Minggu, 22 Januari 2017

VIDEO: Parrawana Towaine ala Bamba Tipalayo




Rawana atau parrawana (rebana) adalah sebuah jenis pertunjukan yang ada di Mandar. Jenis alat dan pertunjukan ini mulai ada ketika islam masuk di Mandar dan dalam perkembangannya, pertunjukan ini kerap kali mengiringi atau di pertunjukan ketika masyarakat mempunyai hajatan keagamaan seperti khataman qu’ran dan mengiringi iringan pengantin.
Jenis pertunjukan ini dimainkan tidak hanya oleh kelompok laki-laki atau parrawana tommuane tapi juga kelompok perempuan yang disebut parrawana towaine yang dalam pertunjukan bisanya perempuan yang menabuh rebana ini menggunakan kostum pakaian adat Mandar.
Baik parrawana tommuane maupun parrawana towaine, tabuhan rebana dan syair lagunya semuanya mengandung pesan agama dan seruan-seruan moral, seperti:
“Manu-manu di suruga, saicco pole boi,
Allahmappettuleang, tosukku sambayanna.....
Passambayammoqo naung, pallima wattumoqo,
Allahiyamo tuqu pewongan di ahera...”,dst.
Hanya saja parrawana towaine syair lagunya memakai bahasa Mandar sementara parrawana tommuane menggunakan bahasa arab yang di ambil dari kitab Al Barzanjiy seperti al burdah (burudah), tananka, asyrakah dll. Selain itu, tabuhan rebana pada pertunjukan parrawana tommuane tersirat kalimat tahlil, misalnya, tabuhan “de dung de dung de de dung...” Ketukan ini menyiratkan untaian “laa ilaha illallah...”.
Alat musik yang digunakan adalah rawana besar dan kecil, terbuat dari batang kayu yang di bentuk sedemikian rupa dengan bagian sisi depannya di bungkus kulit kambing (pakolong) yang sudah dikeringkan,sedangkan personilnya terdiri dari 8 sampai 15 orang yang semuanya di haruskan menyanyi mengikuti irama rawana.

RUMPITA : DARI BUMI PA'BICARA KE NEGERI TANETE TAMBOTTU TAPPALANG



Catatan Muhammad Munir

Terhitung mulai jum’at-sabtu dibilangan tanggal 20-21 Januari 2016, Rumpita resmi menyapa masyarakat dibumi Tanete Tambottu. Tim Kreatif RUMPITA dan Lentera RUMPITA Majene mencoba mengurai dan mengelaborasi bentuk pengabdiannya menyapa generasi Tappalang, salah satu dari wilayah adat yang tercatat dalam gugusan litaq Ba’bana Binanga dalam konfederasi Mandar pada tahun 1580-an di Balanipa. Kendati Tappalang sendiri adalah rumpun keluarga dari Ulusalu dari garis keturunan neneq Tambuli Bassi. Namun menjadi satu lewat RUMPITA sebagai perekat penyatuannya dalam memesrai litaq pembolongang.

Hari Sabtu 21 Januari 2017, tak ada hujan deras mengguyur sebagai penghalang, tak juga ada badai yang menghantam. Yang ada hanya waktu yang serba sulit untuk dibagi ditengah perampungan beberapa naskah buku yang akan naik cetak di Triwulan Pertama 2017 ini di Polman dan Majene. Rasanya sudah pesimis untuk bisa memenuhi panggilan dari adik-adik Lenetera Rumpita untuk menyambangi Tappalang. Ada usulan untuk diundur ke tanggal 28 Januari sebab pada tanggal 29 ada agenda di Mamuju kota. Usulan tersebut ternyata ditampik dengan mengirimkan armada mobil untuk angkut buku dari Tinambung ke Tappalang. Itulah Ade, sang pemilik mata indah dari genetik neneq Tambuli Bassi di Taang ini bersikeras untuk menggolkan agendanya di Tappalang.


“ SMA Negeri 1 Tappalang dan anak-anak di Desa Taan dan Kasambang terlanjur mengharapkan kedatangan Tim Kreatif RUMPITA untuk bisa berbagi pahala sosial lewat aksi gelar buku dan bincang literasi di SMA Negeri 1 Tappalang”. Katanya Ade Irma Yuniar. Tentu saja kondisi tersebut mau tidak mau harus menyiapkan TIM Kreatif Rumpita untuk bisa menghadiri agenda tersebut. Dan benar saja, Nursaid Nurdin tiba-tiba mengambil keputusan, “Kita harus terima panggilan itu kanda, tidak bisa tidak sebab mereka juga adalah bagian dari anak negeri ini yang berhak mendapatkan apa yang bisa kita berikan kesana”. Tak ayal lagi, Adnan Wardihan, Asrar, Alling mengambil langkah dan berkemas untuk menempuh perjalanan panjang yang membutuhkan durasi sampai 2 jam naik kendaraan bermotor.

              Ade Irma Yuniar, Asmawati, Tuti, Mila, dkk ternyata sudah menunggu disana. Kekhawatiran jangan-jangan mereka menunggu membuatnya harus berangkat lebih dulu. Dan ternyata benar. Mereka sudah dalam penantian untuk bisa menepis rasa malu jika tak ada personil RUMPITA yang kesana. Anehnya, tak tampak sama sekali rasa susah atau apapun yang tergurat di wajah Nursaid dkk. Mereka bahkan penuh semangat dan kegembiraan. Baik Nursaid dkk maupun mereka yang di Tappalang rupanya sangat senang mendengar kegiatan ini tak ditunda.


              Gelar Buku dan Bincang Literasi di Tappalang ini ternyata sangat membakas di wajah-wajah kecil yang polos itu. Dari mereka ditemukan talenta baru dan anak-anak yang sangat gembira mengikuti aksi gelar buku dari personil Rumpita. Hingga sampai pada kesimpulan bahwa RUMPITA harus bisa menjadi katalisator budaya literasi di Tappalang yang memang sudah punya fasilitas SUDUT BACA di SMA negeri 1 dan dibeberapa desa di Kecamatan Tappalang.

              Selain upaya menebar virus literasi dalam artian mendekatkan akses bacaan ke masyarakat, muncul juga keinginan untuk mendalami jejak-jejak peradaban di BUMI TAPPALANG. Begitulah yang menjadi tradisi di RUMPITA pada setiap kunjungannya disebuah tempat. Mereka adalah insan-insan yang tak ingin dikatakan generasi yang gagal paham, menggendong lupa dan sejenisnya. Mereka sebisa mungkin menelisik dan mengorek kedalaman untuk bisa menemukenali sukma sebuah daerah. Hingga sebuah pertanyaan muncul dalam benak mereka, mengapa disebut Tappalang?

           Menurut beberapa peneliti dan cerita tutur yang berkembang dimasyarakat bahwa Tappalang adalah salah satu komunitas masyarakat yang peradabannya sudah berkembang pada abad ke-12. Abad ke-12 tersebut eksistensi masyarakat adat Tapalang telah terwujud. Masyarakat adat Tapalang memiliki kebudayaan lengkap dengan norma dan aturan, memiliki sistem interaksi sosial, sistim ekonomi dan sistim pemerintahan yang dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.  Mereka hidup rukun, aman dan damai, semangat gotong royong, persaudaraan dan kesetiakawanan dijunjung tinggi. Masyarakat hidup saling menghargai dan tolong menolong. Yang membuat Tappalang tak terekspos sebab masyarakat lebih kental dengan budaya tutur.


Sejarah asal Tappalang mempunyai banyak versi yang berkembang. Namun, yang banyak dijadikan referensi adalah ketika seorang lelaki dari Tabulahang bernama Tambuli Bassi  bersama rombongan melakukan perjalanan melalui Tanete Tambottu (gunung yang tidak terputus) hingga tiba di suatu tempat yang bernama Karatuang (kaki bukit Dusun Tamao Desa Tampalang). Di tempat itulah berakhirnya perjalanan Tambuli Bassi dimana tongkat dari bambu emas itu ditancapkan dan berkata dalam dialek rumpun bahasa ulunna salu "diami inde tampa' lalangtaq" (disinilah ujung perjalanan kita). Sampai sekarang wilayah ini dikenal dengan sebutan Tampalang atau Tappalang yang berarti ujung jalan.

Diujung jalan itulah RUMPITA kini berhenti sejenak. Berhenti untuk kemudian mengatur langkah bagaimana mendesai wilayah ini agar tak saja ada, tapi juga diakui sebagai sebuah wilayah yang dahulu berdaulat dan menjadi pusat peradaban di Mandar. Inilah kerja-kerja RUMPITA kedepan. Literasi mesti menjadi sebuah gerakan kolektif untuk tidak saja berhenti pada target membaca dan meningkatkan minat baca. Namun yang terpenting bagaimana mereka yang hari ini membaca, kedepan bisa menulis minimal menulis apa yang pernah terjadi, yang terjadi saat ini dan yang akan terjadi kedepan. Itulah nilai paling hakikat dari sebuah gerakan literasi.  

Sabtu, 21 Januari 2017

MENU MENENUN ASA



(06)
 


Aku dan segala tentang masa laluku
Dan ketika pucat pasih menenun letih
Kau dengan tanpa basa basi melumatnya
Tak berbilang waktu, aku kau kubur ditoiletmu
Terurai oleh pengurai yang tak jelas rumbu apinna
Kau mungkin lupa bahwa aku yang terurai itu
Lahir kembali jadi unsur hara yang lebur bersama makan malammu
Dan aku mengantarmu tidur untuk mencumbuimu
Tak kau sadari, masa lalu itu yang mengikis malam
Menjemput pagimu !

Aku yang berada bersamamu saat ini
Dan segala tentang hari hari depanku
Kau coba untuk membenamkannya di ujung senja
Kau teteskan pada undu ditangnga bongi
Kau leburkan pada mimpi burukmu
Dan lalu kau jadikan pembilas kain cucianmu
Tapi kau lupa, senja dan undu adalah aku
Mimpimu adalah wujudku
Aku terselip dikainmu dan menetes terserap akar
Menguap tertiup angin dan terbentuk jadi kristal air
Dan ketika hujan membuaimu mimpi indah
Lagi-lagi akulah mimpi itu, dan kain yang membungkusmu juga aku
Tak akan ada yang janggal ketika undu menusuk dingin diporimu
Sebab lagi-lagi aku ada diantara semuanya !

Masa laluku,
Akan sangat indah jika kau jadikan menu
Menu untuk jamuan setiap makan malammu
Masa depanku,
Akan sangat nikmat jika kau jadikan lalapan
Untuk santap siangmu
Dan aku sekarang, akan sangat bahagia
Jika disetiap menu makanku, kau adalah satu yang sempurna
Agar dalam setiap tidur kita adalah sebuah mimpi
Mimpi yang akan mengubah segalanya menjadi indah

Kontar, 1 Februari 2015

MANDARKU !


(05)

Inilah rinduku
Rinduku yang buncah
Pada ilalang, tanah mea, mappurondo dan sengo-sengo
Rinduku yang pecah
Pada gunung, tebing, rindang pohon dan riangnya burung
Rinduku yang luruh
Pada atap bocor, lauk campur undo dan kaki telanjang
Rindu Kondosapata, uwai sapaleleang,
Londodehata,
Gandang dewata, andiri tatteppong dan juga burekkong
Inilah rinduku pada
Mandarku di Ulunna Salu

Inilah cintaku
Cinta dari hatiku yang luluh
Pada ritus kematian, pada situs raja-raja dan assitalliang
Cinta dari hatiku yang tumbuh
Pada gadis panetteq, passauq uwai, pambulle boqbo dan pakkaloe
Cinta dari hatiku yang lusuh
Pada posasiq dan paqgae yang tegar setegar karang,
Massabung sungaq demi menjaga paqmai paqbanua

Inilah cintaku
Pada Mandarku di Baqba Binanga
Rindu dan Cinta
Mengantarku selalu tiba
Meski aku tak pernah pergi
Rindu dan Cinta
Mengajakku selalu berangkat
Meski aku tak pernah bergerak
Rindu dan Cinta
Hanya membuatku berkata
Akulah tanah
Akulah air
Tanah airku !
Adalah Mandar

Batulaya, 18 Juli 2015

BANGUN MEMBANGUN PEMBANGUNAN.


Catatan Waktu Luang Muhammad Rahmat Muchtar


Kredo pemikiran apa lagi yang mesti kita terapkan dalam hidup bermasyarakat terutama hal membangun. Kawan satu mengatakan pembangunan ekonomi lebih utama, sedang kawan dua menguatkan pembangunan SDM. Kawan tiga pun berkilah : “Contohnya saya yang tak dapat menempuh pendidikan tinggi karena ortu tidak mampu secara material“. Tekanan ekonomi akibat SDM ?. Kawan empat tak mau kalah : “ Cuma inilah yang mampu kami kerjakan karena SDM terbatas “. Tekanan SDM akibat ekonomi ?. segalanya teramat berarti. Hematku, dikampung-kampung banyak manusia potensial yang berkepribadian kuat tanpa pendidikan tinggi tapi tidak mendapat ruang. Itu berarti pembangunan SDM macet ! Banyaknya sarjana-sarjana yang menganggur tanpa dapat membuka peluang kemandirian & kesejahteraan. Apakah penyebabnya daya pembangunan ekonomi atau SDM? Cari sendiri.

Teman lainnya berceloteh : keduanya model pembangunan diatas tidak bisa mantap tanpa ulama dan mubaligh serta orang-orang bertaqwa. Nah, kalau demikian apakah tugas ulama dan mubaligh dalam pembangunan? Saya kira tugas mereka adalah: menolong membangkitkan dan mengerahkan potensi-potensi dalam diri manusia agar bisa semaksimal mungkin mampu mengembangkan diri dan menjawab problem-problem lingkungannya. Jadi ulama dan mubaligh bertugas untuk memperkaya rohani manusia agar menjadi sadar dan kemanusiaannya. Partisipasi mereka bukanlah mencangkul, membangun pabrik, berdemonstrasi atau membuat partai, Fungsi mubaligh hakekatnya adalah fungsi kebudayaan (spiritual culture) atau fungsi mentalitas. Hanya sayang, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa fungsi mental para mubaligh, ulama atau rohaniawan tersebut telah digunakan untuk memundurkan mental bangsa dan bukan memajukannya. (Ahmad Wahib : Pergolakan Pemikiran 1971)

Saudara sekampung menimpali : berarti yang belum tuntas terjamah adalah pemberdayaan atau pembangunan “spiritual”..? batinku, mana aku tahu sebab ialah yang maha tahu ! Ada baiknya kita kaji apa itu pembangunan material dan apa itu pembangunan spiritual. Bagi saya pembangunan material ialah : pembangunan ekonomi, teknologi, pengajaran, keahlian, ketrampilan dan manajemen. Sedang pembangunan spiritual ialah pembangunan politik, kebudayaan, pengembangan kesenian, filsafat dan penyuburan hidup berkeTuhanan. Bagi saya-andaikata keduanya tidak terpisah hanya secara teoritis –pembangunan spiritual jelas setidak-tidaknya tidak dibawah pembangunan material. Untuk bangsa Indonesia yang masih tradisional, bagi saya pembangunan spiritual menjadi lebih penting. Fungsi pembangunan spiritual dalam ikut melancarkan pembangunan material ialah mengembangkan potensi dalam diri manusia dan dalam bimbingan antar manusia agar secara maksimal mendorong pembangunan material.

Fungsi pembangunan material dalam ikut melancarkan pembangunan spiritual ialah menyediakan fasilitas-fasilitas material agar pembangunan spiritual itu bisa terjadi dan lancar. Jadi pembangunan spiritual berfungsi mendidik dan mengarahkan manusia-manusia agar semaksimal mungkin mampu mengeksploitir kemungkinan-kemungkinan material di sekitarnya. Jelas dengan begitu pembangunan spiritual tidak hanya identik dengan pembangunan masjid, madrasah, gereja, Departemen Agama atau memperbanyak sarjana dan mahasiswa IAIN. Malahan bila mendapat pengisian seperti sering terjadi sekarang ini, hal-hal seperti di atas lebih banyak menghasilkan kemerosotan spiritual. Terus terang aku sangat curiga dengan mereka yang menamakan diri golongan atau pejuang-pejuang spiritual sekarang ini, sebab pada hakekatnya mereka itu adalah orang-orang atau golongan-golongan yang secara spiritual jauh ketinggalan dari mereka yang dituduh mengabaikan pembangunan spiritual. Ternyata pengertian spiritual di Indonesia telah memperoleh pengertian yang salah, yaitu diluar konteks pembangunan material-spiritual. (Ahmad Wahib : Pergolakan Pemikiran 1971)

Bila kita lihat fenomena yang mengemuka, capaian-capaian dan pola serta cara yang berkembang di Indonesia temporer ini, maka pra dan pasca pemikiran Ahmad Wahib ini terlahir terasa bagus dikuliti atau dijadikan sebagai acuan untuk mencapai jalan keluar kedepan. Tentu dengan penyesuaian kondisi perkembangan. Tapi kita bisa lihat dan rasakan bagaimana bobot perkembangan pembangunan juga dampaknya, baik dikampung, kecamatan, kabupaten, provinsi dan seterusnya, lewat TV, medsos, Koran dll.

Sebagaimana ia yakin bahwa problem pokok di Indonesia ialah problem spiritual. Problem spiritual dan problem material memang sama-sama ada dan saling berkait. Tetapi kesulitan-kesulitan dalam pembangunan material yang disebabkan oleh hambatan-hambatan spiritual jauh lebih besar dari pada kesulitan-kesulitan dalam pembangunan spiritual yang disebabkan oleh hambatan-hambatan material.

Kawan 1,2 & 3 serta teman-teman lainnya sontak sadar waktu : aiii.. Kerja…kerja…kerja, Bangun Membangun Pembangunan. “ Mupiala Boa “.
By. Rahmat
Jakarta, januari 2017