Rabu, 19 Oktober 2016

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR “Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Beberapa hari terakhir ini masyarakat kita di Mandar seakan dilanda gempa peradaban, tidak hanya di media sosial, Koran harian bahkan para pejabat dan masyarakat awam pun ikut berkomentar. Trending topic itu berputar pada kata “Cagar Budaya” yang dipicu oleh pembongkaran situs masjid tertua di Mandar, Masjid Haqqul Yakin (berubah menjadi Masjid Abadan) Desa Lambanan Kec. Balanipa. Masjid yang selama ini dijadikan petanda dan penanda peradaban islam abad ke-16 kini rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing berserakan dan kubah masjid yang tergolek diantara 4 buah tiang penyanggah bangunan masjid.
Penulis yang kebetulan ikut bersama rombongan BPCB Makassar dan Tim Disbudpar Polewali Mandar memang sempat terkejut ketika tiba di lokasi Masjid dan mendapati bangunan masjid yang tinggal rangka berupa 4 buah tiang. Masjid yang dahulu berbentuk bujur sangkar yang dikelilingi batu padas berlapis kapur itu tak lagi bisa ditemui di lokasi berukuran 30 X 30 meter itu. Atap masjid berbentuk limasan bertingkat tiga itu tak ada lagi. Hanya puing-puing berserakan dan makam-makam kuno di sebelah barat yang menjadi penyaksi sejarah betapa tangan-tangan manusia begitu kekar mencakar cagar tinggalan sejarah dititik koordinat S3 29 15.7 E119 04 28.7 itu.
Haerullah, Kepala Desa Lambanan yang penulis temui untuk klarifikasipun tak mampu menolong dan menyelamatkan situasi dan kondisi yang menimpah situs penanda kejayaan islam pada masa pemerintahan Kanne Cunang, Mara’dia Pallis dan Arajang Balanipa ke-4 yang kesohor dengan gelar Daetta Tommuane ini. Daetta Tommuane atau Tandibella Kakanna I Pattang dan Abdurrachim Kamaluddin adalah sosok yang begitu lekat dalam pembacaan kita pada situs, pada ritus dan pada setiap manuskrip dan lontaraq pattodioloang.    
Ada sejumput perih dan leleran duka yang mengalir dalam benak penulis. Rasa dongkol dan marah menyeruak dan membuncah. Tapi untuk apa? Untuk siapa? Sebab kemudian rimba dunia maya yang terselip dikantongku hanya berdetak bordering bersama derai semak amarah, belantara cibiran dari pelampiasan kekecewaan atas peristiwa ini begitu jelas terbaca digenggaman tanganku. Postingan Zulfihadilewat status “Situs tua, masjid pertama di Mandar telah dibantai oleh politisi yang katanya intelek”. Belum lagi Muhammad Ridwan Alimuddin dengan lugas menulis di blog pribadinya dengan opening judul “ Bencana Nasional…..”. Like dislike bertaburan, komentar demi komentar ikut berserakan seakan menjadi copy-an gambar di lokasi Masjid Abadan Desa Lambanan.
Tak berhenti sampai disitu, nama politisi muda Sulbar, Muhammad Asri Anas ikut terseret sebagai biangnya. Anggaran 1,2 M yang siap diluncurkan untuk membangun ulang Masjid Abadan ini ditengarai menjadi alasan utama mengapa Kepala Desa dan warga Lambanan ikut menjadi bagian dalam proyek tega-tegaan itu. Dilokasi masjid tersebut setelah dibangun akan menjadi pusat tahfidz Qur’an dan pusat pengajian tradisional mambaca kittaq, mattaleq kitta dan mukim patappulo di Mandar. Alasan-alasan itu menjadi jawaban pamungkas untuk membuat siapapun akan bungkam dan berhenti menulis.
Sesungguhnya letak masalahnya bukan pada siapa melakukan apa, tapi terletak pada persoalan kata yang bernama “Cagar Budaya”. Masjid Abadan Lambanan telah didaftar sebagai salah satu bangunan cagar tinggalan sejarah purbakala di Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar sejak tahun lalu. Cagar budaya adalah salah satu yang menjadi prioritas pembangunan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, adalah pembangunan kebudayaan. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 32 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. 
Sampai disini kita mesti sadar bahwa Masalah Lambanan bukan masalah biasa, bukan persoalan politik kepentingan, bukan ajang klaim mengklaim tapi sebuah proses kesadaran istilah Cagar Budaya, Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Tulisan ini tidak dalam posisi menyalahkan siap-siapa, sebab akan sangat susah untuk menentukan siapa yang salah.  Yang terpenting adalah membangun kesadaran terhadap pentingnya menjaga peninggalan sejarah, lalu kita bangun kesepakatan dan kespahaman untuk menata dan memetakan cagar budaya dan peninggalan sejarah di di daerah ini. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar