PENGANTAR EDITOR
Sebuah buku lahir tentu tanpa maksud. Buku
tidak hanya menyimpan gagasan tapi juga panduan. Seperti itulah buku yang sedang
anda pegang ini. Buku Silat Buraq Padang ini adalah sebuah teks yang dilahirkan
sebagai penanda hubungan dialektik dengan realitas. Penulisnya ingin
menghidupkan harapan menjadi jejak realitas untuk menjadikan ilmu silat dan
kependekaran orang Mandar lampau kedalam sebuah buku agar lebih abadi. Jika
merujuk pada sebuah ungkapan kata latin“Verba
Volant Sripta Manent” (Apa yang diucapkan akan hilang tetapi apa yang
ditulis akan abadi), buku ini menjadi jawaban untuk mendukung pernyataan
tersebut.
Mengapa semua harus ditulis, sebab
keterbatasan memeori manusia dalam mengingat peristiwa-peristiwa penting dimasa
lalu yang membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia dimasa kini dan dimasa
yang akan datang. Suryananda, S. Ip, pemuda yang lahir di Batulaya
ini telah berhasil mengabadikan pesan, gerak dan perilaku para pendekar di
tanah Mandar. Meski sesungguhnya, tulisan tidak akan mampu mewakili ilmu
kependekaran yang dimiliki oleh para guru disetiap padepokan, paling tidak buku
ini mampu menarasikan dasar dan akar sejarah tentang silat dan paham rahasia
yang dimiliki oleh para pendekar di tanah Mandar.
Beberapa naskah yang disodorkan kepada saya,
naskah pertama adalah naskah buku Silat Buraq Padang Balanipa, buku kedua
adalah salinan kitab tua yang ditulis dengan Arab gundul (serang) dalam bahasa
Bugis dan sebagian menggunakan aksara laontaraq
yang berisi banyak informasi tentang ilmu kebathinan dan dunia tasawuf. Penulis
buku Silat Buraq Padang Balanipa ini
meminta saya untuk menjadi editor. Ini tentu menjadi sebuah tawaran yang mengerikan, sebab saya adalah orang yang sama sekali awam
dengan dunia persilatan, terlebih lagi menjadi editor pada buku yang penulisnya
adalah seorang anak muda hebat, cerdas dan sementara dalam penyelesaian studi
S2-nya di Universitas Nasional Jakarta.
Satu hal yang menggoda saya untuk bisa
menerima tawaran ini adalah ketertarikan saya pada keberadaan Silat Buraq Padang Balanipa yang saya
sering dengar sebagai padepokan silat yang intens menjaga martabat perguruannya
melalui konsep nappas, paingarang,
pena’ding dan pammase sebagai struktur dasar untuk membangun gerakan/jurus.
Sebuah proses yang tidak saja kreatif tapi pelakunya pasti sampai kepada maqam dimana Allah
menghalalkan dirinya sebagai wujud yang mewujud dalam diri manusia untuk sampai kepada ruang ma’rifah dimana Allah
menurunkan hidayah berupa pammase
assalamakang. Apa yang dilakukan oleh Padepokan
Buraq Padang ini sesungguhnya merupakan implementasi dari jalan menuju
Tuhan, yaitu Syariat, Tarikat, Hakikat dan Ma’rifat.
Nappas,
paingarang, Pena’ding dan Pammase
tersifati dalam tubu, ate, nyawa anna rahasia
yang tentunya juga menjadi rangkaian dalam pembahasan unsur 4 dalam struktur
tubuh manusia yaitu tanah, air, api dan angin. Keberadaan manusia yang lahir
kedunia ini pada titik nol kilo meter menghadapi 4 arah mata angin, timur, barat,
utara dan selatan sekaligus masuk pada zona nikmatnya rateq zikkir appeq (Lailaha Illallah, Allah-Allah, Huwa-Huwa,
ah ah).
Mendalami naskah Silat Buraq Padang Balanipa ini, membutuhkan beberapa tahapan untuk
sedikit bisa memberikan gambaran tentang gerak-gerik tubuh dalam Silat Buraq Padang ini. Pengamatan
terhadap gerak silat yang disebut Ripung
keqdeq anna milliq-a (artinya berdiri tegak dan melangkah) ini
sungguh menghentak dan membuat siapapun akan terperangah dan berdecak kagum.
Betapa tidak, Ripung atau
dua kaki yang berdekatan (posisi siap) adalah gerak refleks dengan posisi tegak atau berdiri. Dalam
proses itu, saya menemukan makna rahasia bahwa
pelaku dari Silat Buraq Padang ini, sadar atau tidak, bukanhal berlebihan jika saya menyebutnya sebagai
struktur bangunan shalat. Tentu saja ini akan menjadikan pelaku Silat Buraq Padang bisa memposisikan
dirinya sebagai hamba yang memahami diri untuk mengenal kebesaran tuhannya. Ripung Keqdeq adalah penanda bagi seorang
yang tak suka mencari masalah dan berdiri dijalan yang benar. Ripung
Alepuq adalah tegak alif dan langkah Ahmad (Muhammad) yang
menjadi tolak ukur dalam pengambilan langkah selanjutnya.
Baru
pada segmen pertama pendalaman materi terhadap silat Buraq Padang Balanipa ini, ada pembacaan saya terhadap struktur
gerak Silat Buraq Padang ini pastinya
bukan hanya sebuah proses seni beladiri tapi sekaligus
menjadi gerakan yang inti untuk lebih intim dalam ma’ajappui sambayang. Dalam Silat
Buraq Padang Balanipa,
ada bangunan utuh tentang oroang mappejappu dilalanna sambayang.Ini
mungkin subyektif, dan bisa dianggap sebuah
proses pengebirian secara verbal terhadap kelompok silat lain. Saya hanya
mencoba mendalami dan mengurai inchi demi inchi gerakan dalam Silat Buraq Padang. Jika seandainya pembaca tertarik untuk
mendalami silat ini, Saya yakin pembaca akan menemukan sebuah kesepakatan dan
kesefahaman bahwa Silat Buraq Padang
Balanipa ini adalah wadah yang sekaligus menjadi spektrum setiap manusia untuk bisa memahami atau ma’ajappui sambayanna.
Sebagai
editor, saya tentu tidak ingin membiarkan pembaca larut dalam perasaan yang
mengambang terhadap pemaknaan dan pemahaman tentang Silat Buraq Padang ini, sehingga selain saya harus merekomendasikan
agar pembaca bergabung dalam silat ini, juga sangat penting untuk saya buatkan
narasi dalam bentuk penjelasan-penjelasan dasar supaya tidak ditelikung dalam pemaknaan
yang menyesatkan. Pun saya
terus terang, bahwa untuk menjelaskannya secara utuh jelas tidak mungkin, sebab
dalam Silat Buraq Padang ini ada segmen
tertentu, dimana
tahapannya tak lagi bisa menggunakan hurupuq, saqda atau bamba.
Kendati
demikian, ada beberapa poin penting yang ingin saya urai untuk mengantar
pembaca memahami alur buku dan Silat
Buraq Padang ini. Mengantar dalam artian, memahamkan makna dasar tentang Alepuq (Alif),
olah nafas (pessung pettamanna nappas),
Zikkir Appeq sampai pada proses menemukan sukma dari konsep Daqdua Tammassarang
Tallu Tammallaisang. Perlu saya ingatkan bahwa saya tentu tidak
dalam rangka memposisikan diri sebagai orang yang paling faham, tapi sekedar sharing informasi bahwa inilah yang
sempat saya ketahui dalam beberapa pertemuan dengan annangguru yang saya jadikan sumber rujukan melalui proses mattaleq kittaq dan mangaji matteq.
Sekedar diketahui bahwa Mandar adalah salah
satu suku bangsa yang besar di Sulawesi. Mandar dikenal mempunyai karakter dan
watak yang religius jauh sebelum is lam menjadi agama
yang resmi diterima oleh kerajaan. Pemahaman keagamaan orang Mandar lebih
menjurus ke ajaran ilmu tasawuf. Tidaklah seperti yang diamalkan oleh golongan
islam keras seperti yang dianut beberapa aliran keagamaan di Indonesia hari. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa
kajian tentang Alepuq dalam berbagai interpretasi,
tentang Zikkir Appeq, tentang Jeqneq Talluka Sambayang Tappattu,
Assalamakang dan Akaqbalang, sampai
kepada persoalan Daqdua Tammassarang
Tallu Tammallaisang yang selalu melingkupi kajian-kajian keagamaan kita di
Mandar.
Nilai
spiritual yang diyakini oleh orang Mandar menjadi spirit dalam mendalami ilmu silat. Nilai itu menjadi hal yang tidak bisa
dipisahkan, karena setelah islam masuk ke Mandar, silat adalah salah satu media
terbesar dalam proses islamnisasi.
Semua unsur spiritual dalam silat di Mandar menjurus
ke agama islam, contoh
alif, lam, lam, ha yang bermakna
ALLAH.
Berikut
beberapa deskripsi singkat tentang nilai-nilai spiritual yang ada di Mandar sampai hari ini :
1. Alepuq
Alepuq
atau Alif adalah permulaan huruf
hijaiyah yang dijadikan simbol dalam pembahasan ilmu tasawuf. Alif berasal dari sebuah ‘titik’ yang
kemudian dalam ejaan sering kita dengar sebutan A-I-U atau U-I-A. A-I-U ini
oleh kelompok tarekat di Mandar mengenalnya sebagai Bamba Tallu atau Saqda Tallu
(Bugis). Alepuq digambarkan sebagai
penanda dalam tehnik olah nafas dan buang kataqber (takbiratul ihram). Seorang
annangguru ketika akan membaiat
muridnya untuk masuk dalam pemahaman ilmu tasawuf menjadikan alif sebagai simbol untuk menuntun sang
murid dalam olah nafas. Nafas memang bukan yang inti dalam ajaran tasawuf,
terlebih nafas tak harus dijadikan parameter dalam mengunci pemahaman suatu
ajaran atau ilmu. Alif hanya menjadi
catalisator untuk mengukur sampai dimana seorang murid mampu memahami konsep qiyamuhu linafsihi (berdiri dengan
sendirinya), untuk sampai pada tahap suksesnya seseorang dalam takbiratulihram.
Takbiratulihram
adalah tahapan paling awal dan melakukannya tidak cukup hanya pada gerak dan
tarikan nafas melainkan ia menjadi gerbang untuk sampai pada proses mappejappudilalalannasambayang. Jika
tahap takbiratulihram (buangkataqber) ini gagal maka akan
sangat berpengaruh pada tahapan selanjutnya. Takbiratulihram atau buangkataqber
ini mesti dilakukan secara paripurna untuk bisa sampai pada maqam tertentu
dimana sholat tidak saja menjadi gerakan penggugur kewajiban, tapi sekaligus
sebagai sebuah proses untuk merasakan nikmat dari rahmat yang diturunkan oleh
Allah. Sukses dalam shalat adalah ketika mampu merasakan kenikmatan, kenyamanan
dan kedamaian dalam tahapannya. Ketika itu tak bisa dirasai, maka setiap dari
kita perlu belajar untuk membaui energi dari setiap gerakan sholat.
Khusus
dalam hal ini, para pembaca tentu tidak harus mengandalkan protes, tapi harus
bisa mendalami dan mempertanyakan kebenarannya kepada annangguru yang lebih paham, termasuk kepada para pendekar pencak
silat khususnya padepokanSilatBuraqPadang.
Tak ada kerugian untuk sedikit bisa menelusuri kenikmatan-kenikmatan dalam
gerakan sholat dan gerakan-gerakan silat. Dari sana, pembaca pasti akan
menemukan sukma setiap gerakan sholat dan gerakan silat. Nafas dan alif adalah pengunci untuk bisa mengukur
kekuatan gerak, sekaligus menemukan bahwa nafas memang dibutuhkan dalam alur
kehidupan, tapi ada sisi atau tahap tertentu dimana kehidupan kita semai dengan
nikmat tanpa kehaadiran nafas.
2. Zikkir Appeq
Zikkir Appeq
atau Zikir Empat dikenal lewat ungkapan Lailahaillallah,
Allah-Allah, Huwa-Huwa, AhAh. Ini adalah bentuk zikir bagaimana dalam mengingat dan
berkomunikasi dengan Tuhan tidak melulu hanya mengandalkan huruf, tapi bamba dan saqda menjadi sesuatu yang niscaya untuk difahami. Dalam uraian ini
jelas, LailahaIllallah adalah zikir
syariat, Allah-Allah adalah zikir tharekat, Huwa-Hua adalah zikir hakikat dan Ah-Ah
adalah zikir ma’rifah.
ZikkirAppeq ini
juga menjadi zikir bagi tubuh, hati, nyawa dan rahasia (tubu, ate, nyawa dan rahasia). Ini akan menjadi bekal untuk lebih
fokus mendalaminya, entah dijadikan rateq
atau yang lainnya, tapi yang pasti ini menjadi petunjuk dan penolong dalam menghadapi
sakaratul maut. Mendalaminya pun
harus dengan berkah annangguru, bukan
lewat bacaan,
lebih-lebih bukan di google.
3. Puang Anna Nur Muhammad
Untuk
mengenal Puang (Tuhan) seseorang
harus terlebih dahulu mengenal dirinya, dalam artian bahwa untuk sampai pada
pengenalan terhadap Tuhan, terlebih dahulu harus memahami dua hal. Pertama, Harus terlebih dahulu mengenal
asal muasal tentang dirinya sendiri, dari mana, dimana dan bagaimana ia
dijadikan ?.Kedua, harus terlebih
dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah SWT. Kedua
perkara tersebut menjadi prasyarat kesempurnaan dalam proses mengenal Allah
SWT.
Hal
yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur
Muhammad yang kemudian dari Nur Muhammad
ini Allah menciptakan roh dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad
inilah Allah menciptakan semua roh termasuk roh manusia sedangkan jasad manusia
diciptakan mengikuti jazad Nabi Adam as. Oleh karena itu bisa dikatakan Nur Muhammad
adalah nenek moyang roh dan Nabi Adam as
adalah nenek moyang jasad.
Hakikat
dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari
air, air berasal dari angin dan angin berasal dari api, sementara api itu
sendiri berasal dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh
manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad, jasad dan tubuh manusia pun
hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian cahaya di atas cahaya (QS. An-Nur 35),
dimana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang
juga mengandung Nur bertemu dan meleburlah
roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad
yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada wujud dan nama yang sama, maka roh dan
jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang
Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang
memberi cahaya kepada langit dan bumi yang semula menciptakan, sebagaimana
mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, dimana ada air disitu ada tumbuhan, dan dengan airlah segala
makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya : 30).
Pengenalan
terhadap hakikat Nur Muhammad itulah inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari
pencarian akan ma’rifah kepada Allah,
Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad
inilah yang menjadikan ilmu menjadi sempurna. Nur Muhammad mempunyai
dua bentuk, yakni Nabi Muhammad SAW yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat
bagi alam “ Tidaklah
engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah SAW) melainkan menjadi rahmat bagi
seluruh alam”. Bentuk Nur
Muhammad yang lain adalah cahaya semula
yang melewati dari Nabi Adam as ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para
imam dan wali. Cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum) dan mengaruniai mereka
pengetahuan tentang rahasia-rahasia ilahi.
Allah
telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam
as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”.
Oleh karena itu, harus dibedakan antara konsep Nur Muhammad sebagai
manusia biasa (seorang nabi) dan Nur Muhamad yang secara dimensi spiritual
yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realitas. Nur Muhammad
sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur Muhammad
ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya
kepada Muhammad saja yang diberikan secara universal.
Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak
aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh apabila dikaitkan dengan ketinggiannya.
Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya,
karena ia kutub dari segala ruh. Ia
disebut al-haqq al- makhluk bih (al-haqq sebagai alat pencipta), hanya
Allah yang tahu hakekatnya secara pasti. Dia disebut al-qalam
al-a’la
(pena tertinggi) dan al-aql al-awal
(akal pertama) karena wadah pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut al-ruh
al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena
ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya.
Berdasarkan
itu, maka tajalli al-Haq yang paling
sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah
ada sebelum alam ini
ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari generasi ke
generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun
nabiyyin), Muhammad SAW.
Dalam
teori martabat tujuh difahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan
pergantian, tidak ada sesuatu yang
tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah,
memudar dan setelah itu akan mati. Oleh
karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya gar dapat
hidup kekal seperti yang menciptakannya.
Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat seperangkat
penegtahuan yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam
sanubarinya. Seperangkat ilmu yang dimaksud adalah ilmu ma’rifatullah.
Ilmu ma’rifatullah
merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk
mengenal dan mengetahui Allah. Seseorang
yang telah sampai pada maqam
ma’rifatullah, ia akan sampai pada tataran tertinggi yaitu, tataran rasa
bersatunya manusia dengan tuhan (sibolong
puangallah taala) atau wahdatul wujud.
Hal tersebut bisa dianalogikan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara
lahiriyah merupakan
dua hal yang berbeda, tetapi pada
hakekatnya ombak itu berasal dari laut sehingga keduanya merupakan satu
kesatuan yang utuh dan integral.
Maqam Nur Muhammad adalah
maqam paling tinggi dari pencarian
dan pendakian sufi menuju ma’rifah
kepada Allah, tiada lagi maqam atau
stasiun paling tinggi sesudah ini. Maka berbahagialah orang yang dapat
menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni,
yaitu Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan
terbukanya segala hijab yang membatasinya.
Allah
menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu
telah diwarisi oleh para nabi sehingga ia sampai pada Abdullah
bin Abdul Muttalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw “sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur
Muhammad)”. Sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu kepada Nur-Nya. Maka jadilah Nur
tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya
sekira-kira yang dikehendaki oleh Allah. Dari Nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, Lauh mahfudz dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis dan qalam
bertanya: “Ya Allah apa yang harus saya
tulis?”. Allah kemudian berfirman: “Tulislah
La ilaha illallah Muhammadarrasululllah”. Atas perintah itu, qalam berseru : Oh, Betapa sebuah nama yang
indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang suci ya
Allah”. Allah kemudian berkata: “Wahai
qalam, jagalah kelakuanmu,
nama ini adalah nama
kekasih-Ku, dari Nur-Nya Aku menciptakan Arsy, qalam dan Lauh Mahfudz’ kamu
juga diciptakan dari Nur-Nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan
apapun”.
Ketika
Allah mengatakan kalimat tersebut, qalam
terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi
keluar menjadi tertutup, sehingga sampai hari ini ujungnya tetap terbelah dua
dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis sebagai tanda dari rahasia ilahiyah
yang agung.
4. Da’dua Tammassarang Tallu Tammallaesang
DaqduaTammassarangTalluTammallaisang adalah ungkapan yang sangat popular di tanah Mandar,
termasuk di tanah Bugis dan Makassar. Uangkapan tersebut adalah petuah-petuah
berbahasa Mandar yang kerap di lisan tuliskan leluhur kita,. Ungkapan
ini memiliki makna spiritual tinggi,
sama seperti pembahsan Jeqneq talluka Sambayang Tappattu. Saya
mungkin tidak akan membedah satu per satu kalimat tersebut. Paragraph berikut
ini saya mencoba mengurai sedikit makna tentang kalimat Daqdua Tammassarang Tallu Tammallaesang sedangkal pengetahuan saya.
Daqdua
Tammassarang Tallu Tammallaisanga dalah
kalimat bertema Tasawwuf. Kalimat ”Daqdaua
Tammassarang Tallu Tammallaisang” sepadan dengan kalimat “Dua yang tak terpisahkan didalam tiga yang
saling bekesinambungan”. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut memiliki
makna yang sangat dalam dan bisa menghasilkan beragam penafsiran. Penafsiran
yang coba saya sampaikan berhubungan konsep spiritual yang bersifat sufistik
sebagaimana yang banyak difahami oleh masyarakat Mandar selama ini. Yang
dimaksud dari kata Daqdua Tammassarang” (dua yang tak terpisahkan) ini adalah antara
Tuhan dengan Hamba, dia berbeda tapi tidak terpisahkan dan tidak mungkin
terpisahkan.
Logika
sederhananya mungkin begini, ketika tidak ada hamba siapa yang bertindak
sebagai Tuhan?. Sebagaimana yang kita pahami bahwa Tuhan meniscayakan hamba,
dan begitupun sebaliknya ketika tidak ada tuhan apakah hamba masih bisa
dikatakan sebagai hamba? dari deretan pernyataan tersebut, bisa disimpulkan
bahwa makna yang terdapat dalam pernyataan tiga saling berkaitan
ini adalah, antara kata hati, perbuatan, dan ucapan.
Ketika kata hati selaras dengan ucapan, maka
begitupun dengan tindakan seseorang. Ketika dipadukan dengan makna sebelumnya
artinya perbuatan kita sebenarnya itu adalah perbuatan tuhan karena antara
hamba yang bertindak dengan tuhan tidak terpisahkan. Konsep ini sudah
dijelaskan oleh Ibn Arabi antara
tahun 560-638 H yang kemudian sampai saat ini dikenal dengan konsep Wahdat Al-Wujud. Ternyata konsep ini
yang mengakar dalam jiwa setiap orang Mandar sejak Islam resmi menjadi agama
kerajaan di Mandar.
Konsep dasar Wahdat Al-Wujud merupakan “suatu ajaran yang melihat masalah wujud
dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu kesatuan, namun berada pada dimensinya masing-masing. Tuhan meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada
bersifat nisbi; merupakan ada yang di adakan tidak lain
dari yang mengadakan-Nya. Sebab apa yang ada
merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada bersumber dari-Nya
serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak berarti yang diadakan
dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak berarti alam semesta dan
manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi manusia.
Relasi
antara Tuhan, alam semesta dan manusia
sekalipun dikatakan berbeda dalam satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia nisbi dan terbatas.
Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas. Sedang Tuhan yang tidak
terbatas ada di luar relasi, bukan ada dalam pengertian dan perasaan. Tuhan
adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya. Ada-Nya bukan dari luar
diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan tetapi ada karena diri-Nya
dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang diciptakan-Nya. Hubungan dengan segala yang dicipytakan-Nya. Dia membutuhkan mereka dalam kaitannya dengan
ketuhanan-Nya. Sebab tanpa makhluk ciptaan-Nya Dia tidak dikenal
sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan (ilah)
sampai maluh (komplemen logis dari ilah) diketahui.
Maka Ibnu
Arabi melihat realitas alam dan
manusia tidak lain dari tajalli ilahi sekaligus sebagai cermin untuk
melihat diri-Nya yang Maha Sempurna. Demikian pula
sebagai pengenalan akan keberadaan-Nya. Hal yang
demikian ini pulalah yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.” Begitu dalam
sebenarnya makna dari kata “Daqdua
Tammassarang Tallu Tammallaesang”. Cuma terkadang kita tidak tertarik untuk
mengkaji kearifan dari leluhur kita. Saya baru menyadari kalau ternyata leluhur
kita telah mengenal konsep Wahdat
Al-Wujud jauh sebelum buku-buku dari timur berdatangan ke negeri ini, hanya untuk menjelaskan konsep tersebut,
yang ternyata orang Mandar telah memahaminya.
Kearifan kita menyimpan begitu banyak nilai
yang bisa dikaji kemudian diamalkan. Ini baru satu kalimat,
bisa jadi teori-teori lain dari luar yang selama ini berusaha kita pelajari dan
pahami ternyata tersimpan rapat dimulut para penutur di Mandar. Wallahu a’lam.
Demikian narasi singkat
sebagai pengantar memahami
dan mendalami maksud dan tujuan buku ini ditulis. Keempat poin di atas hanya
sekedar upaya pembekalan untuk masuk lebih dalam lagi, lebih faham lagi mesti mendapat berkah dari seorang annangguru. Saya mendaulat para pendekar di Mandar telah mampu
menyatukan dimensi dan esensi untuk menjadikan dirinya sampai pada assalamakang seperti yang dimiliki para panrita dan annangguru. Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika para pendekar di tanah
Mandar ini adalah panrita dan annangguru namun berada pada dimensi
yang lain, tapi soal esensi, para pendekar itu sesungguhnya telah sampai pada maqam yang telah digariskan dalam faham Wahdat Al-Wujud.
Pembacaan
lain saya dari buku ini selain menjadi referensi tentang
sejarah persilatan juga menjadi bagian dari proses membaca ulang kembali
tentang sejarah masuknya islam di Mandar, sampai pada proses akulturasi islam,
budaya Mandar dan Minangkabau. Tak bisa dipungkiri bahwa hubungan Mandar dengan
Minangkabau tentu saja bukan hanya sebatas dunia silat, tapi lebih dari itu
proses keislaman orang Mandar dan Minangkabau adalah cerita yang sangat mudah
kita temukan baik cerita tutur maupun
dalam
dokumentasi sejarah.
Salah
satu sumber yang mendukung pernyataan tersebut juga terungkap dari cerita
Kepala Kodim Majene saat membawakan sambutan pada seminar sejarah dan
kebudayaan dalam rangka Dies Natalis III Unsulbar 2016 di Gedung DPRD Majene.
Ia menceritakan pengalamannya saat bertugas di Aceh. Dikatakannya bahwa dahulu,
di beberapa wilayah di Sumatera dan Aceh, orang Mandar yang datang kesana
diberi persyaratan untuk bisa menetap di daerahnya. Persyaratan itu adalah
tantangan untuk bertarung (pencak silat). Jika orang Mandar menang dalam
pertarungan, maka ia berhak tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat disana.
Sebagaimana penulis dengan
rendah hati menyebutkan dirinya dalam menuliskan buku ini, tidak berposisi
sebagai ahli, melainkan sebagai inisiatif awal untuk mencatatkan mahakarya
lokal jenius di Mandar ini, bahwa kecintaannyalah yang membuat penulis
memberanikan diri dengan segala keterbatasan yang ada untuk mengulasnya. Adapun
jika para pembaca mempunyai masukan dan kritik serta pendalaman lebih dalam,
terlebih pada aspek rahasia, semoga bisa berkesempatan melangkahkan kaki menuju Annagguru/ahli sebagai sumber
referensi penulis.
Pada akhirnya, saya
mengucapkan selamat kepada adinda Suryananda atas upaya dan keihklashannya
merelakan fikiran untuk melahirkan karya bermutu, semoga kedepan terus lahir
generasi literat yang diharapkan mampu mengubah wajah dunia melalui goresan tangannya !.
Batulaya, 28 Oktober 2016
MUHAMMAD MUNIR