaku dari proses itu. Apapun alasannya, jika menyangkut benda-benda purbakala, itu tak bisa ditolerir. Meski dengan alasan pembangunan sekalipun semestinya tidak dilakukan, sebab benda atau situs tersebut adalah cagar budaya yang sekaligus menjadi sumber informasi untuk penelitian membuktikan eksistensi mereka pada masa lalu itu ke generasi selanjutnya. Situs tersebutlah yang akan menerangkan bahwa pernah di Sa'Adawang ini,  terbangun sebuah peradaban, sebuah kampung tua yang didalamnya pemerintahan dalam bentuk tomakaka sampai bentuk kerajaan (Mara'dia) pernah terlakonkan.
Merusak, memindahkan dan menghilangkan situs-situs tersebut adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak hanya terhadap masyarakat hari ini, tapi menjadi sebuah proyek pengkaburan yang berimbas pada pengibulan sejarah kedepan. Dan tindakan ini tentu saja harus difahami sebagai dosa turunan dari masyarakat pelaku penjarahan maupun pemerintah yang melakukannya atas dasar apapun. Pemerintah seharusnya menjadi pelestari dari semua situs yang terdapat dalam peta wilayah pemerintahannya. Masyarakat juga seharusnya merasa malu ketika didaulat dalam acara upacara adat sebagai Puang, Daeng tapi disatu sisi ia melupakan dan menjadi pelaku dari proses penjarahan atas aset kekayaan leluhurnya.
Saatnya keturunan adat tidak saja bangga karena dipanggil Puang, Daeng tapi mesti merasa bertanggung jawab terhadap situs sejarah perru'dusang. Tomesaraung Bulawang dan Daeng Palulunglah yang membuat mereka jadi terhormat, kaya dan dipanggil Puang, Daeng tapi ketika melihat kondisi makam leluhur mereka justru berbanding terbalik dengan kehormatan yang membuatnya merasa bangga. Malulah kita hari ini yang punya strata Puang dan Daeng tapi tak mengetahui atau membiarkan situs sejarah leluhur dijarah, dirusak, dipindahkan, dihilangkan. Lalu dimana letak Puang dan Daeng akan dialamatkan andai kata tak ada leluhur ? Masihkan gelar itu pantas disematkan pada mereka yang tak peduli dengan leluhur yang membuatnya punya kedudukan terhormat?

NAPAKTILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 1) " Putta'da dan Perkampungan Tua Sa' Adawang "


0leh: Muhammad Munir

Nun jauh disebuah persawahan yang berada diatas puncak gunung Desa Putta'da Kec. Sendana, rahasia itu mendekam. Rahasia-rahasia yang selama ini dikunci dalam sebuah peti, bahkan sekedar berceritapun tak boleh seenaknya. Lontar-Lontar yang menyimpan rahasia itu tak boleh dilongok, kecuali lewat prosesi dan ritual khusus dengan memotong seekor kambing bahkan kerbau. Sabtu, 2 April 2016 lalu, sebuah perjalanan untuk menguak rahasia-rahasia dalam lontar-lontar Mandar tersebut dimulai. Terik mentari mulai menusuk, pukul 10.00 gunung dipinggiran desa Putta'da yang menghubungkan ke Puncak Buttu Suso mulai ditaklukkan meski dengan nafas tersengal sengal, persendian seakan remuk dan cucuran keringat mengalir deras dari pori-pori.

Drs. Darmansyah, adalah sosok Ketua DPRD Majene yang mungkin satu-satunya Ketua DPRD di Sulbar ini, punya ide dan semangat untuk mengungkap rahasia-rahasia yang kerap hanya dimitoskan dalam cerita tutur. Penulis mengikuti agenda penelusuran ini bersama teman-teman dari Balanipa, yaitu Salahuddin dan Faisal. Setelah 1,5 jam perjalanan akhirnya kami tiba dipuncak sebuah gunung dengan panorama yang memukau. Nampak sebuah areal persawahan yang menghijau diantara lereng gunung Buttu Suso. Menurut Jahar, sang penunjuk jalan yang dari awal mengikuti perjalanan kami mengatakan bahwa disinilah peradaban Sendana dimulai. Dahulu, areal persawahan dipuncak gunung inilah perkampungan Sa'Adawang, tempat dimana pertama kali, Topapo Daeng Palulung mendefenisikan cintanya pada Tomesaraung Bulawang. Tak banyak yang tahu, Daeng Palulung dan Tomesaraung Bulawang inilah yang melahirkan I Ta'da, Puatta Sa'Adawang, Indara dan Puatta I Pance.

Matahari nampak mematuk diubun-ubun ketika melewati bukit-bukit dipinggiran sawah Kampung Sa'Adawang. Ternyata Makam Tomesaraung Bulawang berada agak dipuncak perkampungan. Kondisinya begitu memprihatinkan, berada di antara semak belukar, tak terawat dan hanya terdiri dari 3 bongkahan batu yang menjadi penanda. Menurut informasi, bahwa makam ini adalah makam dimana harta kekayaan Tomesaraung Bulawang ikut dikuburkan saat ia mangkat. Hal tersebut terbukti setelah tahun 1973 makam ini digali oleh oknum masyarakat yang tak bertanggung jawab. Dan informasi dari masyarakat yang melihat proses penggalian dan penjarahan benda purba kala tersebur menyebutkan bahwa dari makam Tomesaraung Bulawang itu ada banyak keramik, emas dan harta kekayaan lainnya yang berhasil dikeluarkan dari makam itu. "Mungkin sekitar 1 truk, pak. Barang-barang itu diangkut malam hari sekitar jam satu dini hari". Demikian salah seorang warga yang enggan disebut namanya bercerita.

Nampak Darmansyah membersihkan semak belukar yang menutupi makam, ia bahkan tak peduli akan membuat tubuhnya gatal. Ia membetulkan posisi dan membersihkan wilayah situs makam dan sekitarnya. Setelah dianggap sudah cukup untuk menjadi penanda sebuah situs makam, perjalanan dilanjutkan ke puncak Buttu Suso. Entah apa arti dari kata Suso yang melekat dipuncak yang dari atas puncak itu terlihat semua wilayah pesisir dari Pamboang, Sendana sampai Tubo. Buttu Suso ini pada masa revolusi juga dijadikan benteng untuk melawan penjajah Belanda. Tiba dipuncak buttu Suso tepat pada jam 12.30 siang. Bukan hanya terik matahari yang panas mendera. Tapi wilayah perut sudah mulai menuntut haknya, sebab jam sudah menunjukkan waktu makan siang.

Tak ada makan siang, tak ada rumah makan, sementara jarak tempuh untuk pulang masih membutuhkan waktu tiga jam untuk bisa mendapatkan makanan. Dalam kondisi lapar dan haus tersebut, beruntung disekitaran gunung Buttu Suso ini banyak tumbuh Jambu Batu yang setiap saat berbuah. Jambu batu itulah yang kemudian menjadi pilihan untuk mengganjal perut. Untuk pertama kalinya, penulis harus menuliskan sejarah " Bersama Rombongan: Ketua DPRD Majene makan siang dengan jambu batu di puncak gunung".
            
Inilah awal dari sebuah proses untuk mendokumentasikan beberapa situs sejarah masa silam. Berat memang, tapi berkat dorongan rasa yang menyeruak untuk mengungkap tabir peradaban tua di Mandar, tebing jurang, kerikil tajam, duri-duri dari semak belukar yang terus menusuki tak membuat semangat menelusur itu pupus karenanya. Ada sebauah tanggung jawab besar yang lahir dari keresahan ketika membaca buku sejarah yang kadang mengajak kita hanya merenung, menghayal tanpa pernah tahu bagaimana model perkampungan yang mereka tempati saat mengendalikan sebuah kerajaan yang berdaulat. Ini penting, sebab bagaimana mungkin generasi kita bisa mengambil ibrah dari sebuah peristiwa jika fikirannya hanya dilingkupi kebingungan yang kerap menjadikan kita penasaran.
           
Melalui penelusuran  inilah sebuah fakta-fakrta sejarah kami dokumentasikan dari titik ordinat yang bisa diakses. Lewat ini pula penulis merasa kecewa dengan manusia-manusia yang kebetulan diuntungkan menjadi keturunan bangsawan, yang dipanggil Puang dan Daeng, yang dalam setiap upacara adat diposisikan dengan perlakuan yang berbeda. Mereka terlalu dihormati, mereka bahkan merasa terhormat. Namun dibalik itu semua, makam leluhur yang menjadi penyebab kasta mereka dinaikkan dari yang lain justru tak terawat. Penulis yakin, mereka masih banyak yang tak tahu dimana makam leluhur yang menjadikannya dipanggil Puang dan Daeng. Merasa terusikkah mereka ketika makam leluhurnya dalam kondisi yang tak sepantasnya?. Ah, semoga tulisan ini menjadi penggugat untuk sekedar menggugah hati mereka.
(Bersambung)
             Gambar: Lontaraq Gulung di Kecamatan Sendana. (Doc. Muhammad Rahmat Muchtar)

Minggu, 01 Mei 2016

MEMBINCANG MANDAR DARI SISI HISTORIOGRAFI vs ARKEOLOGI, ATAU POLITIK VS REALITAS ? (Bagian 2) Dari Komunitas Literasi Menelusur Sejarah

Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar
dan Penggiat Literasi Rumah Kopi dan Perpustakaan-Tinambung)
Membaca dan menelaah buku sejarah Mandar hari ini, hal yang pasti kita temukan didalamnya adalah adanya ketimpangan struktur penulisan. Termasuk aroma konstruksi penulis juga sangat terasa dalam alur penulisannya, sehingga nampak tak berbeda dengan naskah sinetron dan film yang di dalamnya terdapat unsur pemeran yang bersifat oposisi biner (binary oposition), yakni pemeran protagonis dan antagonis. Disinilah peran penting seorang peneliti seperti Horst H. Liebner menjadi penting, namun dibutuhkan sebuah totalitas untuk menyingkap dinding tirai yang menyelimuti sejarah kita di Mandar. Passokkorang dibutuhkan keberadaannya sebagai pelengkap narasi dan deskripsi awal untuk mulai merunut periodesasi sejarah Mandar.
Untuk megurai Passokkorang, menarik untuk kita coba kaitkan dengan paparan Paul Michael Munoz, bahwa peradaban Sulawesi sudah ada sejak 8000 tahun lalu, yakni dengan munculnya kerajinan mikrolith Toali di Maros Sulawesi Selatan. Kerajinan itu berupa mata pisau dan mata panah Maros yang terbuat dari batu belah dengan bentuk-bentuk geometrik. Terkait dengan jejak peradaban di Sulawesi, ada dua gelombang migrasi yang melatarinya. Gelombang pertama dari ras Mogoloid yang terjadi sejak 4000 tahun SM dengan rute awal dari daratan China, menyebrang ke pulau-pulau yang kini dikenal Taiwan. Dari sana mengarus ke selatan ke pulau Luzon, Filipina, lalu terbagi dua. Satu ke barat daya mendarat di Kalimantan bagian utara (2500 tahun SM) dan satunya lagi ke barat laut ke daratan Asia, yakni wilayah Indochina.
Gelombang migrasi kedua berlangsung 3000 tahun SM, meniti ke Mindanao dan seterusnya ke daratan Sulawesi Utara, menyebrangi Teluk Tomini ke daratan Sulawesi Tengah lalu ke Jazirah Sulawesi Selatan. Hal menarik dari migrasi ini adalah pada setiap tempat-tempat yang dilaluinya, selalu ada konsep tentang manusia yang turun dari langit atau Tomanurung. Dari pantai barat Sulsel migrasi berlanjut lewat laut menuju pulau Jawa pada 2500 tahun SM, terus mengarus ke Sumatera dan semenanjung Melayu dan Thailand sampai 1000 tahun SM.
Pada fase 1500 tahun SM ini sudah dikenal kebudayaan perunggu, bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menetap dan tidak lagi menjadi manusia pengembara. Ratusan tahun berlangsung kebudayaan ini, sehingga mereka berkembang dan membentuk sebuah kelompok-kelompok yang lebih besar, membentuk desa-desa dengan suku multi klan. Dari sinilah dikenal pemimpin yang tampilannya otoriter karena berdasar pada prinsip egalitee atau kebersamaan, dimana suara setiap anggota kelompok cenderung sama harganya. Para pemimpin menjalankan kehendak bersama para anggota dan dengan demikian memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Hal ini memiliki banyak kesamaan dengan sistem demokrasi di dunia Barat meski dalam bentuk yang masih sangat sederhana.
Sampai disini, ada sebuah segmen dari zaman prasejarah yang menyelimuti daratan pulau Sulawesi yang isa bisa dikatakan era pra Tomanurung. Masa dimana orang belum mengerti apa itu agama. Di sekitaran aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli)terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama PASSIKOKKOANG yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi PASSIKOKKORANG dan akhirnya menjadi PASSOKKORANG.
Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini. (Bersambung)

MEMBINCANG MANDAR DARI SISI HISTORIOGRAFI vs ARKEOLOGI, ATAU POLITIK VS REALITAS ? (Bagian 1) “ Dari Nusa Pustaka ke Lontaraq Pusaka


Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar
dan Penggiat Literasi Rumah Kopi dan Perpustakaan -Tinambung)

Peluncuran Nusa Pustaka dan Pembukaan Pekan Rakyat Sepekan III di Pambusuang Kec. Balanipa (Minggu, 13 Maret 2016)adalah sebuah peristiwa sejarah yang membuat Perpustakaan dan Museum Bahari besutan Muhammad Ridwan Alimuddin ini bernilai sejarah. Disebut peristiwa sejarah, sebab dihadiri oleh Drs Darmansyah, Ketua Masyarakat Masyarakat Sejarawan (MSI)Cabang Sulbar, JJ. Rizal, Sejarawan Nasional dan Maman Suherman (Kang Maman), Notulen ILK dan penulis nasional. Baik JJ. Rizal maupun Kang Maman, keduanya adalah manusia dermawan yang akhir-akhir ini intens melakukan kunjungan ke Mandar. Kesemuanya itu menjadikan Nusa Pustaka semakin bernilai sejarah sebab ada juga Horst H. Horst Liebner, seorang peneliti sejarah maritim yang kehadirannya kali ini mencoba menelusur jejak-jejak sejarah Passokkorang melalui serpihan sejarah yang direkam dari berbagai manuskrip, deskripsi dan interview sejarah yang selama ini kerap dilisan tuliskan.

Hal menarik dari peristiwa ini adalah kehadiran Kadisbudpar Polewali Mandar, Andi Nursami Masdar, Camat Balanipa dan puluhan aktivis literasi, seni, tokoh pendidik, tokoh agama dan budayawan sebagai penyaksi dari peristiwa diresmikannya nusa pustaka ini. Nusa Pustaka adalah akumulasi dari berbagai upaya-upaya kecil yang tidak hanya lahir dari diskusi-diskusi tapi diikuti dengan aksentasi yang membuat semuanya menjadi punya ruang mengusung niat untuk bisa bermanfaat banyak kepada kemanusiaan yang lebih memanusiakan manusia. Muhammad Ridwan Alimuddin dan generasi muda Balanipa telah berhasil meretas jalan untuk membuktikan bahwa kelahiran manusia setiap saat menandakan bahwa Tuhan belum kapok dengan kemanusiaan.

Berangkat dari peristiwa sejarah, kegiatan yang bernilai sejarah di Nusa Pustaka, dan keberadaan manusia-manusia yang mencintai sejarah adalah sisi kemanusiaan yang tak akan luput dari catatan sejarah itu sendiri. Terlebih dari sebuah upaya Horst H. Liebner yang mencoba menelusur dan meneliti jejak-jejak peradaban tua di Mandar, yaitu Passokkorang. Passokkorang memang sebuah obyek yang mesti ditulis untuk melengkapi data periodesasi sejarah di Mandar. Jauh sebelum berdirinya Kerajaan Balanipa, terjadi sebuah perjanjian yang disebut Bocco Tallu yang digagas oleh Kerajaan Alu, Taramanu dan Sendana. Perjanjian Bocco Tallu bahkan diadakan dua kali dengan tujuan yang sama, yaitu menghadapi sepak terjang Passokkorang. Bahkan pasca berdirinya Kerajaan Balanipa pun, I Manyambungi Todilaling (1530-1565) masih terus disibukkan dengan upaya menghadapi Passokkorang yang ternyata baru tuntas terselesaikan setelah I Billa-Billami Tomepayung (1565-1580) menumpasnya dengan kekuatan militer penuh dari Joaq appeq Jannangang dan bala bantuan dari Alu, Tabulahang, Sendana dan kerajaan sekitar yang masuk dalan konfederasi PBB dan PUS

I Billa-Billami Tomepayunglah yang akhirnya berhasil menumpas kerajaan besar dan berdaulat selama beberapa generasi Takiya Bassi dan Labassi Kalling, yang juga ditumpas mulai dari Puatta Di Saragiang ke Puatta I Lepong, dan Puatta Di Galu-Galung,dari Tomakaka Lemo, Puang Di Gandang, ke I Manyambungi Todilaling dan I Billa-Billami Tomepayung. Sebuah proses perjalanan sejarah yang panjang dari Passokkorang kemudian diberangus dan mengganti wilayah kerajaannya menjadi Mapilli. Rentetan peristiwa sejarah tersebut tak hanya ditumpas secara militer, namun dalam penulisan sejarahpun jejak kerajaan Passokkorang tak diberi ruang, selain dengan stigmatisasi negatif dari rajanya yang biadab, serakah, semena-mena.

Dari Nusa Pustaka, kita kembali mengurai satu demi satu lontaraq pusaka tentang Passokkorang, dari Hort H. Liebner peneliti Sandeq ke langkah-langkah awal survey sejarah Mandar. Tak dapat disangkal, bahwa kedepan dengan penelitian sejarah Passokkorang ini, kembali sejarwan Mandar akan dipertemukan dengan perbedaan muatan sejarah dalam berbagai literatur. Namun apapun hasilnya, kita tentu berharap dalampenulisan sejarah kedepan, muatan perbedaan (distinction) itu tak menggiring kita dalam upaya pembedaan (discrimination), sebab jika ini terjadi, semua upaya penulisan dan penelitian seilmiah apapun sifatnya, tak lebih hanya berupa anomali sejarah yang pada akhirnya akan menjadi banalisasi sejarah. (Bersambung)
Radar, Jumat 18 Maret 2016

JENJANG PENGAJIAN DI MANDAR



JENJANG PENGAJIAN DI MANDAR
Pengajian Tingkat Dasar
-          Maq-alepuq, yaitu pengajian yang diikuti oleh anak-anak usia 5-7 tahun. Materinya adalah pengenalan huruf hijaiyah, penghafalan model huruf dengan methode mangeq-ja.
-          Manjuz-Amma, yaitu pengajian yang diikuti oleh anak-anak usia 7-9 tahun. Materinya sudah mulai membaca Juz amma (mazhab Kufah) dimulai dari Alfatihah sampai ke Al-Alaq atau Iqra' dengan cara mandarras.
-          Makkoro'ang Kaiyyang, yaitu pengajian yang dikuti oleh anak-anak berusia 9-12 tahun. Materinya sudah mulai membaca ayat-ayat mazhab Utsmani, dimulai dari Al Baqarah sampai selesai. Pada tahapan ini, guru tinggal menegur jika ada bacaan yang salah.
Pengajian Tingkat Menengah
Pengajian ini diikuti oleh anak yang berusia 12-20 tahun dan dinyatakan telah melalui tahapan tingkat dasar. Materi yang dipelajari adalah:
-          Massaraq Baca yaitu pembacaan ulang ayat-ayat Al Qur'an fokus pada ilmu tajwid
-          Mambaca Kittaq Barazanji, yaitu pelajaran khusus membaca kitab barzanji dengan lagunya.
-          Massapina atau membaca Kitab Safinatun Najah dengan methode tanya jawab.
-          Massarapaq yaitu pelajaran khusus tentang nahwu dan tashrif, mengenal bentuk kata seperti kata kerja dasar. Yang meliputi Tsulasi Mujarrad, Mazid dan Ruba'I. Begitupula pembagiannya seperti fi'il (madhi, mudhari dan amar), isim (masdhar, fa'il, maf'ul, makan, alat, dan zaman). Methode membaca kitab sarapaq dengan menimbang dan menghafal kata.
Pengajian Tingkat Atas
Pengajian diikuti kelompok usia 20-25 tahun yang meliputi pelajaran:
-          Mannahwu adalah pelajaran nahwu sharaf yang materinya adalah membaca kitab jurumiyyah, Mutammimah dengan methode menguraikan kata dengan ditunjang oleh hafalan.
-          Mappakihi adalah jenjang khusus untuk belajar ilmu fiqhi dan ushul fiqhi dengan kitab Fathul Wahab (Abi Yahya Zakariyah), Kitab Fathul Qarib, kitab Fathul Mu'in (Zainuddin Muhammad Ibnu Qadim) dan Ushul Fiqh yang ditulis oleh Al Qudhrawi.
-          Matapsere adalah istilah pengajian kitab tafsir dan kitab hadits dengan menggunakan kitab Tafsir Jalalain (Jalaluddin Al Mahali dan Jalaluddin As-Suyuti), Tafsir Al Maraghi (Mustafa Al Maraghi), Tantawil Jauhari (Al Jauhari), Bulughul Maram (Ibnu Hajar Asy Qalani) dan Kitab Riyadush-Shalihin (Zakariyah An-Nawawi).
-          Mambalaga yanf mempelajari kitab Balagha Al Wadhiha)
-          Mattassopu atau pengajian tasawuf meliputi akhlak, ilmu kalam dan sastra dengan menggunakan kitab Maraghi al Ubudiyah, Tanbih Al Ghafilin, Jawahir dan Ihya' Ulumuddin.
Pengajian Tingkat Tinggi
Pengajian tingkat tinggi ini diikuti usia 25 tahun keatas dengan kitab rujukan yang dianggap lebih bermutu seperti Tuhful Muhtaj dan Nihayatul Muhtaj, Kitab Arodhi, Jam'ul Jawami', Jawahirul Maknun, Syarah Ihya' Ulumuddin.


SAMAR: Sang Kembara Yang Semangatnya Membara.


Oleh: Muhammad Munir

Tulisan perdana kemarin (Radar, jumat 08 Januari2016) menangkat sosok tentang Bakri Latief, salah satu tokoh dan aset besar yang dimilik Mandar hari ini. Beliau multi talenta, juga tak salah jika beliau saya sebut sufi ketika membaca deretan puisi sufistik yang sementara saya garap dengan Manajemen Rumah Pustaka untuk dijadikan sebuah buku. Rumah Pustaka dalam setiap pergerakannya hanya mencoba memberi warna bagaimana berliterasi tidak hanya sekedar menyuguhkan, memajang buku untuk dibaca, tapi sekaligus menulis buku, memotifasi anak-anak untuk menulis, hingga sampai pada proses menulis seorang penulis, menulis deretan tokoh yang jarang ditulis, yang pada gilirannya sampai pada proses mensifati sifat tuhan yakni membesarkan seseorang, membangun seseorang, menciptakan sesuatu tanpa harus merasa kurang apalagi rugi. Maka jadilah kegiatan literasi ini menjadi sebuah sujud sosial yang tak ubahnya ketika kita masuk ke masjid melaksanakan shalat. Ketika melaksanakan sholat, kita tak perlu meniatkan bahwa kita sholat tujuannya untuk menjadi terkenal, menjadi besar, menjadi hebat atau menjadi apalah. Cukup kita melasanakan kewajiban itu sesuai kemampuan kita, tanpa harus memaksa diri melakukannya seperti nabi, khalifah atau seperti Imam Lapeo, dan annangguru yang lainnya.

Pada edisi kedua tulisan ini, saya ingin memperkenalkan kembali pada khalayak tentang keberadaan seorang seniman yang kerap kita tonton lewat VCD Album Mandar, atau dipanggung-panggung hiburan ketika ada pernikahan, hajatan,dll. Ia kerap tampil dengan lagu gambus ala Mandar, massayang-sayang. Ia punya penglihatan tidak sempurna, karena sejak lahir menyandang cacat tunanetra. Postur tubuhnya tak seatletis olahragawan, tidak ganteng seganteng artis-artis lainnya. Namanya singkat dan gampang dihafal.
Dari namanya, kita sudah bisa ditebak bagaimana orangnya, Samar adalah akronim dari Sayang Matanya Rabun. Ia memang lahir menyandang cacat tuna netra. Matanya yang buta, tapi hatinya tidak. Ia bahkan mampu menaklukkan keterbatasannya dan tumbuh dengan kehidupannya yang mengalir bagaikan air. Ia tumbuh dan berkembang menjadi seorang seniman, musisi hingga jadi seorang artis daerah Mandar. Sudah lebih 50-an lagu Mandar yang ia ciptakan. Beberapa album telah ia telurkan dari berbagai studio rekaman, diantaranya Pelangi Record, Jansen Record, Mentari Record dan lain-lain. Tak terhitung lagu yang diciptakannya dan dipopulerkan oleh beberapa penyanyi terkenal seperti Mamat GS dll.

Samar lahir di Batulaya, pada tahun 1960-an. Kehidupan yang susah dan masa-masa sulit sempat ia lalui. Mapparu lameaju, maande jepa, maqdokkang Pare Uma atau sebutan padi varietas lama yang tumbuh dengan batang lebih tinggi, lebih panjang ketimbang varietas baru yang pernah diperkenalkan pemerintah tahun 1970-an lewat program intensifikasi pertanian, macam PB-5 dan PB-8 yang berbatang pendek. Kondisi itu ia gambarkan lewat judul lagu "Melo Anna Andiang" yang dipopulerkan oleh Mamat GS. Lirik lagu bercerita tentang seorang ibu yang hanya mampu menyediakan makanan berupa jepa, dan doayu (sayur) lako-lako (sejenis sayur dari daun belokka yang buahnya menjadi makanan ular). Lagu itu juga bercerita tentang lingkungan masyarakat yang memanen padi dengan cara maqdokkang (panen padi atau pare uma dengan memakai raapang, bukan sabit) sementara ibunya hanya bisa mapparuq lameaju (memarut ubi kayu untuk kemudian di peras untuk dibuat jepa dan sokkol lameaju). Sebuah potret kehidupan dan kemiskinan pada masa lampau. Tapi menyerahkah dia?

Justru keterbatasan dan kemiskinan itulah yang membentuk karakternya, hingga ia dengan percaya diri beranjak dari proses kehidupannya yang menjadi seorang yang produktif di dunia seni tarik suara. Sebagaimana seniman-seniman besar yang lain, ia hidup dari panggung ke panggung. Kelihaiannya menyusun syair lagu sayang-sayang secara spontan dan penampilannya yang pas-pasan menjadi kelebihan tersendiri yang menarik simpati dihati masyarakat untuk mengundang ia tampil dalam setiap hajatan masyarakat setempat. Sekitar tahun 1988 ia kerap tampil dengan group musik Al-Muntaha di Segerang (kemudian berganti nama Al-Maidah). Masih sangat kental dalam ingatan saya. Ketika itu, tak banyak group musik yang bisa ditonton selain Al-Muntaha.

Saat itu, Samar sering tampil bersama Sama'da (almarhum) yang kerap membawakan lagu hits Terbayang-Bayang punya H.Ona Sutra. Syair dan notasi lagunya sebagian melo, beberapa beraliran padang pasir versi Mandar dan jenaka. Yang belum beredar Sureq di Alaqbai, matematika ini akan diangkat menjadi sampul album. Album lagunya diproduksi oleh Mentari Record, Pelangi Record, dan studio rekaman lain yang saat ini bertebaran dan tumbuh pesat di Sulbar.

Lirik dan syair lagu yang diciptakan oleh Samar tidak seadanya, syair-syairnya memenuhi standar dan karya sastra. Ketika bertandan ke Rumah Musik Beru-Beru Orchestra dan Rumah Pustaka kemarin, saya tertarik dengan syair-syair lagu yang ia bawakan langsung dengan petikan gitar diiringi gesekan biola Ainun Nurdin (Guru Musik Violis dan musik tradisional Mandar). Pesan yang tersampaikan lewat lagunya cukup kena, salah satu yang lagu yang ia ciptakan (belum beredar) berjudul Matematika, syairnya kira-kira begini: Satu kali ceko, dua kali ngoa, tiga kali siriate, Sama dengan Sapupala...... Pada lagu lain iya lebih piawai dalam pemilihan diksi pura pasarri sarau, pura balimbubengngi ia eloq-u Itaq namapparessu.

Demikian juga dalam lagu sayang-sayang yang ia lagukan. Syair-syairnya menyentuh dan itu secara spontanitas, seperti yang sempat ia nyanyikan saat selesai wawancara singkat dengan beliau: Namesioa manette// Namesioa manette Sureq sau sumombal// Sayange dipucca sasi todiqmo// dipucca sasi di biring rappaq lembong//- Sarau sau sumombal kandiq-e// Sarau sau sumombal mesa lipa nabawa// Sayange upasang lembong, kasiq-na// Upasang lembong damu base-basei// - Lembong dadza murittassi kandiq-e//Lemmbong dadza murittassidadza mubase-base// Sayange basei manini kasiq-na/ basei manini lipa pangindangaq-u//- Ubutungngi miq-abase kandiq-e// ubutungngi miq-abase ditangngana lolangan// Sayange usanga pura kandiq-u// Usanga pura tandayang upelei//- Natiapai napura sayange natiapami napura tandayang mupelei// Sayange suka lesseqmu todiqmo// Suka lesseqmu suka tandi tetteqna//- Kakkar sombal manya-manya// kakkar sombal manya-manya peloq-ii dande-dande// Sayange dioma kasiq-na// Dioma todi ditappaq pedoangmu//- Tania rurangan bega// tania rurangan bega mattarraqi lopiq-u// Sayange uwai mata kandiqu// Uwai mata mettonang di palaming//- Usanga bura poyosang// usanga bura poyosang diseqdena lopiq-u// Sayange ikandi palaka Massassai bayunna//

Samar saat ini banyak berdomisili di Mamuju. Dengan penampilan pas-pasan itu jangan dikira ia tak punya istri, bahkan diusianya yang telah menginjak 55 ini telah tercatat 6 kali nande likka (menikah). Samar memang tidak bisa diremehkan oleh siapapun. Sebagai musisi, pencipta lagu, dan penyayi ia banyak menginspirasi generasinya di Mandar. Terlebih pada sosok yang matanya buta, giginya carepa, dan postur tubuh yang pas-pasan itu. Bagi semua wanita yang ada di Mandar, saya hanya ingin berpesan agar dalam menghadapi Samar, atau orang yang punya keterbatasan fisik seperti Samar, jangan pernah meremehkannya, apalagi mentertawainya/mengejeknya. Sebab kebanyakan dari sikap seperti itulah yang membuat Mandar terkenal dengan ilmu guna-gunannya. Padahal sejatinta, tanpa ilmu mistik begitupun Tuhan lihat dan Tuhan tau bagaimana memperlakukan hambanya yang dianiaya, diadzolimi atau istilah Mandarnya digauq bawang.

Dalam wawancara singkat dengan beliau kemarin, 05 Januari 2016, ia berpesan janganlah kalian bersifat Barungan, Barungan itu peko dilalang madzoro disumbaling, tapi bersifatlah seperti Onde-onde, mammis dilalang maloppo di sumbaling. Demikian ia menutup wawancara singkatnya dengan saya yang lagi-lagi disampaikan lewat lagu yang akan ia rilis dalam albumnya di tahun 2016 ini

ANNANGGURU DALAM IMPERIUM SEJARAH DAN SPEKTRUM POLITIK PRAKTIS




 
Oleh: Muhammad Munir
(Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar dan Pimpinan Komunitas Rumah Pustaka Tinambung)

Tanggal 25 Januari 2016 lalu, saya di undang pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Jamaah Pengajian Tarekat Qadariyah Sulbar di Limboro Kec. Limboro. Acara yang berlangsung di Lapangan Limboro tersebut dihadiri langsung oleh Gubernur Sulbar (Anwar Adnan Saleh), Bupati Polewali Mandar (Andi Ibrahim Masdar) serta Andi Ali Baal Masdar dengan KH. Ilham Saleh sebagai pembawa hikmah. Tulisan ini tidak bermaksud mengkampanyekan keberadaan ketiganya tentang suksesi 2017 yang saat ini lagi trend. Terlebih tak ingin membahas tentang KH. Ilham Saleh yang mengajak jamaahnya bermaulid bersama tiga politisi AAS, ABM dan AIM sebagaimana KH. Sybli Sahabuddin, SDK dan Aladin S. Mengga di acara Pengukuhan Pengurus Teater Flamboyant Mandar di Gedung Mita Tinambung (06 Januari 2016).

Saya hanya ingin sedikit mnyampaikan sanggahan kepada MC (Master Of Ceremony) yang mempersilahkan KH. Ilham Saleh naik ke panggung dengan sebutan Innongguru. Hal ini penting, sebab persoalan penyebutan gelar di Mandar adalah persoalan prinsip dan sakral. Seperti halnya Tosalamaq, Tomakakaq dan Tomanurung. Bagaimanapun juga, Annangguru adalah sematan yang tak harus diplesetkan lagi dengan sebutan Innongguru, Andongguru, Anreguru karna Annagguru adalah sebutan yang sudah baku di Mandar. Annangguru selain sebagai sebuah gelaran di Mandar, juga sekaligus menjadi status sosial di masyarakat. Posisi Annangguru bisa dipadankan dengan ulama yang dalam konteks lokal disebut Kiyai (Jawa), Ajengan (Jawa Barat), Teungku (Aceh), Buya (Sumatera Barat), Tuan Guru (Lombok) dan Gurutta (Sulsel). Meski sebenarnya peran antara Annangguru dengan Ajengan atau seorang Buya dapat saja berbeda, terutama dari segi peran, porsi dan posisi di masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat Mandar, Annagguru mempunyai dua peran sekaligus menjadi status yang dilikatkan padanya, yaitu sebagai elit sosial yang dijadikan sumber rujukan dan sebagai panutan yang sekaligus jadi pengayom masyarakat. Kedua peran itulah yang sukses dijalankan oleh Annangguru-Annangguru yang ada di Mandar, seperti Annangguru Ga'de, Annangguru Saleh, Annangguru Muhammad Tahir Imam Lapeo, Annangguru Sahabuddin dll. Peran dan status Annangguru sebagai elit sosial dan sumber rujukan itu bisa dilihat dari keseharian Annangguru seperti Imam Lapeo. Masyarakat sekitar menempatkannya sebagai sosok yang "diasiriq diarakke" (disegani dan ditakuti) dan setiap ada masalah yang dihadapi oleh masyarakat kerap menjadi pilihan pertama untuk dimintai bantuan dalam mencari jalan keluar.

Annangguru sebagai panutan itu disebabkan posisi annangguru dalam bertindak selalu "sippappas liq-a anna loa" (Sesuai kata dengan perbuatan). Annangguru juga lekat dengan nilai amalaqbiang di Mandar karena dianggap "Macoa kedzo, Macoa loa, Macoa gau". Hal itu menjadikan masyarakat selalu patuh terhadap informasi yang disampaikan oleh Annangguru. Annangguru Kuma (Salah satu anak Imam Lapeo) setiap saat memberikan informasi kepada masyarakat supaya "mattulaq bala" pada hari jumat jika dianggap alam lagi kurang bersahabat atau "makarraq nawang". Makarraq nawang itu misalnya akan ada ancaman banjir besar, angin puting beliung dll. Masyarakat dengan serta merta melakukan apa yang diperintahkan annangguru, sebab annangguru sebagai panutan dianggap sosok yang suci dan mampu melihat peristiwa yang akan terjadi.

Ketika terjadi banjir besar pada tahun 1987 annangguru mennjadi pelarian untuk minta do'a, demikian juga saat angin kencang atau badai, annangguru juga menjadi harapan masyarakat untuk mengalihkan arah angin. Hal-hal seperti itulah yang menjadikan Annangguru sebagai panutan yang patut dipatuhi sekaligus sebagai pengayom yang diharapkan mampu melindunginya dari mara bahaya. Imam Lapeo seperti yang banyak diceritakan secara tutur dan turun temurun, pernah tiba-tiba menghentikan pengajian di rumahnya dan langsung ke teras sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara. Annangguru Tosalamaq Imam Lapeo menjawab ketika ditanya muridnya, bahwa apa yang barusan dilakukan adalah upaya untuk menyelamatkan sekelompok nelayan yang sedang diamuk badai dan nyaris menenggelamkan kapalnya. Dan benar saja, sebab beberapa hari kemudian sekelompok nelayan dari Bugis yang datang berziarah dan bercerita bahwa keselamatannya berkat dan atas pertolongan Imam Lapeo, yang tiba-tiba muncul dibagian kepala perahu dan badaipun berlalu.

Pada saat Adam Air jatuh tahun 2007 lalu, salah seorang Annangguru sudah meramalkan bahwa akan ada peristiwa yang akan menngemparkan dunia. Dan ternyata benar, sebab Adam Air jatuh disekitaran teluk Mandar yang dalam pencarian kotak hitamnya melibatkan beberapa ahli dari Amerika. Demikian sosok Annangguru di Mandar. Bukan lagi sebuah dongeng sebab sejarah juga begitu gamblang menguraikan tentang keberadaan sosok annangguru-annangguru yang sempat lahir dan menyebarkan ajaran Islam, ajaran kebenaran. Bahkan salah satu yang memicu perkembangan agama Islam begitu pesat dan cepat diterima oleh masyarakat disebabkan oleh annangguru-annangguru yang menyampaikan dakwahnya.

Termasuk dalam hal ini, wilayah DOB Balanipa yang saat ini diperjuangkan sebagai kabupaten adalah salah satu wilayah yang tak satupun tempat ibadah lainnya selain Masjid. Dari 7 Kecamatan yang ada, nyaris disetiap kampung ada masjid. Ini tentu disebabkan oleh kehadiran sosok Tosalama dan Annagguru-Annangguru yang ada dan tetap terlahirkan sampai saat ini. Akhirnya Catatan ini saya tutup dengan sebuah harapan, Jangan adalagi acara-acara resmi yang memanggil annangguru sebagai Innongguru. Dan mereka yang saat ini dianggap sebagai sosok annangguru di Mandar, semoga mampu menjaga nilai-nilai sakral dibalik gelaran dan sematan yang didasari kepercayaan penuh dari masyarakat. Jangan usik pendahulu kita dengan tampilan sebagai Jurkam, sebab siapa lagi yang akan menjadi trah Tosalamaq kita jika Annanngguru-Annagguru juga tergadai dalam pusaran demokrasi yang namanya politik.

Semoga Annangguru kita hari ini bisa sedikit lebih cendekia, intelek dan mencoba merogoh kantong sejarah untuk mentadabburi kisah Abu Dzar Al Ghiffari yang dijamin Iman dan ketakwaannya oleh Rasulullah, tapi ketika meminta jabatan politik kepada Rasulullah, justru beliau disarankan oleh Rasulullah untuk tidak menjadi pejabat negara. Lalu apa yang ingin difaktualkan oleh Rasulullah atas kisah tersebut? Ternyata sangat sederhana, bahwa untuk membangun dan memperbaiki Negara dan keadaan di Mandar Sulawesi Barat, tanpa jadi gubernurpun bisa. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi renungan bersama. Wassalam bilma'af !