Rabu, 06 Juli 2016

Mengenal RIRI AMIN DAUD



Riri Amin Daud dilahirkan pada 13 Juni 1927 di Kampung Biring Lembang Balanipa Mandar, sebuah wilayah yang dalam sejarahnya senantiasa mereproduksi pejuang sejak periode kolonial sampai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ayahnya bernama Muhammad Daud Puangnga I Lotong dan ibu bernama Sitti Sa’diayah. Tradisi dan karakter pejuang Riri Amin Daud diwariskan secara turun temurun melalui pendidikan keluarga yang berbasis adat dan nilai moral orang Mandar.
Sebagai keluarga yang cukup mapan, Riri Amin Daud dapat menempuh pendidikan formal dan pendidikan islam. Riri Amin Daud merupakan anak ke-2 dari 6 bersaudara, Riri Amin Daud menikah dengan Rosmani, dan memiliki 10 orang anak, di antaranya Muhammad Yus Mustari, Yunus Mustari, Kahar Mustari, Jabir Mustari, Myea Mustari, Khaidir Amin Daud, Itji Diana Daud, Fenti Daud, Ronggur Daud, Buyung wijaya kusuma (Muhammad Ronggur Amin Daud, wawancara 23 Mei 2014).
Di usia mudanya Riri Amin Daud sering di datangi oleh neneknya yaitu Puang Junnia dan Puang Yatia, mereka menceritakan bahwa ayah ibunya (kakek Riri Amin Daud ditangkap oleh Belanda, karena melawan Belanda), bahkan kakek Riri Amin Daud meninggal dalam pembuangan. Riri Amin Daud masih mengingat pada saat kakeknya meninggal dia melihat raja membawa pengikat kain kafan, karena pada waktu itu jika ada yang meninggal maka kain pengikat kain kafan dikirim ke keluarganya sebagai bukti bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Jadi dendam orang-orang terdahulu dari keluarganya yang meninggal akibat kekejaman Belanda (Fatmawati, 2002:9).
Pada tahun 1932 sampai tahun 1937, Riri Amin Daud menempuh pendidikan di vervolschool di Campalagian. Di samping menempuh pendidikan formal, Riri Amin Daud juga memperoleh pendidikan agama islam pada sore hari atau pesantren sore. Setelah menempuh pendidikan di vervolschool, Riri Amin Daud kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah rakyat kecil klas vi merupakan lanjutan sekolah di Majene.
Selepas itu dilanjutkan di Makassar di normal school 4 tahun. Selama penempuh pendidikan formal di Makassar, ia juga mengikuti kursus-kursus kegamaan (islam)
Sampai tahun 1942. Hal ini memperlihatkan bahwa ririn amin daud di samping memperkuat intelektualitasnya melalui pendidikan formal, ia juga memperdalam ilmu-ilmu agama sebagai unsur penting dalam membangun moralitaS. Perpaduan antara pendidikan formal dan ilmu agama inilah yang menjadikan Riri Amin Daud sebagai tokoh berdedikasi, jujur, dan tegas (Fatmawati,2002:1). Pada masa pendudukan Jepang, Riri Amin Daud mengawali karier politik sebagai wakil sudanco boei teisin tai untuk daerah Campalagian, kenje, dan tenggelang, dia juga merangkap sebagai wakil danco seinendan dan Campalagian gun pada 1944-1945. Berbekal pengetahuan yang diperoleh dan jiwa kepeminpinan serta sikap patriotisme untuk memperjuangkan daerahnya, Riri Amin Daud menjadi salah seorang yang memprakarsai berdirinya organisasi api berpusat di Campalagian, sebuah organisasi ilegal pada masa pemerintahan Jepang. Pada waktu yang sama ia juga menjadi anggota pucuk pimpinan organisasi ilegal islam muda dan organisasi api yang berpusat di Campalagian (inventarisasi arsip koleksi Pribadi Riri Amin Daud, 1996:4).
Dengan berdirinya organisasi api memperlihatkan bahwa Riri Amin Daud telah mengerti dan memahami perlunya wadah organisasi modern dalam perjuangan. Pada periode mempertahankan kemerdekaan, api kemudian berubah menjadi kris muda Mandar. Riri Amin Daud menjadi penasehat utama penglima/strategi dalam badan perjuangan kris muda Mandar. Sebuah posisi yang sangat penting dalam menentukan arah perjuangan. Perkembangan berikutnya, perjuangan Riri Amin Daud tidak hanya diwilayah Mandar. Perjuangan Riri Amin Daud sampai ke Sulawesi Selatan, bahkan ia menjadi wakil dari KRIS Muda Mandar ketika bergabung dalam perjuanganLAPRIS.

Perjuangan Riri Amin Daud
Ketika berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diketahui oleh rakyat di Sulawesi Selatan pada umumnya dan daerah Mandar pada khususnya, mereka menyambut dengan suka cita tidak hanya yang berada di perkotaan, tetapi di pelosok juga sangat antusias dengan berita proklamasi ini. Khusus di daerah Mandar berita ini juga disambut dengan gembira. Selanjutnya rakyat Mandar dengan sepenuh hati mendukung proklamasi itu. Hal ini tidak lepas dari peran AndiDepu dan
Tokoh pejuang lainnya yang menyebarluaskan berita proklamasi sampai ke pelosok pedesaan.
Untuk itu diadakan suatu pertemuan atau rapat di gedung sekolah rakyat perempuan di Majene pada 23 September 1945. Hadir dalam pertemuan ini adalah semua pabbicara atau kepala distrik di Majene, para pendidik, pejabat pemerintah, pemuka masyarakat dan tokoh pemuda. Dalam pertemuan ini hadir pula Abd. Rahman tamma dan Abd. Rauf dari TinambungBalanipa. Pertemuan ini dipimpin oleh a. Tonra, yaitu tokoh terkemuka dari dari kerajaan Banggae, Majene dan sekitarnya. Pada pertemuanitu diputuskan penggunaan pekik (teriakan “merdeka”, penyematan lambang “merah putih”) di dada sebagai pertanda dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan serta menyatakan diri sebagai pemuda merah putih (amir, 2010:134).
Selain itu pada bulan yang sama para kepala pemerintah lokal, tokoh masyarakat dan pemuda mengadakan suatu rapat atau pertemuan rahasia di maSDjid Polewali sesudah salat isya yang dihadiri sekitar 40 orang. Pertemuan tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada pemuda-pemuda pejuang tentang arti proklamasi kemerdekaan, di samping untuk menyusun langkah-langkah yang strategi dalam perjuangan menegakkan, membela, dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang isinya antara lain: menyatakan diri sebagai pemuda merah putih (amir, 2010:134). Dua hari kemudian setelah rapat atau pertemuan rahasia di maSDjid Polewali, dibentuk suatu organisasi koperasi, yaitu salah satu cara untuk membantu para pejuang dan juga salah satu strategi untuk mengelabui mata penjajah dengan antek-antek atau kaki tangannya.Koperasi tersebut kemudian dikenal dengan nama sadar, untuk menyadarkan semua rakyat, terutama pemuda-pemuda (fatmawati, 2002:1-2).
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Mandar tidak terlepas dari peran Andi Depu, Riri Amin Daud, dan Abd. Rahman Tamma yang senantiasa mengorganisir kekuatan rakyat. Dari kegiatan ini didirikan organisasi perjuangan kris muda Mandar. Organisasi ini merupakan tindak lanjut dari organisasi islam api yang didirikan pada April 1945 (pada masa Jepang) oleh Andi Depu, Riri Amin Daud, M. Masud Rachman, Mahmud Syarif, Lappas Bali, Ahmad Badawie, dan Musdalifah. KRIS Muda Mandar yang dalam perkembangan selanjutnya menggalang kekuatan mempertahankan kemerdekaan yang mulai dinodai oleh pihak Nica.
Kegiatan mereka mendapat
dukungan dari Andi Depu yang pada waktu itu berkedudukan sebagai maradia Balanipa. Pengaruh dan perjuangan yang dicanangkan oleh KRIS Muda Mandar berakibat pihak Nica berusaha menangkap dan melawan seluruh anggota pengurusnya (Kadir, dkk, 1984:164).
Riri Amin Daud segera melakukan konsolidasi kekuatan Mandar dalam dua minggu pertama November 1945. Sementara AndiDepu menemui M. Saleh Puangna Sudding di Mambi Allu menjelaskan tingkat kesibukan dalam menegakkan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan. M. Saleh Puangna Sudding terkesan atas kunjungan dari Andi Depu dan tanpa ragu-ragu ia berikrar untuk tampil bahu membahu. Demikian pula perjalanan keliling yang dilakukan oleh Abd. Malik yang didampingi oleh Abd. Rauf ke daerah pedalaman untuk memantapkan massa. Tema pidatonya di mana-mana, yaitu kemerdekaan kebebasan beragama, kemajuan kebudayaan, dan peradaban sendiri, alam kemerdekaan menjamin semua yang tersebut di atas.
Organisasi KRIS Muda Mandar, mempunyai arti, yaitu: kebaktian, mengandung makna bahwa mempertahankan proklamasi kemerdekaan 1945 dari penjajahan kolonial adalah suatu kebaktian terhadap bangsa; rahasia, memberi arti bahwa suatu organisasi KRIS Muda Mandar bersifat rahasia; islam, sebagai asas perjuangan; muda, karena perjuangan ini diperlukan semangat muda. Adapun susunan struktur organisasi perjuangan KRIS Muda Mandar pada saat pembentukannya pada 19 Oktober 1945 adalah sebagai berikut:
Panglima: Andi Depu;
Wakil Panglima: Abd. Malik;
Kepala Staf: Abd. Rahman Tamma;
Anggota Staf: Lappas Bali, Abd. Razak,
Pembantu utama panglima/strategi: Riri Amin Daud;
Pendamping Panglima: Abd. Rauf, dan Sitti Ruaidah;
Komandan Pasukan:
Andi parenrengi;
Komandan Pertempuran: Muh. Saleh Puangna I Sudding;
Komandan Pasukan I: Mahmud Saal; Komandan Pasukan II: Mahmudy Syarif;
Komandan Pasukan III: M. Amin Badawie (Amir, 2014:119; Pawiloy, 1987:189-190; Pabittei, 1991: 51).
Rangkaian peristiwa itu, antara lain atas perintah Andi Depu terjadi peristiwa merah putih di Pambusuang oleh 400 orang anggota yang dipimpin H. Ahmad, M. Idrus dan L.A. Latif. Pada Oktober 1945 turut aktif pula dalam peristiwa ini murid-murid Sekolah Rakyat Pambusuang dan guru-gurunya yang siap menentang Belanda dengan segenap kemampuan yang tersedia. Selain itu dilakukan pengibaran bendera merah putih, Andi Depu juga memerintahkan kepada penduduk pengibaran bendera merah putih, dan atas perintah Andi Tonra mereka kemudian mengepung tangsi tempat pembesar Nica.
Perjuangan di Mandar terus berlanjut, atas perintah Riri Amin Daud pada November 1945 dilakukan sebuah gerakan di passaerang, Campalagian oleh 5 orang anggota, di bawah pimpinan M. Amin Badawie. Adapun yang menjadi sasaran dari gerakan ini adalah untuk merampas senjata Jepang di daerah Mamuju. Aksi pengibaran bendera merah putih dan penyebaran pamflet di daerah Mandar juga dilakukan atas  perintah Riri Amin Daud dan Abd. Rahman Tamma (koleksi arsip Riri Amin Daud No. Reg. 15).
Organisasi-organisasi perjuangan yang telah dipersiapkan mulai dari September 1945 hingga pada awal Januari, dianggap sudah mantap dan siap untuk membela tanah air Indonesia. Jumlahnya anggotanya sekitar 800 orang tersebar di seluruh wilayah Polewali dan sekitarnya yang meliputi kurang lebih 10 daerah, yaitu: Polewali, Tonyaman, Takatidung, Anreapi atau Kelapa Dua, Darma, Madatte, Binuang, Kanan, Paku, Patampanua, Matangnga, dan Messawa yang mencakup daerah pegunungan lembang. Selain itu para pejuang juga melakukan aksiaksi pengrusakan kawat telepon, pengrusakan mesin listrik, pengrusakan jembatan, dan lain sebagainya. Oleh karena rentetan peristiwa penyerangan dan penghadangan serta aksi-aksi sabotase tersebut, tentara koninklijk nederlandschindische leger (KNIL) dan polisi Nicasemakin meningkatkanoperasi-operasi penangkapan terhadap para pejuang. Dari operasi-operasi yang dilakukan oleh serdadu Belanda itu, tertangkaplah antara lain: Andi
Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Daeng Pasanre, H. Ummarang, La Hamma, Pangiu, Tammalino, Nongngo, Salempang, Pinnikai, Pama, dan Kati.
Para pejuang yang terdiri atas para pemimpin dan anggota pasukan laskar pejuang yang tertangkap tersebut, sebagian besar dipenjarakan dan bahkan ada yang ditembak mati. Meskipun demikian, Andi Depu, Riri Amin Daud dan para pejuang lainnya dengan semboyang bahwa sekali berjuang tetap berjuang dan merdeka atau mati demi bangsaku yang telah meresap dalam jiwa sanubari mereka.
Terpaksa Mengundurkan diri masuk hutan sehingga aktivitas gerakan Laskar KRIS Muda Mandar tetap berjalan menurut rencana. Termasuk mengutus pengurus organisasi, misalnya Abd. Malik dan seorang pengikutnya untuk ke Kalimantan dan selanjutnya ke Jawa untuk mengadakan hubungan dan permintaan bantuan berupa senjata.
Dengan adanya jalinan kerjasama antara pemimpin gerakan perlawanan suatu daerah dengan daerah lainnya, bahkan seluruh Indonesia (Mandar, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi pada umumnya), maka terbukalah kesempatan perlawanan rakyat secara menyeluruh. Umpamanya pada Februari 1946, berangkatlah perutusan Abd. Rahman Tamma menuju Makassar dan pada 12 April 1046, Abd. Malik dan Abd. Rauf menuju Yogyakarta. Kepada perutusannya ini Andi Depu menugaskan untuk:
1. Aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan RI.
2. Bekerjasama dengan kelaskaran atau badan badan perjuangan lainnya untuk mencapai suatu kesatuan komando.
3. Mengembangkan dan meningkatkan gerakan KRIS Muda di luar daerah Mandar.
4. Secara periodik mengadakan hubungan dengan pemimpin pusat KRIS Muda di daerah Mandar (Amir, 2011:60).
Perlawanan para pemuda pejuang yang ditampilkan melalui wadah perjuangan atau organisasi kelaskaran KRIS Muda Mandar di bawah pimpinan Andi Depu, tetap tidak memudarkan keinginan Nica untuk memulihkan kembali kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di daerah Mandar. Itulah sebabnya berbagi usaha dilakukan untuk mematahkan dan memudarkan perlawanan rakyat.
Namun kenyataannya bahwa usaha perlawanan rakyat bukan hanya semakin berapi-api, tetapi juga laskar KRIS Muda semakin berkembang dan meluas di berbagai daerah di luar Mandar, seperti Makassar, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Pinrang, dan sebagainya. Bahkan laskar KRIS Muda menjadi salah satu prakarsa penyatuan langkah perjuangan organisasi-organisasi kelaskaran ke dalam suatu wadah komando yang kemudian dikenal denganLAPRIS pada Juli 1946. Wadah komando yang dipusatkan di polongbangkeng ini, dimaksudkan agar langkah perjuangan lebih terorganisir dan kuat dalam menghadapi Nica.
Sementara sumber lain menyebutkan bahwa untuk mewujudkan rencana menyatukan kelaskaran kelaskaran yang tersebar di setiap daerah dalam satu wadah, maka diusahakan satu pertemuan pimpinan-pimpinan kelaskaran. Pertemuan pertama dilakukan di komara pada 15 Juli 1946. Hadir pada pertemuan ini pimpinan kris muda Mandar, Riri Amin Daud dari pusat pemuda nasional Indonesia (ppPNI) Makassarhadir aminuddin muchlis dari harimau Indonesia hadir bahang; dari angkatan muda Republik Indonesia selayar (amris) selayar hadir daeng bonto, dan dari gerakan tanete Soppeng diwakili oleh ali malaka.
Dari pertemuan ini dicapai kata sepakat membentuk organisasi gabungan kelaskaran. Keesokan harinya mereka berangkat menuju markas lipan bajeng. Berhubung karena rencana itu merupakan inisiatif dari endang, maka pada pertemuan itu ia tampil sebagai pimpinan sidang. Selain dihadiri oleh tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan 15 Juli 1946 hadir pula pada pertemuan ini ranggong daeng romo, Karaeng ana bajeng, Karaeng loloa, Karaeng djarung, Karaeng cadi, Karaeng palli, Karaeng sidja, Karaeng temba, emmy saelan, maulwi saelan, dan lain-lain. Pertemuan ini merupakan pertemuan pembentukan wadah kesatuan organisasi kelaskaran yang dinamakanLAPRIS. Dari hasil pertemuan ini maka pada 17 Juli 1946 dilakukan upacara pengresmian berdirinya yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih, diiringi lagu kebangsaan Indonesia raya yang dipimpin oleh M. Yusuf di ranaya, upacara ini dilakukan pada jam 09.00 dan dihadiri sekitar 100 orang (kadir, dkk, 1984:163).
Adapun susunan kepengurusan LAPRIS yang diumumkan pada upacara peresmian itu belum lengkap karena beberapa jabatan yang perlu ditempatkan orang dipercayakan untuk tugas itu belum dapat ditentukan, kepengurusan LAPRIS adalah sebagai berikut:
Pelindung: Padjonga Daeng Ngalle (Karae Ana Bajeng);
Bagian organisasi (administrasi),
Ketua: Makkaraeng Daeng Mandjarungi,
Wakil Ketua: belum terisi;
Sekretaris I: R.W. Monginsidi;
Sekretaris II: belum terisi;
Bagian ketentaraan,
Ketua: Ranggong Daeng Romo,
Wakil Ketua: R. Endang;
Sekretaris: Baso Lanto;
Orgaan adviseurs (badan penasehat): Abd. Rachmann (pak Jawa), Daeng Tjando, Daeng Sila Karaeng Loloa;
Badan penyelenggara,
Ketua Muda: Abd. Rachman (Hamang), Ali Malaka;
Sekretaris: belum terisi;
Bendahara: Mappaselleng Daeng Sija;
Bagian penerangan: Riri Amin Daud;
Bagian inlichtingsdienst: Bonto;
Bagian Perhubungan: Ali Malaka;
Bagian Ketentaraan: R. Endang;
Bagian Palang Merah: Emmy Saelan (Kadir, Dkk, 1984:
162).
Tanggal 1 Oktober 1946 diselenggarakan rapat, meskipun susunan pengurusnya belum
Lengkap dan menetapkan beberapa keputusankeputusan. Keputusan-keputusan ini belum terlaksana, kecuali keputusan no. 2 dalam bentuk latihan militer kepada sekitar 1000 orang pejuang pembela RI dari berbagai kelaskaran. Kemudian upaya peningkatan serangan militer terhadap Nicaternyata dihambat oleh pembunuhan massal yang dilakukan oleh Westerling. Aksi pembunuhan tersebut mempersempit ruang gerak para pejuang pembela kemerdekaan (Poelinggomang, dkk, 2005:155).
Kenyataan itulah yang menyebabkan pihak Nica harus melakukan penangkapan terhadap tokoh pejuang termasuk pejuang-pejuang dari Mandar seperti Andi Depu, Riri Amin Daud, Abd. Rahman tamma. Dalam operasi penangkapan yang dilakukan oleh Nica terhadap para tokoh KRIS Muda, baik di Makassar maupun di daerah Mandar, tercatat 36 orang pimpinan dan anggota KRIS Muda Mandar berhasil ditangkap, termasuk Andi Depu yang ditangkap pada November 1946, serta Riri Amin Daud dan Abd. Rahman tamma pada November 1946. Mereka ditangkap ketika sedang dalam penyamarannya untuk berkeliling melakukan kontak dengan para pejuang lainnya
Guna menyusun strategi perlawanan (arsip nit, no. 139). AndiDepu kemudian dimasukkan ke dalam penjara Majene, sementara Riri Amin Daud dan Abd. Rahman tamma dipenjarakan hogepad Makassar. Mereka seharusnya termasuk tawanan politik atau tawanan perang, tetapi kenyataannya mereka diadili seperti penjahat kriminal (chaniago, 2002:578).
Daftar nama-nama anggota kris muda Mandar yang ditawan Belanda: AndiDepu,Riri Amin Daud, Abd. Rahman tamma, lappas bali, arimin Muhammad, Mahmudy syArif, H.Abd. Razak, masud rahman, Hasan mangga, iskandar, M. Amin badawie, juoma laboe brp, ruwaeda, ummi hani, sahide, a. Mappewa, a. Lelang, nuraini ahmad, Abd. AziS. M, Andi takka, badolo waris, Abd. Rahman. M, saal daud, ahmad tabus, Mustari, badau, aminuddin, kating, yengga, Abd. Rahman, Abd. Madjid, pua madjid, sakia, Abd djalil, supue, H. Baddu (arsip Riri Amin Daud, reg no. 17).
Selama berlangsung kmb, pemerintah Belanda membebaskan sekitar 12.000 orang tahanan antara Agustussampai dengan Desember 1949 (chanigo, 2002:577).4 mereka yang ditahan itu, bukan hanya karena berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan, tetapi juga karena mereka menentang pemerintah Belanda yang hendak memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Para tahanan yang dipenjarakan di kota Makassar (hogepad, lajang, tellokamp) misalnya jumlahnya diperkirakan lebih dari 500 orang, di Bulukumba berjumlah 762 orang dan 618 orang diantaranya dibebaskan pada awal Januari 1948, dan panitia ini melaporkan telah menampung sebanyak 1410 orang tawanan, dan sebagian dibantu mengembalikan ke Sulawesi Selatan. Sebagian dari para tahanan itu adalah para raja atau keluarga kerajaan dan pejuang yang anti Belanda (arsip, no. 82; arsip nit, no. 141 dan 142).
Adapun susunan kepengurusan panitianya sebagai berikut:
Sebagai pelindung: makKaraeng daeng. Mandjarungi,
Ketua: f. Pondaag, wakil
Ketua: j. Kamalirang,
Penulis i: Riri Amin Daud,
Penulis ii: Abd.Rahman Tamma, dan
Pembantupembantu:
M.J. Unjung, R. Sukarto dan Ismail A.P.
Panitia yang dibentuk untuk membebaskan semua tawanan politik dan memperjuangkan tercapainya kemerdekaan seratus persen. (Poelinggomang, dkk, 2005:258). Kenyataan ini menyebabkan panitia bekas tahanan politik selanjutnya membentuk panitia penyelenggara konferensi seluruh pejuang Indonesia timur pada awal Januari 1950.
Adapun panitia penyelenggara itu diketuai oleh Makkaraeng Daeng Mandjarungi; Yusuf Bauty sebagai wakil Ketua; F. Pondaag sebagai sekretaris; dan Riri Amin Daud sebagai wakil sekretaris. Konferensi ini bertujuan untuk mempertemukan organisasi-organisasi perjuangan dan kelaskaran atau kelompok-kelompok perjuangan rakyat (Gerilya) dan mantan tahanan politik atau tawanan perang yang telah mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Selain itu, konferensi ini juga dimaksudkan untuk merumuskan keinginan mereka kembali yang telah mendasari perjuangannya, melanjutkan perjuangan, menyusun pedoman kerja. Panitia konferensi kemudian mengeluarkan pernyataan pada 4 Januari 1950, agar pemerintah memperhatikan resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya (poelinggomang, dkk, 2005:260; arsip tator, no. 771).
Panitia memutuskan, konferensi perjuangan Indonesia timur akan di selenggarakan di polongbangkeng, pusat perlawanan republik paling kuat dan yang paling bertahan di Sulawesi Selatan, Markas Laskar Lipan Bajeng dan LAPRIS. Wilayah yang terletak di sebelah selatan kota Makassar di bawah kekuasaan Karaeng Polongbangkeng Padjonga Daeng Ngalle, yang setelah proklamasi kemerdekaan menyatakan bahwa wilayah kekuasaannya menjadi bagian dari RI. Padjonga Daeng. Ngalle menjadi pelindung dari gerakan rakyat yang bernama Gerakan Muda Bajeng yang kemudian berubah menjadi Laskar Lipan Bajeng, dan Mobil Batalyon Ratulangi (MBR).
Panitia konferensi mengeluarkan pengumuman pada 10 Januari 1950, disebutkan bahwa pertemuan terdiri dari dua jenis, yaitu rapat terbuka dan tertutup. Rapat terbuka dapat dihadiri oleh semua wakil-wakil kelompok pejuang, semua mantan tahanan, dan para pembesar yang diundang, sedangkan rapat tertutup hanya dihadiri oleh wakil-wakil kelompok pejuang yang mempunyai mandat dan mantan tahanan. Panitia konferensi menyebarkan tenaga ke pedalaman. Tokoh terkemuka seperti yusuf bauty dan Riri Amin Daud misalnya, sejak 18 Januari berkeliling sambil menggalang massa di Enrekang, Makale, dan Rantepao di tanah Toraja. Pada 20 Januari, kembali lewat Rappang, Parepare, Pinrang, dan membelok ke kotakota di pantai barat di wilayah Mandar.
Dalam perjalanan itu, di samping membangun hubungan dengan para mantan tahanan politik atau perang, juga menerima informasi dari masyarakat pada rapat-rapat umum yang diselenggarakan. Pada umumnya masyarakat meminta agar TNI di datangkan ke Sulawesi Selatan. Perjalanan semacam ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang lainnya. Menurut laporan panitia menjelang konferensi dimulai, sudah 27 kota-kota di pedalaman Sulawesi Selatan yang didatangi (Poelinggomang, 2005: 261; arsip Abd. Rahman tamma, no. 13; arsip Tator, no. 144 dan 659).
Hasil dari konferensi disepakati pembentukan suatu badan yang disebut Biro Pejuang Pengikut Republik (BPPRI), dalam konferensi ini juga dihasilkan suatu pernyataan
Yang berbunyi:
1.    Kami bekas pemberontak dan bekas tawanan politik dulu dikatakan perampok, pengacau, pembunuh, dan sebagainya dan kini digelar pahlawan-pahlawan danprajurit perjuangan.
2.    Yakin, bahwa tidak ada buat seorangpun dari kami menjadikan nama atau gelarsebagai soal utama.
3.    3. Bahwa yang kami ketahui adalah kami cinta ibu pertiwai dan dengan sadarpada waktu yang sudah kami melakukan siasat destruktif keluar menerjang segalaperkosaan atas proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai suatu ledakan keinginan dan hasrat bangsa Indonesia yang sudah berabadabad hidup dijajah, ingin hidup bernegara sendiri dan dapat menyumbangkan kebangsaannya untuk ikut serta dalam pembinaan perikemanusiaan dan keadilan diantar bangsa-bangsa didunia.
4.    Bahwa sesungguhnya lahirnya ris dan negara Indonesia timur (nit) itu, karenaBelanda semata-mata dan pula didorong oleh cara-cara bapak-bapak kita yangtidak mengikuti jiwa dan para pemuda, lekas-lekas bermalino dan berdenpasar,sehingga lahirnya ris dan nit sebenarnya sedikitpun tidak mengganggu hasrat dan
Keinginan seluruh bangsa Indonesia yang pada Prinsipnya tetap berpegang pada
Proklamasi 17 Agustus 1945 baik yang telah berpenjara atau berhutan.
5. Bahwa masih banyak pula rakyat di nit yang tidak atau belum ri, mendapat
Kesempatan mengembangkan keinginan itu, bahwa dalam banyak hal kita di nit banyak ketinggalan (poelinggomang, 2005: 296).
Berpendapat: bahwa untuk mengembalikan ris sekarang menjadi ri, sesuai dengan hasrat rakyat, maka perlu seluruh tenaga warga negara dikerahkan dalam segala lapangan dan tetap berpegang teguh pada pancasila. Pernyataan ini dikeluarkan di polongbangkeng, tempat berlangsungnya konferensi pada 7 Februari 1950, yang ditandatangani oleh badan pimpinan pusat bpRRI, yusuf bauty, makKaraeng daengmandjarungi, Riri Amin Daud, f. Pondaag, Abd. Rahman tamma, r. Sukarto, hamang, aminuddin muchlis, dan S. Sunari. Inti dari pernyatan itu merupakan tujuan organisasi bpRRI dalam melakukan perjuangan politik untuk membubarkan nit.
Di samping itu mereka juga mengirim utusan ke Yogyakarta untuk melaporkan kegiatan dan perkembangan yang ada di Sulawesi Selatan. Pada 23 Februari 1950 berangkat makKaraeng daeng mandjarungi dan Riri Amin Daud sebagai wakil BPPRI ke Yogyakarta untuk menemui pemerintah ris dan ri. Tepat pada hari yang telah ditentukan, 17 Maret 1950, ribuan rakyat kota Makassar dan pendudukan di
Sekitarnya melakukan demonstran mengelilingi wilayah kota, dan kemudian berkumpul di depan kantor parlemen nit. Diperkirakan jumlah demonstran mencapai 2000 orang.
Demonstran ini merupakan demonstran terbesar yang menggoncang kota Makassar (kadir, dkk, 1984:246). Ketika semua demonstran telah berkumpul di depan parlemen nit, a.n. Hadjarati, aktor intelektual dari aksi demonstran itu tampil menemui Ketua parlemen nit, husain puang limboro untuk menyampaikan tuntutan itu diteruskan kepada pemerintah ris, dan mendesak segera membubarkan nit (poelinggomang, 2005: 297; patang, 1974:141).

Akhir perjuangan Riri Amin Daud
BPRRI yang didirikan pada Februari 1950, pada BPRRI ini Riri Amin Daud juga terlibatdi dalamnya. BPRRI yang berjiwa pancasila, mempunyai tugas bekerja secara efektif dan dengan penuh tanggung Jawab kepada seluruh bangsa Indonesia dengan program perjuangan tertentu. Badan pimpinan pusat BPPRI:  dewan pimpinan umum: yusuf bauty, makKaraeng daeng manjarungi, Riri Amin Daud, f. Pondaag, Abd. Rahman Tamma, R. Sukarto, Hamang, Aminuddin Muchlis, S. Sunari (djarwadi, dkk, 1972:45).
Kemudian mengeluarkan resolusi yang berbunyi: memperhatikan larangan demonstrasi pemerintah nit dan rapat raksasa, resolusi panitia demonstrasi keinginan rakyat 9 Maret 1950 yang menuntut pencabutan larangan tersebut. Demonstrasi yang diadakan 17 Maret 1950 yang menuntut pembubaran nit berlangsung sesuai dengan rencana dan berjalan secara tertib. Sedangkan pihak non republik/kaum kooperator juga berusaha mengorganisir demonstrasi untuk mempertahankan nit, tetapi gagal, bahkan orang-orangnya berobah menjadi memihak ri.
Menjelang meletusnya peristiwa Andiazis, markas bpRRI digerebek oleh pasukan kepolisian nit, tetapi tidak berhasil menangkap para pemimpinnya. Sementara itu makKaraeng daeng mandjarungi dan Riri Amin Daud yang telah kembali ke Yogyakarta, yang memprakarsai konferensi polongbangkeng, dan Riri Amin Daud menjadi salah seorang anggota presidium BPPRI (fatmawati, 2002:5).
Keinginan rakyat Indonesia di Sulawesi untuk melepaskan diri dari nit tak dapat ditahantahan lagi. Sebelum pemerintah ris dengan resmi membubarkan nit, terlebih dahulu mereka telah melepaskan diri dari ikatan nit dan langsung menggabungkan diri dengan ri. Pada 17 April 1950 di polongbangkeng, yang merupakan daerah pusat perjuangan rakyat Indonesia di Sulawesi pada masa revolusi. Di daerah ini telah diumumkan suatu proklamasi yang disebut proklamasi polongbangkeng, isinya sebagai berikut:
Atas nama seluruh rakyat pengikut Republik Indonesia di seluruh Indonesia timur:
a.     Atas nama susunan pemangku-pemangku jabatan pemerintah sipil berdiri di seluruh bahagian daerah di Indonesia timur;
b.    Dengan bentuk angkatan pertahanan gerilya kami;
c.     Dengan bentuk daerah-daerah yang dikuasai angkatan gerilya kami.
Dengan ini memproklamirkan, bahwa:
Kami seluruhnya dengan daerah-daerah yang di bawah kekuasaan kami melepaskan diri dari kekuasaan Undang-Undung dan pemerintah negara Indonesia timur dan
Akan mempertahankan daerah-daerah kami sebagai daerah bahagian ri, serta akan mempertahankan diri sebagai warga negara yang terikat oleh Undang-Undung dan tunduk di bawah pemerintah ri diibukota Yogyakarta. Polongbangkeng, 17 April 1950
Pemangku jabatan gubernur provinsi Sulawesiprovinsi maluku
Provinsi sunda kecil makKaraeng daeng manjarungi wakil Riri Amin Daud Basis komando markas besar kesatuan Gerilya territorium Sulawesi Pemangku jabatan komandan A. Djalal Daeng Leo, Andi Selle (djarwadi, dkk, 1972:70; kempen. 1953:167).
Selang beberapa hari kemudian sikap yang sama ditampilkan oleh Hadat Tinggi Sulawesi Selatan (HTSS) yang merupakan pimpinan pemerintahan Sulawesi Selatan dan dewan Sulawesi Selatan memproklamasikan gagasan yang sama pada 26 April 1950 di Makassar, yang isinya sebagai berikut:
Sesuai dengan keinginan sebahagian besar dari seluruh rakyat Sulawesi Selatan yang dilahirkan dengan demonstran, mosi-mosi, statemen tanggal 20 Maret 1950 dari panitia penegak RI yang meliputi lebih dari 50 partaipartai politik dan organisasi, maka mulai hari ini 26 April 1950 pemerintah daerah Sulawesi Selatan menyatakan Sulawesi Selatan lepas dari nit dan masuk dalam ri sebagai satu provinsi (poelinggomang, dkk, 2005:299).
Pergolakan-pergolakan yang terjadi di Sulawesi Selatan pada khususnya dan nitpada umumnya sangat berpengaruh terhadap perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Presiden NIT, Soekawati. Wakil dari negara Sumatera Timur dengan Wakil Presiden RIS, Muhammad Hatta pada 3-5 Mei 1950, pada pertemuan ini dicapai kata sepakat untuk menetapkan satu negara kesatuan. Pada 9 Mei 1950 Wakil Presiden RIS, Muhammad Hatta menjelaskan dalam pidato radio bahwa negara kesatuan harus dibentuk melalui cara-cara legal, dan bukan melalui tindakan-tindakan yang bersifat
sepihak, dipaksakan (kadir, dkk, 1984:248).
Terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang- Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang disahkan pada 15 Agustus 1950 dan diumumkan ke seluruh pelosok tanah air pada peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1950 merupakan keberhasilan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang dicanangkan oleh rakyat Sulawesi Selatan adalah untuk mewujudkan kembali keutuhan dan identitas bangsa yang terpatri pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Mereka tetap berjuang hingga terwujudnya kembali keutuhan dan identitas bangsa Indonesia dalan negara kesatuan Republik Indonesia (kadir, dkk, 1984:249).
Meskipun demikian persoalan gerilya di Sulawesi Selatan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Itulah sebabnya pemerintah mengumumkan pemanggilan kembali para pejuang gerilya pada 9 Desember 1950. Kemudian disusul penetapan daerah untuk mengumpulkan pasukan yang hendak diselesaikan. Masa pemanggilan diberi waktu antara 15 Desember 1950 sampai dengan 30 Desember 1950. Karena mengalami banyak kesulitan diperpanjang lagi hingga 6 Januari 1951.
Kesulitan yang dihadapi sebenarnya adalah di kalangan pasukan gerilya sendiri, karena sampai saat terakhir habisnya jangka waktu pemanggilan, Kahar Muzakkar masih bersikap diam. Bahkan kemudian menyerahkan pimpinan kepada M. Saleh Syahban selaku kepala stafnya. Kahar Muzakkar sendiri terus menuju ke kampung halamannya dengan tujuan istirahat.
Dalam pelaksanaan keputusan pemerintah untuk memanggil pejuang gerilya, maka dibentuklah panitia dengan susunan dan tugasnya adalah:
Ketua: I.A. Saleh Daeng Tompo,
Wakil Ketua: Mayor L. Mochtar;
Anggota: Abbas Daeng Malewa, Nyonya Salawati Daud, Makkaraeng Daeng Mandjarungi, Aminuddin Mukhlis, Riri Amin Daud, M. Yosef, M. Yunus Mile.
Terhadap masalah gerilya tugasnya untuk mengadakan pemisahan antara anggota gerilya dalam penggolongan:
A. Yang berhasrat masuk dalam angkatan perang;
B. Yang hendak masuk kepolisian,
C. Yang hendak kembali ke masyarakat
(djarwadi, dkk, 1972:68-69).
Di samping kelompok yang di prakarsai Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), sejumlah pemuda merasa khawatir mengenai situasi saat itu, dan dimulai dengan pertemuan Kongres Pelajar Mahasiswa korban kekacauan Juli 1956, kelompok-kelompok pemuda banyak terbentuk untuk mendiskusikan masalah daerah mereka, dan apa yang mungkin mereka perbuat mengenai hal itu. Dalam pertemuan 3 Februari 1957, sebanyak 77 orang pemuda dengan dukungan 47 kelompok pemuda, membentuk Dewan Pemuda Sulawesi.
Dewan ini mencakup anggota-anggota secara perorangan, serta organisasi-organisasi yang berdasarkan afiliasi kesukuan dan keagamaanmaupun afiliasi kepartaian. Di antara yang tersebut belakangan termasuk gerakan pemuda sosialisasi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Pemuda Rakyat (organisasi pemuda
PKI).
Pada organisasi ini ditunjuk sebagai Ketua adalah Nurdin Djohan, seorang veteran muda tanpa afiliasi kepartaian dan teman Mayor Yusuf, Riri Amin Daud dar iLAPRIS dan BPPRI menjadi sekretaris jenderal; para angoota lain termasuk Mattulada, yang pernah menjadi juru bicara bagi para siswa di kongres pelajar mengenai Komando Daerah Pertempuran Sulawesi Selatan Tenggara (KODPSST); Indra Chandra dan Husain Achmad dari Gerakan Pemuda Sosialis (GPS); dan Ismail Habi dari pemuda prograsif (tanpa afiliasi partai). (harvey, 1989:255).
Memasuki tahun 1950 Riri Amin Daud masih aktif dalam perjuangannya, tepatnya tahun
1950 sampai 1951 ia ditunjuk sebagai sekretaris panitia negara penyelesaian masalah gerilya Sulawesi Selatan sampai dengan terbentuknya afwikkelings Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Riri Amin Daud yang dalam hidupnya memang tidak mau diam, selalu diwarnai dengan kegiatan-kegiatan yang dapat bermanfaat untuk orang banyak, seperti ia juga aktif di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan, yaitu menjadi guru vervolschool di Sumpang Binangae (Kabupaten Barru) dan di Campalagian (Mandar). Riri Amin Daud kembali menempuh pendidikan kursus kerja sosial pada RC. Dr. R. Suharso di Solo, Jawa Tengah, tahun 1951-1952. Selain dunia politik dan pendidikan dan kemasyarakatan Riri Amin Daud juga bergelut di dunia pers, ini mulai dirambah dari tahun 1953 dan dilakukan sampai tiga tahun.
Karier Riri Amin Daud didunia pers ini menjadi pimpinan umum mingguan “Jakarta Raya” dan sekaligus wartawan surat kabar “Pembela Proklamasi” di Jakarta. Riri Amin Daud juga anggota redaksi SKH “Tinjauan Makassar”. Riri Amin Daud dalam mengisi kehidupannya, beragam kegiatan dilakukan ia juga pernah menjadi penanggung jawab kegiatan persuteraan rakyat Indonesia (ISRI) di wilayah Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1954, setelah menyelesaikan pendidikan di solo, Riri Amin Daud melanjutkan pendidikan di SMA C Pengasan Timur (fatmawati, 2002:2). Riri Amin Daud tidak berhenti menempuh pendidikan, ia kemudian kembali ke Makassar, dan mengikuti kuliah selama dua tahun (1956- 1958) di Fakultas Teknik Publik Administration Universitas 17 Agustus 1945 (inventarisasi arsip koleksi Pribadi Riri Amin Daud, 1996: 5).
Selepas itu, kegiatan Riri Amin Daud terus berlangsung dari tahun 1957 sampai dengan 1959 pada saat itu ia menjadi anggota penasehat pemerintah militer TT VI/Wirabuana yang berkedudukan di Makassar (inventarisasi koleksi arsip Pribadi Riri Amin Daud, 1996: 30). Riri Amin Daud menjadi anggota Legiun Veteran RI, kemudian menjadi anggota Koperasi Legiun Veteran RI. Tanda penghargaan yang diperoleh Riri Amin Daud diantaranya: Bintang Gerilya Kelas 1, Bintang Gerilya Kelas 2, Bintang Gerilya 50 Tahun, dan Bintang Purna Veteran RI (Fatmawati, 2002:7). Demikian perjalanan perjuangan Riri Amin Daud dalam mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang dapat memberikan inspirasi bagi orang lain. (Bahtiar, Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar: WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 299—313).

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H.

Polewali Mandar, 7 Juli 2016

Sabtu, 25 Juni 2016

ABSTRAK MAKALAH DRS. DARMANSYAH KE KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X

“ORANG MANDAR PELAUT ULUNG”
Oleh: Drs. Darmansyah
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Barat
Ketua DPRD Kabupaten Majene


ABSTRAK

Jauh sebelum konsep Tanah Air yang tertuang dalam naskah Sumpah Pemuda tahun 1928, di sebuah wilayah konfederasi bagian Sulawesi bagian barat sudah berbentuk negara, yaitu Pitu Ulunna Salu – Pitu Ba’bana Binang. Sejak tahun 1580, wilayah ini sudah dikenal lita’ Mandar yang mempunyai pengertian “Tanah Air“. Dari sini, sebuah peradaban Mandar terbentuk sebagai wilayah dan sebagai suku bangsa. Suku bangsa Mandar yang terdiri dari tujuh wilayah adat yang berada di daratan dan tujuh wilayah adat yang berada di pantai. Tujuh wilayah adat ini menjadi negara konfederasi Mandar adalah yang notabene wilayah pantainya adalah kerajaan bahari (berhadapan langsung dengan laut lepas) sementara dari pegunungan menguatkannya dengan adanya aliran sungai yang semuanya bermuara ke teluk Mandar. Alasan inilah barangkali yang membuat Kristian Pelras, penulis buku “The Bugis” menyebutkan bahwa bukan orang Bugis atau orang Makassar pelaut ulung, tapi orang Mandarlah yang lebih tepatnya disebut pelaut ulung.
Adanya ritual pelantuikan Raja-raja di Mandar yang dilantik diatas punggung penyu adalah simbol kepemimpinan yang letak geografisnya berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu.  Pannu (Panynyu) adalah jenis hewan laut yang dalam bahasa Indonesia disebut Penyu. Secara Filosofi mengandung makna yang dalam tentang penyu yaitu: (1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun, dan diharapkan raja dapat bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat; (2) Penyu mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Inilah salah satu bukti bahwa orang Mandar itu adalah orang laut yang sumber penghidupannya berada di laut namun peradabannya besar di daratan; (3) Penyu punya karakter pendiam tapi dalam hal mencari rejeki ia pantang menyerah pada keadaan (ombak besar). Penyu juga mempunyai jumlah telur yang banyak.
Filosofi penyu bagi orang Mandar terlakonkan dengan kepiawaiannya mengarungi laut dengan perahu “Sande’-nya” untuk mencari rejeki. Orang Mandar dengan gagah-berani mempertaruhkan hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah pada laut yang dalam. Hal paling inti dari filosofi penyu terletak pada kulitnya yang tebal yang mempunyai fungsi melindungi tubuhnya dari peredator. Ini menjadi sebuah harapan kepada raja untuk dapat melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Kesemuanya itulah sehingga tidak berlebihan jika orang Mandar mengabadikan nama penyu melalui kue tradisional yang disebut “Tallo Pannu”.
Terkait keberanian orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan perahu tradisional sande’ dapat dibuktikan melalui leluhur Komjen Pol. Drs. H Syafruddin Kambo, M.Si (Kalemdikpol RI) yang menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1889. Perahu tradisional “ sande’ “ hari ini telah menjadi warisan budaya nasional yang dibuktikan dengan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan Nasional RI, dengan nomor registrasi : 154004 B/MPK.A/DO/2014. Selain itu, di kepulauan nusantara ini, kita bisa menemkan beberapa jejek perkampungan orang Mandar di pesisir pulau jawa dan Bali, termasuk di Nusa Tenggara dan Kepulauan Bangka Belitung.
PENDAHULUAN
Indonesia dalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tahun 2010, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut Indonesia sebesar 7. 900. 000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan luas daratan dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia beraneka ragam, seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan faunanya.
Dengan kondisi seperti itu, maka tak berlebihan jika Indonesia ini disebut bumi maritim. Indonesia menjadi bagian terpenting dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan alami antara darat dan laut di atasnya tertata secara unik, menampilkan ciri-ciri negara dengan karakteristik sendiri yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Hal inilah yang kemudian jadi acuan dalam menggagas sebuah Negara Maritim Indonesia sebagai aktualisasi wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara.
Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama, terbayang sebagai kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air. Interaksi antar pulau dalam bentang Sabang hingga Merauke seyogyanya tidak bisa dipisahkan dari laut, termasuk daratannya juga tak bisa dipisahkan dari alur sungai yang bermuara ke laut. Di Jawa, kota-kota besar, Surabaya, Semarang dan Jakarta, terbentuk oleh kehadiran pelabuhan-pelabuhan. Demikian pula di Sulawesi, peradaban bahari bertaut erat dengan relasi dagang antara kesultanan besar sejak dahulu kala.  
Hari ini, Indonesia mempunyai sumber daya manusia sebesar 250 juta orang penduduk. Angka terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus demografi), dengan jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal kekayaan alam yang melimpah dan beragam baik di darat ataupun lautan, serta posisi geoekonomi yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global. Ada sekitar 45% dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$1.500 triliun per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2010).
Selama ini ada sebuah yang ironi, bahwa filosofi yang mendasari setiap kebijakan nasional kita selama ini selalu bertumpu pada paradigma “daratan”. Di sinilah letak ironinya, negara kita yang sejak dahulu tersohor dengan negara maritim dengan wilayah yang 75% lautan, namun kita sama sekali mengabaikan bahkan “memunggunginya”. Tidak mengherankan bila sampai saat ini, negara-negara lainnya yang justru menangguk keuntungan dari semua kekayaan laut kita.
Sampai saat ini, pencapaian hasil pembangunan maritim Indonesia masih menyisakan begitu banyak persoalan dan pekerjaan rumah bagi pemerintah. Salah satu buktinya adalah hingga kini kontribusi seluruh sektor maritim terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal, pada Negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok dan Thailand, kontribusi bidang maritimnya rata-rata telah mencapai di atas 30% dari PDB.
Hal lain yang perlu diingat, peradaban sungai adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya pesisir. Artinya, jika upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada paradigm “kelautan” semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau ketimpangan pembangunan pasti akan terjadi seperti pada masa Orde Baru, namun dalam wujud yang berbeda. Untuk itu diperlukan sebuah cara berpikir dan bertindak baru untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.


ORANG MANDAR PELAUT ULUNG...............................................................................
...........................................................................................................................................................dst. 
Inilah Makalah yang akan dikirimkan ke Kongres Sejarah Indonesia, 7-10 November 2016 di Jakarta.

Rabu, 15 Juni 2016

CV. JURAGAN PASAR GROUP GARAP KELOR DI SULBAR

Kalau di Sulsel Musawwir Muchtar berhasil mempresentasekan kelebihan daun kelor dihadapan Presiden Barack Obama (Baca: Fajar, 15 Juni 2016), maka di Sulbar ada Abdul Rasyid Ruslan yang saat ini intens dalam pembelian biji kelor dan penanaman Pohon Kelor sebagai komoditas yang insyaallah mampu mengubah persentasi angka kemiskinan dan pengangguran di Sulbar. Baik Musawwir maupun Abdul Rasyid, keduanya adalah sosok pemuda yang punya perhatian besar terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Keduanya berhasil membuktikan bahwa dunia memang tak selebar daun kelor. Persoalannya adalah, maukah masyarakat kita berubah? Sebab sangat susah memang untuk mengajak masyarakat berubah jika masyarakatnya sendiri tidak ada keinginan untuk berubah. Kondisi ini sama persis dengan mengajari kambing bernyanyi.
Sekarang peluang itu telah terbuka. Dibawah panji CV.Juragan Pasar dan CV. Kenduri Cinta Indonesia siap menjadi mitra anda untuk meraih masa depan yang lebih baik dengan budidaya kelor. Untuk informasi lebih lanjut mengenai penjualan dan penanaman kelor silahkan menghubungi kami di RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN (RUMPITA) TINAMBUNG.


Kami perusahaan yang bergerak sebagai suppliers comodity membutuhkan biji kelor dalam jumlah banyak.
Silahkan menghubungi kami :
085230663104 (ABD RASYID / Direc. 
Juragan Pasar)
082113008787 (
Muhammad Munir / Manaj. Rumpita)
PIN BB: 59991E5D
WA/LINE/WeChat : 081242705488

Selasa, 14 Juni 2016

Mengenang Kolonel Abdul Rauf, Mantan Bupati Majene 1965-1967


Desa Samasundu adalah sebuah perkampungan tua yang dulu masuk dalam wilayah adat pemerintah kerajaan Balanipa, yaitu Appeq Banua Kayyang. Disana tinggal sepasang suami istri yang kukuh mempertahankan cintanya dalam ikatan rumah tangga. Namanya H. Tanggo Daengna I Saniasa dengan Sinna yang melahirkan enam orang anak, salah satunya adalah Abdul Rauf yang lahir bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 Agustus 1923.
Sinna, ibu dari Abdul Rauf masih tercatat sebagai keturunan langsung pappuangan. Meski begitu, gaya hidupnya tak pernah menampakkan sifat-sifat feodal. Demikian juga ayahnya, H. Tanggo Daengna I Saniasa, juga dari keturunan adat Banua Samasundu-Napo dan keturunan adat kerajaan Pambauang. Jadi dalam darah ayahnya, mengalir cera’ puang yaitu Balanipa dan Pamboang.
Dari pasangan inilah tumbuh dan berkembang seorang anak yang bernama Abdul Rauf. Rauf menempuh pendidikan sekolah dasarnya dengan berjalan kaki dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Pendidikan sekolah dasarnya ia jalani di HIS selama enam tahun. HIS saat itu hanya ada di Majene, Ibukota Afdeling Mandar. Bisa dibayangkan jarak tempuh  antara Samasundu dan Majene sejauh 15 kilometer.
Tapi bukan Rauf kalau tak bisa menyiasati kasulitan dalam perjalanan ke sekolah ini. Pada awalnya ia menempuh dengan jalan kaki mulai dari rumahnya hingga sejauh 5 kilometer hingga tiba Tinambung. Di Tinambung lalu dilanjutkan naik bendi-kendaraan tradisional Mandar- yang ditarik seekor kuda di Majene. Sitti Alawiah termasuk yang berjasa menunggunya dalam perjalanan sejauh 10 kilometer. Rutinitas ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut. Pada tahun kelima dan keenam di HIS, strategi perjalanan pun berubah dan ini akan menjadi sebuah kisah yang tak pernah dilupakan oleh Abdul Rauf semasa hidupnya.
Begitu dalam kumpulan naskah ‘’Kenanganku’’ yang disusun sendiri oleh Abdul Rauf, di akhir tulisan tertanggal 26 Mei 1984, sebagai kado ulang tahun perkawinannya yang ke 37. Ceritanya begini. Seorang teman kelasnya bernama
Sitti Alwiah, Seorang anak dari jalur Pappuangan Biring Lembang. Sitti Alawiah tinggal di kampung Tangnga-tangnga, samping masjid kerajaan Balanipa, 10 kilometer dari Majene. Jadi ketika Abdul Rauf usai menempuh jalan kaki 5 kilometer, maka tibalah di tempat Sitti
Perempuan ini memiliki sebuah sepeda hasil pemberian kakaknya, Muhammad Taufik. Tapi sayang Sitti Alawiah tak bisa mengayuh sepeda. Untungnya Abdul Rauf lincah naik sepeda tapi ia tak punya sepeda. Nah dua kesulitan ini pun berkumpul menjadi satu. Seseorang punya sepeda dan yang satu tak punya sepeda, tapi terampil besepeda.
Melanjutkan perjalanan ke sekolah HIS di Majene, mereka pun bersepakat berboncengan, Abdul Rauf di depan mengayuh pedal  dan Sitti Alawiah duduk dibangku boncengan. Untungnya bagi Abdul Rauf, ketika pulang sekolah, saat Sitti Alawiah sudah tiba di rumahnya sepeda pun dilanjutkan ke rumah Abdul Rauf, hingga malam. Begitulah seterusnya.
Rupanya masih ada kesepakatan dari keduanya mengenai sepeda. Dan hal ini tak boleh dilanggar. Kalau kelak ban sepeda rusak di bagian depan maka Abdul Rauflah yang akan menanggungnya. Dan kalau ban belakang yang rusak maka Sitti Alawiah pulahlah yang menanggungnya.
 Di masa kanak-kanaknya itu, Abdul Rauf kerap bermain-main mattaru, ma’gasing, siseppa, silanja, dan mallayang. Di bidang seni ia gemar memainkan kecapi, gambus, rebana, dan permainan pencat silat.
Untuk pertama kalinya Abdul Rauf ke Makassar, tepatnya 26 Juni 1937. Bila saja ia lulus masuk di Normal School maka nasibnya menjadi guru akan tercapai. Tapi ia tak beruntung. Seiring saat itu pula pecah perang Asia Timur Raya, dan Abdul Rauf pun dengan tujuan melamar di sekolah Putsu Cu Gakko, tapi itu pun belum bisa masuk dikarenakan ia tiba ketika penerimaan siswa sudah ditutup.
Meski begitu Abdul Rauf tak pulang kampung, ia harus sabar menunggu penerimaan tahun depan di sekolah yang sama.  Alhasil, ditahun berikutnya ia diterima di Putsu Cu Gakko. Sekolah di Makassar tak lama sebab ketika tentara sekutu mengadakan serangan balik terhadap pendudukan Jepang, kota Makassar pun porak-poranda terpaksa proses belajar mengajar di sekolah Abdul Rauf di pindahkan ke Sinjai.
Disamping ia menimbah ilmu ilmiah, juga mulai diperkenalkan perjuangan untuk merdeka: semangat, disiplin dan latihan militer. Pada tahun 1945 pihak pimpinan sekolah meliburkan siswanya, dan Abdul Rauf memilih pulang kampung yaitu Tinambung. Ia menunggu kabar dibukanya kembali hari sekolah, ternyata yang datang adalah menyerahnya Jepang terhadap sekutu. Ambang kemerdekaan Indonesia pun tinggal menghitung hari untuk tiba.
Di Mandar. Dibawah komando Andi Depu atas restu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo) mengorganisir pemuda-pemuda pejuang untuk bersama-sama mempertahankan kemerdekaan republik yang telah di proklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Dengan berhimpunnya pemuda-pemuda pejuang itu, maka dibentuklah sebuah wadah perjuangan yang disebut Kris Muda Mandar. Keterlibatan Abdul Rauf juga sangat berarti, terutama ketika sekutu hendak menjajah kembali. Begitu banyak  hal yang ia  lakukan untuk perjuangan perlawan tersebut.
Suatu ketika, dari banyak momen keaktifan sebelumnya di tanun 1946, Abdul Rauf menemani pimpinan perjuangan Mandar, H. Abdul Malik ke daerah Matangnga. Tujuannya untuk menyampaikan pesan bahwa kelak ketika pasukan NICA hendak menangkap H. Abdul Malik, maka pasukan perlawanan akan bergerak dan berkonsentrasi di daerah Matangnga. Kalau-kalau NICA lebih jauh bisa menduduki Majene dan Polewali.
Tapi rupanya NICA licik sekali, dan telah menyiapkan hari-hari naas bagi H. Abdul Malik, Abdul Rauf dkk. Abdul Rauf tak punya pilihan selain mengantisipasi kelicikan Belanda dengan menghindar. Keputusan untuk ke daerah seberang adalah satu-satunya pilihan untuk menghindari maut dan perang yang tak imbang. Pilihan sulit itu terasa meradang, sebab itu berarti tokoh pejuang Mandar ini harus berpisah dengan kampung yang amat dicintainya, termasuk sekian banyak rakyat yang mendukungnya harus ia tinggalkan dalam waktu yang agak lama.
Pada jumat, 12 April 1946 sekitar pukul 12 malam, H. Abdul Malik, Abdul Rauf dengan perlahan beranjak dari rumah dengan tujuan ke Jawa. Di malam yang gelap, di tengah ramainya bunyi jangkrik dan gulita malam. Mereka melangkah perlahan agar tak membuat rakyat panik sebab kalau rakyat tahu betapa sedihnya mereka bila ditinggal pergi oleh pimpinanannya. Tak cukup selusin orang yang menyaksikan kepergian itu: dan hanya do’a dan air mata mengiringnya pergi.
Sekitar pukul dua dinihari, sebuah perahu sampan mengantar mereka menuju Balikpapan, Kalimantan Timur. Untuk bisa sampai di Balikpapan mereka membutuhkan waktu tak kurang dua minggu berlayar dilaut lepas. Di Makassar, rupanya NICA mengetahui kalau pimpinan perjuangan rakyat Mandar, H. Abdul Malik dkk. tengah dalam perjalanan menuju pulau Jawa.
Lewat siaran radio NICA, penguasa Belanda di tanah Mandar diinstruksikan untuk menangkap mereka. Kalau ada yang berhasil menangkap Mara’dia dan rombongan maka akan diberi hadiah Rp 5000. Tapi H. Abdul Malik dkk. punya strategi dalam perjalanan untuk mengantisipasi instruksi Belanda itu, sehingga rintangan cukup pelik dalam perjalanan mampu mengantarnya sampai di tempat tujuan, Pulau Jawa.
Tepat 9 Juli 1946, rombongan Abdul Malik dan Abdul Rauf tiba di Jepara. Untuk pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di pulau Jawa. Mereka terus berpindah-pindah sampai pada akhir Juli 1946 mereka tiba di Yogyakarta, ibukota pemerintahan Republik Indonesia. Di Jogya mereka berjumpa B. Ratulangi, ketua Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (Kris). Berkat pertemuan inilah H. Abdul Malik dan Abdul Rauf dimasukkan dalam Asrama Republik Indonesia (ASRI), kemudian diberangkatkan ke Solo untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Di sinilah mereka mulai terdaftar sebagai bagian dari militer Indonesia.
Pada November 1946, lewat sebuah kereta api, tibalah ia di kota Cirebon. H. Abdul Malik sudah Kapten dan menjabat wakil kepala inspektorat BPD 31. Sementara Abdul Rauf sudah Letnan Muda.
Ketika di Cirebon, Abdul Rauf menemukan tambatan hatinya. Roro Suharti, Seorang perempuan Jawa keturunan bangsawan yang hendak diperjodohkan. Ia berkirim surat untuk saling kenal dan yakin akan hidup bersama seumur hidupnya.
Kamis 26 Mei 1947 di rumah Raden Kadio Singohadimulyo, Abdul Rauf resmi resmi mengucapkan ijab Kabul untuk mempersunting Roro Suharti. Abdul Rauf sebagai pihak laki-laki di dampingi oleh H. Abdul Malik.
Tahun 1947 terjadi pergeseran dilingkungan inspektorat perjuangan daerah 31. Kapten H. Abdul Malik menjadi kepala inspektorat perjuangan Kabupaten Majalengka, dan Letnan Muda Abdul Rauf  menjabat kepala keuangan insp. BPD 31, atau menggantikan posisi Kapten Abdul  Malik.
Dalam menjalankan tugas, duka menyapa pasangan muda ini. Ketika tentara Belanda menduduki Jogyakarta, Abdul Rauf harus berpisah dengan istrinya, Roro Suharti. Selama perpisahan itu, Abdul Rauf berkeliling di banyak tempat dan kadang masuk hutan. Bahkan beredar kabar kalau suaminya sudah meninggal, tapi sang istri selalu yakin kalau suaminya masih hidup.
Ternyata Suharti benar, sebab setahun kemudian mereka bertemu kembali setelah perpisahan dimulai 29 Juli 1947 berpisah di Cirebon, tepat pukul tiga sore sampai jumat 30 Juli 1948  tepat pukul 7.30 malam bertemu di Yogyakarta.
Dalam catatan selanjutnya, Abdul Rauf menulis. Pada sabtu, 18 Sebtember 1948 PKI dibawah pimpinan MUSO mengadakan pemberontakan di kota Madium. Muso dibantu dukungan Letkol Adam-TNI B 29 berhasil mengusai kota Madium  dan sekitarnya.
Atas perampasan kekuasaan dan pemerintahan yang digerakkan oleh PKI, Presiden RI Soekarno melalui RRI, mengumumkan bahwa semua anggota TNI yang turut terlibat menjadi kaki tangan Muso dipecat. Berkat kerja sama pasukan Siliwangi dengan pasukan Jawa Timur, pada jumat 15 0ktober 1948 Kota Madium kembali di rebut oleh TNI.  Pengejaran dilakukan terhadap Muso dan akhirnya berhasil ditembak mati.
Januari 1950, Abdul Rauf mendapat tugas mengantar surat ke Makassar. Pada 20 Februari 1950 kapal yang ditumpanginya merapat dipelabuhan Makassar. Saat itulah Abdul Rauf bertemu kembali kawan-kawannya:  M. R. Amin Daud, Abdul Rahman Tamma, Lappasbali, Andi Parenrengi.
Sekembali Rauf ke Yogyakarta. Ia hanya tinggal sebentar saja, sebab pada 22 Mei 1950, bersama keluarganya meniggalkan Yogyakarta menuju Makassar untuk tugas dan pengabdian di Sulawesi.
Sebelum kapalnya merapat ke pelabuhan Makassar, Abdul Rauf bertemu dengan Mayor M. Saleh Lahade.  Lahade menawarkan agar Rauf tak usah terus ke Mandar dan bergabung di staf teritorial Kodam 14 Hasanudin, Makassar. Tapi di Makassar tak lama, sebab pada 1 januari 1950, Abdul Rauf dan keluarga berangkat ke Mandar untuk tugas baru di tengah-tengah keluarga dan kawan-kawan sepejuangannya di Tinambung.
Tahun 1965, Abdul Rauf di angkat menjadi Bupati Majene menggantikan  Abdul Rachman Tamma. Menjadi bupati pada saat itu bukanlah perkara mudah. Selain karena waktu  itu terjadi G.30 S PKI yang di mulai dijantung Ibukota Jakarta.  Di Mandar juga gerombolan pemberontak masih merajalela. Kondisi inilah yang akan membuat hari-hari Abdul Rauf tak akan tenang dalam memimpin Kabupaten Majene.
Hanya dua tahun lebih memimpin Kabupaten Majene. Dalam ukuran masa jabatan formal seorang Bupati dimasa kini memang tidaklah lama. Tapi sungguh sebuah proses yang luar biasa, dalam suasana republik yang masih transisi oleh pecahnya pemberontakan PKI tahun 1965. Di Majene juga ada beberapa oknum tentara dan kepolisian yang membelok masuk mendukung gerakan PKI, belum lagi aksi gerombolan dari sisa-sisa pasukan DI /TII juga kerap mamanfaatkan keadaan.
Dalam suasana seperti itu, sebagai bupati, Abdul Rauf tetap bisa mengendalikan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten yang ia pimpin. Pembangunan dalam tanda petik pembangunan fisik yang mercusuar, sebab selain karena situasi keamanan yang sangat tak konduktif juga dana pembangunan masih sangat minim sekali, terlebih saat itu belum dikenal dengan pembangunan Renacana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Meski minim dana, pembangunan masih tetap bisa dimaksimalkan oleh Abdul Rauf. Bahkan seandainya semua unsur yang tergabung dalam pasca tunggal (sekarang muspida) bisa kompak, arah dan konsep pembangunan pasti bisa  dijalankan. Namun yang terjadi, justeru  unsur pasca tunggal masing-masing jalan sendiri. Bahkan ada segelintir petinggi di Kabupaten Majene yang hendak memonopoli perdagangan kopra.
Sebagai bupati, Abdul Rauf tentu tidak sepakat dengan cara seperti itu. Ia mau perdagangan terus berjalan normal, tanpa ada monopoli segelintir pihak. Sebab monopoli adalah cara buruk dalam perputaran ekonomi di daerah.
 Sebagai tentara, Abdul Rauf tentu sangat menyadari bahwa menjadi bupati adalah proses pengabdian pada bangsa dan negara, bukan mengabdian kepada segelintir tokoh. Dan semangat itulah yang kokoh ia perjuangkan dan diperlihatkan pada masyarakat Majene.
Komitmen dan prinsipnya yang teguh itu memunculkan ketidaksukaan segelintir elit di Majene atas kepemimpinan Abdul Rauf. Ia dianggap terlalu disiplin dalam tugas dan tak mau neko-neko. Kondisi itu tak membuat Abdul Rauf goyah. Ia tak bergeming dengan sikapnya, sebab ia harus tunduk pada komitmennya ketika ia diserahi jabatan sebagai Bupati Majene. Ia pantang menyalahgunakan jabatan hanya karena desakan segelintir pihak untuk berbuat serong.
Suatu waktu di awal tahun 1967 beberapa tokoh yang tak sependapat dengan bupati Abdul Rauf memprovokasi warga. Mobilisasi sejumlah warga ini berkedok kerja bakti. Warga diperintahkan membawa parang. Hal Ini sesungguhnya lebih nampak demonstrasi kepada bupati.
Bupati Abdul Rauf pun sadar bahwa kolega koleganya, bahkan ada juga kerabatnya yang sekian lama bermain bisnis di rumah jabatan pun tampil mendemonya. Di benak Abdul Rauf, hal ini adalah wajar. Baginya, kalau memang ada tokoh-tokoh yang tak suka lagi padanya, itu bukan masalah. Pada akhirnya, rakyat akan  sadar sendiri bahwa kita hanyalah korban dari egoisme segelintir elit di Kabupaten Majene ini. Dengan berbagai pertimbangan atas kondisi yang ada, berakhirlah masa kepemimpinan Abdul Rauf sebagai Bupati Majene.
Meski tak lagi menjabat sebagai bupati Majene, tapi sebagai seorang perwira menengah di Angkatan Darat, Abdul Rauf tak sepi dari jabatan. Usai jabatan bupati, ia langsung diposisikan di Makassar. Dan ketika usai Pemilu 1971, pemilu pertama di masa orde baru, Abdul Rauf diangkat sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Banyak kenangan ketika menjadi anggota dewan. Masa aktifnya di TNI juga telah berakhir dengan penghargaan khusus: Kolonel (Purn.) Abdul Rauf.
Biduk rumah tangga yang dibangun dengan kesetian bersama Roro Suharti ini dikaruniai 13 anak, 7 perempuan dan 6 laki-laki. Selama hidup Abdul Rauf tampil sangat sederhana. Jujur dan tak pernah tertarik yang disebut KKN. Padahal bila diukur dari jabatan yang pernah ia pegang terutama ketika menjadi Bupati Majene dan Anggota DPRD SulSel peluang itu terbentang luas.
Integritas dan pendirian yang teguh itulah yang selalu ia pertahankan, sehingga dalam perjalanan hidupnya tak memiliki rekening gendut selain hanya memiliki rumah seadanya di jalan Sawerigading 14 Makassar, itupun nanti setelah dekat dekat pensiun baru disertifikatkan. Kalau pun Abdul Rauf memiliki sebuah mobil Datsun, itu berkat hadiah dari seorang Tokoh Mandar yang diserahkan kepada Abdul Rauf masyarakat Mandar.
Cerita Suharti, istrinya, tanah dan rumah itu disertifikatkan karena berkat dorongan istrinya. Ketika Abdul Rauf masih menjadi anggota DPRD SulSel, suatu waktu ia akan menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saat itulah istrinya berpesan, “Pak kalau balik ke Makassar tak usah di belikan ole-ole, kalau ada uang uruskanlah sertifikat tanah dan rumah ini, biar kalau bapak meninggal ada kenang-kenangan buat aku dan anak-anak kita, “. Kenang Roro Suharti.
Dirumah kenangan yang sederhana itulah, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun sering datang dan menginap di situ. Emha sudah menganggap Abdul Rauf sebagai guru sekaligus orang tuanya.
Bahkan Baharuddin Lopa ketika masih di Makassar kerap menemui Abdul Rauf. Disitu ia mengobrol hingga larut malam. Di masa tuanya, atau ketika Abdul Rauf sudah benar-benar tak lagi berkecimpung di segala aktifitas, datanglah suatu momen yang sangat penuh arti. Saat itu Andi Lantara meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar. Di pemakaman itu hadir pula kawannya, Andi Tau.
Ketika acara pemakaman usai, dan seluruh pengantar hendak pulang, Abdul Rauf membisikan sepotong kalimat di dekat telinga Adi Tau, “Nanti saya yang menutup pintu tempat pemakaman ini.” kata Abdul Rauf.
Rupanya pesan lewat kalimat ini punya arti yang amat dalam. Tak lama setelah momen itu, Abdul Rauf menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat tahun 1994. Ia pun diantar oleh iringan sanak Famili dan kawan kawannya di taman makam pahlawan, tak jauh dari sisi Andi Lantara.

Umur Abdul Rauf genap 71 tahun. Dan Suharti, sejak saat itu, telah kehilangan kekasih dan orang dekat selama empat puluh tujuh tahun. Suharti beruntung, sebab mempunyai seorang anak yang hampir lengkap mewarisi karakter ayahnya. Selain itu hanya dia yang mengikuti jejak ayahnya sebagai tentara: Kolonel Satria Putra Rauf puskopol AD Kodam VII Wirabuana, anaknya yang ketujuh. (Sumber: Disari dari buku "Dalam Sejarah Akan Dikenang" Sarman Sahuding. 2005).

SEDIKIT TENTANG ADMIN BLOG RUMPITA galerikopicoqboq.blogspot.com

Dari sebuah ruang yang pengap dan sempit, ketika malam makin jauh, seperti larinya kuda jantan di malam hari. Terlukis kecemasan, ketakutan dan kebahagiaan yang menyatu dalam diri seorang ibu yang sedang berjuang meregang nyawa, menikmati rasa sakitnya dalam dekapan seorang lelaki yang masih tampak gagah dari garis-garis wajahnya. Dengan sisa-sisa tenaga sang ibu yang berhasil memenangkan pertarungan itulah yang mengantarku merasakan udara dingin dirembang malam yang merupakan detik, menit dan hari pertama dunia mengenalku dan menyematkan identitas padaku sebagai penduduk bumi.

Alam sepi dan sunyi seketika rancu oleh suara tangis bayi yang sedang dalam penanganan seorang wanita tua yang akrab di panggil “Kanne Sando” alias “dukung beranak” yang dengan cekatan “Marrattas belarang” (memotong tali pusar) lalu kemudian mempersilahkan seorang lelaki muda dan gagah itu membisikkan bait-bait kalimat sakral (Adzan ditelinga kanan dan iqamat ditelinga kiri) yang ternyata kalimat itulah yang menjadikanku sebagai seorang hamba Allah yang hidup dalam naungan panji-panji keislaman.

Wanita yang sukses dalam pertarungannya itu adalah ibu (Amma’)nya yang bernama HARMI anak seorang kepala kampung yang bernama HASAN atau Ka’Pinda. Dan lelaki yang mengumandangkan kalimat suci itu adalah bapak (Pua’) nya yang bernama NURDIN atau ALIMUDDIN yang bapaknya bernama Razak. Mereka memberi pada putra keduanya dengan nama asli ”MUHAMMAD” yang kemudian pada saat megenal tulisan dia memperkenalkan nama pena “MUNIR” akronim dari MUHAMMAD BIN NURDIN IBNU RAZAK.

Seiring berjalannya waktu ia bertumbuh dan mengenali lingkungannya yang kumuh, kuno dan hanya bisa menikmati kasih sayang dari pasangan suami istri yang miskin (harta, ilmu dan pengalaman). Dengan kaki telanjang ia lalui hari-harinya dengan menggembala sapi (Ma’ambiq saping) sambil bersekolah. Masa kecil yang sulit ia nikmati dengan sebuah harapan yang penting bisa makan saja. Paceklik dan kemarau panjang dari tahun 1985 sampai 1987 yang cukup menyiksa sangat lengket dalam memori fikirannya betapa untuk makan dari beras sangat sulit, dan harus rela mengganti makanan pokok itu dengan pisang, sagu dan jagung.

Akhir tahun 1987 musim berganti, dari kemarau panjang ke musim hujan. Curah hujan diatas normal menjadikan air sungai meluap hingga akhirnya banjir besar melanda. Semua menjadi korban, mulai sapi, tanaman, sampai rumah dan perkampungan di dusun kelahirannya separuhnya terseret arus. Kesulitan makin meradang, kemiskinan semakin menyiksa. Hanya keajaiban dan pertolongan Tuhan jualah yang membuat dia dan masyarakat mampu bertahan hidup dan mempunyai peluang untuk menyelesaikan pendidikannya. Meski untuk itu, ia harus mengorbankan kenikmatannya dan berharap menikmati pengorbannya itu esok dan nanti. Lelaki ini ditakdirkan lahir berdarah Mandar di Botto, Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar pada tanggal 15 Februari 1979.
Sosok pria berkulit hitam manis khas masyarakat pesisir ini, di usianya yang masih terbilang muda, ia cukup bahagia dalam karirnya yang aktif disalah satu parpol dan belakangan aktif dalam aktifitas yang berkaitan dengan budaya dan lingkungan hidup sebagai salah satu core person dalam Komunitas Appeq Jannangang. Kesuksesan publikasi aplikasi android Lontaraq Digital tidak lepas dari partisipasi aktifnya dalam berpromosi diberbagai media dan kesempatan.

Meskipun ia lahir di wilayah Mandar pesisir, namun pengetahuannya tentang seluk beluk Mandar pegunungan layak diacungi jempol. Selain ranah budaya dan lingkungan hidup, lelaki Mandar yang satu ini juga aktif dalam bidang literasi. Pendiri Komunitas RumahPustakaRumpita (Rumah Kopi dan Perpustakaan) ini getol menyumbangkan tulisan-tulisannya diharian Radar Sulbar dan media-media lain seperti Surat Kabar Plat Merah, Media online Seputar Sulawesi Barat, Kandora, Suryatop News, dengan berbagai tema.
Selain menulis, suami dari Hernawati Usman ini juga dikenal sebagai seorang penelusur. Nyaris seluruh wilayah Mandar ini ia telusuri, mulai dari Paku-Soremana, dari Polewali ke Mamasa, Mamasa ke Mambi-Aralle Tabulahan, Banehau. Bonehau ke Kalumpang dan dari Kalumpang kembali ke Bonehau, Keang, Kalukku Tasiu-Mamuju.
Demikian juga dari Tinambung, Alu, Pumbijagi, Poda, Padang Mawalle, Lullung, Ro'boang, Patulang, Ambo Padang, Batupanga, Luyo sampai ke Mapilli. Jalur Lampa-Kanusuang, Pulliwa Bulo ke Matangnga, Mehalaan, Keppe dan Mambi. Jalur dari Matangnga, ke Passembu, Kondo, Lenggo, Kalo, Ratte Kallang, Tubbi, Besoangin, Tibung tembus ke Pelattoang Majene sudah ia lalui.

Dengan kegemarannya ini kemudian membuatnya dilirik oleh Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar untuk menjadi Pengurus dan sering di undang sebagai pembicara di seminar sejarah dan kebudayaan serta acara diskusi di Majene, Balanipa dan Polewali. Selain buku Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar ini, ia telahmenyelesaikan naskah bukunya Mengeja Mandar Lewat BalanipaDemokrasi Benu Base. Buku yang lain yaitu Novel Bamba Sangiq anna Cawa, Kolekserium Puisi Serigala Bertopeng Nabi. Maka sangat patutlah ia menjadi teman berdiskusi dan belajar tentang sejarah dan kebudayaan Mandar Lampau.

Lelaki yang akrab disapa MUNIR ini bisa dihubungi di: 0821 1300 8787 atau e-mailgalerikopicoqboq@gmail.com
Akun Fecebook: Muhammad Munir
Fanpage: RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan), Website: jurnalbalanipa.comdan blog: galerikopicoqboq.blogspot.com

Profil Tokoh: ABDUL HAFID IMRAN, Ketua DPRD Majene 1987-1992


Dari Dosen menjadi legislator. Itulah sekelumit perjalanan panjang Drs. Hafid Imran, Ketua DPRD Kabupaten Majene masa bakti 1987-1992.
Hafid Imran dilahirkan di Majene pada tanggal 16 Juni 1928 dari pasangan Imran dan Hj Aminah. Dari pernikahannya dengan Hj. St. Zainab Fatani, tokoh Muhammadaiyah Majene ini dikarunia delapan orang anak, yaitu: Drs. Aminullah, Ir. Mahyuddin, Ir. Nasrullah, Drs. Darmawan, Dra. Marhama, Irfan ST, Zaenal Abidin SE, dan Erwin, Lc, M.Ag, M,Ed.
Hafid mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Majene dan melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Majene. Pilihan MTs. mungkin sudah menggambarkan karakter hidupnya yang banyak bertawadhu kepada pencippta-Nya. Di zamannya, anak anak seusianya lebih gandrung melanjutkan sekoalah ke jenjang umum. Sekolah agama terkadang dianngap sebelah mata.
Dalam memilih jalur pendidikan, Hafid konsisten dengan jalur sekolah agama. Hal itu nampak pada pilihan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Majene. Tiga tahun di PGA, Hafid melanjutkan pendidikan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Aluaddin Ujung Pandang. IAIN adalah salah satu kampus agama terbaik di Indodenesia Timur kala itu.
Setelah memperoleh gelar sarjana lengkap IAIN pada tahu 1974, Hafid terpilih menjadi dosen di kampusnya.
Menjadi dosen tentunya menjadi harapan semua mahasiswa tetapi menggapainya tidaklah mudah sebab dosen hanyalah mereka yang memiliki prestasi akademis di kampus kala menjadi mahasiswa.
Prestasi itulah yang mengantarkan Hafid lolos menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Ujung Pandang. Tak hanya dosen semata, peraih penghargaan pengabdian dasawarsa dosen IAIN Alauddin Ujungpandang ini juga pernah tercatat sebagai sekretaris fakultas syariah di kampus yang sama.
Menjelang pensiun, Hafid pindah ke Majene, kampung halamannya. Di Majene, Pimpinan Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Majene  ini kembali diserahi tugas untuk menjadi dekan fakultas syariah filial Majene yang merupakan cabang IAIN Alauddin Ujung Pandang.
Bukan hanya dekan Fakultas Tarbiyah Filial IAIN, Hafid juga diminta oleh kalangan akademisi Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah (STIT) Majene sebagai ketua untuk turut membesarkan kampus agama ini.
Hafid Imran juga sempat tercatat sebagai Ketua DPRD Majene pada tahun 1987-1992. Hafid Imran memparipurnakan pengabdiannya dengan menghadap sang khalik dalam usia 76 tahun pada tahun 2004. Sebagai orang yang banyak berjasa pada daerah, bangsa dan negara.
Hafid Imran tetaplah sosok pejuang sejati yang rendah diri tak banyak menuntut jasa atas pengabdiannya. Peraih penghargaan ex komponen pejuang 45 ini diminta oleh pemerintah untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Majene, tapi berdasarkan wasiatnya, ia kemudian di makamkan di pemakaman tugu 45 Baruga. Sebuah contoh yang baik untuk kita teladani. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah 2015)

Profil Tokoh: ABD. WAHAB ANAS (Ketua DPRD Majene 1966-1971)



Jika dalam sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, nama Fatmawati Soekarno tercatat sebagai penjahit Sang Saka Merah Putih, maka di Majene, Abd. Wahab Anas adalah salah satu dari tiga pemuda yang pertama kali mengibarkan Sang Saka Merah Putih di ibukota Afedeling Mandar, Majene. 
Peristiwa monumental ini terjadi tak lama setelah berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta sampai ke Mandar. Pada sekitaran September 1945, lewat siaran sebuah radio Australia, segenap kalangan pejuang di Mandar gegap gempita menyambut berita dibacakannya proklamasi kemerdekaan RI.
Sambutan masyarakat Majene atas peristiwa bersejarah ini membahana memenuhi setiap sudut dan ruang-ruang yang ada. Pekik merdeka menjadi kata yang paling sering dikumandangkan. Puncaknya adalah Pengibaran perdana bendera Sang Saka Merah Putih di tengah-tengah Kota Majene. Tepat jam tiga dinihari, Abd. Wahab Anas, A. Halim A.E dan Muhsin Ali menjadi pelakonnya.
Atas peristiwa ini, pihak kepolisianpun memanggil dan menginterogasi Abd. Wahab Anas dan menanyakan alasan pengibaran bendera Merah Putih.
“Merah putih adalah bendera resmi RI yang berpusat di Tanah Jawa”, Itulah jawaban Wahab Anas atas pertanyaan tersebut.
Setelah kejadian tersebut, Wahab Anas kemudian menginisiasi pembentukan organisasi perjuangan di Majene. Berawal dari diskusi di rumah Wahab Anas di Saleppa, pada tanggal 16 September 1945, diadakanlah rapat umum merah putih di gedung sekolah rakyat putri Tanjung Batu Majene. Dari rapat ini, lahirlah organisasi perjuangan kemerdekaan yang bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI) di bawah pimpinan Andi Tonra. Abd. Wahab Anas sendiri menjadi salah satu pengurusnya.
Bermula dari PRI inilah Wahab Anas aktif dalam pergerakan mengawal dan mempertahankan kemerdekaan di Majene. Di awal tahun 1946, Abd. Wahab Anas pernah tercatat sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Majene sektor barat. PNI sendiri adalah partai pergerakan nasional yang didirikan oleh Soekarno, dan menjadi salah satu sarana perjuangan dalam meraih kemerdekaan.
Aktifitasnya di PRI dan PNI, menjadi alasan Belanda untuk menangkap Wahab dan aktivis PRI setelah peristiwa pembantaian Westerling di Galung Lombok pada 11 Desember 1946. Wahab Anas dan aktivis PRI lainnnya ditahan di tangsi KNIL Belanda Majene. Dalam penjara, Wahab Anas banyak mengalami siksaan fisik. Ia digantung dengan kepala terjungkal kebawah, dipukul hingga pingsan kemudian di siram dengan air. Wahab Anas selanjutnya di tahan di penjara Makassar.
Selepas dari penjara, tahun 1948, ia bersama A. Halim AE kembali ke Majene dan mempelopori pendirian sebuah partai perjuangan baru. Pada tanggal 29 Februari 1948, bertempat di rumah H. Abd. Halim, salah seorang tokoh Muhammadiyah Majene, secara resmi berdiri Partai Kebaktian Rakyat.
Dalam rapat umum pembentukan partai ini, Wahab Anas tampil membawakan materi yang bertemakan perkembangan politik terakhir tanah air.
Kehadiran Partai Kebaktian Rakyat ini mengundang banyak diskusi dan terkait ketidak setujuan peserta sebab di dalam anggaran dasar partai hanya termuat kata-kata menuntut kemerdekaan Republik Indonesia 100 % dan tidak tegas menyatakan Negara berbentuk kesatuan. Perdebatan bermutu ini mengingatkan kita pada sejarah perjuangan Tan Malaka, salah seorang tokoh kemerdekaan nasional seangkatan Soekarno yang telah melanglang buana ke seluruh dunia menyuarakan anti imperilalisme dan kolonialisme. Merdeka 100 % adalah tuntutan Tan Malaka pada penjajah kolonialis Belanda. Partai Kebaktian Rakyat ini sendiri kemudian ketuai oleh Aco Arif.
Partai ini banyak melakukan kegiatan pendidikan politik rakyat. Dengan di pandu Abd. Wahab Anas dan A. Halim AE, diadakanlah kursus-kursus dan diskusi membahas berbagai problem kenegaraan. Diskusi politik ini sangat berarti dalam meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Bahkan kepala pemerintahan Majene saat itu yang berkebangsaan Belanda Totok. H.J. Ubbink beberapa kali mengunjungi forum diskusi ini, karena dianggap bagus dan bermutu.
Usia Partai Kebaktian Rakyat tidak berlangsung lama. Sebagai partai lokal, partai ini segera dilebur ke dalam partai-partai berbasis nasional yang kemudian masuk di Majene. Para aktivis partai kemudian bergabung dalam Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan PKR. Abd. Wahab Anas sendiri kemudian terpilih memimpin PKR Cabang Majene.
Untuk lebih mengefektifkan koordinasi PKR dan PSII Majene, pada tanggal 17 Agustus 1948, dibentuklah sebuah badan baru yang bernama BAPNA (Badan Permufakatan Nasional). Badan ini mengkoordinasi seluruh elemen-elemen perjuangan di Majene. Lewat BAPNA, Abd. Wahab Anas pernah diutus ke Yogyakarta untuk menghadiri konfrensi pendidikan antar Indonesia yang dilaksanakan pada bulan Agustus 1949.
Resolusi bersejarah yang pernah diusulkan BAPNA adalah mendorong pembentukan Dewan Mandar (semacam DPRD) secara demokratis serta menuntut pembatalan hukuman mati Wolter Monginsidi.
Setelah penyerahan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda, Abd. Wahab Anas tetap memegang peranan penting dalam percaturan politik di Afdeling Mandar. Dan saat Kabupaten Dati II Majene terbentuk pada tahun 1959, Abd. Wahab Anas terpilih menjadi Ketua DPRD Kabupaten Majene. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah. 2015)
Seusai menjadi legislator, Wahab Anas berkecimpung di dunia birokrasi. Ia mengabdi dan akhirnya pensiun di dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi Selatan.

Abd. Wahab Anas menutup usianya pada tahun (1982) di Majene. Atas jasa-jasanya pemerintah daerah meminta kepada keluarga yang ditinggalkan untuk dapat di makamkan di Taman Makam Pahlawan Majene. Tapi atas wasiat yang ditinggalkan, Wahab Anas lebih memilih dimakamkan di pemakaman umum.  Abd Wahab Anas tenang dan damai menghadap Ilahi Rabb di peristirahatan terakhirnya di pekuburan Pettuanginan Saleppa.