Sabtu, 07 Januari 2017

BHINNEKA TUNGGAL IKA DALAM PERSPEKTIF MANDAR



Drs. Darmansyah
Oleh : Drs. Darmansyah*
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa Indonesia yang berasal dari bahasa Jawa kuno, yang salah satu kata “tunggal” ada juga pada bahasa daerah Mandar, dan tidak menutup kemungkinan terdapat juga pada bahasa daerah lain. Penulis berpendapat bahwa, penggagas semboyang bangsa Indonesia berupaya mencari kalimat yang dianggap merangkum atau mewakili semua bahasa daerah di Indonesia ini. Adapun siapa yang memuasali atau diasali, wallahu a’lam – lakukan penelitian lebih dalam.
Bhinneka Tunggal Ika, seringkali diartikan dengan kalimat “berbeda-beda tetapi satu”.

Penulis lebih cenderung membahasakan dengan kalimat “beragam dalam kebersamaan”. Kalimat lain menyebutkan “bersatu kita teguh - bercerai kita runtuh”. Demi persatuan, penulis membahasakan “bersatu kita teguh – bercerai kita kawin kembali (rujuk)”. Bhinneka Tunggal Ika, jika diterjemahkan kata perkata. Kata Bhinneka berarti “beraneka ragam” atau “berbeda-beda”. Kata neka dalam bahasa Sangsekerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa Indonesia. Kata tunggal dalam bahasa Jawa kuno berarti satu, memberi makna bahwa walaupun beragam tetapi hakekatnya satu kesatuan dalam bingkai NKRI.
Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kalimat Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 36A (amandemen ke-2) UUD 45. Hakekat semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar tuntunan bagi bangsa Indonesia merupakan adopsi dari beragam budaya daerah, yang didalamnya juga terdapat budaya Mandar. Di Mandar sejak dahulu kala, sudah terlebih dahulu menerapkan keaneka ragaman dalam membangun sebuah bangsa yang dibingkai kedalam Negara konfederasi Mandar yang lebih popular dengan istilah PBB dan PUS. Dan saat ini terintegrasi kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika, Mandar mempunyai keistimewaan tersendiri, karena diantara tiga kata dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika, bahasa Mandar-pun ada di dalamnya, yaitu kata “Tunggal”. Tunggal dalam bahasa Mandar berarti satu-satunya (tidak ada duanya). Lain halnya dengan arti kata “mesa (bahasa Mandar)” yang berarti satu. Penulis boleh-boleh saja tidak sependapat bagi mereka yang menerjemahkan kata tunggal yang mengartikan satu. Kalau tunggal berarti satu, berarti akan melahirkan hitungan berikutnya, misalnya; dua, tiga, dan seterusnya. Sementara NKRI itu Tunggal, tidak ada duanya (tidak ada Indonesia lain). Artinya, beraneka ragam suku bangsa, budaya, bahasa, ras, agama dan kepercayaan terbingkai secara tunggal ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkram oleh Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Republik Indonesia Indonesia. Lambang Garuda ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang selanjutnya disempurnakan oleh Presiden Soekarno dan pemakaiannya diresmikan sebagai lambang Negara dalam sidang kabinet RIS tanggal 11 februari 1950. Penggunaan lambang Negara diatur dalam Pasal 36A UUD 45. Begitu juga dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta lagu kebangsaan (Lembaran Negara 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara 5035). Lambang Negara sebelumnya diatur dalam Konstitusi RIS, UUDS 1950 dan Peraturan Pemerintah No. 43/1958.

Dalam sebuah dialog kecil yang diselenggarakan di ruang rapat paripurna DPRD kabupaten Majene, rabu 4 januari 2017 beberapa peserta bertanya kepada penulis, bahwa dapatkah dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa kata “Tunggal” itu berasal dari bahasa Mandar. Penulis lalu memberikan argumen bahwa terfakta di masyarakat Mandar khususnya di Sendana, kata tunggal itu sering kali digunakan dalam bertutur. Misalnya: (1) Da mutunggalangi muola lepa-lepamu sau mole’bo’ artinya jangan berangkat sendiri (tidak lebih dari seorang) dengan menggunakan perahumu pergi melaut. (2) melo’o situnggalang, (3) sa’apai allinna iting luyomu, tanya pembeli kepada penjual pisang, lalu penjual menjawab tunggali na’u. Dan lain sebagainya.

Kita orang Mandar justru berbangga, karena diantara kurang lebih 1400 suku bangsa dan bahasa daerah di Indonesia, ada kata bahasa Mandar - walaupun satu kata dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika pada semboyan yang dicengkram Garuda Pancasila sebagai lambang Negara. Saya tentu tidak setuju kalau dianggap menyinggung semboyang Negara “Bagaimana bunyi kalimat singgungan saya itu kepada semboyang Negara kalau memang ada”, ini yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Juga dianggap dapat memancing reaksi dari kalangan lain, bahkan dapat menimbulkan aksi saling caplok kesukuan atas Negara, wah ini juga tidak beralasan. Tujuan penulis adalah ingin melalukan pengkajian dalam rangka pengembangan hasana kebudayaan daerah demi persatuan dan kesatuan Bangsa.

Pernyatan penulis bahwa kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari bahasa Mandar (tentulah tidak semua kata-katanya) dan itu - sah-sah saja. Dan tidak menutup kemungkinan pada bahasa daerah lain juga dijumpai perkataan yang sama. Banyak bahasa daerah Mandar yang mirip atau sama dengan bahasa daerah lain, contohnya: Mala’bi’, Tomanurung, Tomakaka’, Puang, Pa’bicara, Mara’dia, dan masih banyak lagi. Jangan dianggap “cocologi” bila memang ada persamaannya dengan bahasa daerah lain, karena bangsa Indonesia umumnya berasal dari rumpun yang sama “Melayu”.

Penulis selaku orang Mandar, akan berupaya dengan segala daya agar bahasa dan falsafah Mandar juga diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan penggunaannya diakui oleh Negara, dan itulah salah satu cara melestarikan bahasa ibu, misalnya: Kalanjo, Kalo’ong, Tumbur, Maranni, dll, begitu juga dengan falsafah atau semboyan Mandar (1) Ma-asse’i pura loa dilalanna allebuang, (2) Sipalete diattonganang, (3) Mua’ purai nipalandang – pemali nili’ai, (4) Malebu tallo – malebu pai tia, (5) Pemali anu sandappa – namenjari sallame’. dan lain sebagainya.

Demikian tulisan yang sederhana ini, kepada pembaca yang budiman diharapkan saran dan kritikan pedis sekalipun, demi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang sejarah dan kebudayaan.

*Penulis adalah Ketua DPRD Majene dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang  Sulbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar