MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR
BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
“Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Beberapa hari terakhir ini
masyarakat kita di Mandar seakan dilanda gempa peradaban, tidak hanya di media
sosial, Koran harian bahkan para pejabat dan masyarakat awam pun ikut
berkomentar. Trending topic itu berputar pada kata “Cagar Budaya” yang dipicu
oleh pembongkaran situs masjid tertua di Mandar, Masjid Haqqul Yakin (berubah
menjadi Masjid Abadan) Desa Lambanan Kec. Balanipa. Masjid yang selama ini
dijadikan petanda dan penanda peradaban islam abad ke-16 kini rata dengan
tanah. Yang tersisa hanya puing-puing berserakan dan kubah masjid yang tergolek
diantara 4 buah tiang penyanggah bangunan masjid.
Penulis yang kebetulan ikut
bersama rombongan BPCB Makassar dan Tim Disbudpar Polewali Mandar memang sempat
terkejut ketika tiba di lokasi Masjid dan mendapati bangunan masjid yang
tinggal rangka berupa 4 buah tiang. Masjid yang dahulu berbentuk bujur sangkar
yang dikelilingi batu padas berlapis kapur itu tak lagi bisa ditemui di lokasi
berukuran 30 X 30 meter itu. Atap masjid berbentuk limasan bertingkat tiga itu
tak ada lagi. Hanya puing-puing berserakan dan makam-makam kuno di sebelah
barat yang menjadi penyaksi sejarah betapa tangan-tangan manusia begitu kekar
mencakar cagar tinggalan sejarah dititik koordinat S3 29 15.7 E119 04 28.7 itu.
Haerullah, Kepala Desa
Lambanan yang penulis temui untuk klarifikasipun tak mampu menolong dan
menyelamatkan situasi dan kondisi yang menimpah situs penanda kejayaan islam
pada masa pemerintahan Kanne Cunang, Mara’dia Pallis dan Arajang Balanipa ke-4
yang kesohor dengan gelar Daetta Tommuane ini. Daetta Tommuane atau Tandibella
Kakanna I Pattang dan Abdurrachim Kamaluddin adalah sosok yang begitu lekat
dalam pembacaan kita pada situs, pada ritus dan pada setiap manuskrip dan lontaraq pattodioloang.
Ada sejumput perih dan
leleran duka yang mengalir dalam benak penulis. Rasa dongkol dan
marah menyeruak dan membuncah. Tapi untuk apa? Untuk siapa? Sebab kemudian
rimba dunia maya yang terselip dikantongku hanya berdetak bordering bersama
derai semak amarah, belantara cibiran dari pelampiasan kekecewaan atas peristiwa
ini begitu jelas terbaca digenggaman tanganku. Postingan Zulfihadilewat status “Situs tua, masjid pertama di Mandar telah
dibantai oleh politisi yang katanya intelek”. Belum lagi Muhammad Ridwan
Alimuddin dengan lugas menulis di blog pribadinya dengan opening judul “
Bencana Nasional…..”. Like dislike bertaburan, komentar demi komentar ikut
berserakan seakan menjadi copy-an gambar di lokasi Masjid Abadan Desa Lambanan.
Tak berhenti sampai disitu,
nama politisi muda Sulbar, Muhammad Asri Anas ikut terseret sebagai biangnya.
Anggaran 1,2 M yang siap diluncurkan untuk membangun ulang Masjid Abadan ini
ditengarai menjadi alasan utama mengapa Kepala Desa dan warga Lambanan ikut menjadi
bagian dalam proyek tega-tegaan itu. Dilokasi masjid tersebut setelah dibangun
akan menjadi pusat tahfidz Qur’an dan pusat pengajian tradisional mambaca
kittaq, mattaleq kitta dan mukim patappulo di Mandar. Alasan-alasan itu menjadi
jawaban pamungkas untuk membuat siapapun akan bungkam dan berhenti menulis.
Sesungguhnya letak
masalahnya bukan pada siapa melakukan apa, tapi terletak pada persoalan kata
yang bernama “Cagar Budaya”. Masjid Abadan Lambanan telah didaftar sebagai
salah satu bangunan cagar tinggalan sejarah purbakala di Balai Pelestarian
Cagar Budaya Makassar sejak tahun lalu. Cagar budaya adalah salah satu yang menjadi prioritas pembangunan
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, adalah pembangunan
kebudayaan. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 32 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia”. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa kebudayaan bangsa
Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat
Indonesia seluruhya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak
kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Sampai
disini kita mesti sadar bahwa Masalah Lambanan bukan masalah biasa, bukan
persoalan politik kepentingan, bukan ajang klaim mengklaim tapi sebuah proses
kesadaran istilah Cagar Budaya, Benda Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan
Kawasan Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat
kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya,
Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang
perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan. Dan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya.
Tulisan ini tidak dalam posisi menyalahkan siap-siapa, sebab
akan sangat susah untuk menentukan siapa yang salah. Yang terpenting adalah membangun kesadaran
terhadap pentingnya menjaga peninggalan sejarah, lalu kita bangun kesepakatan
dan kespahaman untuk menata dan memetakan cagar budaya dan peninggalan sejarah
di di daerah ini. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar