Selasa, 14 Juni 2016

Mengenang Kolonel Abdul Rauf, Mantan Bupati Majene 1965-1967


Desa Samasundu adalah sebuah perkampungan tua yang dulu masuk dalam wilayah adat pemerintah kerajaan Balanipa, yaitu Appeq Banua Kayyang. Disana tinggal sepasang suami istri yang kukuh mempertahankan cintanya dalam ikatan rumah tangga. Namanya H. Tanggo Daengna I Saniasa dengan Sinna yang melahirkan enam orang anak, salah satunya adalah Abdul Rauf yang lahir bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 Agustus 1923.
Sinna, ibu dari Abdul Rauf masih tercatat sebagai keturunan langsung pappuangan. Meski begitu, gaya hidupnya tak pernah menampakkan sifat-sifat feodal. Demikian juga ayahnya, H. Tanggo Daengna I Saniasa, juga dari keturunan adat Banua Samasundu-Napo dan keturunan adat kerajaan Pambauang. Jadi dalam darah ayahnya, mengalir cera’ puang yaitu Balanipa dan Pamboang.
Dari pasangan inilah tumbuh dan berkembang seorang anak yang bernama Abdul Rauf. Rauf menempuh pendidikan sekolah dasarnya dengan berjalan kaki dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Pendidikan sekolah dasarnya ia jalani di HIS selama enam tahun. HIS saat itu hanya ada di Majene, Ibukota Afdeling Mandar. Bisa dibayangkan jarak tempuh  antara Samasundu dan Majene sejauh 15 kilometer.
Tapi bukan Rauf kalau tak bisa menyiasati kasulitan dalam perjalanan ke sekolah ini. Pada awalnya ia menempuh dengan jalan kaki mulai dari rumahnya hingga sejauh 5 kilometer hingga tiba Tinambung. Di Tinambung lalu dilanjutkan naik bendi-kendaraan tradisional Mandar- yang ditarik seekor kuda di Majene. Sitti Alawiah termasuk yang berjasa menunggunya dalam perjalanan sejauh 10 kilometer. Rutinitas ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut. Pada tahun kelima dan keenam di HIS, strategi perjalanan pun berubah dan ini akan menjadi sebuah kisah yang tak pernah dilupakan oleh Abdul Rauf semasa hidupnya.
Begitu dalam kumpulan naskah ‘’Kenanganku’’ yang disusun sendiri oleh Abdul Rauf, di akhir tulisan tertanggal 26 Mei 1984, sebagai kado ulang tahun perkawinannya yang ke 37. Ceritanya begini. Seorang teman kelasnya bernama
Sitti Alwiah, Seorang anak dari jalur Pappuangan Biring Lembang. Sitti Alawiah tinggal di kampung Tangnga-tangnga, samping masjid kerajaan Balanipa, 10 kilometer dari Majene. Jadi ketika Abdul Rauf usai menempuh jalan kaki 5 kilometer, maka tibalah di tempat Sitti
Perempuan ini memiliki sebuah sepeda hasil pemberian kakaknya, Muhammad Taufik. Tapi sayang Sitti Alawiah tak bisa mengayuh sepeda. Untungnya Abdul Rauf lincah naik sepeda tapi ia tak punya sepeda. Nah dua kesulitan ini pun berkumpul menjadi satu. Seseorang punya sepeda dan yang satu tak punya sepeda, tapi terampil besepeda.
Melanjutkan perjalanan ke sekolah HIS di Majene, mereka pun bersepakat berboncengan, Abdul Rauf di depan mengayuh pedal  dan Sitti Alawiah duduk dibangku boncengan. Untungnya bagi Abdul Rauf, ketika pulang sekolah, saat Sitti Alawiah sudah tiba di rumahnya sepeda pun dilanjutkan ke rumah Abdul Rauf, hingga malam. Begitulah seterusnya.
Rupanya masih ada kesepakatan dari keduanya mengenai sepeda. Dan hal ini tak boleh dilanggar. Kalau kelak ban sepeda rusak di bagian depan maka Abdul Rauflah yang akan menanggungnya. Dan kalau ban belakang yang rusak maka Sitti Alawiah pulahlah yang menanggungnya.
 Di masa kanak-kanaknya itu, Abdul Rauf kerap bermain-main mattaru, ma’gasing, siseppa, silanja, dan mallayang. Di bidang seni ia gemar memainkan kecapi, gambus, rebana, dan permainan pencat silat.
Untuk pertama kalinya Abdul Rauf ke Makassar, tepatnya 26 Juni 1937. Bila saja ia lulus masuk di Normal School maka nasibnya menjadi guru akan tercapai. Tapi ia tak beruntung. Seiring saat itu pula pecah perang Asia Timur Raya, dan Abdul Rauf pun dengan tujuan melamar di sekolah Putsu Cu Gakko, tapi itu pun belum bisa masuk dikarenakan ia tiba ketika penerimaan siswa sudah ditutup.
Meski begitu Abdul Rauf tak pulang kampung, ia harus sabar menunggu penerimaan tahun depan di sekolah yang sama.  Alhasil, ditahun berikutnya ia diterima di Putsu Cu Gakko. Sekolah di Makassar tak lama sebab ketika tentara sekutu mengadakan serangan balik terhadap pendudukan Jepang, kota Makassar pun porak-poranda terpaksa proses belajar mengajar di sekolah Abdul Rauf di pindahkan ke Sinjai.
Disamping ia menimbah ilmu ilmiah, juga mulai diperkenalkan perjuangan untuk merdeka: semangat, disiplin dan latihan militer. Pada tahun 1945 pihak pimpinan sekolah meliburkan siswanya, dan Abdul Rauf memilih pulang kampung yaitu Tinambung. Ia menunggu kabar dibukanya kembali hari sekolah, ternyata yang datang adalah menyerahnya Jepang terhadap sekutu. Ambang kemerdekaan Indonesia pun tinggal menghitung hari untuk tiba.
Di Mandar. Dibawah komando Andi Depu atas restu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo) mengorganisir pemuda-pemuda pejuang untuk bersama-sama mempertahankan kemerdekaan republik yang telah di proklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Dengan berhimpunnya pemuda-pemuda pejuang itu, maka dibentuklah sebuah wadah perjuangan yang disebut Kris Muda Mandar. Keterlibatan Abdul Rauf juga sangat berarti, terutama ketika sekutu hendak menjajah kembali. Begitu banyak  hal yang ia  lakukan untuk perjuangan perlawan tersebut.
Suatu ketika, dari banyak momen keaktifan sebelumnya di tanun 1946, Abdul Rauf menemani pimpinan perjuangan Mandar, H. Abdul Malik ke daerah Matangnga. Tujuannya untuk menyampaikan pesan bahwa kelak ketika pasukan NICA hendak menangkap H. Abdul Malik, maka pasukan perlawanan akan bergerak dan berkonsentrasi di daerah Matangnga. Kalau-kalau NICA lebih jauh bisa menduduki Majene dan Polewali.
Tapi rupanya NICA licik sekali, dan telah menyiapkan hari-hari naas bagi H. Abdul Malik, Abdul Rauf dkk. Abdul Rauf tak punya pilihan selain mengantisipasi kelicikan Belanda dengan menghindar. Keputusan untuk ke daerah seberang adalah satu-satunya pilihan untuk menghindari maut dan perang yang tak imbang. Pilihan sulit itu terasa meradang, sebab itu berarti tokoh pejuang Mandar ini harus berpisah dengan kampung yang amat dicintainya, termasuk sekian banyak rakyat yang mendukungnya harus ia tinggalkan dalam waktu yang agak lama.
Pada jumat, 12 April 1946 sekitar pukul 12 malam, H. Abdul Malik, Abdul Rauf dengan perlahan beranjak dari rumah dengan tujuan ke Jawa. Di malam yang gelap, di tengah ramainya bunyi jangkrik dan gulita malam. Mereka melangkah perlahan agar tak membuat rakyat panik sebab kalau rakyat tahu betapa sedihnya mereka bila ditinggal pergi oleh pimpinanannya. Tak cukup selusin orang yang menyaksikan kepergian itu: dan hanya do’a dan air mata mengiringnya pergi.
Sekitar pukul dua dinihari, sebuah perahu sampan mengantar mereka menuju Balikpapan, Kalimantan Timur. Untuk bisa sampai di Balikpapan mereka membutuhkan waktu tak kurang dua minggu berlayar dilaut lepas. Di Makassar, rupanya NICA mengetahui kalau pimpinan perjuangan rakyat Mandar, H. Abdul Malik dkk. tengah dalam perjalanan menuju pulau Jawa.
Lewat siaran radio NICA, penguasa Belanda di tanah Mandar diinstruksikan untuk menangkap mereka. Kalau ada yang berhasil menangkap Mara’dia dan rombongan maka akan diberi hadiah Rp 5000. Tapi H. Abdul Malik dkk. punya strategi dalam perjalanan untuk mengantisipasi instruksi Belanda itu, sehingga rintangan cukup pelik dalam perjalanan mampu mengantarnya sampai di tempat tujuan, Pulau Jawa.
Tepat 9 Juli 1946, rombongan Abdul Malik dan Abdul Rauf tiba di Jepara. Untuk pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di pulau Jawa. Mereka terus berpindah-pindah sampai pada akhir Juli 1946 mereka tiba di Yogyakarta, ibukota pemerintahan Republik Indonesia. Di Jogya mereka berjumpa B. Ratulangi, ketua Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (Kris). Berkat pertemuan inilah H. Abdul Malik dan Abdul Rauf dimasukkan dalam Asrama Republik Indonesia (ASRI), kemudian diberangkatkan ke Solo untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Di sinilah mereka mulai terdaftar sebagai bagian dari militer Indonesia.
Pada November 1946, lewat sebuah kereta api, tibalah ia di kota Cirebon. H. Abdul Malik sudah Kapten dan menjabat wakil kepala inspektorat BPD 31. Sementara Abdul Rauf sudah Letnan Muda.
Ketika di Cirebon, Abdul Rauf menemukan tambatan hatinya. Roro Suharti, Seorang perempuan Jawa keturunan bangsawan yang hendak diperjodohkan. Ia berkirim surat untuk saling kenal dan yakin akan hidup bersama seumur hidupnya.
Kamis 26 Mei 1947 di rumah Raden Kadio Singohadimulyo, Abdul Rauf resmi resmi mengucapkan ijab Kabul untuk mempersunting Roro Suharti. Abdul Rauf sebagai pihak laki-laki di dampingi oleh H. Abdul Malik.
Tahun 1947 terjadi pergeseran dilingkungan inspektorat perjuangan daerah 31. Kapten H. Abdul Malik menjadi kepala inspektorat perjuangan Kabupaten Majalengka, dan Letnan Muda Abdul Rauf  menjabat kepala keuangan insp. BPD 31, atau menggantikan posisi Kapten Abdul  Malik.
Dalam menjalankan tugas, duka menyapa pasangan muda ini. Ketika tentara Belanda menduduki Jogyakarta, Abdul Rauf harus berpisah dengan istrinya, Roro Suharti. Selama perpisahan itu, Abdul Rauf berkeliling di banyak tempat dan kadang masuk hutan. Bahkan beredar kabar kalau suaminya sudah meninggal, tapi sang istri selalu yakin kalau suaminya masih hidup.
Ternyata Suharti benar, sebab setahun kemudian mereka bertemu kembali setelah perpisahan dimulai 29 Juli 1947 berpisah di Cirebon, tepat pukul tiga sore sampai jumat 30 Juli 1948  tepat pukul 7.30 malam bertemu di Yogyakarta.
Dalam catatan selanjutnya, Abdul Rauf menulis. Pada sabtu, 18 Sebtember 1948 PKI dibawah pimpinan MUSO mengadakan pemberontakan di kota Madium. Muso dibantu dukungan Letkol Adam-TNI B 29 berhasil mengusai kota Madium  dan sekitarnya.
Atas perampasan kekuasaan dan pemerintahan yang digerakkan oleh PKI, Presiden RI Soekarno melalui RRI, mengumumkan bahwa semua anggota TNI yang turut terlibat menjadi kaki tangan Muso dipecat. Berkat kerja sama pasukan Siliwangi dengan pasukan Jawa Timur, pada jumat 15 0ktober 1948 Kota Madium kembali di rebut oleh TNI.  Pengejaran dilakukan terhadap Muso dan akhirnya berhasil ditembak mati.
Januari 1950, Abdul Rauf mendapat tugas mengantar surat ke Makassar. Pada 20 Februari 1950 kapal yang ditumpanginya merapat dipelabuhan Makassar. Saat itulah Abdul Rauf bertemu kembali kawan-kawannya:  M. R. Amin Daud, Abdul Rahman Tamma, Lappasbali, Andi Parenrengi.
Sekembali Rauf ke Yogyakarta. Ia hanya tinggal sebentar saja, sebab pada 22 Mei 1950, bersama keluarganya meniggalkan Yogyakarta menuju Makassar untuk tugas dan pengabdian di Sulawesi.
Sebelum kapalnya merapat ke pelabuhan Makassar, Abdul Rauf bertemu dengan Mayor M. Saleh Lahade.  Lahade menawarkan agar Rauf tak usah terus ke Mandar dan bergabung di staf teritorial Kodam 14 Hasanudin, Makassar. Tapi di Makassar tak lama, sebab pada 1 januari 1950, Abdul Rauf dan keluarga berangkat ke Mandar untuk tugas baru di tengah-tengah keluarga dan kawan-kawan sepejuangannya di Tinambung.
Tahun 1965, Abdul Rauf di angkat menjadi Bupati Majene menggantikan  Abdul Rachman Tamma. Menjadi bupati pada saat itu bukanlah perkara mudah. Selain karena waktu  itu terjadi G.30 S PKI yang di mulai dijantung Ibukota Jakarta.  Di Mandar juga gerombolan pemberontak masih merajalela. Kondisi inilah yang akan membuat hari-hari Abdul Rauf tak akan tenang dalam memimpin Kabupaten Majene.
Hanya dua tahun lebih memimpin Kabupaten Majene. Dalam ukuran masa jabatan formal seorang Bupati dimasa kini memang tidaklah lama. Tapi sungguh sebuah proses yang luar biasa, dalam suasana republik yang masih transisi oleh pecahnya pemberontakan PKI tahun 1965. Di Majene juga ada beberapa oknum tentara dan kepolisian yang membelok masuk mendukung gerakan PKI, belum lagi aksi gerombolan dari sisa-sisa pasukan DI /TII juga kerap mamanfaatkan keadaan.
Dalam suasana seperti itu, sebagai bupati, Abdul Rauf tetap bisa mengendalikan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten yang ia pimpin. Pembangunan dalam tanda petik pembangunan fisik yang mercusuar, sebab selain karena situasi keamanan yang sangat tak konduktif juga dana pembangunan masih sangat minim sekali, terlebih saat itu belum dikenal dengan pembangunan Renacana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Meski minim dana, pembangunan masih tetap bisa dimaksimalkan oleh Abdul Rauf. Bahkan seandainya semua unsur yang tergabung dalam pasca tunggal (sekarang muspida) bisa kompak, arah dan konsep pembangunan pasti bisa  dijalankan. Namun yang terjadi, justeru  unsur pasca tunggal masing-masing jalan sendiri. Bahkan ada segelintir petinggi di Kabupaten Majene yang hendak memonopoli perdagangan kopra.
Sebagai bupati, Abdul Rauf tentu tidak sepakat dengan cara seperti itu. Ia mau perdagangan terus berjalan normal, tanpa ada monopoli segelintir pihak. Sebab monopoli adalah cara buruk dalam perputaran ekonomi di daerah.
 Sebagai tentara, Abdul Rauf tentu sangat menyadari bahwa menjadi bupati adalah proses pengabdian pada bangsa dan negara, bukan mengabdian kepada segelintir tokoh. Dan semangat itulah yang kokoh ia perjuangkan dan diperlihatkan pada masyarakat Majene.
Komitmen dan prinsipnya yang teguh itu memunculkan ketidaksukaan segelintir elit di Majene atas kepemimpinan Abdul Rauf. Ia dianggap terlalu disiplin dalam tugas dan tak mau neko-neko. Kondisi itu tak membuat Abdul Rauf goyah. Ia tak bergeming dengan sikapnya, sebab ia harus tunduk pada komitmennya ketika ia diserahi jabatan sebagai Bupati Majene. Ia pantang menyalahgunakan jabatan hanya karena desakan segelintir pihak untuk berbuat serong.
Suatu waktu di awal tahun 1967 beberapa tokoh yang tak sependapat dengan bupati Abdul Rauf memprovokasi warga. Mobilisasi sejumlah warga ini berkedok kerja bakti. Warga diperintahkan membawa parang. Hal Ini sesungguhnya lebih nampak demonstrasi kepada bupati.
Bupati Abdul Rauf pun sadar bahwa kolega koleganya, bahkan ada juga kerabatnya yang sekian lama bermain bisnis di rumah jabatan pun tampil mendemonya. Di benak Abdul Rauf, hal ini adalah wajar. Baginya, kalau memang ada tokoh-tokoh yang tak suka lagi padanya, itu bukan masalah. Pada akhirnya, rakyat akan  sadar sendiri bahwa kita hanyalah korban dari egoisme segelintir elit di Kabupaten Majene ini. Dengan berbagai pertimbangan atas kondisi yang ada, berakhirlah masa kepemimpinan Abdul Rauf sebagai Bupati Majene.
Meski tak lagi menjabat sebagai bupati Majene, tapi sebagai seorang perwira menengah di Angkatan Darat, Abdul Rauf tak sepi dari jabatan. Usai jabatan bupati, ia langsung diposisikan di Makassar. Dan ketika usai Pemilu 1971, pemilu pertama di masa orde baru, Abdul Rauf diangkat sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Banyak kenangan ketika menjadi anggota dewan. Masa aktifnya di TNI juga telah berakhir dengan penghargaan khusus: Kolonel (Purn.) Abdul Rauf.
Biduk rumah tangga yang dibangun dengan kesetian bersama Roro Suharti ini dikaruniai 13 anak, 7 perempuan dan 6 laki-laki. Selama hidup Abdul Rauf tampil sangat sederhana. Jujur dan tak pernah tertarik yang disebut KKN. Padahal bila diukur dari jabatan yang pernah ia pegang terutama ketika menjadi Bupati Majene dan Anggota DPRD SulSel peluang itu terbentang luas.
Integritas dan pendirian yang teguh itulah yang selalu ia pertahankan, sehingga dalam perjalanan hidupnya tak memiliki rekening gendut selain hanya memiliki rumah seadanya di jalan Sawerigading 14 Makassar, itupun nanti setelah dekat dekat pensiun baru disertifikatkan. Kalau pun Abdul Rauf memiliki sebuah mobil Datsun, itu berkat hadiah dari seorang Tokoh Mandar yang diserahkan kepada Abdul Rauf masyarakat Mandar.
Cerita Suharti, istrinya, tanah dan rumah itu disertifikatkan karena berkat dorongan istrinya. Ketika Abdul Rauf masih menjadi anggota DPRD SulSel, suatu waktu ia akan menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saat itulah istrinya berpesan, “Pak kalau balik ke Makassar tak usah di belikan ole-ole, kalau ada uang uruskanlah sertifikat tanah dan rumah ini, biar kalau bapak meninggal ada kenang-kenangan buat aku dan anak-anak kita, “. Kenang Roro Suharti.
Dirumah kenangan yang sederhana itulah, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun sering datang dan menginap di situ. Emha sudah menganggap Abdul Rauf sebagai guru sekaligus orang tuanya.
Bahkan Baharuddin Lopa ketika masih di Makassar kerap menemui Abdul Rauf. Disitu ia mengobrol hingga larut malam. Di masa tuanya, atau ketika Abdul Rauf sudah benar-benar tak lagi berkecimpung di segala aktifitas, datanglah suatu momen yang sangat penuh arti. Saat itu Andi Lantara meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar. Di pemakaman itu hadir pula kawannya, Andi Tau.
Ketika acara pemakaman usai, dan seluruh pengantar hendak pulang, Abdul Rauf membisikan sepotong kalimat di dekat telinga Adi Tau, “Nanti saya yang menutup pintu tempat pemakaman ini.” kata Abdul Rauf.
Rupanya pesan lewat kalimat ini punya arti yang amat dalam. Tak lama setelah momen itu, Abdul Rauf menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat tahun 1994. Ia pun diantar oleh iringan sanak Famili dan kawan kawannya di taman makam pahlawan, tak jauh dari sisi Andi Lantara.

Umur Abdul Rauf genap 71 tahun. Dan Suharti, sejak saat itu, telah kehilangan kekasih dan orang dekat selama empat puluh tujuh tahun. Suharti beruntung, sebab mempunyai seorang anak yang hampir lengkap mewarisi karakter ayahnya. Selain itu hanya dia yang mengikuti jejak ayahnya sebagai tentara: Kolonel Satria Putra Rauf puskopol AD Kodam VII Wirabuana, anaknya yang ketujuh. (Sumber: Disari dari buku "Dalam Sejarah Akan Dikenang" Sarman Sahuding. 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar