Minggu, 18 Desember 2016

BERU’-BERU’ TOKANDEMENG



Salah satu simbol kebudayaan Mandar yang kerap ditemukan adalah beru’-beru’. beru’-beru’ (bunga melati) selalu menjadi ikon dalam sastra tutur (toloq) kacaping Mandar yang disematkan pada barisan wanita cantik (piqoro) yaitu lilli ambang beru’-beru’. Dalam lirik beberapa syair lagu Mandar juga sering kita dengar. Begitu juga dalam kalinda’da’ Mandar kita akrab mendengar syair yang berbunyi begini: beru-beru di Kandemeng-meuwake di kollang, babar di jene, sarombong di sambayang, ada juga beru’-beru’ bura lemo, sipoapai tia, sippute bandi, rasana sisalai.

Kumpulan penulis perempuan juga tak mau ketinggalan dalam mengabadikan nama beru’-beru’ ini dengan judul analeqta beru’-beru’ (Sri Musdikawati dkk.). Bapak Nurdin Hamma, salah satu tokoh masyarakat dan budayawan senior di Balanipa menjelaskan bahwa beru’-beru’ (melati) hanyalah jenis bunga yang masuk dalam deret ribuan jenis bunga di nusantara.

Beru’-beru’ mempunyai garis sejarah yang panjang sejak zaman pemerintahan  Billa-Billami Tomepayung. Kandemeng adalah kampung yang dikenal karena beru’-beru’ dibudidayakan, tumbuh dan berkembang serta menjadi mata pencaharian masyarakat Kandemeng dari era Tomepayung sampai pada era 60-an.

Lebih lanjut, Nurdin Hamma menjelaskan tentang beberapa keistimewaan beru’-beru’ ini. Pertama: beru’-beru’ dimanapun berada, selalu menebar aroma yang harumnya begitu semerbak dan mewangi. Oleh orang kandemeng (mandar) ini menjadi filosofi agar keberadaan orang mandar selalu tampil santun, memberi kedamaian, dan ketentraman bagi lingkungan sekitarnya;

Kedua: beru’-beru’ to Kandemeng menjadi sebuah slogan dan membudaya, bukan dari jenis bunganya, akan tetapi dari segi perlakuan masyarakat saat memetik beru’-beru’. Orang Kandemeng punya cara yang unik dan sakral. Jika orang luar memetik bunga beru’-beru’ ini mungkin pake wadah seadanya, tapi orang kandemeng tidak. Beru’-beru’ umumnya dipetik oleh wanita dengan terlebih dahulu mengikat sarung dibahunya, dibagian bawah sarung dililitkan (diatas pusar) kebelakang dan disimpul. Beru’-beru’ yang dipetik itu kemudian diselipkan dicelah sarung tepat dibagian dada, sehingga beru’-beru’ ini berbaur dengan payudara (maaf). Hal ini merupakan sebuah simbol bahwa beru’-beru’ harus diperlakukan sama seperti menjaga kehormatan yang dimiliki wanita. Rasa memiliki ini dimotivasi selain sebagai accessories wanita juga karna diperjual belikan.

Beru’-beru’ yang telah dipetik itu kemudian dibungkus dengan daun tanga-tangan (tanaman jarak) yang setiap bungkusnya berisi 20 biji, sebagai simbol dari jumlah satu ajoa dari tari pattuqduq (konon Todilaling dikebumikan bersama 2 joa atau 2x20=40 orang penari pattuqduq).

Perlakuan terhadap beru’-beru’ ini ternyata menjadi nilai plus bagi warga Kandemeng, sehingga menjadi pilihan masyarakat untuk membeli beru’-beru’ di Kandemeng. Kondisi ini membuat Kandemeng dikenal sebagai penghasil beru’-beru’ paling terkenal di Mandar dan pembelinya berdatangan dari berbagai penjuru, terutama pada saat musim pernikahan.

Beru’-beru’ ternyata menjadi berkah bagi bagi warga kandemeng, terutama dari peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Tak sedikit yang jadi orang kaya dari hasil penjualan beru’-beru’ dan itu berlangsung lama dan mulai merosot sekitar tahun 60-an (ini terutama dipengaruhi oleh 710 yang akrab disebut zaman gurilla, 1953-1964)

Ketiga: beru’-beru’ to Kandemeng menjadi terkenal karena pusat pemerintahan kerajaan Balanipa pada awal tahun 1900-an dipindahkan ke Kandemeng disamping peran KH. Muh. Tahir Imam Lapeo, Sayyid Lawarang (HS. Mengga) dan Annagguru Kaiyyang. Kalinda’da’ diatas diyakini adalah kalinda’da’ yang diciptakan oleh Imam Lapeo.

Sekedar diketahui bahwa beru' beru' terdiri dari beberapa jenis, yaitu beru’-beru’ pitussusung (tujuh lapis/susun), beru’-beru’ mamea (merah) dan beru’-beru’ biasa. Yang terakhir ini adalah jenis yang banyak digunakan bunganya untuk keperluan dali/lilliq ambang beru’-beru’ (anting). Selain itu, beru’-beru’ adalah jenis tanaman yang berumur panjang, bisa bertahan di dua musim (kemarau dan hujan)[1].




[1] Hasil Wawancara dengan Nurdin Hamma, Budayawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar