Minggu, 18 Desember 2016

Catatan Sejarah: MEMBANGUN POROS MARITIM UNTUK KESEJAHTERAAN BANGSA Kembalilah Menjadi Bangsa Samudera !


Pada tanggal 7-10 November 2016 lalu, penulis bersama rombongan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulawesi Barat yang terdiri Darmansyah, Muhammad Aslam, Ilham Muin, Rahmatullah, Asmadi Mappawali, Hikmawati, Syarifah Syakilah, Taslam dll, berkesempatan mengikuti acara Konferensi Nasional Sejarah X dan Kongres Sejarah IX yang berlangsung di Hotel Grand Sahid Jakarta Pusat. Konfernensi Nasional X ini mengusung tema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah”. Acara dibuka langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Efendy. Turut hadir Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis PaEni, Sejarawan Taufik Abdullah, Perwakilan Philippines Historical Association, Persatuan Sejarah Malaysia, peneliti dari Pusat Sejarah TNI dan para sejarawan dari berbagai bidang lainnya termasuk pengurus MSI dari berbagai penjuru tanah air.
Indonesia adalah Negara kepulauan dengan sejarah panjang dibidang kemaritiman. Banyak kisah sukses Indonesia di bidang maritim yang dapat menjadi semangat untuk membangun negara bahari yang kuat. Sejarah juga mencatat bangsa Indonesia ialah bangsa yang memiliki potensi sumber daya laut yang kaya dan budaya bahari yang unggul dimasa lalu, seperti Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit.

“Presiden Soekarno pada pembukaan Munas Maritim Pertama 1963 menyatakan kembalilah menjadi bangsa samudera ! Seruan tersebut penting untuk dilaksanakan guna mewujudkan etos budaya maritim dalam mendukung program pemerintah untuk membangun poros maritime dunia bagi kesejahteraan dan keunggulan Indonesia sebagai bangsa bahari”. Demikian dipaparkan oleh Menteri Puan Maharani saat membuka Konferensi Nasional Sjarah (KSN) X 2016.
Mendikbud Muhadjir mengatakan, KNS yang digelar lima tahun sekali diikuti oleh dosen, guru dan komunitas sejarah dari berbagai kalangan untuk mendekatkan sejarah kepada masyarakat, bukan sekedar ilmu, melainkan juga untuk memperkuat titik tolak pembentukan karakter bangsa dimasa mendatang. Demikian Menteri Muhadjir sebagaimana yang dirilis Harian Media Indonesia, 8 November 2016.

Kronologi Perjalanan Konferensi Sejarah Nasional

Konferensi Nasional Sejarah kali ini adalah yang ke-10 diselenggarakan sejak Seminar Sejarah Nasional Pertama yang digelar dilaksanakan di Yogyakarta pada 14-18 Desember 1957. Musyawarah Nasional Sejarah Pertama ini membicarakan Landasan Filsafat Sejarah Nasional, Periode Sejarah dan Penulisan Buku Pelajaran Sejarah. Seminar juga berhasil merumuskan visi Penulisan Sejarah Dari Neerlando Sentris ke Indonesia Sentris.
Musyawarah Nasional Sejarah kedua mengalami kendala untuk digelar setiap lima tahun. Ini mungkin dipengaruhi oleh kondisi bangsa saat itu sehingga Musyawarah Nasional Sejarah ke-2 baru bisa dilaksanakan pada tahun 1970 di Yogyakarta yang menghasilkan dua keputusan, yaitu: Pertama, Membentuk Tim Penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang diusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri P dan K No. 0173/1970 terbentuk panitia penyusun Buku Standard Sejarah Nasional Indonesia yang menyusun buku “Sejarah Nasional Indonesia” (Terbit pada 1975 sebanyak 6 jilid). Kedua, Mendirikan Organisasi Prifesi Sejarawan di Indonesia denagn nama Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dengan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo sebagai Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesi (MSI) yang pertama.
                Seminar Sejarah Nasional III baru bisa digelar pada tahun 1981 di Jakarta, tahun 1985 di Jogyakarta, sealanjutnya tahun 1990 diselenggarakan di Semarang yang kembali melahirkan dua poin rekomendasi yaitu: Pertama, Sejarawan meningkatkan kemampuan ilmiah dengan melakukan banyak kajian dan penulisan. Kedua. Pengajar meningkatkan kemampuan dan mengembangkan cara pengajaran yang tepat didalam upaya penghayatan nilai-nilai sejarah. Seminar Sejarah Nasional di tahun 1990 ini menjadi yang terakhir sebab pada tahun 1996 bukan lagi bentuk seminar tapi sudah diubah menjadi Konferensi Sejarah Nasional VI yang diselenggarakan di Jakarta.
                Konferensi Nasional Searah (KNS) VI ini merekomendasikan Peningkatan perhatian dan keterlibatan berbagai lembaga pemerintah dan swasta terhadap kegiatan kesejarahan karena sejarah adalah cabang ilmu yang strategis untuk merumuskan visi masa depan; Penyelenggaraan Konferensi Nasional Sejarah dapat dilaksanakan secara teratur 5 tahun sekali. Sejarah terus berlangsung melintasi berbagai proses panjang yang menjadi obyek ilmu sejarah. Tahun 2001 KNS VII dihelat pertama kali di era reformasi. Penyelenggaraan KNS VII ini dilaksanakan di Jakarta dengan melahirkan rekomendasi penulisan buku sejarah yang telah berkembang dengan temuan-temuan, sumber-sumber dan teori baru yang kemudian menghasilkan 9 ilid buku yang diberi judul “ INDONESIA DALAM ARUS SEJARAH” (IDAS) yang mecakup dari masa prasejarah hingga masa reformasi.
                KNS VIII kembali digelar tahun 2006 di Jakarta. Dari KNS ini lahir rekomendasi agar sejarah menjadi pelajaran wajib dalam kurikulum jenjang pendidikan dasar dan seluruh jurusan di tingkat pendidikan menengah. Demikian juga tahun 2011 KNS IX kembali digelar di Jakarta dengan sebuah target: Dalam usaha memperkokoh karakter bangsa, perlu; Pemahaman yang mendalam atas nilai-nilai kearifan dan keadilan yang digali dari hasil rekonstruksi sejarah bangsa; Mendokumentasikan, menafsirkan dan memvisualisasikan kearifan lokal (cerita rakyat, mitos, legenda, pantun dan relief) melalui gerakan cinta sejarah yang meliputi kegiatan wisata sejarah (lokal dan nasional) melalui karya-karya kreatif inspiratif.

                Dalam rangkaian penguatan  dari KNS IX 2011 tersebut, maka pada tahun 2014 di Yogyakarta dilangsungkan sebuah agenda Penandatanganan Dokumen Maklumat Hari Sejarah Oleh berbagai kalangan masyarakat yang melibatkan asosiasi profesi, komunitas pecinta sejarah, guru-dosen, dan mashasiswa yang mengusulkan tanggal 14 Desember sebagai hari sejarah dengan pertimbangan tanggal tersebut adalah tanggal dimulainya seminar sejarah nasional tahun 1957. Setahun kemudian, di Jakarta berlangsung sebuah acara Peringatan Hari Sejarah, 14 Desember 2015.

BERU’-BERU’ TOKANDEMENG



Salah satu simbol kebudayaan Mandar yang kerap ditemukan adalah beru’-beru’. beru’-beru’ (bunga melati) selalu menjadi ikon dalam sastra tutur (toloq) kacaping Mandar yang disematkan pada barisan wanita cantik (piqoro) yaitu lilli ambang beru’-beru’. Dalam lirik beberapa syair lagu Mandar juga sering kita dengar. Begitu juga dalam kalinda’da’ Mandar kita akrab mendengar syair yang berbunyi begini: beru-beru di Kandemeng-meuwake di kollang, babar di jene, sarombong di sambayang, ada juga beru’-beru’ bura lemo, sipoapai tia, sippute bandi, rasana sisalai.

Kumpulan penulis perempuan juga tak mau ketinggalan dalam mengabadikan nama beru’-beru’ ini dengan judul analeqta beru’-beru’ (Sri Musdikawati dkk.). Bapak Nurdin Hamma, salah satu tokoh masyarakat dan budayawan senior di Balanipa menjelaskan bahwa beru’-beru’ (melati) hanyalah jenis bunga yang masuk dalam deret ribuan jenis bunga di nusantara.

Beru’-beru’ mempunyai garis sejarah yang panjang sejak zaman pemerintahan  Billa-Billami Tomepayung. Kandemeng adalah kampung yang dikenal karena beru’-beru’ dibudidayakan, tumbuh dan berkembang serta menjadi mata pencaharian masyarakat Kandemeng dari era Tomepayung sampai pada era 60-an.

Lebih lanjut, Nurdin Hamma menjelaskan tentang beberapa keistimewaan beru’-beru’ ini. Pertama: beru’-beru’ dimanapun berada, selalu menebar aroma yang harumnya begitu semerbak dan mewangi. Oleh orang kandemeng (mandar) ini menjadi filosofi agar keberadaan orang mandar selalu tampil santun, memberi kedamaian, dan ketentraman bagi lingkungan sekitarnya;

Kedua: beru’-beru’ to Kandemeng menjadi sebuah slogan dan membudaya, bukan dari jenis bunganya, akan tetapi dari segi perlakuan masyarakat saat memetik beru’-beru’. Orang Kandemeng punya cara yang unik dan sakral. Jika orang luar memetik bunga beru’-beru’ ini mungkin pake wadah seadanya, tapi orang kandemeng tidak. Beru’-beru’ umumnya dipetik oleh wanita dengan terlebih dahulu mengikat sarung dibahunya, dibagian bawah sarung dililitkan (diatas pusar) kebelakang dan disimpul. Beru’-beru’ yang dipetik itu kemudian diselipkan dicelah sarung tepat dibagian dada, sehingga beru’-beru’ ini berbaur dengan payudara (maaf). Hal ini merupakan sebuah simbol bahwa beru’-beru’ harus diperlakukan sama seperti menjaga kehormatan yang dimiliki wanita. Rasa memiliki ini dimotivasi selain sebagai accessories wanita juga karna diperjual belikan.

Beru’-beru’ yang telah dipetik itu kemudian dibungkus dengan daun tanga-tangan (tanaman jarak) yang setiap bungkusnya berisi 20 biji, sebagai simbol dari jumlah satu ajoa dari tari pattuqduq (konon Todilaling dikebumikan bersama 2 joa atau 2x20=40 orang penari pattuqduq).

Perlakuan terhadap beru’-beru’ ini ternyata menjadi nilai plus bagi warga Kandemeng, sehingga menjadi pilihan masyarakat untuk membeli beru’-beru’ di Kandemeng. Kondisi ini membuat Kandemeng dikenal sebagai penghasil beru’-beru’ paling terkenal di Mandar dan pembelinya berdatangan dari berbagai penjuru, terutama pada saat musim pernikahan.

Beru’-beru’ ternyata menjadi berkah bagi bagi warga kandemeng, terutama dari peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Tak sedikit yang jadi orang kaya dari hasil penjualan beru’-beru’ dan itu berlangsung lama dan mulai merosot sekitar tahun 60-an (ini terutama dipengaruhi oleh 710 yang akrab disebut zaman gurilla, 1953-1964)

Ketiga: beru’-beru’ to Kandemeng menjadi terkenal karena pusat pemerintahan kerajaan Balanipa pada awal tahun 1900-an dipindahkan ke Kandemeng disamping peran KH. Muh. Tahir Imam Lapeo, Sayyid Lawarang (HS. Mengga) dan Annagguru Kaiyyang. Kalinda’da’ diatas diyakini adalah kalinda’da’ yang diciptakan oleh Imam Lapeo.

Sekedar diketahui bahwa beru' beru' terdiri dari beberapa jenis, yaitu beru’-beru’ pitussusung (tujuh lapis/susun), beru’-beru’ mamea (merah) dan beru’-beru’ biasa. Yang terakhir ini adalah jenis yang banyak digunakan bunganya untuk keperluan dali/lilliq ambang beru’-beru’ (anting). Selain itu, beru’-beru’ adalah jenis tanaman yang berumur panjang, bisa bertahan di dua musim (kemarau dan hujan)[1].




[1] Hasil Wawancara dengan Nurdin Hamma, Budayawan

Situs: BUTTU PASSOKKORANG

Buttu Passokkorang yang sekarang masuk dalam wilayah Desa Mambu Kec. Luyo ini adalah bekas ibukota kerajaan Passokkorang yang berdaulat pada sekitar abad ke-12-15. Hal itu bisa dibuktikan pada saat penggalian bukit/gunung Passokkorang untuk ditanami kelapa sawit, banyak ditemukan keramik dan artefak sejarah yang menandai bahwa pernah ada perkampungan di sekitar gunung ini.

            Dalam beberapa riwayat dan penuturan, di sekitaran aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli)  terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama Passikokkoang yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi Passikokkorang dan akhirnya menjadi Passokkorang.

Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini.

Penelusuran tentang Passokkorang sebagai komunitas maupun sebagai bentuk kerajaan mempunyai tingkat kesulitan yang sangat tinggi, sebab dari sekitar 20 lontara yang membahas historiografi Mandar dalam koleksi Arsip Nasional Makassar yang diramu oleh Horst H. Liebner, sepertinya hanya empat yang mengandung informasi tentang Passokkorang.

Sumber informasi yang dimaksud itu adalah: No. 01 /MKH/8/Unhas/UP Rol 55 No. 8 dengan Judul : Pattodioloang Di Mandar; naskah potongan bahagian awal dari Naskah No. 01/MKH/2/Unhas/UP Rol. 9. No. 2 […] Silsilah Puang Ulunna Salu dan Maraddia Passokkoran; No.01/MKH/2/Unhas/UP Rol 75 No. 2 denganjudul: Lontaraq Mandar Arung Passokorang kawin dengan anak Arung Batulappa. […]; dan No. 01/MKH/2/Unhas/UP Rol 07 No. 2 Judul : Lontaraq Adat Mandar I […] menceritakan tentang Maradia Passokkorang […].

Kesulitan tersebut coba kita kaitkan antara tuturan dengan catatan lontaraq lain yang bisa ditemukan dengan penggambaran situasai kedatuan atau kerajaan model awal di jazirah Sulawesi. Dikalangan mereka sering berselisih dengan yang lain dalam melindungi kepentingan masing-masing. Terlebih kepada kelompok yang berada jauh terpisah seperti Kalimantan dan sebagainya. Namun situasi ini kemudian membuat mereka menemukan solusi dengan membentuk semacam konfederasi yang dipimpin pertama kali oleh seseorang yang dikonsepsikan sebagai Tomanurung.

Dalam konfederasi, sistem semi demokrasi menjadi prinsip yang egalite dan humanite yang dipegang teguh. Para pemimpin disegala tingkat mengabdikan diri untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang menjadi rakyat, mengupayakan kesejahteraan dan menjaga ketertiban. Pemimpin yang melakukan penyimpangan akan mendapatkan sanksi rakyat melalui dewan adat. Tadisi pendampingan penguasa oleh dewan adat ini bertahan lama. Dewan adat ini ada yang beranggotakan sembilan maka disebut Adaq Salapang (Makassar). Demikian juga yang beranggotakan tujuh disebut Adaq Pitue (Bugis) dan termasuk di Mandar ada dewan adat yang beranggotakan empat banua maka disebut dengan Appe Banua Kayyang (Arajang Balanipa) dan pada  perkembagan  selanjutnya Pitu ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga. Adapun rakyat yang merupakan sumber kekuasaan menunjukkan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian keseimbangan antara hak dan kewajiban terjaga dengan baik.

            Gambaran situasi dalam catatan lontaraq tersebut kita kaitkan dengan kisah dan sejarah komunitas Passokkorang yang hilang. Hingga kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah kerajaan. Tak ada sumber informasi yang bisa dilacak untuk mengetahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokkorang, namun dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwa Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga, bahkan salah satu Raja Passokkorang yang bernama La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang).

Kerajaan Passokkorang (bukan komunitas-pen) diperkirakan berdiri pada sekitar tengah tahun 1400-an M. dan runtuh pada awal 1500-an yang bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521).

Dalam keterangan lontar juga tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Datu Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Tenri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).[1]

            Jejak Passokkorang yang penulis telusuri juga terdapat di Adolang. Dalam cerita tutur masyarakat Adolang dikisahkan Arajang atau Raja di Banua Dato Karampuanna Adolang, Tomelluangan menikah dengan Sinjar Bulan anak dari Tomata Bassi (Raja Passokkorang). Tomata Bassi mempunyai anak bernama Marribu dan Sinjar Bulan.

Pada masa Tomata Bassi inilah Passokkorang mengalami masa kejayaannya puluhan tahun disekitaran tahun 1400-an. Tomata Bassi digantikan oleh anaknya yang bernama Marribu. Marribu digulingkan secara paksa melalui pemberontakan dari Takiya Bassi. Marribu lari ke Baras dan menjadi Raja disana. Takiya Bassi menguasai Passokkorang dan memerintah secara otoriter dan arogan. Ia mempunyai anak bernama Labassi Tau dan Labassi Kalling. Takiya Bassi berkuasa puluhan tahun.

Setelah mangkat ia digantikan oleh anaknya Labassi Tau. Pemerintahan Labassi Tau kembali normal, ia sangat bijaksana, menyayangi dan mengayomi rakyatnya. Labassi Kalling menggulingkan kakaknya dan menjadi raja yang semena-mena dan sangat kejam. Siapapun yang masuk ke wilayah Passokkorang ia bunuh. Tindakan semena-mena itulah yang kemudian membuat kerajaan lain bersekutu dan membumi hanguskannya. Tamatlah riwayat Passokkorang dan namanya di ubah oleh Tomepayung menjadi Mapilli (salah satu wilayah yang masuk dalam persekutuan Tallumboccoe,  yaitu Mapilli, Tomadio dan Nepo).      
           
Bukti peninggalan Passokkorang yang masih bisa ditemui hari ini di Adolang Posiq Litaq, alat-alat perang dan musik, peninggalan Barane dan Lambe seperti tombak, keris, badik, dan doe pakka (trisula) serta bendera I Cakkuriri, gendang dan keke. Desa Limbua, Tande Majene dan Russung adalah beberapa wilayah yang menjadi diaspora terakhir Passokkorang. Khusus di Buttu Passokkorang, selain keramik terdapat juga penemuan tinda’ ku’bur, keramik, gerabah dan koin (ditemukan saat penggalian dengan menggunakan ekscapator, dan sampai sekarang masih dalam proses penelitian).

Horst H. Liebner menjelaskan bahwa di Buttu Passokkorang itu ada banyak bukti bahwa memang pusat kerajaan Passokkorang itu ada di daerah Buttu Passokkorang sekarang.



[1] Zulfihadi

Mengenal ANWAR ADNAN SALEH : Bapak Pembangunan Sulawesi Barat


Tak bisa dipungkiri, Anwar Adnan Saleh adalah salah satu tokoh politik yang sekaligus menjadi sosok yang pantas digelari Bapak Pembangunan Sulawesi Barat. Betapa tidak, konstribusinya dalam perjuangan pembentukan Sulawesi Barat sungguh tak terhitung. Pria yang lahir pada tanggal 20 agustus 1948 ini menjadi Gubernur Sulawesi Barat pertama yang defenitif dan dipilih secara langsung oleh rakyat Sulbar pada Pilkada Gubernur tahun 2006. Per tanggal 28 Agustus 2006, Anwar Adnan Saleh resmi memimpin daerah propinsi Sulawesi Barat bersama Muhammad Amri Sanusi sebagai Wakil Gubernur. Pria yang dikenal tegas dan agamis ini menggantikan posisi Oentarto Sindun Mawardi (Penjabat Gubernur 16 Oktober 2004  - 21 Oktober 2005). Oentarto sebelumnya menjabat Dirjen Otda Depdagri. dan Syamsul M. Rifai (Penjabat Gubernur 21 Oktober 2005 - 14 Desember 2006).

Mantan anggota Komisi IV DPR RI dari Dapil Sulawesi Tenggara ini adalah salah satu putra daerah Polmas yang sukses dirantau. Jika Anwar hanya berfikir untuk masa depan keluarga dan bisnisnya, tentu ia tak harus buang-buang waktu dan biaya untuk membiayai proses perjuangan Sulbar memilih Dapil VII Sulsel (Dapil Sulbar) sebagai Caleg Golkar pada Pemilu 2004, terlebih ia diposisikan sebagai Caleg Nomor Urut 6 di Partai berlambang beringin tersebut. Tentu saja ia harus menelan pil pahit karena gagal melenggang ke Senayan. Padahal seandainya ia masih mencaleg di Dapil Sulawesi Tenggara pasti ia masih berkesemoatan untuk menikmati empuknya kursi di parlemen.

Tapi itulah Anwar. Lelaki ganteng asal Ralleana Kec. Mambi ini terus berjuang bersama para pejuang Sulbar. Hingga pada suatu ketika Ali Baal Masdar berinisiatif mengundang Presiden RI yang saat itu dajabat oleh Ibu Megawati Soekarnoputri ke Polewali Mandar pada bulan Juni 2004. Benar saja, Megawati bertandan ke Polewali Mandar dan menyatakan dukungan dan komitmennya menjadikan Sulbar sebagai provinsi ke-33 sebelum periodenya berakhir. Dan komitmen Ibu Megawati ini ditunaikan sebab hanya hitungan bulan, tepatnya 22 September 2006 UU No. 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat disahkan di Gedung DPR RI melalui rapat paripurna.

Inilah klimaks dari sebuah perjuangan yang panjang dan berliku. Sinergitas antara tokoh perjuangan pembentukan Provinsi Sulbar menjadikan Anwar Adnan Saleh dan Ali Baal Masdar menjadi sosok yang kian dikenal oleh masyarakat Mandar. Hal in pula yang membuat Pilkada Gubernur 2006 menjadi sebuah sebab mengapa Anwar Adnan Saleh begitu kukuh diperjuangkan sebagai Gubernur Sulbar defenitif yang pertama. Masyarakat dan Tokoh Sulbar ingin membalas jasa Anwar sehingga apapun acaranya Anwar harus dilantik menjadi Gubernur Sulbar.     

Anwar di lantik dan mejabat sebagai Gubernur Sulbar Per tanggal 28 Agustus kendati prosesi pengangkatannya menuai kontroversi sebagai buntut dari dugaan berbagai kecurangan yang terkait dalam pemilihan gubernur. Suami dari Hj. Enny Angraeni ini ini tetap kukuh menunaikan tugas yang dilimpahkan padanya. Dan benar saja, ayah dua anak ini berhasil membawa Sulawesi Barat menjadi salah satu propinsi di Indonesia yang paling berkembang. Atas prestasi itulah ia kemudian terpilih kembali pada periode keduanya bersama Aladin S. Mengga pada Pilgub 2011 silam.  Anwar benar-benar mampu mengantar Sulbar menjadi propvinsi yang setara dan membanggakan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Menurut pendapat banyak politisi, Anwar adalah figur yang berhasil membangun Sulawesi Barat, terutama daerah asalnya Kabupaten Polewali dan Mamasa. Terlepas dari fakta adanya pihak-pihak yang menolak kemenangannya dalam pemilihan kepala daerah, telah banyak kemajuan yang terjadi selama masa kepemimpinannya. Beberapa contoh hasil usaha Anwar adalah pembangunan Jalan Nasional 577 Kilometer dan Bandara yang memiliki landasan pacu sepanjang 2.250 meter.

Jabatan Politik memang selalu menjadi obyek yang menjadi target untuk dijatuhkan. Disana-sini, Anwar menjadi oknum yang tersakiti, dihukumi dan masuk dalam lingkaran kontroversi, akan tetapi bukan Anwar jika tak bisa menikmati mengikuti proses kontroversi itu dengan tetap menikmati dan mengikutinya. Bukan hanya Anwar, Istrinya, Enny Anggraeni, juga pernah ditengarai dan diberitakan tersangkut kasus korupsi pengadaan mebel rumah jabatan Gubernur Sulbar. Menyikapi pemberitaan tersebut, Anwar berjanji akan mundur dari posisinya sebagai Gubernur apabila anggota keluarganya memang terbukti bersalah. Politikus yang pernah menjadi anggota fraksi partai Golkar DPR RI periode 1999-2004 terus saja menunjukkan kepeduliannya pada daerah asalnya.

Salah satu yang menjadi obsesi Anwar sebagai gubernur adalah mengembangkan kakao menjadi komoditas unggulan yang mendunia dari Sulbar. Obsesi itu didorong tekadnya untuk menyejahterakan rakyat Sulbar sekaligus menjadikan Indonesia sebagai penghasil kakao terbesar kedua di dunia menggeser Ghana. Tentu saja ini bukan hanya sebatas isapan jempol belaka, sebab hari ini Sulbar menjadi salah satu provinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia, Sulbar memberikan kontribusi sebesar 20 persen dari produksi kakao nasional dan menargetkan Sulbar mampu menghasilkan 400 ribu ton kakao per tahunnya.

Posisi Sulawesi Barat yang dibentuk pada 5 Oktober 2004 berdasarkan UU No 26 Tahun 2004, ini awalnya merupakan provinsi pengembangan dari provinsi Sulawesi Selatan yang mempunyai luas wilayah 16.796,19 km2 dengan penduduk 938.254 jiwa, serta beribukota di Mamuju. Penduduknya terdiri dari Suku Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan lainnya (19,15%). Masyarakatnya mayoritas bergama Islam (83,1%), Kristen (14,36%), Hindu (1,88%), Buddha (0,04%), Lain-lain (0,62%). Selain itu, Sulbar juga identik dengan bahasa sehari-hari, selain Bahasa Indonesia, yaitu bahasa Mandar, selebihnya adalah bahasa Bugis, bahasa Toraja, dan bahasa Makassar.

Saat ini Sulawesi Barat dikenal sebagai lokasi wisata. Selain kakao, daerah ini juga penghasil kopi robusta ataupun kopi arabika, kelapa, dan cengkeh. Di sektor pertambangan terdapat kandungan emas, batubara, dan minyak bumi. Potensi inilah yang dioptimalkan oleh Anwar Adnan Saleh terus mendorong kemudahan bagi rakyatnya yang notabene hidupnya bertumpu kepada penghasilan kakao untuk mendapatkan sertifikat dengan program prona. Tak hanya dari sisi permodalan, pengembangan industri kakao juga didukung dengan pengembangan tekonologi baru.

"Jika sebelumnya petani kakao hanya mendapatkan 0,6 ton per Ha, maka dengan teknologi baru dan bibit baru berupa sistem sambung samping hanya dalam 1 tahun 4 bulan bisa panen relatif cepat dan hasil panennya bisa meningkat 3-4 kali lipat dengan mutu yang lebih baik. Sulbar memiliki 156.898 Ha dengan produksi 90.436 ton per tahun. Produksi kakao secara nasional saat ini mencapai 600.000 ton atau setara US$ 700 juta.

Capaian Gubernur dalam masa kepemimpinannya memang belumlah bisa dikatakan usai, sebab Meski Sulbar memberikan kontribusi sebesar 20 persen dari produksi kakao nasional dan merupakan provinsi penghasil kakao terbesar di Indonesia tetapi belumlah mampu mengentaskan kemiskinan di seluruh kabupaten di provinsi ke 33 Republik Indonesia ini. Berbagai kendala, seperti minimnya infrastruktur atau aksesibilitas dan teknologi serta rendahnya produktivitas tanaman mengakibatkan potensi ini belum memberikan nilai ekonomi secara signifikan sebab untuk menyelesaikan semua itu, tentu tak cukup hanya durasi waktu 10 tahun. Denga dasar itulah sehingga istrinya dipaketkan dengan Ali Baal Masdar pada Pilkada Serentak 15 Februari 2016 mendatang. Diharapkan pada periode selanjutnya, meski ia tak lagi menjabat sebagai gubernur, paling tidak ia masih berkesemoatan memeberikan informasi dan arahan pada gebernur penggantinya agar jelas Sulbar ini akan di arahkan kemana.

Telah Terbit, Novel Daeng Riosok


Rabu, 19 Oktober 2016

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR “LANDASAN YURIDIS PEMETAAN CAGAR BUDAYA” (Bagian 2)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
LANDASAN YURIDIS PEMETAAN CAGAR BUDAYA” (Bagian 2)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Dalam salah satu sidang SEAMEO-SPAFA “Southeast Asian Ministers of Education Organization Project of Archaeology and Fine Art”’sangat jelas terurai “Mengelola sumber daya budaya adalah seperti mengelola sebuah usaha ekonomi layaknya. Pada awalnya harus mempunyai konsep yang jelas. Tanpa konsep yang jelas, kita  tidak dapat menerangkan ruang lingkup pekerjaan. Tanpa proses dan teknik kita tidak dapat mendefinisikan  langkah untuk mencapai tujuan yang berkualitas. Kebudayaan yang tidak berkualitas tidak dapat terlihat arah  perkembangannya. Dan jika pengelolaannya tanpa indikator kita tidak dapat mencapai standar pekerjaan  sehingga keberlanjutannya  (sustainability)  tidak dapat dipertanggungjawabkan”.
UNESCO dalam “Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage” 1987, menjelaskan sebagai “Group of buildings : Group of separate or connected buildings, which because of their architecture, their homogeneity ar their place in landscape, are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science”.
Dan dalam GBHN 1999-2004, aspek pembangunan kebudayaan dijelaskan antara lain (a) “mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa”. Selanjutnya pada point (h) dijelaskan “mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh dan terpadu dengan pendekatan interdisipliner dan partisipatoris, dengan menggunakan criteria ekonomis, teknis, ekonomis, sosial budaya, hemat energy, melestarikan alam dan tidak merusak lingkungan”.
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa landasan yuridis, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berkaitan erat dengan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan dan pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan terhadap benda cagar budaya. Begitu pula dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor5 Tahun 1992, Keputusan Menteri Kepmen Dikbud 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya tahun 1993, tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.
Selain landasan yuridis yang terkait pendaftaran dan penetapan cagar budaya, lahirnya produk Undang-Undang anatar lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara Republik Indinesia Tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422); Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaranb Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168) semakin mengukuhkan betapa peninggalan sejarah dan atau cagar budaya menjadi sesutu yang mendesak untuk dilakukan.
Dasar-dasar itulah yang melatar belakangi Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar sehingga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan kantor Balai Pelestarian Purbakala Makassar wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Tengah melaksanakan Pendataan/Inventarisasi situs peninggalan purbakala di Kabupaten Polewali Mandar. Kegiatan tersebut dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Polewali Mandar, Nomor 219 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Tim Pendaftaran dan Pendataan Cagar Budaya di Kabupaten Polewali Mandar. Dalam rangka pendataan dan pendaftaran benda cagar budaya, maka pada tanggal 04 Oktober 2016, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan Surat Tugas Nomor B-818/Disbudpar/B.Budaya/090/10/2016 untuk kembali melakukan pendataan dan pendaftaran cagara budaya di wilayah kabupaten Polewali Mandar dan penulis menjadi salah satu dari tim pendata tersebut.
Sampai disini jelas menjadi sangat jelas defenisi dan landasan yuridis untuk melakukan pendataan, pendaftaran, pemeliharaan, pelesatarian serta pemetaan sebuah Kawasan Cagar Budaya. Kawasan Cagar Budaya yang dimaksud dapat berupa suatu situs lansekap dengan monumen benda bersejarah tapi juga dapat berupa sekumpulan bangunan. Sekumpulan bangunan ini dapat berupa kompleks dengan fungsi beragam atau sejenis. Kawasan pemugaran dapat berupa juga perumahan maupun kawasan dengan tipologi fungsi lain seperti kawasan perkantoran dan perdagangan, kawasan pergudangan dan kawasan campuran lainnya.

Dengan demikian pelestarian cagar budaya adalah sebuah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya (Lihat: Undang-Undang RI No.11 2010).Ini sekaligus menjadi upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.(Bersambung)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR “Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Beberapa hari terakhir ini masyarakat kita di Mandar seakan dilanda gempa peradaban, tidak hanya di media sosial, Koran harian bahkan para pejabat dan masyarakat awam pun ikut berkomentar. Trending topic itu berputar pada kata “Cagar Budaya” yang dipicu oleh pembongkaran situs masjid tertua di Mandar, Masjid Haqqul Yakin (berubah menjadi Masjid Abadan) Desa Lambanan Kec. Balanipa. Masjid yang selama ini dijadikan petanda dan penanda peradaban islam abad ke-16 kini rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing berserakan dan kubah masjid yang tergolek diantara 4 buah tiang penyanggah bangunan masjid.
Penulis yang kebetulan ikut bersama rombongan BPCB Makassar dan Tim Disbudpar Polewali Mandar memang sempat terkejut ketika tiba di lokasi Masjid dan mendapati bangunan masjid yang tinggal rangka berupa 4 buah tiang. Masjid yang dahulu berbentuk bujur sangkar yang dikelilingi batu padas berlapis kapur itu tak lagi bisa ditemui di lokasi berukuran 30 X 30 meter itu. Atap masjid berbentuk limasan bertingkat tiga itu tak ada lagi. Hanya puing-puing berserakan dan makam-makam kuno di sebelah barat yang menjadi penyaksi sejarah betapa tangan-tangan manusia begitu kekar mencakar cagar tinggalan sejarah dititik koordinat S3 29 15.7 E119 04 28.7 itu.
Haerullah, Kepala Desa Lambanan yang penulis temui untuk klarifikasipun tak mampu menolong dan menyelamatkan situasi dan kondisi yang menimpah situs penanda kejayaan islam pada masa pemerintahan Kanne Cunang, Mara’dia Pallis dan Arajang Balanipa ke-4 yang kesohor dengan gelar Daetta Tommuane ini. Daetta Tommuane atau Tandibella Kakanna I Pattang dan Abdurrachim Kamaluddin adalah sosok yang begitu lekat dalam pembacaan kita pada situs, pada ritus dan pada setiap manuskrip dan lontaraq pattodioloang.    
Ada sejumput perih dan leleran duka yang mengalir dalam benak penulis. Rasa dongkol dan marah menyeruak dan membuncah. Tapi untuk apa? Untuk siapa? Sebab kemudian rimba dunia maya yang terselip dikantongku hanya berdetak bordering bersama derai semak amarah, belantara cibiran dari pelampiasan kekecewaan atas peristiwa ini begitu jelas terbaca digenggaman tanganku. Postingan Zulfihadilewat status “Situs tua, masjid pertama di Mandar telah dibantai oleh politisi yang katanya intelek”. Belum lagi Muhammad Ridwan Alimuddin dengan lugas menulis di blog pribadinya dengan opening judul “ Bencana Nasional…..”. Like dislike bertaburan, komentar demi komentar ikut berserakan seakan menjadi copy-an gambar di lokasi Masjid Abadan Desa Lambanan.
Tak berhenti sampai disitu, nama politisi muda Sulbar, Muhammad Asri Anas ikut terseret sebagai biangnya. Anggaran 1,2 M yang siap diluncurkan untuk membangun ulang Masjid Abadan ini ditengarai menjadi alasan utama mengapa Kepala Desa dan warga Lambanan ikut menjadi bagian dalam proyek tega-tegaan itu. Dilokasi masjid tersebut setelah dibangun akan menjadi pusat tahfidz Qur’an dan pusat pengajian tradisional mambaca kittaq, mattaleq kitta dan mukim patappulo di Mandar. Alasan-alasan itu menjadi jawaban pamungkas untuk membuat siapapun akan bungkam dan berhenti menulis.
Sesungguhnya letak masalahnya bukan pada siapa melakukan apa, tapi terletak pada persoalan kata yang bernama “Cagar Budaya”. Masjid Abadan Lambanan telah didaftar sebagai salah satu bangunan cagar tinggalan sejarah purbakala di Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar sejak tahun lalu. Cagar budaya adalah salah satu yang menjadi prioritas pembangunan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, adalah pembangunan kebudayaan. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 32 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. 
Sampai disini kita mesti sadar bahwa Masalah Lambanan bukan masalah biasa, bukan persoalan politik kepentingan, bukan ajang klaim mengklaim tapi sebuah proses kesadaran istilah Cagar Budaya, Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Tulisan ini tidak dalam posisi menyalahkan siap-siapa, sebab akan sangat susah untuk menentukan siapa yang salah.  Yang terpenting adalah membangun kesadaran terhadap pentingnya menjaga peninggalan sejarah, lalu kita bangun kesepakatan dan kespahaman untuk menata dan memetakan cagar budaya dan peninggalan sejarah di di daerah ini. (Bersambung)