Senin, 09 Januari 2017

"SENI PERANG" Peluang Kemenangan ABM di Mamuju


Catatan dari Kampanye Akbar ABM-ENNY di Mamuju :


Sun Tzu, Jenderal Tiongkok di Abad Ke-5 SM, pernah berkata, " Untuk dapat mengalahkan lawanmu, kamu harus menjadi dan berperilaku seperti musuhmu". Filosofi yang tertuang dimanuskrip Art of War itu sebisa mungkin "Dinamisasi konteksnya", mampu direplikasi oleh think tank ABM pada pilgub Sulbar 2017. Layaknya sebuah perang, mematahkan supermasi taktik SDK selama menjadi petarung kuat di Mamauju. Meski kali ini nampak bahwa kemenangan SDK di Mamuju bisa dibilang tipis dari perkiraan. Kemenangan tipis adalah hal yang rawan, sebab menang tapi tipis.


Catatan ini bukanlah rekomendasi, melainkan reka simulasi startegi dan seni perang yang tidak semudah mengamalkan teori, tetapi segala aspek pendukungnya harus tepat dan efisien. Dari record pertarungan SDK di Mamuju, tentu memilik strategi jitu yang kemudian bisa saja, bukan tidak mungkin akan diadopsi dalam skala besar. Para pemikir ABM sepertinya menyadari hal-hal yang akan dijadikan starategi oleh SDK, sehingga untuk wilayah Mamuju ABM tentu bisa bicara banyak, terlebih dengan melihat record ABM tahun 2011 yang mampu meraih 18% di Mamuju tanpa dukungan dari Bupati Manapun, serta melawan Incumbent AAS.

Namun kini ABM kian kuat dengan lapisan kekuatan penuh Anwar. Bahkan kemenangan ABM di Mamuju bukanlah hal yang mustahil jika melihat progresnya kali ini. Menyadari bahwa, meski cukup sekedar mengandalkan kekuatan figur untuk mengalahkan SDK yang diperkuat sejumlah Bupati. Namun seperti umumnya, sebuah perang, penulis menilai taktik menjadi bagian yang sangat penting dalam mencari kemenangan. Memandang itu, dengan mereplikasi filosofi Art Of War, seni berperang yang dicetuskan Tzu pada abad 5 SM silam. Kejuatan itu yang akan memaksa SDK merefleksi internal.

Taktik dengan cara politik SDK "mungkin" menjadi efektif untuk diterapkan, namun tidak serta merta diciplak secara total melainkan penyesuaian yang tepat. Dengan sisa 35 hari lagi, cara keji (red: Sun Ztu) yang dilakukan dengan membiarkan terjadinya perang terbuka di Polman, SDK mengalami hard landing dan ABM justru Soft landing di Mamuju.

Dengan segala potensi ABM, maka taktik meniru lawan, jika salah satu elemen Art Of War ala Sun Tzu yang tidak dipraktikkan maka akan berakibat fatal. Selaian memahami lawan, tentu wajib mengenali kekuatan sendiri. Jika memahami keduanya, maka tidak akan risau dalam menghadapi ratusan pertempuran, demikian teori Sun Tzu. Dengan demikian kemenangan apik akan menjadi buah yang dibayar tuntas, meski belum tentu kalah dengan tidak menggunakan teori ini. Sebab ini sekedar mereka-reka pertarungan pilgub berdasarkan teori perang ala Sun Ztu pada zaman yang berbeda.

Ini adalah goresan refleksi dan koreksi, betapa setiap kekuatan strategi memiliki anti klimaks. Saat sebuah pertarungan kuat sesorang sudah tampil sangat impresif maka pada "pertandingan" berikutnya, biasanya akan tampil dengan anti klimaks.

Ya, klimaks dan anti klimaks, namun kondisi ABM yang gemilang di Polman justru tidak mampu dipertahankan SDK di Mamuju bahkan sampai 15 Februari 2017. Ini hanya sekedar analisa yang tentu memiliki banyak potensi sanggahan dan bersyukurlah jika rupanya lebih berpeluang pada dasar kemenangan. Semoga pilkada berjalan damai dan penuh cinta persatuan serta kemajemukan.

Rasa penasaran untuk saling mengalahkan dan untuk memulai kemenangan pertama dan kesekiannya, adalah syarat yang bakal mewarnai perhelatan. Apa yang pernah ditorehkan Sun Ztu dalam setiap kemenangannya bisa menjadi cetak biru bagi siapapun, terlebih mereka yang memiliki prasyarat mutlak yang lengkap. Kekuatan ABM di Mamuju oleh SDK harus segera disadari, sebab justru kemenangan ABM semakin besar. (Muhammad Munir)

NB:
Catatn penulis yang seharusnya menjadi renungan bagi setiap TIM Sukses untuk bisa membangun paradigma politik tanpa gaduh dan menjadi lebih cerdas berpolitik serta mencerahkan.

Foto: Dokumentasi Kampanye Akbar ABM-ENNY di Mamuju, 8 Januari 2017
(Dokumentasi : Muhammad Arif dan Hamka Hammanur-DPD PAN Polman)

Sabtu, 07 Januari 2017

Adi Arwan Alimin : Dari Tinta Ia Memesrai Mandarnya Dengan Cinta !



Adi Arwan Alimin. Sosok ini tidak terlalu asing bagi penulis, sebab sejak tahun 1995-1997 lalu, penulis selalu bercengkrama dengannya dalam kegiatan pramuka Saka Bhayangkara. Penulis yang saat itu masih menjadi siswa MAN Polmas kerap mendapatkan bimbingan dan arahannya sebagai Pembina senior dalam Saka Bhayangkara. Sepanjang tahun itu, gabungan dari kader pramuka SMA 1 Wonomulyo, STM Tumpiling dan MAN Lampa kerap terlibat secara bersama-sama dalam kegiatan pramuka di Cadika Ammana Pattolawali Manding.

BHINNEKA TUNGGAL IKA DALAM PERSPEKTIF MANDAR



Drs. Darmansyah
Oleh : Drs. Darmansyah*
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa Indonesia yang berasal dari bahasa Jawa kuno, yang salah satu kata “tunggal” ada juga pada bahasa daerah Mandar, dan tidak menutup kemungkinan terdapat juga pada bahasa daerah lain. Penulis berpendapat bahwa, penggagas semboyang bangsa Indonesia berupaya mencari kalimat yang dianggap merangkum atau mewakili semua bahasa daerah di Indonesia ini. Adapun siapa yang memuasali atau diasali, wallahu a’lam – lakukan penelitian lebih dalam.
Bhinneka Tunggal Ika, seringkali diartikan dengan kalimat “berbeda-beda tetapi satu”.

Penulis lebih cenderung membahasakan dengan kalimat “beragam dalam kebersamaan”. Kalimat lain menyebutkan “bersatu kita teguh - bercerai kita runtuh”. Demi persatuan, penulis membahasakan “bersatu kita teguh – bercerai kita kawin kembali (rujuk)”. Bhinneka Tunggal Ika, jika diterjemahkan kata perkata. Kata Bhinneka berarti “beraneka ragam” atau “berbeda-beda”. Kata neka dalam bahasa Sangsekerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa Indonesia. Kata tunggal dalam bahasa Jawa kuno berarti satu, memberi makna bahwa walaupun beragam tetapi hakekatnya satu kesatuan dalam bingkai NKRI.

Rabu, 04 Januari 2017

Pengantar Editor : SILAT BURAQ PADANG (Sejarah Akulturasi Islam, Budaya Mandar dan Minangkabau)


PENGANTAR EDITOR

Sebuah buku lahir tentu tanpa maksud. Buku tidak hanya menyimpan gagasan tapi juga panduan. Seperti itulah buku yang sedang anda pegang ini. Buku Silat Buraq Padang ini adalah sebuah teks yang dilahirkan sebagai penanda hubungan dialektik dengan realitas. Penulisnya ingin menghidupkan harapan menjadi jejak realitas untuk menjadikan ilmu silat dan kependekaran orang Mandar lampau kedalam sebuah buku agar lebih abadi. Jika merujuk pada sebuah ungkapan kata latin“Verba Volant Sripta Manent” (Apa yang diucapkan akan hilang tetapi apa yang ditulis akan abadi), buku ini menjadi jawaban untuk mendukung pernyataan tersebut.

Mengapa semua harus ditulis, sebab keterbatasan memeori manusia dalam mengingat peristiwa-peristiwa penting dimasa lalu yang membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia dimasa kini dan dimasa yang akan datang. Suryananda, S. Ip, pemuda yang lahir di Batulaya ini telah berhasil mengabadikan pesan, gerak dan perilaku para pendekar di tanah Mandar. Meski sesungguhnya, tulisan tidak akan mampu mewakili ilmu kependekaran yang dimiliki oleh para guru disetiap padepokan, paling tidak buku ini mampu menarasikan dasar dan akar sejarah tentang silat dan paham rahasia yang dimiliki oleh para pendekar di tanah Mandar.     

Beberapa naskah yang disodorkan kepada saya, naskah pertama adalah naskah buku Silat Buraq Padang Balanipa, buku kedua adalah salinan kitab tua yang ditulis dengan Arab gundul (serang) dalam bahasa Bugis dan sebagian menggunakan aksara laontaraq yang berisi banyak informasi tentang ilmu kebathinan dan dunia tasawuf. Penulis buku Silat Buraq Padang Balanipa ini meminta saya untuk menjadi editor. Ini tentu menjadi sebuah tawaran yang mengerikan, sebab saya adalah orang yang sama sekali awam dengan dunia persilatan, terlebih lagi menjadi editor pada buku yang penulisnya adalah seorang anak muda hebat, cerdas dan sementara dalam penyelesaian studi S2-nya di Universitas Nasional Jakarta.

Satu hal yang menggoda saya untuk bisa menerima tawaran ini adalah ketertarikan saya pada keberadaan Silat Buraq Padang Balanipa yang saya sering dengar sebagai padepokan silat yang intens menjaga martabat perguruannya melalui konsep nappas, paingarang, pena’ding dan pammase sebagai struktur dasar untuk membangun gerakan/jurus. Sebuah proses yang tidak saja kreatif  tapi pelakunya pasti sampai kepada maqam dimana Allah menghalalkan dirinya sebagai wujud yang mewujud dalam diri manusia untuk sampai kepada ruang ma’rifah dimana Allah menurunkan hidayah berupa pammase assalamakang. Apa yang dilakukan oleh Padepokan Buraq Padang ini sesungguhnya merupakan implementasi dari jalan menuju Tuhan, yaitu Syariat, Tarikat, Hakikat dan Ma’rifat.

Nappas, paingarang, Pena’ding dan Pammase tersifati dalam tubu, ate, nyawa anna rahasia yang tentunya juga menjadi rangkaian dalam pembahasan unsur 4 dalam struktur tubuh manusia yaitu tanah, air, api dan angin. Keberadaan manusia yang lahir kedunia ini pada titik nol kilo meter menghadapi 4 arah mata angin, timur, barat, utara dan selatan sekaligus masuk pada zona nikmatnya rateq zikkir appeq (Lailaha Illallah, Allah-Allah, Huwa-Huwa, ah ah).

Mendalami naskah Silat Buraq Padang Balanipa ini, membutuhkan beberapa tahapan untuk sedikit bisa memberikan gambaran tentang gerak-gerik tubuh dalam Silat Buraq Padang ini. Pengamatan terhadap gerak silat yang disebut Ripung keqdeq anna milliq-a (artinya berdiri tegak dan melangkah) ini sungguh menghentak dan membuat siapapun akan terperangah dan berdecak kagum. Betapa tidak, Ripung atau dua kaki yang berdekatan (posisi siap) adalah gerak refleks dengan posisi tegak atau berdiri. Dalam proses itu, saya menemukan makna rahasia bahwa pelaku dari Silat Buraq Padang ini, sadar atau tidak, bukanhal berlebihan jika saya menyebutnya sebagai struktur bangunan shalat. Tentu saja ini akan menjadikan pelaku Silat Buraq Padang bisa memposisikan dirinya sebagai hamba yang memahami diri untuk mengenal kebesaran tuhannya. Ripung Keqdeq adalah penanda bagi seorang yang tak suka mencari masalah dan berdiri dijalan yang benar. Ripung Alepuq adalah tegak alif dan langkah Ahmad (Muhammad) yang menjadi tolak ukur dalam pengambilan langkah selanjutnya.

Baru pada segmen pertama pendalaman materi terhadap silat Buraq Padang Balanipa ini, ada pembacaan saya terhadap struktur gerak Silat Buraq Padang ini pastinya bukan hanya sebuah proses seni beladiri tapi sekaligus menjadi gerakan yang inti untuk lebih intim dalam ma’ajappui sambayang. Dalam Silat Buraq Padang Balanipa, ada bangunan utuh tentang oroang mappejappu dilalanna sambayang.Ini mungkin subyektif, dan bisa dianggap sebuah proses pengebirian secara verbal terhadap kelompok silat lain. Saya hanya mencoba mendalami dan mengurai inchi demi inchi gerakan dalam Silat Buraq Padang. Jika seandainya pembaca tertarik untuk mendalami silat ini, Saya yakin pembaca akan menemukan sebuah kesepakatan dan kesefahaman bahwa Silat Buraq Padang Balanipa ini adalah wadah yang sekaligus menjadi spektrum setiap manusia untuk bisa memahami atau ma’ajappui sambayanna.

Sebagai editor, saya tentu tidak ingin membiarkan pembaca larut dalam perasaan yang mengambang terhadap pemaknaan dan pemahaman tentang Silat Buraq Padang ini, sehingga selain saya harus merekomendasikan agar pembaca bergabung dalam silat ini, juga sangat penting untuk saya buatkan narasi dalam bentuk penjelasan-penjelasan dasar supaya tidak ditelikung dalam pemaknaan yang menyesatkan. Pun saya terus terang, bahwa untuk menjelaskannya secara utuh jelas tidak mungkin, sebab dalam Silat Buraq Padang ini ada segmen tertentu, dimana tahapannya tak lagi bisa menggunakan hurupuq, saqda atau bamba.

Kendati demikian, ada beberapa poin penting yang ingin saya urai untuk mengantar pembaca memahami alur buku dan Silat Buraq Padang ini. Mengantar dalam artian, memahamkan makna dasar tentang Alepuq (Alif), olah nafas (pessung pettamanna nappas), Zikkir Appeq sampai pada proses menemukan sukma dari konsep Daqdua Tammassarang Tallu Tammallaisang. Perlu saya ingatkan bahwa saya tentu tidak dalam rangka memposisikan diri sebagai orang yang paling faham, tapi sekedar sharing informasi bahwa inilah yang sempat saya ketahui dalam beberapa pertemuan dengan annangguru yang saya jadikan sumber rujukan melalui proses mattaleq kittaq dan mangaji matteq.

Sekedar diketahui bahwa Mandar adalah salah satu suku bangsa yang besar di Sulawesi. Mandar dikenal mempunyai karakter dan watak yang religius jauh sebelum is lam menjadi agama yang resmi diterima oleh kerajaan. Pemahaman keagamaan orang Mandar lebih menjurus ke ajaran ilmu tasawuf. Tidaklah seperti yang diamalkan oleh golongan islam keras seperti yang dianut beberapa aliran keagamaan di Indonesia hari. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa kajian tentang Alepuq dalam berbagai interpretasi, tentang Zikkir Appeq, tentang Jeqneq Talluka Sambayang Tappattu, Assalamakang dan Akaqbalang, sampai kepada persoalan Daqdua Tammassarang Tallu Tammallaisang yang selalu melingkupi kajian-kajian keagamaan kita di Mandar.

Nilai spiritual yang diyakini oleh orang Mandar menjadi spirit dalam mendalami ilmu silat. Nilai itu menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan, karena setelah islam masuk ke Mandar, silat adalah salah satu media terbesar dalam proses islamnisasi. Semua unsur spiritual dalam silat di Mandar menjurus ke agama islam, contoh alif, lam, lam, ha yang bermakna ALLAH.

Berikut beberapa deskripsi singkat tentang nilai-nilai spiritual yang ada di Mandar sampai hari ini :

1.    Alepuq

Alepuq atau Alif adalah permulaan huruf hijaiyah yang dijadikan simbol dalam pembahasan ilmu tasawuf. Alif berasal dari sebuah ‘titik’ yang kemudian dalam ejaan sering kita dengar sebutan A-I-U atau U-I-A. A-I-U ini oleh kelompok tarekat di Mandar mengenalnya sebagai Bamba Tallu atau Saqda Tallu (Bugis). Alepuq digambarkan sebagai penanda dalam tehnik olah nafas dan buang kataqber (takbiratul ihram). Seorang annangguru ketika akan membaiat muridnya untuk masuk dalam pemahaman ilmu tasawuf menjadikan alif sebagai simbol untuk menuntun sang murid dalam olah nafas. Nafas memang bukan yang inti dalam ajaran tasawuf, terlebih nafas tak harus dijadikan parameter dalam mengunci pemahaman suatu ajaran atau ilmu. Alif hanya menjadi catalisator untuk mengukur sampai dimana seorang murid mampu memahami konsep qiyamuhu linafsihi (berdiri dengan sendirinya), untuk sampai pada tahap suksesnya seseorang dalam takbiratulihram.

Takbiratulihram adalah tahapan paling awal dan melakukannya tidak cukup hanya pada gerak dan tarikan nafas melainkan ia menjadi gerbang untuk sampai pada proses mappejappudilalalannasambayang. Jika tahap takbiratulihram (buangkataqber) ini gagal maka akan sangat berpengaruh pada tahapan selanjutnya. Takbiratulihram atau buangkataqber ini mesti dilakukan secara paripurna untuk bisa sampai pada maqam tertentu dimana sholat tidak saja menjadi gerakan penggugur kewajiban, tapi sekaligus sebagai sebuah proses untuk merasakan nikmat dari rahmat yang diturunkan oleh Allah. Sukses dalam shalat adalah ketika mampu merasakan kenikmatan, kenyamanan dan kedamaian dalam tahapannya. Ketika itu tak bisa dirasai, maka setiap dari kita perlu belajar untuk membaui energi dari setiap gerakan sholat.

Khusus dalam hal ini, para pembaca tentu tidak harus mengandalkan protes, tapi harus bisa mendalami dan mempertanyakan kebenarannya kepada annangguru yang lebih paham, termasuk kepada para pendekar pencak silat khususnya padepokanSilatBuraqPadang. Tak ada kerugian untuk sedikit bisa menelusuri kenikmatan-kenikmatan dalam gerakan sholat dan gerakan-gerakan silat. Dari sana, pembaca pasti akan menemukan sukma setiap gerakan sholat dan gerakan silat. Nafas dan alif adalah pengunci untuk bisa mengukur kekuatan gerak, sekaligus menemukan bahwa nafas memang dibutuhkan dalam alur kehidupan, tapi ada sisi atau tahap tertentu dimana kehidupan kita semai dengan nikmat tanpa kehaadiran nafas.

2.    Zikkir Appeq

Zikkir Appeq atau Zikir Empat dikenal lewat ungkapan Lailahaillallah, Allah-Allah, Huwa-Huwa, AhAh. Ini adalah bentuk zikir bagaimana dalam mengingat dan berkomunikasi dengan Tuhan tidak melulu hanya mengandalkan huruf, tapi bamba dan saqda menjadi sesuatu yang niscaya untuk difahami. Dalam uraian ini jelas, LailahaIllallah adalah zikir syariat, Allah-Allah adalah zikir tharekat, Huwa-Hua adalah zikir hakikat dan Ah-Ah adalah zikir ma’rifah.

ZikkirAppeq ini juga menjadi zikir bagi tubuh, hati, nyawa dan rahasia (tubu, ate, nyawa dan rahasia). Ini akan menjadi bekal untuk lebih fokus mendalaminya, entah dijadikan rateq atau yang lainnya, tapi yang pasti ini menjadi petunjuk dan penolong dalam menghadapi sakaratul maut. Mendalaminya pun harus dengan berkah annangguru, bukan lewat bacaan, lebih-lebih bukan di google.  

3.    Puang Anna Nur Muhammad

Untuk mengenal Puang (Tuhan) seseorang harus terlebih dahulu mengenal dirinya, dalam artian bahwa untuk sampai pada pengenalan terhadap Tuhan, terlebih dahulu harus memahami dua hal. Pertama, Harus terlebih dahulu mengenal asal muasal tentang dirinya sendiri, dari mana, dimana dan bagaimana ia dijadikan ?.Kedua, harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah SWT. Kedua perkara tersebut menjadi prasyarat kesempurnaan dalam proses mengenal Allah SWT.

Hal yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad yang kemudian dari Nur Muhammad ini Allah menciptakan roh dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad inilah Allah menciptakan semua roh termasuk roh manusia sedangkan jasad manusia diciptakan mengikuti jazad Nabi Adam as. Oleh karena itu bisa dikatakan Nur Muhammad adalah nenek moyang roh dan Nabi Adam as  adalah nenek moyang jasad.

Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin dan angin berasal dari api, sementara api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad, jasad dan tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian cahaya di atas cahaya (QS. An-Nur 35), dimana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur bertemu dan meleburlah roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, dimana ada air disitu ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya : 30).

Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad itulah inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan ma’rifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadikan ilmu menjadi sempurna. Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad SAW yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “ Tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah SAW) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam”. Bentuk Nur Muhammad yang lain adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam as ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam dan wali. Cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum) dan mengaruniai mereka pengetahuan tentang rahasia-rahasia ilahi.

Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh karena itu, harus dibedakan antara konsep Nur Muhammad sebagai manusia biasa (seorang nabi) dan Nur Muhamad yang secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realitas. Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur Muhammad ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Muhammad saja yang diberikan secara universal.

Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segala ruh. Ia disebut al-haqq al- makhluk bih (al-haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakekatnya secara pasti. Dia disebut al-qalam al-a’la (pena tertinggi) dan al-aql al-awal (akal pertama) karena wadah pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut al-ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya.

Berdasarkan itu, maka tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad SAW.

Dalam teori martabat tujuh difahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya gar dapat hidup kekal  seperti yang menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat seperangkat penegtahuan yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat ilmu yang dimaksud adalah ilmu ma’rifatullah.

Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Seseorang yang telah sampai pada maqam ma’rifatullah, ia akan sampai pada tataran tertinggi yaitu, tataran rasa bersatunya manusia dengan tuhan (sibolong puangallah taala) atau wahdatul wujud. Hal tersebut bisa dianalogikan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriyah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakekatnya ombak itu berasal dari laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan integral.

Maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju ma’rifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini. Maka berbahagialah orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yaitu Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang membatasinya.

Allah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi oleh para nabi sehingga ia sampai pada  Abdullah bin Abdul Muttalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw “sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)”. Sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu kepada Nur-Nya. Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dikehendaki oleh Allah. Dari Nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, Lauh mahfudz dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis dan qalam bertanya: “Ya Allah apa yang harus saya tulis?”. Allah kemudian berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammadarrasululllah”. Atas perintah itu, qalam berseru : Oh, Betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang suci ya Allah”. Allah kemudian berkata: “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu, nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-Nya Aku menciptakan Arsy, qalam dan Lauh Mahfudz’ kamu juga diciptakan dari Nur-Nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apapun”.

Ketika Allah mengatakan kalimat tersebut, qalam terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai hari ini ujungnya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis sebagai tanda dari rahasia ilahiyah yang agung.

4.    Da’dua Tammassarang Tallu Tammallaesang

DaqduaTammassarangTalluTammallaisang adalah ungkapan yang sangat popular di tanah Mandar, termasuk di tanah Bugis dan Makassar. Uangkapan tersebut adalah petuah-petuah berbahasa Mandar yang kerap di lisan tuliskan leluhur kita,. Ungkapan ini  memiliki makna spiritual tinggi, sama seperti pembahsan Jeqneq talluka Sambayang Tappattu. Saya mungkin tidak akan membedah satu per satu kalimat tersebut. Paragraph berikut ini saya mencoba mengurai sedikit makna tentang kalimat Daqdua Tammassarang Tallu Tammallaesang sedangkal pengetahuan saya.

Daqdua Tammassarang Tallu Tammallaisanga dalah kalimat bertema Tasawwuf. Kalimat ”Daqdaua Tammassarang Tallu Tammallaisang” sepadan dengan kalimat “Dua yang tak terpisahkan didalam tiga yang saling bekesinambungan”. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan bisa menghasilkan beragam penafsiran. Penafsiran yang coba saya sampaikan berhubungan konsep spiritual yang bersifat sufistik sebagaimana yang banyak difahami oleh masyarakat Mandar selama ini. Yang dimaksud dari kata  Daqdua Tammassarang” (dua yang tak terpisahkan) ini adalah antara Tuhan dengan Hamba, dia berbeda tapi tidak terpisahkan dan tidak mungkin terpisahkan.

 Logika sederhananya mungkin begini, ketika tidak ada hamba siapa yang bertindak sebagai Tuhan?. Sebagaimana yang kita pahami bahwa Tuhan meniscayakan hamba, dan begitupun sebaliknya ketika tidak ada tuhan apakah hamba masih bisa dikatakan sebagai hamba? dari deretan pernyataan tersebut, bisa disimpulkan bahwa makna yang terdapat dalam pernyataan tiga saling berkaitan ini adalah, antara kata hati, perbuatan, dan ucapan.

Ketika kata hati selaras dengan ucapan, maka begitupun dengan tindakan seseorang. Ketika dipadukan dengan makna sebelumnya artinya perbuatan kita sebenarnya itu adalah perbuatan tuhan karena antara hamba yang bertindak dengan tuhan tidak terpisahkan. Konsep ini sudah dijelaskan oleh Ibn Arabi antara tahun 560-638 H yang kemudian sampai saat ini dikenal dengan konsep Wahdat Al-Wujud. Ternyata konsep ini yang mengakar dalam jiwa setiap orang Mandar sejak Islam resmi menjadi agama kerajaan di Mandar.

Konsep dasar Wahdat Al-Wujud merupakan “suatu ajaran yang melihat masalah wujud dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia sebagai suatu kesatuan, namun berada pada dimensinya masing-masing. Tuhan meliputi segala yang ada. Sehingga yang ada bersifat nisbi; merupakan ada yang di adakan tidak lain dari yang mengadakan-Nya. Sebab apa yang ada merupakan penampakan bagi diri-Nya, dan segala yang ada bersumber dari-Nya serta Dia pulalah yang menjadi esensinya. Namun itu tidak berarti yang diadakan dan yang terbatas menjadi Yang Tak Terbatas. Tidak berarti alam semesta dan manusia menjelma menjadi Tuhan dan Tuhan menjadi manusia.

Relasi antara Tuhan, alam semesta dan manusia sekalipun dikatakan berbeda dalam satu keberadaan atau wahdatu al wujud namun alam semesta dan manusia nisbi dan terbatas. Keberadaannya bergantung pada Yang Tak Terbatas. Sedang Tuhan yang tidak terbatas ada di luar relasi, bukan ada dalam pengertian dan perasaan. Tuhan adalah independen atau mandiri dari semua makhluk-Nya. Ada-Nya bukan dari luar diri-Nya dan bukan pula karena selain diri-Nya. Akan tetapi ada karena diri-Nya dan oleh diri-Nya sendiri. Ia meliputi semua yang diciptakan-Nya. Hubungan dengan segala yang dicipytakan-Nya. Dia membutuhkan mereka dalam kaitannya dengan ketuhanan-Nya. Sebab tanpa makhluk ciptaan-Nya Dia tidak dikenal sebagai Tuhan; yaitu objek pujaan (ilah) sampai maluh (komplemen logis dari ilah) diketahui.

Maka Ibnu Arabi melihat realitas alam dan manusia tidak lain dari tajalli ilahi sekaligus sebagai cermin untuk melihat diri-Nya yang Maha Sempurna. Demikian pula sebagai pengenalan akan keberadaan-Nya. Hal yang demikian ini pulalah yang menjadi tujuan dari penciptaan-Nya.” Begitu dalam sebenarnya makna dari kata “Daqdua Tammassarang Tallu Tammallaesang”. Cuma terkadang kita tidak tertarik untuk mengkaji kearifan dari leluhur kita. Saya baru menyadari kalau ternyata leluhur kita telah mengenal konsep Wahdat Al-Wujud jauh sebelum buku-buku dari  timur berdatangan ke negeri ini, hanya untuk menjelaskan konsep tersebut, yang ternyata orang Mandar telah memahaminya.

Kearifan kita menyimpan begitu banyak nilai yang bisa dikaji kemudian diamalkan. Ini baru satu kalimat, bisa jadi teori-teori lain dari luar yang selama ini berusaha kita pelajari dan pahami ternyata tersimpan rapat dimulut para penutur di Mandar. Wallahu a’lam.

Demikian narasi singkat sebagai pengantar memahami dan mendalami maksud dan tujuan buku ini ditulis. Keempat poin di atas hanya sekedar upaya pembekalan untuk masuk lebih dalam lagi, lebih faham lagi mesti mendapat berkah dari seorang annangguru. Saya mendaulat para pendekar di Mandar telah mampu menyatukan dimensi dan esensi untuk menjadikan dirinya sampai pada assalamakang seperti yang dimiliki para panrita dan annangguru. Bukanlah sesuatu yang berlebihan jika para pendekar di tanah Mandar ini adalah panrita dan annangguru namun berada pada dimensi yang lain, tapi soal esensi, para pendekar itu sesungguhnya telah sampai pada maqam yang telah digariskan dalam faham Wahdat Al-Wujud.

Pembacaan lain saya dari buku ini selain menjadi referensi tentang sejarah persilatan juga menjadi bagian dari proses membaca ulang kembali tentang sejarah masuknya islam di Mandar, sampai pada proses akulturasi islam, budaya Mandar dan Minangkabau. Tak bisa dipungkiri bahwa hubungan Mandar dengan Minangkabau tentu saja bukan hanya sebatas dunia silat, tapi lebih dari itu proses keislaman orang Mandar dan Minangkabau adalah cerita yang sangat mudah kita temukan baik cerita tutur maupun dalam dokumentasi sejarah.

Salah satu sumber yang mendukung pernyataan tersebut juga terungkap dari cerita Kepala Kodim Majene saat membawakan sambutan pada seminar sejarah dan kebudayaan dalam rangka Dies Natalis III Unsulbar 2016 di Gedung DPRD Majene. Ia menceritakan pengalamannya saat bertugas di Aceh. Dikatakannya bahwa dahulu, di beberapa wilayah di Sumatera dan Aceh, orang Mandar yang datang kesana diberi persyaratan untuk bisa menetap di daerahnya. Persyaratan itu adalah tantangan untuk bertarung (pencak silat). Jika orang Mandar menang dalam pertarungan, maka ia berhak tinggal dan menjadi bagian dari masyarakat disana.

Sebagaimana penulis dengan rendah hati menyebutkan dirinya dalam menuliskan buku ini, tidak berposisi sebagai ahli, melainkan sebagai inisiatif awal untuk mencatatkan mahakarya lokal jenius di Mandar ini, bahwa kecintaannyalah yang membuat penulis memberanikan diri dengan segala keterbatasan yang ada untuk mengulasnya. Adapun jika para pembaca mempunyai masukan dan kritik serta pendalaman lebih dalam, terlebih pada aspek rahasia, semoga bisa berkesempatan melangkahkan kaki menuju Annagguru/ahli sebagai sumber referensi penulis.

Pada akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada adinda Suryananda atas upaya dan keihklashannya merelakan fikiran untuk melahirkan karya bermutu, semoga kedepan terus lahir generasi literat yang diharapkan mampu mengubah wajah dunia melalui goresan tangannya !.
                                                           
                                                            Batulaya, 28 Oktober 2016





                                                                               MUHAMMAD MUNIR

Sabtu, 31 Desember 2016

Diskusi Budaya Ala Budayawan Tinambung (Teori melanggengkan Kebudayaan)


Oleh: Muhammad Munir

Uwake Cultur Fondation. Demikian Muhammad Rahmat Muchtar menata diri dan membuka ruang bagi aktifis, budayawan, seniman dan sejarawan untuk berkumpul mengumpul kata banyolan. Ia tak ubahnya seperti sejarah yang selalu siap mencatat kebudayaan yang lahir sebagai peradaban. Saya sendiri tidak mengetahui asbab dari sebuah sebab yang membuat mereka berkumpul pada jam yang tak mau dicheklist dalam rangkaian agenda. Berkumpulnya tak kenal waktu, pagi bisa, siang boleh, sore juga ok.Apalagi jika malam hari, sampai larut malam bahkan shubuhpun sudah biasa suntuk tak terasa kantuk.

Bukan hanya Tammalele yang kerap datang menyentil lalu hilang, bukan hanya Adil Tambono yang kadang memekik tawanya ketika sampai pada titik klimaks diskusi, bukan juga hanya Muhammad Ishaq, Sahabuddin Mahaganna, Ahmad Asdy, Bakri Latief, Hardi Jamal, Abdul Rahman Epo, Abdul Rahman Baas, Dalif, yang dengan berbagai model teori dan materi terkupas terbelah liar. Bahkan Darmansyah, Syamsul Samad, Ajbar Abd. Kadir, Nurdin Hamma, Suradi Yasil,Hamzah Ismail, M. Asri Abdullah, Saharuddin Madju, Ramli Rusli dan Muhammad Ridwan Alimuddin-pun bukan orang asing dalam sebuah acara bertopik Cakrawala Budaya, Mimbar Puisi dan diskusi buku.

Kebiasaan yang mungkin biasa dan terbiasa saya ikuti itu ternyata bukan persoalan biasa. Persoalan yang dimunculkan juga bukan topik yang biasa-biasa saja. Ada hal yang begitu luar biasa ketika banyolan-banyolan itu sampai pada sebuah persoalan yang mesti diseriusi. Berkaca pada gerakan tambang sungai Mandar, membaca fenomena alam yang menggurita pada eksistensi lembaga yang bernama Flamboyant Mandar, Taman Budaya, Literasi, Festival Sungai Mandar, Perpustakaan Rakyat Sepekan sampai pada persoalan poltik dan suksesi 2017 pun diurai dengan sangat luar biasa.

Katakanlah Tammalele yang dengan santainya mengatakan “Budayawan bukanlah satu-satunya orang yang berbudaya”. Ini tentu menjadi sebuah renungan yang tak biasa. Sebab hari ini, pembacaan pada persoalan kebudayaan, terutama pemerintah kadang jauh panggang dari api. Lihatlah ketika pemerintah membincang kebudayaan, bukankah kita hanya menemukan mereka terpenjara sebatas mengapresiasi budayawan dan seniman. Tidakkah Sandeq, Pakkacaping, Passayang-sayang, dan kesenian tradisional menjadi arti dan pemaknaan pada kebudayaan diantara mereka?. Inilah yang mesti kita refly dan sasar untuk menjadi bagian dalam menentukan kajian dan pembacaan kita pada Sulbar secara makro.

Tentu tak elegan lagi membincang Sulbar secara mikro, sebab bagaimanapun, Sulbar adalah ruang dialektika yang tentu menuntut siapapun untuk menjadikannya malaqbiq tidak sebatas jargon. Agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat lainnya, dari yang paling kecil sampai kepada yang lebih besar. Islam juga berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala siklus kehidupan. Dengan keberadaannya seperti itu, Islam bisa dikatakan selain sebagai agama juga bisa disebut satu kebudayaan yang sempurna yang tidak timbul dari hasil pergaulan masyarakat, bukan hasil ciptaan masyarakat, tapi merupakan kebudayaan yang diturunkan Tuhan, langsung kepada masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia.

Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya menjadi dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu. Dalam masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultur product), yang satu mempengaruhi yang lain selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain. Dari sinilah kita mengenal Peradaban Masyarakat (Lafran Pane).

Menarik dan sungguh sebuah keberuntungan bisa mengenal teman-teman diskusi yang dengan apa adanya menyuguhkan berbagai pengalaman untuk pengembangan cakrawala berfikir. Menyuguhkan sederet pengetahuan umum, pengetahuan agama yang kuselami menjadi ilmu serta membedah persoalan dengan cara kiri dan cara kanan. Ternyata saya baru sadar bahwa situasi ini adalah sebuah bentuk membangun peradaban secara alami. Untuk menguatkan pernyataan tersebut, mari kita telisik dengan menggunakan teori Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan, tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran, dan lain sebagainya. Dalam teori Ibnu Khaldun ini, substansi dari sebuah kemajuan-kemunduran suatu peradaban kuncinya di ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tentu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya.

Saya sangat yakin, bahwa komunitas dan diskusi-diskusi inilah yang membuat Alisyahbana dan Flamboyant begitu mengakar dan fenomenal. Dalam sejarah peradaban dunia, kita mengetahui sebuah peradaban besar ternyata dimulai dari komunitas kecil, yang kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban besar. Dalam perjalanan sejarah, komunitas itu umumnya lahir di perkotaan dan bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah, terbentuk masyarakat yang memiliki berrbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah, Kordova, Baghdad, Samara, Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara.

Ibnu Khaldun bahkan memberikan gambaran lebih spesifik dengan tanda-tanda hidupnya sebuah peradaban yaitu dengan berkembangnya teknologi (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur), kegiatan ekonomi, tumbuhnya praktik kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra, seni rupa, dll.). Dan dari balik tanda-tanda lahirnya sebuah peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan (Hariqo Wibawa Satri).

Selain Ibnu Khaldun dengan teori dan tanda-tanda peradaban, sayyid Qutub beserta para sarjana Muslim kontemporer memasukkan agama, spiritual atau kepercayaan sebagai sumber peradaban. Beliau menyatakan bahwa, keimanan adalah sumber peradaban. Peradaban Islam misalnya, meski struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanen. Prinsip itu adalah keyakinan dan ketakwaan kepada Tuhan, supremasi kemanusiaan diatas segala yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, kesemuanya akan menyadarkan kita pada fungsi sebagai khalifatan fil ardh.

Dari dua konsep tersebut muncul sebuah korelasi bahwa agama-agama samawi, Tuhan disimbolkan sebagai cahaya oleh para rasul melalui ajaran kitabnya. Dan tentu kita tahu teori gerak benda dengan kecepatan tertentu akan menghasilkan energi, energi dengan kecepatan tertentu akan menhgasilkan cahaya. Ini rumus pengetahuan dan tentu saja ilmu harus kita sepakati sebagai Cahaya, Nur. Dari kesepakatan itulah kita sejatinya menjadikan ilmu pengetahuan sebahai sebuah proses untuk mensifati sifat Tuhan. Dari sini kemudian menjadi menarik untuk kita simak pengakuan, Arnold Toynbee bahwa kekuatan spiritual (bathiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah yang kemudian disebut peradaban. Bahkan Syaih Muhammad Abduh menekankan sebuah penegasan bahwa agama atau keyakinamn adalah asas segala peradaban, entah itu peradaban purba seperti Yunani, Mesir, India maupun peradaban moderen, agama, keyakinan atau kepercayaan mutlak harus dilibatkan dalam membangun sebuah peradaban. Sampai disini, terdapat 3 point penting yang menopang sebuah peradaban, yakni ilmu pengetahuan, komunitas yang mengembangkannya serta keyakinan atau agama sebagai asas peradaban.

Dalam konteks ber-Indonesia, hal ini sdah berjalan ratusan tahun silam. Sebut saja zaman Syailendra, Sriwijaya, Majapahit, termasuk Sulawesi dan tentu saja didalamnya ada Mandar, selain Bugis, Makassar, Luwu, Bone, Tator. Tapi kita tak akan masuk dalam membincang persoalan ratusan tahun lalu itu. Cukup hari ini kita menyadari, betapa pertukaran energi dari sebuah diskusi adalah hal yang paling urgen dan terbukti menjaga kesehatan dan memanjangkan umur. Demikian Pak Nurdin Hamma memberikan spirit untuk tetap membangun budaya diskusi yang tidak saja menjadi esensi bagi terbangunnya peradaban, sekaligus sebagai bentuk pertukaran energi untuk memanjangkan umur secara fisik dan memanjangkan umur sebagai manusia yang menyejarah dan namanya kerap dilisankan meski ketiadaan melingkupi usia kemanusiaan kita.


Tinambung, 19 Februari 2016