Sabtu, 31 Desember 2016

Diskusi Budaya Ala Budayawan Tinambung (Teori melanggengkan Kebudayaan)


Oleh: Muhammad Munir

Uwake Cultur Fondation. Demikian Muhammad Rahmat Muchtar menata diri dan membuka ruang bagi aktifis, budayawan, seniman dan sejarawan untuk berkumpul mengumpul kata banyolan. Ia tak ubahnya seperti sejarah yang selalu siap mencatat kebudayaan yang lahir sebagai peradaban. Saya sendiri tidak mengetahui asbab dari sebuah sebab yang membuat mereka berkumpul pada jam yang tak mau dicheklist dalam rangkaian agenda. Berkumpulnya tak kenal waktu, pagi bisa, siang boleh, sore juga ok.Apalagi jika malam hari, sampai larut malam bahkan shubuhpun sudah biasa suntuk tak terasa kantuk.

Bukan hanya Tammalele yang kerap datang menyentil lalu hilang, bukan hanya Adil Tambono yang kadang memekik tawanya ketika sampai pada titik klimaks diskusi, bukan juga hanya Muhammad Ishaq, Sahabuddin Mahaganna, Ahmad Asdy, Bakri Latief, Hardi Jamal, Abdul Rahman Epo, Abdul Rahman Baas, Dalif, yang dengan berbagai model teori dan materi terkupas terbelah liar. Bahkan Darmansyah, Syamsul Samad, Ajbar Abd. Kadir, Nurdin Hamma, Suradi Yasil,Hamzah Ismail, M. Asri Abdullah, Saharuddin Madju, Ramli Rusli dan Muhammad Ridwan Alimuddin-pun bukan orang asing dalam sebuah acara bertopik Cakrawala Budaya, Mimbar Puisi dan diskusi buku.

Kebiasaan yang mungkin biasa dan terbiasa saya ikuti itu ternyata bukan persoalan biasa. Persoalan yang dimunculkan juga bukan topik yang biasa-biasa saja. Ada hal yang begitu luar biasa ketika banyolan-banyolan itu sampai pada sebuah persoalan yang mesti diseriusi. Berkaca pada gerakan tambang sungai Mandar, membaca fenomena alam yang menggurita pada eksistensi lembaga yang bernama Flamboyant Mandar, Taman Budaya, Literasi, Festival Sungai Mandar, Perpustakaan Rakyat Sepekan sampai pada persoalan poltik dan suksesi 2017 pun diurai dengan sangat luar biasa.

Katakanlah Tammalele yang dengan santainya mengatakan “Budayawan bukanlah satu-satunya orang yang berbudaya”. Ini tentu menjadi sebuah renungan yang tak biasa. Sebab hari ini, pembacaan pada persoalan kebudayaan, terutama pemerintah kadang jauh panggang dari api. Lihatlah ketika pemerintah membincang kebudayaan, bukankah kita hanya menemukan mereka terpenjara sebatas mengapresiasi budayawan dan seniman. Tidakkah Sandeq, Pakkacaping, Passayang-sayang, dan kesenian tradisional menjadi arti dan pemaknaan pada kebudayaan diantara mereka?. Inilah yang mesti kita refly dan sasar untuk menjadi bagian dalam menentukan kajian dan pembacaan kita pada Sulbar secara makro.

Tentu tak elegan lagi membincang Sulbar secara mikro, sebab bagaimanapun, Sulbar adalah ruang dialektika yang tentu menuntut siapapun untuk menjadikannya malaqbiq tidak sebatas jargon. Agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat lainnya, dari yang paling kecil sampai kepada yang lebih besar. Islam juga berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala siklus kehidupan. Dengan keberadaannya seperti itu, Islam bisa dikatakan selain sebagai agama juga bisa disebut satu kebudayaan yang sempurna yang tidak timbul dari hasil pergaulan masyarakat, bukan hasil ciptaan masyarakat, tapi merupakan kebudayaan yang diturunkan Tuhan, langsung kepada masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia.

Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya menjadi dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu. Dalam masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultur product), yang satu mempengaruhi yang lain selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain. Dari sinilah kita mengenal Peradaban Masyarakat (Lafran Pane).

Menarik dan sungguh sebuah keberuntungan bisa mengenal teman-teman diskusi yang dengan apa adanya menyuguhkan berbagai pengalaman untuk pengembangan cakrawala berfikir. Menyuguhkan sederet pengetahuan umum, pengetahuan agama yang kuselami menjadi ilmu serta membedah persoalan dengan cara kiri dan cara kanan. Ternyata saya baru sadar bahwa situasi ini adalah sebuah bentuk membangun peradaban secara alami. Untuk menguatkan pernyataan tersebut, mari kita telisik dengan menggunakan teori Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan, tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran, dan lain sebagainya. Dalam teori Ibnu Khaldun ini, substansi dari sebuah kemajuan-kemunduran suatu peradaban kuncinya di ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tentu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya.

Saya sangat yakin, bahwa komunitas dan diskusi-diskusi inilah yang membuat Alisyahbana dan Flamboyant begitu mengakar dan fenomenal. Dalam sejarah peradaban dunia, kita mengetahui sebuah peradaban besar ternyata dimulai dari komunitas kecil, yang kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban besar. Dalam perjalanan sejarah, komunitas itu umumnya lahir di perkotaan dan bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah, terbentuk masyarakat yang memiliki berrbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah, Kordova, Baghdad, Samara, Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara.

Ibnu Khaldun bahkan memberikan gambaran lebih spesifik dengan tanda-tanda hidupnya sebuah peradaban yaitu dengan berkembangnya teknologi (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur), kegiatan ekonomi, tumbuhnya praktik kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra, seni rupa, dll.). Dan dari balik tanda-tanda lahirnya sebuah peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan (Hariqo Wibawa Satri).

Selain Ibnu Khaldun dengan teori dan tanda-tanda peradaban, sayyid Qutub beserta para sarjana Muslim kontemporer memasukkan agama, spiritual atau kepercayaan sebagai sumber peradaban. Beliau menyatakan bahwa, keimanan adalah sumber peradaban. Peradaban Islam misalnya, meski struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanen. Prinsip itu adalah keyakinan dan ketakwaan kepada Tuhan, supremasi kemanusiaan diatas segala yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, kesemuanya akan menyadarkan kita pada fungsi sebagai khalifatan fil ardh.

Dari dua konsep tersebut muncul sebuah korelasi bahwa agama-agama samawi, Tuhan disimbolkan sebagai cahaya oleh para rasul melalui ajaran kitabnya. Dan tentu kita tahu teori gerak benda dengan kecepatan tertentu akan menghasilkan energi, energi dengan kecepatan tertentu akan menhgasilkan cahaya. Ini rumus pengetahuan dan tentu saja ilmu harus kita sepakati sebagai Cahaya, Nur. Dari kesepakatan itulah kita sejatinya menjadikan ilmu pengetahuan sebahai sebuah proses untuk mensifati sifat Tuhan. Dari sini kemudian menjadi menarik untuk kita simak pengakuan, Arnold Toynbee bahwa kekuatan spiritual (bathiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah yang kemudian disebut peradaban. Bahkan Syaih Muhammad Abduh menekankan sebuah penegasan bahwa agama atau keyakinamn adalah asas segala peradaban, entah itu peradaban purba seperti Yunani, Mesir, India maupun peradaban moderen, agama, keyakinan atau kepercayaan mutlak harus dilibatkan dalam membangun sebuah peradaban. Sampai disini, terdapat 3 point penting yang menopang sebuah peradaban, yakni ilmu pengetahuan, komunitas yang mengembangkannya serta keyakinan atau agama sebagai asas peradaban.

Dalam konteks ber-Indonesia, hal ini sdah berjalan ratusan tahun silam. Sebut saja zaman Syailendra, Sriwijaya, Majapahit, termasuk Sulawesi dan tentu saja didalamnya ada Mandar, selain Bugis, Makassar, Luwu, Bone, Tator. Tapi kita tak akan masuk dalam membincang persoalan ratusan tahun lalu itu. Cukup hari ini kita menyadari, betapa pertukaran energi dari sebuah diskusi adalah hal yang paling urgen dan terbukti menjaga kesehatan dan memanjangkan umur. Demikian Pak Nurdin Hamma memberikan spirit untuk tetap membangun budaya diskusi yang tidak saja menjadi esensi bagi terbangunnya peradaban, sekaligus sebagai bentuk pertukaran energi untuk memanjangkan umur secara fisik dan memanjangkan umur sebagai manusia yang menyejarah dan namanya kerap dilisankan meski ketiadaan melingkupi usia kemanusiaan kita.


Tinambung, 19 Februari 2016



Tidak ada komentar:

Posting Komentar