Buttu Passokkorang yang sekarang
masuk dalam wilayah Desa Mambu Kec. Luyo ini adalah bekas ibukota kerajaan
Passokkorang yang berdaulat pada sekitar abad ke-12-15. Hal itu bisa dibuktikan
pada saat penggalian bukit/gunung Passokkorang untuk ditanami kelapa sawit,
banyak ditemukan keramik dan artefak sejarah yang menandai bahwa pernah ada
perkampungan di sekitar gunung ini.
Dalam beberapa riwayat
dan penuturan, di sekitaran aliran sungai Mapilli (saat itu belum dinamai
sungai Mapilli) terdapat beberapa
komunitas manusia penghuni awal. Komunitas-komunitas ini sangat menyukai
perang, dan mereka seringkali saling menyerang antara komunitas yang satu dengan
komunitas yang lain. Namun dimasa itu belumlah dikenal senjata perang, sehingga
mereka berperang hanya dengan kayu dan paling banyak dengan saling menggigit
lawannya. Ada kemungkinan kondisi inilah yang disebut dalam kitab epos I
Lagaligo dengan kondisi “sianre bale”,
dimana kondisi ini digambarkan penuh dengan kekacauan. Dari kebiasaan perang
dengan cara saling menggigit inilah muncul nama Passikokkoang yang kemudian secara perlahan berubah penyebutannya
menjadi Passikokkorang dan akhirnya
menjadi Passokkorang.
Masyarakat
komunitas ini sangatlah pemberani, memiliki kekebalan dan juga pandai
menundukkan mahluk halus. Setelah beberapa generasi kemudian, masuklah era
Tomanurung. Tatanan peradaban pun menjadi lebih baik dan kebiasaan perang
dengan saling menggigit dihentikan, namun demikian wilayah yang dulunya sering
menjadi tempat bermukim komunitas ini tetap dikenal dengan nama Passokkorang
atau Buttu Passokkorang saat ini.
Penelusuran tentang Passokkorang
sebagai komunitas maupun sebagai bentuk kerajaan mempunyai tingkat kesulitan
yang sangat tinggi, sebab dari sekitar 20 lontara’ yang membahas historiografi
Mandar dalam koleksi Arsip Nasional Makassar yang diramu oleh Horst H. Liebner, sepertinya hanya empat
yang mengandung informasi tentang Passokkorang.
Sumber informasi yang dimaksud
itu adalah: No. 01 /MKH/8/Unhas/UP Rol 55 No. 8 dengan Judul : Pattodioloang Di Mandar; naskah potongan bahagian awal
dari Naskah No. 01/MKH/2/Unhas/UP
Rol. 9. No. 2 […] Silsilah Puang Ulunna Salu dan Maraddia Passokkoran; No.01/MKH/2/Unhas/UP Rol 75 No. 2
denganjudul: Lontaraq Mandar Arung
Passokorang kawin dengan anak Arung Batulappa. […]; dan No.
01/MKH/2/Unhas/UP Rol 07 No. 2 Judul
: Lontaraq Adat Mandar I […]
menceritakan tentang Mara’dia
Passokkorang […].
Kesulitan
tersebut coba kita kaitkan antara tuturan dengan catatan lontaraq lain yang bisa ditemukan dengan penggambaran situasai
kedatuan atau kerajaan model awal di jazirah Sulawesi. Dikalangan mereka sering
berselisih dengan yang lain dalam melindungi kepentingan masing-masing.
Terlebih kepada kelompok yang berada jauh terpisah seperti Kalimantan dan
sebagainya. Namun situasi ini kemudian membuat mereka menemukan solusi dengan
membentuk semacam konfederasi yang dipimpin pertama kali oleh seseorang yang
dikonsepsikan sebagai Tomanurung.
Dalam
konfederasi, sistem semi demokrasi menjadi prinsip yang egalite dan humanite
yang dipegang teguh. Para pemimpin disegala tingkat mengabdikan diri untuk
menjaga harkat dan martabat manusia yang menjadi rakyat, mengupayakan kesejahteraan
dan menjaga ketertiban. Pemimpin yang melakukan penyimpangan akan mendapatkan
sanksi rakyat melalui dewan adat. Tadisi pendampingan penguasa oleh dewan adat
ini bertahan lama. Dewan adat ini ada yang beranggotakan sembilan maka disebut Adaq Salapang (Makassar). Demikian juga
yang beranggotakan tujuh disebut Adaq
Pitue (Bugis) dan termasuk di Mandar ada dewan adat yang beranggotakan
empat banua maka disebut dengan Appe’ Banua Kayyang (Arajang
Balanipa) dan pada perkembagan selanjutnya Pitu ulunna Salu Pitu Baqbana
Binanga. Adapun rakyat yang merupakan sumber kekuasaan menunjukkan
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian
keseimbangan antara hak dan kewajiban terjaga dengan baik.
Gambaran
situasi dalam catatan lontaraq tersebut kita kaitkan dengan kisah dan sejarah
komunitas Passokkorang yang hilang. Hingga kemudian muncul kembali setelah
terbentuknya Passokkorang menjadi sebuah kerajaan. Tak ada sumber informasi
yang bisa dilacak untuk mengetahui tentang siapa pendiri kerajaan Passokkorang, namun dari berbagai
cerita tutur dan pengamatan lapangan dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwa
Passokkorang adalah sebuah kerajaan berdaulat dan menjalin persahabatan dengan
kerajaan-kerajaan tetangga, bahkan salah satu Raja Passokkorang yang bernama La Bassi Kalling mempunyai seorang istri
yang merupakan putri dari kerajaan Batu Lappa (masuk dalam wilayah kabupaten
Pinrang, Sulawesi Selatan sekarang).
Kerajaan
Passokkorang (bukan komunitas-pen) diperkirakan berdiri pada sekitar tengah
tahun 1400-an M. dan runtuh pada awal 1500-an yang bisa dilihat persamaan time
linenya dengan beberapa raja kerajaan tetangga semisal Raja Bone V La Tenri
Sukki Mappajung E (1516 – 1543) atau, Arung Matowa Wajo IV La Palewo to Palippu
(1491 – 1521).
Dalam
keterangan lontar juga tidak ditemukan tentang raja-raja Passokkorang selain I
Takia Bassi yang kemudian melahirkan I Labassi Kalling. Ada dugaan jika raja
ini (baca: I Takia Bassi) merupakan bangsawan dari Bone yang eksodus pasca
pemberontakan La Datu Arung Katumpi dimasa pemerintahan Arumpone I Tenri Gau Daeng Marowa Arung
Matajang (1470 – 1489).[1]
Jejak Passokkorang yang penulis
telusuri juga terdapat di Adolang. Dalam cerita tutur masyarakat Adolang
dikisahkan Arajang atau Raja di Banua Dato Karampuanna Adolang, Tomelluangan
menikah dengan Sinjar Bulan anak dari Tomata
Bassi (Raja Passokkorang). Tomata Bassi
mempunyai anak bernama Marribu dan Sinjar
Bulan.
Pada masa Tomata Bassi inilah Passokkorang mengalami
masa kejayaannya puluhan tahun disekitaran tahun 1400-an. Tomata Bassi
digantikan oleh anaknya yang bernama Marribu. Marribu digulingkan secara paksa
melalui pemberontakan dari Takiya Bassi. Marribu lari ke Baras dan menjadi Raja
disana. Takiya Bassi menguasai
Passokkorang dan memerintah secara otoriter dan arogan. Ia mempunyai anak
bernama Labassi Tau dan Labassi Kalling. Takiya Bassi berkuasa puluhan tahun.
Setelah mangkat ia digantikan
oleh anaknya Labassi Tau.
Pemerintahan Labassi Tau kembali
normal, ia sangat bijaksana, menyayangi dan mengayomi rakyatnya. Labassi
Kalling menggulingkan kakaknya dan menjadi raja yang semena-mena dan sangat
kejam. Siapapun yang masuk ke wilayah Passokkorang ia bunuh. Tindakan
semena-mena itulah yang kemudian membuat kerajaan lain bersekutu dan membumi hanguskannya.
Tamatlah riwayat Passokkorang dan namanya di ubah oleh Tomepayung menjadi
Mapilli (salah satu wilayah yang
masuk dalam persekutuan Tallumboccoe, yaitu Mapilli, Tomadio dan Nepo).
Bukti peninggalan Passokkorang
yang masih bisa ditemui hari ini di Adolang Posiq Litaq, alat-alat perang dan
musik, peninggalan Barane dan Lambe seperti tombak, keris, badik, dan doe pakka
(trisula) serta bendera I Cakkuriri,
gendang dan keke. Desa Limbua, Tande Majene dan Russung adalah beberapa wilayah
yang menjadi diaspora terakhir Passokkorang. Khusus di Buttu Passokkorang,
selain keramik terdapat juga penemuan tinda’
ku’bur, keramik, gerabah dan koin (ditemukan saat penggalian dengan
menggunakan ekscapator, dan sampai sekarang masih dalam proses penelitian).
Horst H. Liebner menjelaskan
bahwa di Buttu Passokkorang itu ada banyak bukti bahwa memang pusat kerajaan
Passokkorang itu ada di daerah Buttu Passokkorang sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar