Desa
Samasundu adalah sebuah perkampungan tua yang dulu masuk dalam wilayah adat
pemerintah kerajaan Balanipa, yaitu Appeq Banua Kayyang. Disana tinggal
sepasang suami istri yang kukuh mempertahankan cintanya dalam ikatan rumah
tangga. Namanya H. Tanggo Daengna I Saniasa dengan Sinna yang melahirkan enam orang
anak, salah satunya adalah Abdul Rauf yang lahir bertepatan dengan hari Jumat
tanggal 17 Agustus 1923.
Sinna, ibu
dari Abdul Rauf masih tercatat sebagai keturunan langsung pappuangan. Meski
begitu, gaya hidupnya tak pernah menampakkan sifat-sifat feodal. Demikian juga ayahnya,
H. Tanggo Daengna I Saniasa, juga dari keturunan adat Banua Samasundu-Napo dan keturunan
adat kerajaan Pambauang. Jadi dalam darah ayahnya, mengalir cera’ puang yaitu
Balanipa dan Pamboang.
Dari
pasangan inilah tumbuh dan berkembang seorang anak yang bernama Abdul Rauf.
Rauf menempuh pendidikan sekolah dasarnya dengan berjalan kaki dengan jarak
tempuh yang lumayan jauh. Pendidikan sekolah dasarnya ia jalani di HIS selama
enam tahun. HIS saat itu hanya ada di Majene, Ibukota Afdeling Mandar. Bisa
dibayangkan jarak tempuh antara
Samasundu dan Majene sejauh 15 kilometer.
Tapi bukan
Rauf kalau tak bisa menyiasati kasulitan dalam perjalanan ke sekolah ini. Pada
awalnya ia menempuh dengan jalan kaki mulai dari rumahnya hingga sejauh 5
kilometer hingga tiba Tinambung. Di Tinambung lalu dilanjutkan naik
bendi-kendaraan tradisional Mandar- yang ditarik seekor kuda di Majene. Sitti
Alawiah termasuk yang berjasa menunggunya dalam perjalanan sejauh 10 kilometer.
Rutinitas ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut. Pada tahun kelima
dan keenam di HIS, strategi perjalanan pun berubah dan ini akan menjadi sebuah
kisah yang tak pernah dilupakan oleh Abdul Rauf semasa hidupnya.
Begitu dalam
kumpulan naskah ‘’Kenanganku’’ yang disusun sendiri oleh Abdul Rauf, di akhir
tulisan tertanggal 26 Mei 1984, sebagai kado ulang tahun perkawinannya yang ke
37. Ceritanya begini. Seorang teman kelasnya bernama
Sitti Alwiah, Seorang anak dari
jalur Pappuangan Biring Lembang. Sitti Alawiah tinggal di kampung
Tangnga-tangnga, samping masjid kerajaan Balanipa, 10 kilometer dari Majene.
Jadi ketika Abdul Rauf usai menempuh jalan kaki 5 kilometer, maka tibalah di
tempat Sitti
Perempuan
ini memiliki sebuah sepeda hasil pemberian kakaknya, Muhammad Taufik. Tapi
sayang Sitti Alawiah tak bisa mengayuh sepeda. Untungnya Abdul Rauf lincah naik
sepeda tapi ia tak punya sepeda. Nah dua kesulitan ini pun berkumpul menjadi
satu. Seseorang punya sepeda dan yang satu tak punya sepeda, tapi terampil
besepeda.
Melanjutkan
perjalanan ke sekolah HIS di Majene, mereka pun bersepakat berboncengan, Abdul
Rauf di depan mengayuh pedal dan Sitti
Alawiah duduk dibangku boncengan. Untungnya bagi Abdul Rauf, ketika pulang
sekolah, saat Sitti Alawiah sudah tiba di rumahnya sepeda pun dilanjutkan ke
rumah Abdul Rauf, hingga malam. Begitulah seterusnya.
Rupanya
masih ada kesepakatan dari keduanya mengenai sepeda. Dan hal ini tak boleh
dilanggar. Kalau kelak ban sepeda rusak di bagian depan maka Abdul Rauflah yang
akan menanggungnya. Dan kalau ban belakang yang rusak maka Sitti Alawiah
pulahlah yang menanggungnya.
Di masa kanak-kanaknya itu, Abdul Rauf kerap
bermain-main mattaru, ma’gasing, siseppa, silanja, dan mallayang. Di bidang
seni ia gemar memainkan kecapi, gambus, rebana, dan permainan pencat silat.
Untuk
pertama kalinya Abdul Rauf ke Makassar, tepatnya 26 Juni 1937. Bila saja ia
lulus masuk di Normal School maka nasibnya menjadi guru akan tercapai. Tapi ia
tak beruntung. Seiring saat itu pula pecah perang Asia Timur Raya, dan Abdul
Rauf pun dengan tujuan melamar di sekolah Putsu Cu Gakko, tapi itu pun belum
bisa masuk dikarenakan ia tiba ketika penerimaan siswa sudah ditutup.
Meski begitu
Abdul Rauf tak pulang kampung, ia harus sabar menunggu penerimaan tahun depan
di sekolah yang sama. Alhasil, ditahun
berikutnya ia diterima di Putsu Cu Gakko. Sekolah di Makassar tak lama sebab
ketika tentara sekutu mengadakan serangan balik terhadap pendudukan Jepang,
kota Makassar pun porak-poranda terpaksa proses belajar mengajar di sekolah
Abdul Rauf di pindahkan ke Sinjai.
Disamping ia
menimbah ilmu ilmiah, juga mulai diperkenalkan perjuangan untuk merdeka:
semangat, disiplin dan latihan militer. Pada tahun 1945 pihak pimpinan sekolah
meliburkan siswanya, dan Abdul Rauf memilih pulang kampung yaitu Tinambung. Ia menunggu
kabar dibukanya kembali hari sekolah, ternyata yang datang adalah menyerahnya
Jepang terhadap sekutu. Ambang kemerdekaan Indonesia pun tinggal menghitung
hari untuk tiba.
Di Mandar.
Dibawah komando Andi Depu atas restu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo)
mengorganisir pemuda-pemuda pejuang untuk bersama-sama mempertahankan
kemerdekaan republik yang telah di proklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta
di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Dengan
berhimpunnya pemuda-pemuda pejuang itu, maka dibentuklah sebuah wadah
perjuangan yang disebut Kris Muda Mandar. Keterlibatan Abdul Rauf juga sangat
berarti, terutama ketika sekutu hendak menjajah kembali. Begitu banyak hal yang ia
lakukan untuk perjuangan perlawan tersebut.
Suatu ketika,
dari banyak momen keaktifan sebelumnya di tanun 1946, Abdul Rauf menemani
pimpinan perjuangan Mandar, H. Abdul Malik ke daerah Matangnga. Tujuannya untuk
menyampaikan pesan bahwa kelak ketika pasukan NICA hendak menangkap H. Abdul
Malik, maka pasukan perlawanan akan bergerak dan berkonsentrasi di daerah
Matangnga. Kalau-kalau NICA lebih jauh bisa menduduki Majene dan Polewali.
Tapi rupanya
NICA licik sekali, dan telah menyiapkan hari-hari naas bagi H. Abdul Malik,
Abdul Rauf dkk. Abdul Rauf tak punya pilihan selain mengantisipasi kelicikan
Belanda dengan menghindar. Keputusan untuk ke daerah seberang adalah
satu-satunya pilihan untuk menghindari maut dan perang yang tak imbang. Pilihan
sulit itu terasa meradang, sebab itu berarti tokoh pejuang Mandar ini harus
berpisah dengan kampung yang amat dicintainya, termasuk sekian banyak rakyat yang
mendukungnya harus ia tinggalkan dalam waktu yang agak lama.
Pada jumat,
12 April 1946 sekitar pukul 12 malam, H. Abdul Malik, Abdul Rauf dengan
perlahan beranjak dari rumah dengan tujuan ke Jawa. Di malam yang gelap, di
tengah ramainya bunyi jangkrik dan gulita malam. Mereka melangkah perlahan agar
tak membuat rakyat panik sebab kalau rakyat tahu betapa sedihnya mereka bila
ditinggal pergi oleh pimpinanannya. Tak cukup selusin orang yang menyaksikan
kepergian itu: dan hanya do’a dan air mata mengiringnya pergi.
Sekitar
pukul dua dinihari, sebuah perahu sampan mengantar mereka menuju Balikpapan,
Kalimantan Timur. Untuk bisa sampai di Balikpapan mereka membutuhkan waktu tak
kurang dua minggu berlayar dilaut lepas. Di Makassar, rupanya NICA mengetahui
kalau pimpinan perjuangan rakyat Mandar, H. Abdul Malik dkk. tengah dalam
perjalanan menuju pulau Jawa.
Lewat siaran
radio NICA, penguasa Belanda di tanah Mandar diinstruksikan untuk menangkap
mereka. Kalau ada yang berhasil menangkap Mara’dia dan rombongan maka akan
diberi hadiah Rp 5000. Tapi H. Abdul Malik dkk. punya strategi dalam perjalanan
untuk mengantisipasi instruksi Belanda itu, sehingga rintangan cukup pelik dalam
perjalanan mampu mengantarnya sampai di tempat tujuan, Pulau Jawa.
Tepat 9 Juli
1946, rombongan Abdul Malik dan Abdul Rauf tiba di Jepara. Untuk pertama
kalinya mereka menginjakkan kaki di pulau Jawa. Mereka terus berpindah-pindah
sampai pada akhir Juli 1946 mereka tiba di Yogyakarta, ibukota pemerintahan
Republik Indonesia. Di Jogya mereka berjumpa B. Ratulangi, ketua Lasykar
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (Kris). Berkat pertemuan inilah H. Abdul
Malik dan Abdul Rauf dimasukkan dalam Asrama Republik Indonesia (ASRI),
kemudian diberangkatkan ke Solo untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Di
sinilah mereka mulai terdaftar sebagai bagian dari militer Indonesia.
Pada
November 1946, lewat sebuah kereta api, tibalah ia di kota Cirebon. H. Abdul
Malik sudah Kapten dan menjabat wakil kepala inspektorat BPD 31. Sementara
Abdul Rauf sudah Letnan Muda.
Ketika di Cirebon,
Abdul Rauf menemukan tambatan hatinya. Roro Suharti, Seorang perempuan Jawa
keturunan bangsawan yang hendak diperjodohkan. Ia berkirim surat untuk saling
kenal dan yakin akan hidup bersama seumur hidupnya.
Kamis 26 Mei
1947 di rumah Raden Kadio Singohadimulyo, Abdul Rauf resmi resmi mengucapkan
ijab Kabul untuk mempersunting Roro Suharti. Abdul Rauf sebagai pihak laki-laki
di dampingi oleh H. Abdul Malik.
Tahun 1947
terjadi pergeseran dilingkungan inspektorat perjuangan daerah 31. Kapten H.
Abdul Malik menjadi kepala inspektorat perjuangan Kabupaten Majalengka, dan
Letnan Muda Abdul Rauf menjabat kepala
keuangan insp. BPD 31, atau menggantikan posisi Kapten Abdul Malik.
Dalam
menjalankan tugas, duka menyapa pasangan muda ini. Ketika tentara Belanda
menduduki Jogyakarta, Abdul Rauf harus berpisah dengan istrinya, Roro Suharti.
Selama perpisahan itu, Abdul Rauf berkeliling di banyak tempat dan kadang masuk
hutan. Bahkan beredar kabar kalau suaminya sudah meninggal, tapi sang istri
selalu yakin kalau suaminya masih hidup.
Ternyata Suharti
benar, sebab setahun kemudian mereka bertemu kembali setelah perpisahan dimulai
29 Juli 1947 berpisah di Cirebon, tepat pukul tiga sore sampai jumat 30 Juli
1948 tepat pukul 7.30 malam bertemu di
Yogyakarta.
Dalam
catatan selanjutnya, Abdul Rauf menulis. Pada sabtu, 18 Sebtember 1948 PKI
dibawah pimpinan MUSO mengadakan pemberontakan di kota Madium. Muso dibantu
dukungan Letkol Adam-TNI B 29 berhasil mengusai kota Madium dan sekitarnya.
Atas
perampasan kekuasaan dan pemerintahan yang digerakkan oleh PKI, Presiden RI
Soekarno melalui RRI, mengumumkan bahwa semua anggota TNI yang turut terlibat
menjadi kaki tangan Muso dipecat. Berkat kerja sama pasukan Siliwangi dengan
pasukan Jawa Timur, pada jumat 15 0ktober 1948 Kota Madium kembali di rebut
oleh TNI. Pengejaran dilakukan terhadap
Muso dan akhirnya berhasil ditembak mati.
Januari 1950,
Abdul Rauf mendapat tugas mengantar surat ke Makassar. Pada 20 Februari 1950
kapal yang ditumpanginya merapat dipelabuhan Makassar. Saat itulah Abdul Rauf
bertemu kembali kawan-kawannya: M. R.
Amin Daud, Abdul Rahman Tamma, Lappasbali, Andi Parenrengi.
Sekembali
Rauf ke Yogyakarta. Ia hanya tinggal sebentar saja, sebab pada 22 Mei 1950,
bersama keluarganya meniggalkan Yogyakarta menuju Makassar untuk tugas dan
pengabdian di Sulawesi.
Sebelum
kapalnya merapat ke pelabuhan Makassar, Abdul Rauf bertemu dengan Mayor M.
Saleh Lahade. Lahade menawarkan agar
Rauf tak usah terus ke Mandar dan bergabung di staf teritorial Kodam 14
Hasanudin, Makassar. Tapi di Makassar tak lama, sebab pada 1 januari 1950,
Abdul Rauf dan keluarga berangkat ke Mandar untuk tugas baru di tengah-tengah
keluarga dan kawan-kawan sepejuangannya di Tinambung.
Tahun 1965,
Abdul Rauf di angkat menjadi Bupati Majene menggantikan Abdul Rachman Tamma. Menjadi bupati pada saat
itu bukanlah perkara mudah. Selain karena waktu itu terjadi G.30 S PKI yang di mulai dijantung
Ibukota Jakarta. Di Mandar juga gerombolan
pemberontak masih merajalela. Kondisi inilah yang akan membuat hari-hari Abdul
Rauf tak akan tenang dalam memimpin Kabupaten Majene.
Hanya dua
tahun lebih memimpin Kabupaten Majene. Dalam ukuran masa jabatan formal seorang
Bupati dimasa kini memang tidaklah lama. Tapi sungguh sebuah proses yang luar
biasa, dalam suasana republik yang masih transisi oleh pecahnya pemberontakan
PKI tahun 1965. Di Majene juga ada beberapa oknum tentara dan kepolisian yang
membelok masuk mendukung gerakan PKI, belum lagi aksi gerombolan dari sisa-sisa
pasukan DI /TII juga kerap mamanfaatkan keadaan.
Dalam
suasana seperti itu, sebagai bupati, Abdul Rauf tetap bisa mengendalikan pemerintahan
dan pembangunan di kabupaten yang ia pimpin. Pembangunan dalam tanda petik pembangunan
fisik yang mercusuar, sebab selain karena situasi keamanan yang sangat tak
konduktif juga dana pembangunan masih sangat minim sekali, terlebih saat itu
belum dikenal dengan pembangunan Renacana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Meski minim
dana, pembangunan masih tetap bisa dimaksimalkan oleh Abdul Rauf. Bahkan
seandainya semua unsur yang tergabung dalam pasca tunggal (sekarang muspida) bisa
kompak, arah dan konsep pembangunan pasti bisa dijalankan. Namun yang terjadi, justeru unsur pasca tunggal masing-masing jalan
sendiri. Bahkan ada segelintir petinggi di Kabupaten Majene yang hendak
memonopoli perdagangan kopra.
Sebagai
bupati, Abdul Rauf tentu tidak sepakat dengan cara seperti itu. Ia mau
perdagangan terus berjalan normal, tanpa ada monopoli segelintir pihak. Sebab monopoli
adalah cara buruk dalam perputaran ekonomi di daerah.
Sebagai tentara, Abdul Rauf tentu sangat
menyadari bahwa menjadi bupati adalah proses pengabdian pada bangsa dan negara,
bukan mengabdian kepada segelintir tokoh. Dan semangat itulah yang kokoh ia
perjuangkan dan diperlihatkan pada masyarakat Majene.
Komitmen dan
prinsipnya yang teguh itu memunculkan ketidaksukaan segelintir elit di Majene
atas kepemimpinan Abdul Rauf. Ia dianggap terlalu disiplin dalam tugas dan tak
mau neko-neko. Kondisi itu tak membuat Abdul Rauf goyah. Ia tak bergeming
dengan sikapnya, sebab ia harus tunduk pada komitmennya ketika ia diserahi
jabatan sebagai Bupati Majene. Ia pantang menyalahgunakan jabatan hanya karena
desakan segelintir pihak untuk berbuat serong.
Suatu waktu
di awal tahun 1967 beberapa tokoh yang tak sependapat dengan bupati Abdul Rauf
memprovokasi warga. Mobilisasi sejumlah warga ini berkedok kerja bakti. Warga
diperintahkan membawa parang. Hal Ini sesungguhnya lebih nampak demonstrasi
kepada bupati.
Bupati Abdul
Rauf pun sadar bahwa kolega koleganya, bahkan ada juga kerabatnya yang sekian
lama bermain bisnis di rumah jabatan pun tampil mendemonya. Di benak Abdul
Rauf, hal ini adalah wajar. Baginya, kalau memang ada tokoh-tokoh yang tak suka
lagi padanya, itu bukan masalah. Pada akhirnya, rakyat akan sadar sendiri bahwa kita hanyalah korban dari
egoisme segelintir elit di Kabupaten Majene ini. Dengan berbagai pertimbangan
atas kondisi yang ada, berakhirlah masa kepemimpinan Abdul Rauf sebagai Bupati
Majene.
Meski tak
lagi menjabat sebagai bupati Majene, tapi sebagai seorang perwira menengah di
Angkatan Darat, Abdul Rauf tak sepi dari jabatan. Usai jabatan bupati, ia
langsung diposisikan di Makassar. Dan ketika usai Pemilu 1971, pemilu pertama
di masa orde baru, Abdul Rauf diangkat sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Banyak
kenangan ketika menjadi anggota dewan. Masa aktifnya di TNI juga telah berakhir
dengan penghargaan khusus: Kolonel (Purn.) Abdul Rauf.
Biduk rumah
tangga yang dibangun dengan kesetian bersama Roro Suharti ini dikaruniai 13
anak, 7 perempuan dan 6 laki-laki. Selama hidup Abdul Rauf tampil sangat
sederhana. Jujur dan tak pernah tertarik yang disebut KKN. Padahal bila diukur
dari jabatan yang pernah ia pegang terutama ketika menjadi Bupati Majene dan
Anggota DPRD SulSel peluang itu terbentang luas.
Integritas dan
pendirian yang teguh itulah yang selalu ia pertahankan, sehingga dalam
perjalanan hidupnya tak memiliki rekening gendut selain hanya memiliki rumah
seadanya di jalan Sawerigading 14 Makassar, itupun nanti setelah dekat dekat
pensiun baru disertifikatkan. Kalau pun Abdul Rauf memiliki sebuah mobil Datsun,
itu berkat hadiah dari seorang Tokoh Mandar yang diserahkan kepada Abdul Rauf masyarakat
Mandar.
Cerita
Suharti, istrinya, tanah dan rumah itu disertifikatkan karena berkat dorongan
istrinya. Ketika Abdul Rauf masih menjadi anggota DPRD SulSel, suatu waktu ia
akan menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saat itulah istrinya berpesan, “Pak
kalau balik ke Makassar tak usah di belikan ole-ole, kalau ada uang uruskanlah
sertifikat tanah dan rumah ini, biar kalau bapak meninggal ada kenang-kenangan
buat aku dan anak-anak kita, “. Kenang Roro Suharti.
Dirumah
kenangan yang sederhana itulah, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun sering datang
dan menginap di situ. Emha sudah menganggap Abdul Rauf sebagai guru sekaligus
orang tuanya.
Bahkan
Baharuddin Lopa ketika masih di Makassar kerap menemui Abdul Rauf. Disitu ia
mengobrol hingga larut malam. Di masa tuanya, atau ketika Abdul Rauf sudah
benar-benar tak lagi berkecimpung di segala aktifitas, datanglah suatu momen
yang sangat penuh arti. Saat itu Andi Lantara meninggal dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar. Di pemakaman itu hadir pula kawannya, Andi
Tau.
Ketika acara
pemakaman usai, dan seluruh pengantar hendak pulang, Abdul Rauf membisikan
sepotong kalimat di dekat telinga Adi Tau, “Nanti saya yang menutup pintu
tempat pemakaman ini.” kata Abdul Rauf.
Rupanya
pesan lewat kalimat ini punya arti yang amat dalam. Tak lama setelah momen itu,
Abdul Rauf menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat tahun 1994. Ia pun
diantar oleh iringan sanak Famili dan kawan kawannya di taman makam pahlawan,
tak jauh dari sisi Andi Lantara.
Umur Abdul
Rauf genap 71 tahun. Dan Suharti, sejak saat itu, telah kehilangan kekasih dan
orang dekat selama empat puluh tujuh tahun. Suharti beruntung, sebab mempunyai seorang
anak yang hampir lengkap mewarisi karakter ayahnya. Selain itu hanya dia yang
mengikuti jejak ayahnya sebagai tentara: Kolonel Satria Putra Rauf puskopol AD
Kodam VII Wirabuana, anaknya yang ketujuh. (Sumber: Disari dari buku "Dalam Sejarah Akan Dikenang" Sarman Sahuding. 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar