Drs. Darmansyah |
Oleh : Drs. Darmansyah*
Bhinneka Tunggal Ika adalah
semboyan bangsa Indonesia yang berasal dari bahasa Jawa kuno, yang salah satu
kata “tunggal” ada juga pada bahasa daerah Mandar, dan tidak menutup
kemungkinan terdapat juga pada bahasa daerah lain. Penulis berpendapat bahwa,
penggagas semboyang bangsa Indonesia berupaya mencari kalimat yang dianggap
merangkum atau mewakili semua bahasa daerah di Indonesia ini. Adapun siapa yang
memuasali atau diasali, wallahu a’lam – lakukan penelitian lebih dalam.
Bhinneka Tunggal Ika, seringkali diartikan dengan kalimat “berbeda-beda tetapi satu”.
Bhinneka Tunggal Ika, seringkali diartikan dengan kalimat “berbeda-beda tetapi satu”.
Penulis lebih cenderung
membahasakan dengan kalimat “beragam dalam kebersamaan”. Kalimat lain
menyebutkan “bersatu kita teguh - bercerai kita runtuh”. Demi persatuan,
penulis membahasakan “bersatu kita teguh – bercerai kita kawin kembali
(rujuk)”. Bhinneka Tunggal Ika, jika diterjemahkan kata perkata. Kata Bhinneka
berarti “beraneka ragam” atau “berbeda-beda”. Kata neka dalam bahasa
Sangsekerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa Indonesia.
Kata tunggal dalam bahasa Jawa kuno berarti satu, memberi makna bahwa walaupun
beragam tetapi hakekatnya satu kesatuan dalam bingkai NKRI.
Bhinneka Tunggal Ika adalah
semboyan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kalimat Lambang
Negara yaitu Garuda Pancasila, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 36A
(amandemen ke-2) UUD 45. Hakekat semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar
tuntunan bagi bangsa Indonesia merupakan adopsi dari beragam budaya daerah,
yang didalamnya juga terdapat budaya Mandar. Di Mandar sejak dahulu kala, sudah
terlebih dahulu menerapkan keaneka ragaman dalam membangun sebuah bangsa yang
dibingkai kedalam Negara konfederasi Mandar yang lebih popular dengan istilah
PBB dan PUS. Dan saat ini terintegrasi kedalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam kalimat Bhinneka Tunggal
Ika, Mandar mempunyai keistimewaan tersendiri, karena diantara tiga kata dalam
kalimat Bhinneka Tunggal Ika, bahasa Mandar-pun ada di dalamnya, yaitu kata
“Tunggal”. Tunggal dalam bahasa Mandar berarti satu-satunya (tidak ada duanya).
Lain halnya dengan arti kata “mesa (bahasa Mandar)” yang berarti satu. Penulis
boleh-boleh saja tidak sependapat bagi mereka yang menerjemahkan kata tunggal
yang mengartikan satu. Kalau tunggal berarti satu, berarti akan melahirkan
hitungan berikutnya, misalnya; dua, tiga, dan seterusnya. Sementara NKRI itu
Tunggal, tidak ada duanya (tidak ada Indonesia lain). Artinya, beraneka ragam
suku bangsa, budaya, bahasa, ras, agama dan kepercayaan terbingkai secara
tunggal ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bhinneka Tunggal Ika ditulis di
atas pita yang dicengkram oleh Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Republik
Indonesia Indonesia. Lambang Garuda ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari
Pontianak, yang selanjutnya disempurnakan oleh Presiden Soekarno dan
pemakaiannya diresmikan sebagai lambang Negara dalam sidang kabinet RIS tanggal
11 februari 1950. Penggunaan lambang Negara diatur dalam Pasal 36A UUD 45.
Begitu juga dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta lagu kebangsaan (Lembaran Negara 2009 Nomor 109, Tambahan
Lembaran Negara 5035). Lambang Negara sebelumnya diatur dalam Konstitusi RIS,
UUDS 1950 dan Peraturan Pemerintah No. 43/1958.
Dalam sebuah dialog kecil yang
diselenggarakan di ruang rapat paripurna DPRD kabupaten Majene, rabu 4 januari
2017 beberapa peserta bertanya kepada penulis, bahwa dapatkah
dipertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa kata “Tunggal” itu berasal dari
bahasa Mandar. Penulis lalu memberikan argumen bahwa terfakta di masyarakat
Mandar khususnya di Sendana, kata tunggal itu sering kali digunakan dalam
bertutur. Misalnya: (1) Da mutunggalangi muola lepa-lepamu sau mole’bo’ artinya
jangan berangkat sendiri (tidak lebih dari seorang) dengan menggunakan perahumu
pergi melaut. (2) melo’o situnggalang, (3) sa’apai allinna iting luyomu, tanya
pembeli kepada penjual pisang, lalu penjual menjawab tunggali na’u. Dan lain
sebagainya.
Kita orang Mandar justru
berbangga, karena diantara kurang lebih 1400 suku bangsa dan bahasa daerah di
Indonesia, ada kata bahasa Mandar - walaupun satu kata dalam kalimat Bhinneka
Tunggal Ika pada semboyan yang dicengkram Garuda Pancasila sebagai lambang
Negara. Saya tentu tidak setuju kalau dianggap menyinggung semboyang Negara “Bagaimana
bunyi kalimat singgungan saya itu kepada semboyang Negara kalau memang ada”,
ini yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Juga dianggap dapat memancing reaksi
dari kalangan lain, bahkan dapat menimbulkan aksi saling caplok kesukuan atas
Negara, wah ini juga tidak beralasan. Tujuan penulis adalah ingin melalukan
pengkajian dalam rangka pengembangan hasana kebudayaan daerah demi persatuan
dan kesatuan Bangsa.
Pernyatan penulis bahwa kalimat
“Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari bahasa Mandar (tentulah tidak semua
kata-katanya) dan itu - sah-sah saja. Dan tidak menutup kemungkinan pada bahasa
daerah lain juga dijumpai perkataan yang sama. Banyak bahasa daerah Mandar yang
mirip atau sama dengan bahasa daerah lain, contohnya: Mala’bi’, Tomanurung,
Tomakaka’, Puang, Pa’bicara, Mara’dia, dan masih banyak lagi. Jangan dianggap
“cocologi” bila memang ada persamaannya dengan bahasa daerah lain, karena
bangsa Indonesia umumnya berasal dari rumpun yang sama “Melayu”.
Penulis selaku orang Mandar, akan berupaya dengan segala daya agar
bahasa dan falsafah Mandar juga diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan
penggunaannya diakui oleh Negara, dan itulah salah satu cara melestarikan
bahasa ibu, misalnya: Kalanjo, Kalo’ong, Tumbur, Maranni, dll, begitu juga
dengan falsafah atau semboyan Mandar (1) Ma-asse’i pura loa dilalanna
allebuang, (2) Sipalete diattonganang, (3) Mua’ purai nipalandang – pemali
nili’ai, (4) Malebu tallo – malebu pai tia, (5) Pemali anu sandappa – namenjari
sallame’. dan lain sebagainya.
Demikian tulisan yang sederhana
ini, kepada pembaca yang budiman diharapkan saran dan kritikan pedis sekalipun,
demi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang sejarah dan
kebudayaan.
*Penulis adalah
Ketua DPRD Majene dan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulbar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar