Minggu, 18 Desember 2016

Situs: BUTTU PASSOKKORANG

Buttu Passokkorang yang sekarang masuk dalam wilayah Desa Mambu Kec. Luyo ini adalah bekas ibukota kerajaan Passokkorang yang berdaulat pada sekitar abad ke-12-15. Hal itu bisa dibuktikan pada saat penggalian bukit/gunung Passokkorang untuk ditanami kelapa sawit, banyak ditemukan keramik dan artefak sejarah yang menandai bahwa pernah ada perkampungan di sekitar gunung ini.

            Dalam beberapa riwayat dan penuturan, di sekitaran aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai sungai Mapilli)  terdapat beberapa komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”, dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang dengan cara saling menggigit inilah muncul nama Passikokkoang yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya menjadi Passikokkorang dan akhirnya menjadi Passokkorang.

Masyarakat komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang atau Buttu Passokkorang saat ini.

Penelusuran tentang Passokkorang sebagai komunitas maupun sebagai bentuk kerajaan mempunyai tingkat kesulitan yang sangat tinggi, sebab dari sekitar 20 lontara yang membahas historiografi Mandar dalam koleksi Arsip Nasional Makassar yang diramu oleh Horst H. Liebner, sepertinya hanya empat yang mengandung informasi tentang Passokkorang.

Sumber informasi yang dimaksud itu adalah: No. 01 /MKH/8/Unhas/UP Rol 55 No. 8 dengan Judul : Pattodioloang Di Mandar; naskah potongan bahagian awal dari Naskah No. 01/MKH/2/Unhas/UP Rol. 9. No. 2 […] Silsilah Puang Ulunna Salu dan Maraddia Passokkoran; No.01/MKH/2/Unhas/UP Rol 75 No. 2 denganjudul: Lontaraq Mandar Arung Passokorang kawin dengan anak Arung Batulappa. […]; dan No. 01/MKH/2/Unhas/UP Rol 07 No. 2 Judul : Lontaraq Adat Mandar I […] menceritakan tentang Maradia Passokkorang […].

Kesulitan tersebut coba kita kaitkan antara tuturan dengan catatan lontaraq lain yang bisa ditemukan dengan penggambaran situasai kedatuan atau kerajaan model awal di jazirah Sulawesi. Dikalangan mereka sering berselisih dengan yang lain dalam melindungi kepentingan masing-masing. Terlebih kepada kelompok yang berada jauh terpisah seperti Kalimantan dan sebagainya. Namun situasi ini kemudian membuat mereka menemukan solusi dengan membentuk semacam konfederasi yang dipimpin pertama kali oleh seseorang yang dikonsepsikan sebagai Tomanurung.

Dalam konfederasi, sistem semi demokrasi menjadi prinsip yang egalite dan humanite yang dipegang teguh. Para pemimpin disegala tingkat mengabdikan diri untuk menjaga harkat dan martabat manusia yang menjadi rakyat, mengupayakan kesejahteraan dan menjaga ketertiban. Pemimpin yang melakukan penyimpangan akan mendapatkan sanksi rakyat melalui dewan adat. Tadisi pendampingan penguasa oleh dewan adat ini bertahan lama. Dewan adat ini ada yang beranggotakan sembilan maka disebut Adaq Salapang (Makassar). Demikian juga yang beranggotakan tujuh disebut Adaq Pitue (Bugis) dan termasuk di Mandar ada dewan adat yang beranggotakan empat banua maka disebut dengan Appe Banua Kayyang (Arajang Balanipa) dan pada  perkembagan  selanjutnya Pitu ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga. Adapun rakyat yang merupakan sumber kekuasaan menunjukkan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian keseimbangan antara hak dan kewajiban terjaga dengan baik.

            Gambaran situasi dalam catatan lontaraq tersebut kita kaitkan dengan kisah dan sejarah komunitas Passokkorang yang hilang. Hingga kemudian muncul kembali setelah terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah kerajaan. Tak ada sumber informasi yang bisa dilacak untuk mengetahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokkorang, namun dari berbagai cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwa Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga, bahkan salah satu Raja Passokkorang yang bernama La Bassi Kalling mempunyai seorang istri yang merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang).

Kerajaan Passokkorang (bukan komunitas-pen) diperkirakan berdiri pada sekitar tengah tahun 1400-an M. dan runtuh pada awal 1500-an yang bisa dilihat persamaan time linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga semisal Raja Bone V La Tenri Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa Wajo IV La Palewo to Palippu (1491 – 1521).

Dalam keterangan lontar juga tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang selain I Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca pemberontakan La Datu Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Tenri Gau Daeng Marowa Arung Matajang (1470 – 1489).[1]

            Jejak Passokkorang yang penulis telusuri juga terdapat di Adolang. Dalam cerita tutur masyarakat Adolang dikisahkan Arajang atau Raja di Banua Dato Karampuanna Adolang, Tomelluangan menikah dengan Sinjar Bulan anak dari Tomata Bassi (Raja Passokkorang). Tomata Bassi mempunyai anak bernama Marribu dan Sinjar Bulan.

Pada masa Tomata Bassi inilah Passokkorang mengalami masa kejayaannya puluhan tahun disekitaran tahun 1400-an. Tomata Bassi digantikan oleh anaknya yang bernama Marribu. Marribu digulingkan secara paksa melalui pemberontakan dari Takiya Bassi. Marribu lari ke Baras dan menjadi Raja disana. Takiya Bassi menguasai Passokkorang dan memerintah secara otoriter dan arogan. Ia mempunyai anak bernama Labassi Tau dan Labassi Kalling. Takiya Bassi berkuasa puluhan tahun.

Setelah mangkat ia digantikan oleh anaknya Labassi Tau. Pemerintahan Labassi Tau kembali normal, ia sangat bijaksana, menyayangi dan mengayomi rakyatnya. Labassi Kalling menggulingkan kakaknya dan menjadi raja yang semena-mena dan sangat kejam. Siapapun yang masuk ke wilayah Passokkorang ia bunuh. Tindakan semena-mena itulah yang kemudian membuat kerajaan lain bersekutu dan membumi hanguskannya. Tamatlah riwayat Passokkorang dan namanya di ubah oleh Tomepayung menjadi Mapilli (salah satu wilayah yang masuk dalam persekutuan Tallumboccoe,  yaitu Mapilli, Tomadio dan Nepo).      
           
Bukti peninggalan Passokkorang yang masih bisa ditemui hari ini di Adolang Posiq Litaq, alat-alat perang dan musik, peninggalan Barane dan Lambe seperti tombak, keris, badik, dan doe pakka (trisula) serta bendera I Cakkuriri, gendang dan keke. Desa Limbua, Tande Majene dan Russung adalah beberapa wilayah yang menjadi diaspora terakhir Passokkorang. Khusus di Buttu Passokkorang, selain keramik terdapat juga penemuan tinda’ ku’bur, keramik, gerabah dan koin (ditemukan saat penggalian dengan menggunakan ekscapator, dan sampai sekarang masih dalam proses penelitian).

Horst H. Liebner menjelaskan bahwa di Buttu Passokkorang itu ada banyak bukti bahwa memang pusat kerajaan Passokkorang itu ada di daerah Buttu Passokkorang sekarang.



[1] Zulfihadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar