Selasa, 23 April 2024

Raudal Tanjung Banua || Mandar


MANDAR (1)

Saya pernah berkunjung dua kali ke Sulawesi Barat. Pertama tahun 2010 dan kedua 2012. Kunjungan pertama untuk sharing persiapan Kongres Cerpen Indonesia, setelah Sulbar direkomendasikan jadi tuan rumah dalam KCI V/2007 di Banjarmasin. Sayang karena satu dan lain hal, KCI VI batal diselenggarakan. Kunjungan kedua sebagai rangkaian perjalanan saya keliling Celebes.

Kunjungan tersebut saya tulis dalam cttn sederhana yang dipublikasikan di Koran Tempo dan Suara Merdeka. Bencana gempa yg melanda Mandar tempo hari, mmbuat saya mmbuka lagi file lama itu, dan saya bagikan di sini (cttn 2012 menyusul), diiringi doa & harapan semoga korban tertangani dg baik, dan kondisi Mandar berangsur pulih. Aamiinn. 😪🙏
________________

PERLAWATAN 
KE TANAH MANDAR

Oleh: 
Raudal Tanjung Banua

Cahaya merah senja mulai membias dari laut, menyepuh hamparan sawah, bukit batu dan tambak-tambak. Menembus juga kaca mobil travel yang saya naiki dari Makassar sejak pukul 14.00 WIT, Agustus tahun lalu. Tujuan saya Polewali, ibukota Kabupaten Polewali Mandar (Polman)—sebelumnya bernama Polewali Mamasa (Polmas). 

Tapi sejak Mamasa dimekarkan jadi kabupaten baru, namanya berubah jadi Polman. Ini merujuk etnis terbesar di wilayah itu, Mandar, suku bangsa yang suka berlayar—meski Bugis-Makassar yang konon lebih sebagai “juragan” justru dapat nama. Kini Polman dan empat kabupaten lain (Mamasa, Majene, Mamuju, Mamuju Utara) masuk Sulawesi Barat, propinsi termuda di Indonesia. 

Polewali berjarak sekitar 300 km dari Makassar, 7 jam naik bis, atau 6 jam naik mobil travel. Jika kendaraan dibawa “sopir Mandar” yang “gesit ngebut”, waktu tempuh bisa lebih cepat. Namun hari itu, sampai azan magrib bergema, saya baru sampai di Polanro, setelah melewati kota-kota kecil di kaki Pulau Sulawesi seperti Maros, Pangkajene, Barru, dan Segeti. Masih dua kota lagi untuk sampai ke Polewali: Pare-pare dan Pinrang. 

Perjalanan jadi lambat karena ada perbaikan besar-besaran jalan trans barat Sulawesi; diperlebar dan aspal diganti semen cor. Akibatnya, badan jalan hanya bisa dipakai separoh, tumpukan material dan truk proyek menghalangi laju kendaraan. Mobil terasa mau oleng di jalan berlobang dan berbatu. 

Debu berterbangan, menempel di dinding rumah penduduk yang kebanyakan rumah kayu bertiang tinggi. Untunglah pemandangan cukup memanjakan mata: kampung yang asri, sawah menghijau dan laut—apalagi saya duduk di muka. Namun, setelah semua disungkup gelap, saya didera bosan dan tertidur.

Cukup lama saya tertidur, dan terbangun kembali ketika Syariat Tajuddin, teman yang akan menjemput saya di Polewali, menelepon. “Sudah sampai mana?” 

Saya pun tanya kepada sopir. “Baru mau masuk Pare-pare,” saya ulang info pak sopir. 

“Wah, bisa pukul 10 malam nanti sampai!” kata Tajuddin. 

“Apakah perbaikan jalan ini menyambut Kongres Cerpen yang sedang disiapkan?” canda saya.

Tajuddin terkekeh. Saya lantas menghela nafas panjang. Perjalanan ke Tanah Mandar ternyata tidak mudah. Pesawat perintis dari Makassar ke Mamuju (ibukota propinsi Sulawesi Barat) hanya sekitar tiga kali dalam seminggu. Karenanya, orang ke Mamuju atau wilayah sekitar memilih terbang langsung ke Palu, Sulawesi Tengah. Alternatif bagus lewat laut, bisa menuju pelabuhan Pare-pare maupun pelabuhan Mamuju. Tapi jika jalan trans barat Sulawesi selesai diperbaiki perjalanan darat dijamin menyenangkan.

Saya sedikit merasa segar ketika mobil memasuki kota Pare-pare. Kesan saya, kota asal BJ Habibie ini cukup ramai. Pantai dan bukit saling berhadapan membuatnya tampak indah. Di kota pelabuhan ini pula terdapat persimpangan ke Tana Toraja. Jalannya mulus, tapi lagi-lagi tidak lancar karena ada pawai Agustusan. Mobil terpaksa lewat jalan alternatif, naik ke bukit dan turun ke pantai, sampai berhasil keluar Pare-pare. 

Pukul 10.23 WIT akhirnya saya sampai di Polewali. Saya turun di depan Universitas Al-Asyariah tempat Tajuddin mengajar. Kebetulan ia masih di kampus menyiapkan kegiatan refleksi kemerdekaan dan mengenang wafatnya WS Rendra besok siang.

Malam itu juga Tajuddin membawa saya ke pantai mencari warung ikan bakar. Deretan sandeq di pantai jadi simbol yang seketika menggetarkan saya dalam perjumpaan pertama dengan tanah Mandar!
***

Esoknya, saya bangun agak siang. Sebelum mandi saya sempatkan ke luar hotel sederhana tempat saya diinapkan. Bukit biru tampak membentang sampai jauh menjadi latar kota kecil Polewali. 

Jalan di depan hotel lengang. Nun, seutas jalan mengular naik ke celah bukit, entah ke mana. Saya baru tahu saat Tajuddin datang,“Itu jalan ke Mamasa, kabupaten baru penghasil langsat dan durian. Ada pula wartawan senior dari sana, Tomy Lebang namanya.” 

Selesai mandi, saya dibonceng Tajuddin naik sepeda motor ke rumah makan “Bahagia” yang khusus menyajikan hidangan hasil laut. Mungkin Tajuddin bermaksud menunjukkan kekayaan laut Mandar. Kalau itu maksudnya, ia berhasil sebab hidangan laut yang tersaji memang luar biasa. Udang goreng tepung dan sop cumi hangat betul-betul menyengat lidah. 

Sementara di meja sebelah kami, rombongan besar berpakaian PNS tampak berpesta kepiting, lokan dan kakap bakar. Saya sempat berburuk sangka: pagi begini dengan pakaian seragam di rumah makan, tidakkah ini ironi otonomi? Tapi, ah, barangkali mereka sedang syukuran kemerdekaan RI, pikir saya. Lagi pula kunjungan begini berkontribusi menghidupkan rumah makan yang digarap cukup serius di kota kabupaten yang sedang tumbuh. 

“Pemilik restoran ini sahabat penyair D. Zawawi Imron,” bisik Tajuddin, sambil melirik lukisan laut dan perahu di dinding. Saya segera mengenali goresan khas kyai Madura itu.

Zawawi, sebagaimana Emha Ainun Nadjib dan Gus Dur, memang kerap bertandang ke Sulbar. Mungkin karena daerah ini menyimpan aura mistik-spritual dengan sejumlah ulama kharismatik, salah satunya alm. Dr. K.H. Sahabuddin, pemimpin tariqat Qodiriyah dan pendiri Universitas Al-Asyariah (Unisya). Perannya kini digantikan sang putra, K.H. Sibli. Ada masjid Imam Lapeo, makam Syech Bil Maruf di Pulau Karamasang, dan seterusnya.

Di meja kasir, saya diperkenalkan Tajuddin kepada Ridwan Hilal, pemilik rumah makan “Bahagia”. Saya bercerita tentang Pak Zawawi yang menganggap istri saya sebagai anaknya sendiri. Ridwan Hilal senang dan saya ikut senang. 

“Saya usul ke Pemkab Polewali tahun ini supaya Kyai Zawawi jadi khotib Idul Fitri di sini, tapi mereka terlambat kirim undangan. Beliau lebih dulu diundang Pemkab Taliwang, Sumbawa,” kata Bang Ridwan kecewa. Perkenalan singkat itu cukup berkesan sebagai simbol keramahan orang Mandar.

Kami lalu meluncur ke kampus Unisya. Saya mengisi diskusi tentang “Kemerdekaan dan Sastra”, sekaligus mengenang W.S. Rendra. Acara lesehan di auditorium kampus itu sangat sederhana namun hikmat. Kesahajaan tanah Mandar merasuk dari suasana di dalam ruangan dan dari angin yang berhembus menerobos jendela-jendela kayu yang tua. Pun sajian dalam piring berupa goreng pisang dan singkong. 

Kesahajaan Mandar kian terasa ketika seorang lelaki muda, sekitar 38 tahun, agak gemuk, berpakaian sport dan bertopi pet, maju membuka acara. Sambutannya hangat, tidak formal. Ia baca sajak-sajak Rendra dari buku yang saya bawa. Ternyata dialah Rektor Unisya, K.H. Sibli Sahabuddin, putra Dr. K.H. Sahabuddin. Sore itu, acara berjalan penuh kesan.

Malamnya, saya diundang Bang Sibli ke rumahnya dan kami bercerita banyak hal hingga menjelang pagi.

Besoknya, saya bertemu panitia Kongres Cerpen Indonesia (KCI) VI untuk persiapan event yang akan diadakan di Mamuju bulan Juni 2010. Sebenarnya panitia ingin diadakan di Polewali. Di samping dekat  Makassar, kebanyakan panitia juga tinggal di Polewali. Maklum, daerah ini dikenal sebagai kampung seniman. 

“Tapi gubernur ingin di Mamuju, dan kita tak keberatan,” kata Andi Ibrahim, ketua KCI VI. Sikap serupa juga diambil waktu penunjukkan ibukota propinsi Sulbar lima tahun lalu. Secara historis dan tata letak, Polewali lebih siap, atau Majene bahkan pernah jadi ibukota afdelling zaman Belanda. 

Namun demi persatuan dan pengembangan kawasan, Mamuju yang jauh di utara ditetapkan jadi ibukota. Dari situ tampak watak orang Mandar yang mau mengalah demi kebaikan. “Kini kami hanya ingin taman budaya Sulbar supaya dibangun di Polewali atau Tinambung,” kata Tajuddin. 
***

Selesai semua urusan, hari itu juga saya tinggalkan kota Polewali ke arah barat. Berbonceng sepeda motor, saya dan Tajuddin menuju Tinambung. 

Wilayah Tinambung dan sekitarnya kaya peninggalan kultural dan spritual karena dulu merupakan pusat kerajaan Balanipa, kerajaan utama Tanah Mandar. Banyak temuan situs bersejarah di sekitar wilayah tersebut, seperti situs makam Todilaling dan Tomepayung, raja pertama dan kedua Balanipa. Ada juga makam Tomakaka Pondi, prajurit Mandar dan makam Puang Towarani, panglima perang kerajaan Balanipa abad XVII masehi. 

Sementara itu, di Kecamatan Luyo terdapat situs Allamangun Batu, berupa dua batu disatukan. Menurut para ahli, itu simbol penyatuan tujuh kerajaan di pesisir dan tujuh kerajaan di pegunungan (termasuk Tana Toraja) dalam sebuah kesepakatan yang diprakarsai Tomepayung pada abad XVIII masehi.

Sebelum menikmati situs bersejarah tersebut, Tajuddin membawa saya mampir di rumah mertuanya di Jl. Kediri Lor, Wonomulyo. Jangan kaget kalau namanya berbahasa Jawa, sebab kota kecil Wonomulyo memang “didirikan” transmigran dari Jawa. Di sini banyak toko bertingkat, terminal dan pasarnya berdenyut hidup, bahkan kesan saya mengalahkan denyut kota Polewali. Sebuah mesjid dengan menara tinggi menjadi simbol religiusitas penduduk Wonomulyo.

Rumah mertua Tajuddin sendiri merupakan rumah asli orang Mandar, yakni rumah panggung dari kayu. Sejenak saya teringat rumah-rumah panggung di kampung istri saya, di Loloan, Jembrana, Bali Barat, persis sekali! Nenek moyang orang Loloan memang keturunan Mandar yang berlayar ke Bali sejak abad XVI.

Dari Wonomulyo, kami menuju Pambusuang, kampung Baharudin Lopa, mantan Jaksa Agung RI era Gus Dur. Ungkapan Lopa yang terkenal di ranah hukum adalah, “Biar langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan!” 

Ungkapan itu ternyata diambil Lopa dari kearifan orang Mandar, berbunyi “Mau raopoqna langiq, atonganang tattairikeqdeang!” Sayang, sosok yang dianggap berani dan bersih itu meninggal mendadak waktu kunjungan ke Arab Saudi sehingga sempat memunculkan bermacam spekulasi. 

Saya memupus bayangan itu dengan menikmati pemandangan kampung yang tenteram, sawah yang sedang panen, dan pantai penuh nyiur. Tak kalah banyaknya adalah kios yang berjejer di pinggir jalan menjual makanan khas Mandar. 

Di desa Lagi-Lagi kami mampir di sebuah kios. Penganan paling banyak dipajang ialah golla kambu, terbuat dari beras ketan dicampur gula merah, dikemas daun pisang kering. Makanan manis itu berasa durian, kelapa, nangka dan pisang. Tinggal pilih. Setelah mencicipi, saya pilih golla kambu rasa durian dan kelapa ukuran sedang seharga Rp. 12.000/kotak. Durian dan kelapa memang hasil alam utama Polewali. 

Di desa Lapeo, saya bersua Mesjid Nuruttaubah. Mesjid bersejarah dengan arsitektur khas Mandar ini agak mepet ke tepi jalan. Imam besarnya, H.M. Tahir, adalah tokoh sufistik tanah Mandar. Konon, di sini kerap terjadi peristiwa di luar nalar. Untuk meyakinkan murid-muridnya, semasa hidup sang imam pernah melompat dari pucuk menara mesjid. Tubuhnya jatuh di aspal, namun lecet pun tidak. 

Baru-baru ini, saat mesjid direnovasi, satu truk semen datang dari Makassar. Panitia pembangunan mesjid bingung sebab tidak pernah memesannya, namun sopir truk mengatakan ada orang yang telah membayarnya. Ketika sang sopir melihat foto H.M. Tahir yang tercetak di kalender mesjid, spontan ia menunjuk,”Bapak ini yang membelinya!” 

Cerita berbau mistik-spritual yang saya dengar dari Tajuddin dan cerita lain semacam itu kuat melekat di tengah masyarakat Mandar. 

Motor kini meraung menaiki sebuah tanjakan. Dari ketinggian, panorama ke arah pantai indah sekali. Nyiur melambai berjejer merimbuni pasir putih. Itulah Pantai Palippis, objek wisata yang terkenal dengan pasir, nyiur dan gua-gua karangnya. 

Sayang kami tidak sempat turun ke bawah. Selepas tanjakan Palippis, kami berjumpa tugu kecil-sederhana di pinggir jalan bertulisan “Pambusuang”. Kami berbelok ke kiri, ke arah pantai, menuju Pambusuang. 

Nelayan Pambusuang tak hanya berani di laut, tapi juga ahli membuat sandeq, perahu bercadik dua berlayar lebar. Selain sandeq, perahu tradisional Mandar lainnya adalah soppe-soppe, ukurannya lebih kecil dan lepa-lepa, perahu dayung tanpa layar.

Di Pambusuang, saya disambut rumah-rumah panggung yang berderet rapi. Sayang sekali, rumah panggung tempat kelahiran Baharuddin Lopa tinggal pondasinya saja sebab terbakar setahun lalu. Saya ngungun memandangi tapak bekas rumah besar itu. 

Tak lama kemudian, kami melaju pelan ke pantai, tak jauh dari perkampungan. Dada saya berdesir memandangi deretan sandeq sandar dan sebagian dalam perjalanan menepi. Layar dan cadik terlihat menakjubkan di balik ombak. Sementara sandeq yang sandar telah menggulung layar dan jala, tapi tiang-tiang dan temalinya menyuguhkan sensasi pada pandangan mata. Di antara deretan sandeq, bocah-bocah Mandar tampak riang berkejaran. Hanya saja pantainya agak kotor, sampah berserakan seolah baru dikirim ombak.

Di pos ronda, para lelaki asyik berbincang. Kata Tajuddin, masyarakat Pambusuang suka berdiskusi, mulai soal keseharian sampai politik aktual. Pantaslah melahirkan sosok seperti Lopa, pikir saya. Kami mendekat dan mereka menyambut ramah. Saya katakan bahwa saya ingin melihat pembuatan sandeq. Seorang di antara mereka, Pak Usman, bangkit dan mengantar kami ke rumah pembuat sandeq. 

Pak Usman cerita, tahun 2000 dia ikut ekspedisi sandeq ke Thailand. Dipimpin pria Italia, sandeq sepanjang 11 m, luas 70 m dan tinggi 80 m itu mengangkut empat awak Mandar dan empat lagi dari Eropa. Namun, ia kecewa karena sesampai di Thailand sandeq itu dijual oleh sang kapten ke sebuah resort! 

“Ternyata mereka jualan,” keluh Pak Usman, dan menolak ditawari lagi ekspedisi serupa. 

“Tapi tidak semua orang asing begitu,” katanya menambahkan. Boleh jadi ia merujuk acara tahunan Sandeq Race setiap Juli-Agustus yang sukses melibatkan peserta antar negara. Sambil mendengar cerita Pak Usman, saya terus mengamati Pak Ratib yang tekun membuat sandeq ukuran kecil. Harganya dipatok Rp. 5 juta, sedangkan sandeq yang besar seharga Rp. 15 juta.

Tak terasa hari sudah rembang petang. Kami segera melanjutkan perjalanan ke Tinambung menyusuri ujung kampung Pambusuang. Di sebuah rumah panggung besar yang baru dipugar, motor mendadak berhenti. “Ini rumah penyair Mandar, Husni Djamaluddin. Rendra pernah baca puisi di serambinya disaksikan orang sekampung,” kata Tajuddin. Saya manggut-manggut mengenang penyair yang juga ikut aktif merintis dan memperjuangkan terbentuknya Provinsi Sulbar itu. Terkenang juga sosok Rendra baru meninhgal dan siang kemarin kami peringati. Alfatihah. 

Motor kembali melaju beberapa saat, lalu berhenti lagi di depan sebuah mesjid. Mesjid itu kecil saja, tapi tampak sangat tua. Terkesan terbengkalai, kecuali menaranya yang tinggi perkasa.

“Inilah mesjid tertua peninggalan kerajaan Balanipa,” kata Tajuddin. Kembali kesahajaan dan kesederhanaan Mandar merasuk ke dada saya. 

Sebelum sampai di Tinambung, kami terlebih dahulu melewati Sungai Tinambung yang bermuara di Laut Sulawesi. Konon, nama Mandar berasal dari sini, disebut Ulu Manda atau sungai yang berhulu di Malunda. Secara filosofis, ketenangan dan kejernihan sungai ini dianggap simbol jiwa orang Mandar. 

Selesai makan malam di rumah orang tua Tajuddin yang sekaligus markas Teater Flamboyant pimpinan Tajuddin, saya sempatkan membeli tiga lembar sarung tenun sutra khas Mandar. Tinambung memang penghasil sarung tenun utama di Sulbar. Harga yang saya beli berkisar antara Rp. 300-400 ribu/lembar, tapi ada juga harga di atas atau di bawah itu. Tajudin juga menitupkan selembar kain tenun untuk istri saya sambil berkata,"Semoga mbak Ida terhubung lagi dengan tanah asal leluhurnya." Dia juga berpesan bahwa kain tenun Mandar tak usah dicuci, cukup diangin-anginkan saja jika dianggap mulai kotor atau lembab. 

Saya mengingat pesannya baik-baik, seiring ingatan saya pada tenun Mandar yang terkenal sejak dulu. Sampai-sampai beberapa daerah di Indonesia menyebut sarung dengan sebutan mandar. 

Sebelum melanjutkan perjalanan ke Majene, saya istirahat sejenak merenungkan makna perlawatan ini. Orang Mandar bilang,”Mua dirundumi uwai marandanna tomandar, mandarmituu tau” artinya, “Siapa yang sudah meminum air Mandar, maka ia adalah saudara kandung orang Mandar.” Sungguh hangat, tulus dan mengharukan! 

(Raudal Tanjung Banua, penikmat perjalanan, tinggal di Yogyakarta)

SEJARAH PASAL- PASAL HUKUM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN (AMMANA GAPPA)


SEJARAH PASAL- PASAL HUKUM PELAYARAN DAN PERDAGANGAN  ( AMMANA GAPPA )

Ternyata ada satu orang Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan yang mewariskan kepada dunia internasional mengenai hukum laut..

Beliau adalah Amanna Gappa 

Sejarah seorang tokoh internasional yang berasal dari Bugis WAJO

Amanna Gappa, seorang peletak dasar Tentang hukum Maritim Internasional. 

Lontara Amanna Gappa Dikenal dalam bahasa bugis sebagai ade alloping-loping Bicarana Pabbalue. 

Kata ini berasal dari bahasa Bugis yang jika diartikan secara harfiah berarti Aturan pelayaran dan perdagangan.

Amanna Gappa adalah seorang Ketua Komunitas Wajo atau lebih dikenal dengan istilah matoa komunitas Wajo di Makassar.
 
Amanna Gappa kemudian diangkat menjadi Kepala perniagaan di Makassar pada abad ke-17 di Kota Maritim Makassar. 

Disinilah Amanna gappa kemudian membuat semacam undang-undang pelayaran dan perdagangan. 

Kelak Dasar dari UU Amanna gappa ini kemudian diadopsi di Eropa dan sampai saat ini dipakai sebagai Hukum Maritim Internasional.

Lalu apakah sebenarnya isi dari Lontara Ade aloping-loping bicaranna pabbalue dalam bahasa Bugis.


Berikut ini adalah, lontara atau UU Pelayaran dan kemaritiman Amanna Gappa terdiri dari 21 pasal yang kalau di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Lontara Amanna Gappa

Pasal 1

Menjelaskan tentang sewa bagi orang-orang yang berlayar dan berdagang, antara lain seseorang yang berlayar atau berdagang dari Makassar Bugis, Paser, Sumbawa, Kaili Melayu Aceh, Kedah, Kamboja, maka sewanya tujuh rial dari tiap-tiap seratusnya. 

Maka uang yang digunakan saat itu adalah rial merupakan mata uang yang juga dibawa oleh para pedagang. 

Barang-barang saat itu dari tiap jenisnya itu selalu dianggap 100 %, hal ini berarti bahwa orang-orang dahulu telah menerapkan sistem persenan dalam tiap kegiatan dagang.

Selanjutnya, jika para pedagang naik perahu dari Aceh, Kedah, Kamboja menuju Malaka, ke Johor Tarapuo, Jakarta, Palembang, Aru, maka sewa dikenakan enam rial dari tiap seratus persen barang. Sementara itu jika orang naik perahu ke Semarang, Sambas, Pontianak, Ambon, Banda, Kie, Ternate, maka sewa dikenakan lima rial dari tiap seratus persen barang. 

Jika orang naik perahu ke Banjarmasin sampai ke Berau menuju utara di Sumenep sampai ke Timor maka sewanya dikenakan empat rial dari seratus persen.
 
Apabila seseorang naik perahu di Sambas sampai Banjarmasin lalu ke tanah Jawa maka dikenakan sewa empat rial dari seratus persen. 

Sementara itu jika seseorang naik perahu di Makassar ke Selayar maka sewanya 2,5 rial dari tiap barang.

Dari jalur-jalur yang disinggahi dapat disimpulkan bahwa para pelayar dan pedagang Bugis dalam perdagangan telah sampai hingga Kamboja, Terenggang dan Johor. 

Adapun tentang barang yang memerlukan ruangan luas maka dikenakan sewa sepersebelas dari seratus persen tiap jenis barang (sima biring) misalnya beras, garam, rotan dan lain-lain.

Adapun perahu yang sekali memungut sewa pulang pergi, meskipun ada negeri yang disinggahi menjual, lalu membeli dagangan kemudian menuju ke negeri yang dituju maka ia hanya membayar sewa kapal yang dituju.
 
Kecuali dalam pelayaran ia kembali ke negeri yang disinggahi untuk menjual dan membeli barang sehingga ia bermalam, maka barulah perahu memungut sewa untuk kedua kalinya.

Pasal 2

Perahu yang disewakan kepada yang bukan teman pemilik perahu maka sewa perahu dibagi dua, sebagian untuk yang punya perahu dan sebagian untuk nakhoda bersama juru mudi dan juru batu. 

Adapun jika yang membawa perahu adalah teman dari pemilik perahu maka sewa dibagi tiga. 

Satu bagian untuk juru mudi dan juru batu dan dua bagian untuk yang punya perahu.

Mengenai bagian yang bukan teman lebih banyak dari pada yang teman pemilik perahu, karena ini erat kaitannya dengan hubungan kekearabatan yang terjadi dimana terkadang seseorang lebih mudah saling mengatur jika erat kaitannya, dibanding tidak memiliki hubungan sama sekali.

Juru mudi bertugas mengemudikan perahu, sementara juru batu bertugas mengawasi kapal dari karang maupun menaikkan dan menurunkan batu (jangkar) ketika ingin berlabuh.

Jika dalam perdangan nakhoda salah mengenakan sewa maka kesalahan tidak dikenakan kepada kelasi (penumpang). 

Dalam setiap perselisihan antara kelasi, maka nakhoda berkewajiban menengahi dan mencari jalan keluar masalah tanpa membawanya ke pengadilan.

Pasal 3

Dagangan yang kembali di negeri yang dituju dikenakan sewa separuh kecuali dia terus dan ada negeri yang dituju, maka dia membayar sewa penuh; sesuai dengan sewa negeri yang disinggahi. 

Apabila dia pindah perahu padahal perahu yang telah ditumpanginya memiliki arah tujuan yang sama, maka nakhoda yang ditinggalinya berhak meminta sewa dari kelasi sebanyak sewa ke negeri yang ditujunya. 

Terkecuali jika dia tidak bermaksud ke negeri yang pernah ditujunya semula, meski searah haluan maka tidaklah diminta sewa.

Pasal 4

Macam-macam kelasi ada 4 yakni kelasi tetap, bertugas menjaga kapal dan tidak boleh meninggalkan perahu selama dalam pelayaran, yang kedua kelasi bebas, ketiga kelasi penumpang dan terakhir orang yang menumpang.

Nakhoda tidak diperkenangkan menerima kelasi, kalau belum ada persetujuan tentang barang, baik yang membutuhkan ruangan luas maupun barang tapi yang telah dijanjikan.

Pasal 5

Kerusakan yang ada pada perahu menjadi tanggung jawab juru mudi dan juru batu, keduanya berhak memberikan perintah perbaikan perahu kepada kelasi.

Pasal 6

Syarat-syarat nakhoda perahu ada 15 yakni :

1. Memiliki mental, dan senjata baik senjata berat dan ringan yang berfungsi untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman. 

2. Memiliki perahu yang kuat untuk berlayar, demi mengantisipasi ancaman badai dan berbagai masalah di laut. 

3. Teliti dan rajin, sehingga mampu mengawasi dan menjadi teladan bagi anak buahnya. 

4. Memiliki modal, untuk menyewa kapal maupun membayar denda jika terjadi kesalahan.

5 Mampu mengawasi kelasinya.

6. Mampu menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu.

7. Mampu menerima saran dan kritik.

8. Memiliki integritas dan kejujuran.

9. Menerima kelasi dengan memperlakukannya sebagai anak, sehingga ia bisa menjadi pengayom diantara kelasi yang lain.

10.Senantiasa memberi pelajaran kepada kelasi tentang alat-alat pelayaran tanpa ada rasa jenuh. 

11. Sabar 

12. Disegani

13. Mampu mengurusi dagangan kelasinya

14. Bisa mengkongsi perahunya

15. Mengetahui jalur pelayaran yang dituju.

Pasal 7

Cara bejualan baik dengan menggunakan perahu, berwarung atau bersaudagar ada lima macam yaitu :

· Berkongsi sama banyak, yakni memikul bersama keuntungan atau kerugian yang jika terjadi kerusakan dalam berjualan;

· Samatula , yakni yang punya barang yang memikul segala kerusakannya apabila barang cacat, tetapi jika bukan cara berjualan yang salah maka si pembeli yang menanggungnya;

· Utang tanpa bunga. Si pemberi utang hanya menagih utang jika telah sampai waktunya;

· Utang kembali, harga barang ditetapkan terlebih dahulu, dan akan dibayar jika barang telah laku terjual. Jika tidak laku maka barang dikembalikan.

·  Kalula, orang yang dipercaya menitipkan barang. Kerusakan yang dipikul bersama ada 3 macam : 
1. Rusak di lautan 
2. Dimakan api 
3. Kecurian. 

Kerusakan yang tidak dipikul bersama ada 7 macam :
1. Dijudikan; 
2. Dipelacurkan; 
3. Dipergunakan beristri; 
4. Diboroskan; 
5. Dipinjamkan; 
6. Dimodalkan; 
7. Diberikan untuk makan

Pasal 8

Orang yang meminjam barang di pasar atau dalam pelayaran, di luar pengetahuan keluarganya lalu ia ,meninggal, maaka keluarga tidak boleh ditagih dan mereka tidak patut membayar.

Kecuali jika ia pernah bertemu keluarganya dan pernah diberitahu tentang utang tersebut. 

Maka wajiblah si isteri dan keluarganya membayar.

Pasal 9

Barang dahulu diwarisi kepada anak dahulu, barang dibelakang diwariskan kepada anak dibelakang begitu seterusnya. Baik atau maupun keuntungan. Mengenai pewarisan barang tidak boleh dikembalikan kalau harga diputuskan dan belum diperdagangkan. Jika telah diperdagangkan dan ada yang kurang atau ada yang robek, maka yang kurang ditambah dan yang robek diganti. Pembelian tidak boleh dibatalkan.

Pasal 10

Adapun orang yang bertengkar dengan sesama pedagang dan ma¬sing-masing telah sampai kepada orang tua , yang caranya ber¬tindak sama juga dengan caranya pengadilan, yakni mendengar pembicaraan kedua belah pihak dan saksi kedua belah pihak dan juga keadaan serta kelakuan kedua belah pihak. Jikalau kedua belah pihak (telah menjalani pemeriksaan) dan ternyata keadaannya sama, maka hukum Tuhanlah yang dijalankan terhadap mereka.

Jikalau orang yang bertindak selaku hakim bertanya, maka sipenuntutlah lebih dahulu ditanyai, baru orang yang dituntut. saksinya demikian juga. Maka dimintai mereka akan wakil masing-masing, lalu disuruh mundur sebegitu jauh, sehingga tak dapat mendengar orang yang bercakap-cakap itu. Orang yang bertindak selaku hakim, memikirkan segala seluk-beluk persoalan itu. Masing-masing menghadapkan hatinya kepada Tuhan untuk menciptakan putusan yang jujur. Masing-masing mengikuti akar persoalan. Empat akar besarnya, empat pula akar kecilnya. Jikalau salah satu (diantara orang yang bertengkar itu) ternyata ber¬salah atau ada dalam kebenaran, salahkanlah yang salah, benarkanlah yang benar. Kedua belah pihak tidak boleh lagi memakai ke-kerasan.

Pasal 11 

Adapun pelayar, bila ada pertengkarannya dalam pelayaran, selesaikanlah terlebih dahulu. baru perkenankan mereka naik ke darat. Dimana saja api jadi, di situ juga padam. Jikalau mereka didalam pelayaran berselisih nakhodalah yang menyelesaikan persoalannya. Janganlah dibawakan kesusahan dari luar kepada pemimpin negeri tentang soal pelayaran. (Kecuali perselisihan terjadi di daratan, maka di sana jugalah diselesaikan oleh pemimpin negeri) , sebab tiap-tiap negeri yang engkau singgahi, mempunyai hakim.

Pasal 12

Adapun peraturan yang ditentukan mengenai bagi laba, tujuh macam, yang tidak dipikul bersama dengan yang empunya jualan. Pertama: jangan dipergunakan berlacur; keempat: jangan dipergunakan untuk kawin; kelima: jangan dipergunakan berjudi; keenam : jangan dipergunakan mengisap madat; ketujuh: jangan diboroskan.

Kalau kerugian karena ada diantara yang (tujuh ini) dilakukan, maka yang membawa jualan memikul semua. Kalau modal (si punya jualan) ada, (kembali dengan tidak berkurang) tidaklah ditanyakan kelakuannya. Kalau si pembawa jualan belum kembali dan yang empunya jualan memandang (si pembawa) telah mati, maka yang empunya jualan menerima setengah (modalnya) dari keluarga sipembawa jualan. Dia tidak menunggu lagi kerugian atau keuntungan, kalau telah menerima setengah , walaupun akhirnya si pembawa kembali berlaba atau rugi. Sekiranya jelas kematian si pembawa dalam pelayarannya dan terang juga bukan cara berdagang yang dilakukan sehingga jualannya habis, seharusnyalah keluarganya membayar penuh. Akan tetapi kalau cara berjualan juga dilakukannya sehingga habis barangnya, maka membayar setengahlah si pembawa.

Pasal 13

Adapun hal orang yang berutang, empat macamnya. Pertama: orang yang berutang; kedua: orang yang menyanggupi (membayar utang orang yang disanggupinya); ketiga: orang yang dijadikan penang¬gung keempat: orang yang mengantar, itu jugalah orang yang mempertemukan. Orang yang meminjam, dia sendirilah yang membayar. Pada hal orang yang menyanggupi, bukan dia yang meminjam, akan tetapi dia yang membayar, bila sampai waktunya (dan si peminjam) belum membayar. Adapun (seorang) to'do', tidak boleh ditagih kecuali jikalau orang yang menjadikan dia to'do' meninggal atau menghilang, maka wajiblah to'do' membayar. Dari itu maka ada pribahasa yang mengatakan :„Orang yang menyanggupi, lehernya diikat, orang yang dijadikan to'do', kakinya diikat".

Adapun orang yang mempertemukan, sama halnya dengan orang yang mengantar. Sebab hanya oleh karena (orang yang dapat mem¬beri pinjaman itu) tidak dilihat (oleh orang yang hendak meminjam itu maka ditunjukkannya; dan oleh karena (orang yang dapat meminjamkan itu) tidak dikenal (oleh orang yang hendak meminjam itu), maka diantaranya. Tidak boleh dia ditagih. Hanya orang yang meminjam jualah yang ditagih.

Pasal 14

Adapun orang yang berutang, jikalau telah habis hartanya dijadi¬kan pembayar (utang) dan masih belum cukup untuk menjadi pem¬bayar, maka dia memperhambakan dirinya untuk menutup keku¬rangan itu. Hal inilah yang dinamai riukke' ponna). Tidak boleh lagi ditagih, walaupun dia mendapat kebaikan sesudah dicabut po¬honnya beserta akarnya. Dia membayar dengan memperhamba diri; yang empunya barang tidak boleh lagi menuntutnya. Adapun orang yang mengambil utang berbunga, ialah yang dinamai riraung cempa (dipetik sebagai daun asam) yakni, telah dipetik daunnya dan bila tumbuh daunnya (kembali) dipetik lagi. Begitulah buruknya di dunia. Adapun akibatnya diakhirat, tidaklah terkatakan: bunganya berbunga. Janganlah tetapkan harga diri (sipeminjam). Jikalau telah kau perbudak dia, telah kau cabut pohonnya beserta akarnya, jangan dipetik, (lagi) (dimintai bunga). Tidak boleh lagi ditagih bila dia kelak mendapat kebaikan. Hanya utangnya saja yang dibayarnya, tidak lagi membayar bunganya . Adapun yang dinamai rirappasorong, hanya seorang yang berutang, tetapi banyak yang memberikan piutang. Jikalau dia membayar (dan) tidak cukup pembayarannya, maka yang memberikan pinjaman hanya berhak menerima jumlah sesuai dengan perbandingan piutangnya masing-masing. Banyak piutangnya, banyak pula diterimanya. Kurang piutangnya, kurang pula diterimanya. Dicabut pohonnya beserta akarnya atau tidak dicabut pohonnva beserta akarnya, lunaslah utangnya itu. Bila dia mendapat kebaikan kemudian dari pada itu, untungnya sendirilah itu, tidak boleh lagi ditagih .

Pasal 15

Adapun budak jikalau disuruh membawa barang jualan dan dia melakukan kesalahan dalam pelayaran, jikalau engkau (nakhoda) merebut barang jualannya, pada hal tidak ada perwakilan padamu dari orang yang menyuruhnya dan rusak dalam tanggunganmu, kamu harus menutupinya ( membayar harga kerusakan itu). Engkau baru luput, bila barang itu telah tiba pada yang empunya jualan. Kalau memang ada perwakilan (padamu) lalu engkau mensitanya, maka dialah ( siempunya barang) menanggung baik-buruknya. Sama halnya dengan orang yang membawa jualan, dalam keadaan rusak, menurut peraturan bagi laba sama.

Pasal 16

Adapun pedagang yang meninggal dalam pelayaran, carilah ahli wa¬risnya, yang tidak akan merusak ( menghilangkan barang orang yang meninggal itu). Dudukkanlah beberapa orang untuk hal itu, lalu serahkan (harta bendanya), supaya engkau saling menyaksikannya. Adapun kesukarannya, taksirlah (harga) barang itu, (lalu) dijadikanlah wang dan sesudahnya terimakanlah kepadanya, lalu engkau masing-masing mencatatnya dalam bukumu. Jikalau tidak ada ahli-warisnya, nakhodanyalah yang menerimanya. Kalau ada yang engkau ( nakhoda) pakai maka rusak, gantilah. Kalau berlaba, milikmu semua laba itu. Yang empunya barang ti¬dak mengenal baik atau buruknya. Setelah engkau tiba di negerinya, serahkanlah kepada anaknya (atau) isterinya. Persaksikan jualah, supaya engkau bersih.

Pasal 17

Adapun bayar-membayar (bagi) orang yang saling berutang, baik bagi laba maupun lain-lain (macam) utang-piutang, (kalau) wang yang dipinjam, maka uang yang dibayarkan, (kalau) barang jualan yang dipinjam, jualan yang dibayarkan. Jikalau wang yang dipinjam (dan) jualan yang dibayarkan, maka itu atas putusan orang penengah yang menaksir harga barang itu. Jikalau jualan yang dipinjam (dan) wang yang dibayarkan, maka itu tergantung pada persetujuan mereka. Jikalau berlainan jenis jualan yang dipinjamnya dengan yang dibayarkannya, terserahlah pada persepakatannya. Itulah yang dinamai taro anappalallo bekka' temmakkasape' penyelesaian secara istimewa. Oleh karena menurut adat tidak boleh hal itu dipandang sebagai anak, akan tetapi orang tidak terlarang bersepakat dengan sesamanya pedagang.

Pasal 18

Adapun yang dinamai kalula, ialah, dia dan keluarganya tidak menanggung kerusakan jualan, akan tetapi hanya menunggu belas-kasihan semata-mata. Jikalau rusak karena bukan cara jualan yang dilakukannya, maka kalula yang membayarnya, tidak sampai kepada keluarganya; (jadi) hanya dirinya sendiri yang menanggung utang. Dari itu maka hanya orang yang merdekalah yang dijadikan kalula. Oleh karena tidak boleh luput dari peraturan. Hanya mencarikan jalan sekadar mendapat pembayar untuk membayar utangnya.

Pasal 19

Adapun ana'guru yang mengambil utang dari orang lain di luar pengetahuan gurunya, maka habis yang dipinjamnya itu, gurunya tidak wajib membayar. Jika budaknya saja disuruh menjaga jualan, maka (budak itu) pergi juga berutang pada orang lain dan sebelum habis laku (barang yang dipinjam itu) telah bertukar rupa , apalagi kalau hilang, atasannyalah yang membayar. Oleh karena kepercayaannya (kepada budak itu) lebih dahulu dari pada disuruhnya (dia) menjaga. Akan tetapi (pada umumnya) budak tidak boleh diberi meminjam tanpa pengetahuan tuannya.

Pasal 20

Adapun orang yang dipungut di lautan, sekalipun (telah) terdampar pada sebuah pulau, akan tetapi ternyata sama sekali tidak ada sesuatu apa yang dapat menghidupkannya (di pulau itu), sama juga halnya dengan orang yang dipungut di tengah lautan. (Pada orang yang demikian itu) dibebankan bayaran menurut harga pasar tiap-tiap orang (yang dipungut di tengah lautan). Jikalau mereka terdampar pada sebuah gosong, dimana ternyata ada yang dapat menghidupkannya, hanya empat rial diminta dari tiap-tiap orang. Jika memang tidak ada perjanjianmu nakhoda, lalu dia yang dipungut itu pergi keadat, maka putusan adatlah yang diikutinya.

Pasal 21

Amanat Amanna Gappa, kepala seluruh orang Wajo di Ujung Pandang, telah disetujui oleh kepala seluruh orang Wajo di Sumbawa, di Paser, pada waktu mereka duduk mengadakan pertemuan (di Ujung Pandang). (Amanat tersebut) dicantumkan di dalam buku, supaya diikuti turunan mereka, diwarisi oleh anak cucunya dan oleh seluruh pedagang yang lain. Ada dua golongan yang hendaknya diperhatikan baik-baik : orang yang meminjam dan orang tempat meminjam.

Adapun cara memperhatikannya: jangan mengambil utang bagi laba pada orang yang lebih berpengaruh dari pada engkau dan juga jangan beri dia berutang bagi laba. Adapun keburukannya, sering dia tidak mau mengikuti peraturan bea perdagangan. Jikalau kau berikan utang bagi laba, sesuaikanlah dengan harta miliknya beserta (harta) keluarganya dan (harta) golongan keluarganya yang dekat.Sebabnya, jikalau beroleh kerusakan dan tidak cukup pembayarannya, adalah yang dilihat ( menjadi tanggungan bagi) barangmu.

Adapun caranya orang berutang-piutang, baik bagi laba, maupun samatula, baik utang biasa tanpa bunga dan segala utang-putang yang lain-lain, jikalau yang empunya piutang yang me¬minjamkan barang berkeras mau menerima (bayaran), maka (hendaklah) ditaati peraturan yang sudah ditetapkan. Jikalau yang berutang membayar dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka ditaksirlah harga segala barang miliknya sendiri.

Jikalau telah habis harta miliknya dibayarkan dan masih belum mencukupi pembayarannya, maka lunaslah utangnya. Tidak boleh lagi ditagih, meskipun ada rezeki dikaruniakan oleh Allah Ta'ala sesudah dibayarkan harta miliknya. Tidak boleh (pula) ditagih lagi, oleh karena dia sebagai orang yang merdeka seperti kita, tidak bo¬leh keluar dari lingkungannya ( tidak boleh sesama kita merdeka dipaksakan mencari wang di luar lingkungannya dengan mem-perhambakan dirinya). Apa lagi jangan dipikir akan kemungkinan untuk dibuang ke Jawa , artinya: jangan ditaksir harga diri orang itu. Jikalau engkau tidak menghendaki kurang piutangmu, janganlah engkau cabut pohonnya beserta akarnya. 

Tunggulah tumbuhnya tunggulah rezekinya dikemudian hari, harapkanlah itu atau berikanlah dia dagangan untuk dijadikan mata pencahariannya. 

Mudah-mudahan kamu sama bertuah dan terkabul doamu sama-sama dikasihani dan dikaruniai rezeki oleh Allah Ta'ala, sehingga ada yang dibayarkannya kepadamu untuk melunaskan segala utangnya."

Di sharing dari berbagai sumber

Senin, 22 April 2024

Mengenal Opu Daeng Risaju





Opu Daeng Risaju Wanita Berhati Baja Dari Tana Luwu.

Opu Daeng Risaju
“Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”
(Opu Daeng Risaju,Ketua PSII Palopo 1930) 

Itulah penggalan kalimat yang diucapkan Opu Daeng Risaju,seorang tokoh pejuang perempuan yang menjadi pelopor gerakan Partai Sarikat Islam yang menentang kolonialisme Belanda waktu itu,ketika Datu Luwu Andi Kambo membujuknya dengan berkata “Sebenarnya tidak ada kepentingan kami mencampuri urusanmu, selain karena dalam tubuhmu mengalir darah “kedatuan,” sehingga kalau engkau diperlakukan tidak sesuai dengan martabat kebangsawananmu, kami dan para anggota Dewan Hadat pun turut terhina. Karena itu, kasihanilah kami, tinggalkanlah partaimu itu!”(Mustari Busra,hal 133).Namun Opu Daeng Risaju,rela menanggalkan gelar kebangsawanannya serta harus dijebloskan kedalam penjara selama 3 bulan oleh Belanda dan harus bercerai dengan suaminya yang tidak bisa menerima aktivitasnya.Semangat perlawanannya untuk melihat rakyatnya keluar dari cengkraman penjajahan membuat dia rela mengorbankan dirinya.

Perempuan fenomenal ini,memiliki nama kecil Famajjah.Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880,ia hasil perkawinan antara antara Opu Daeng Mawelu dengan Muhammad Abdullah To Bareseng.Opu Daeng Mawelu adalah anak dari Opu Daeng Mallongi,sedangkan Opu Daeng Mallogi adalah anak dari Petta Puji.Petta Puji adalah anak dari La Makkasau Petta I Kera,sedangkan La Makkasau Petta I Kera adalah anak Raja Bone ke 22 La Temmasonge Matinroe Ri Mallimongeng (memerintah tahun 1749-1775) dari hasil perkawinannya dengan Bau Habibah puteri Syek Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.La Temmassonge Matinroe Ri Mallimongeng adalah putera Raja Bone ke 16 La Patau Matanna Tikka (memerintah antara tahun 1696-1714) dari hasil perkawinannya dengan We Ummu Datu Larompong puteri Datu Luwu Matinroe Ri Tompo Tikka.dari silsilah keturunan Opu Daeng Risaju tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ia berasal dari keturunan raja-raja Tellumpoccoe Maraja,yaitu:Gowa,Bone dan Luwu.(Muh.Arfah & Muh.Amir:Biografi Pahlawan:Opu daeng Risaju,hal 39).
Fammajah adalah seorang gadis hitam manis yang lincah dan berwajah serius,Ia banyak mengisi masa kecilnya dengan menamatkan Al-Quran,mempelajari fiqih dari buku yang ditulis tangan sendiri oleh Khatib Sulaiman Datuk Patimang,atas bimbingan seorang ulama dan beberapa orang guru agama.Selain itu ia mempelajari nahwu,syara dan balaqhah,yang merupakan dasar bagi pengkajian ilmu-ilmu agama yang lebih tinggi.Pengetahuan tentang baca tulis huruf Latin berkat ketekunannya sendiri.Lain halnya dengan tokoh-tokoh pelopor wanita lainnya sperti Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika,Maria Walanda Maramis,Rasuna Said dan lain-lain setidaknya mempunyai pendidikan formal tingkat menengah.Opu Daeng Risaju tidak pernah diasuh dibangku sekolah atau belajar secara formal dari pendidikan buatan Hindia Belanda.

***
Pertemuannya dengan Haji Agus Salim ketika beliau datang berkunjung ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan dalam rangka konferensi Partai Sarekat Islam di Pare-pare,membekas dalam ingatan Opu Daeng Risaju.Kesamaan cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan bumiputera dan melepaskan dari cengkraman penjajah Belanda yang dijelaskan oleh Haji Agus Salim sebagai tujuan pendirian Partai Sarikat Islam,membuat Opu Daeng Risaju semakin bersemangat untuk berjuang.
Setelah berhasil mempropagandakan PSII kepada keluarga, sahabat dan masyarakat di Palopo, Opu Daeng Risaju bersama Achmad Tjambang, Beddu, Tjukkuru Daeng Manompo, Daeng Malewa, Ambo Rasia, Ambo Baso, Imam Buntu Siapa, Parakkasi, Sigoni, dan Mudhan, mempermaklumatkan berdirinya PSII Cabang Palopo dalam suatu rapat umum. Opu Daeng Risaju sendiri bertindak sebagai ketua, dibantu sekretaris Achmad Cambang dan bendahara Mudhan.
Permakluman berdirinya PSII ini tentu saja menggelisahkan para pejabat Belanda dan pembesar-pembesar kerajaan, termasuk raja Luwu sendiri. Mereka khawatir karena PSII ketika itu telah mengambil kebijaksanan yang bersifat noncooperatif dengan pemerintah, Dan, apa yang mereka khawatirkan itu memang terbukti dikemudian hari. Opu Daeng Risaju bersama dengan teman-temannya menempuh pula kebijaksanaan noncooperatif dengan penguasa Belanda dan bahkan dengan penguasa kerajaan. Sikap noncooperatifnya inilah yang pada akhirnya menjebloskannya ke dalam penjara Belanda. 
Tak lama sesudah diresmikan berdirinya, PSII berkembang dengan pesat dan berhasil membuka ranting di beberapa daerah dalam wilayah kerajaan Luwu. Salah satu rantingnya adalah Malangke. Pada akhir tahun 1930, pengurus dan anggota PSII Ranting Malangke mengundang Opu Daeng Risaju untuk berbicara dalam suatu rapat umum. Pembicaraan Opu Daeng Risaju dalam kesempatan itu dinilai oleh kepala Distrik Malangke sebagai suatu pidato propokatif yang menghasut rakyat untuk tidak taat kepada pemerintah. Kepala distrik Malangke segera melaporkan hal itu kepada kontroleur di Masamba. Atas laporan tersebut dikerahkanlah polisi untuk menangkapnya dan membawanya ke Palopo untuk diperhadapkan ke pengadilan. Tetapi, sebelum diadili  atas dasar pertimbangan kemanusian karena dia perempuan dan seorang bangsawan tinggi  Assisiten Resident Luwu meminta dulu kepada Datu Luwu Andi Kambo, agar membujuknya supaya meninggalkan partainya dan menghentikan kegiatan politiknya. Kalau bersedia maka dia akan dibebaskan dari segala tuntutan.Namun ia menolaknya,itulah yang menyebabkan dia harus dijebloskan dalam penjara Belanda.
Opu Daeng Risaju adalah seorang perempuan Bugis yang meletakkan makna konsistensi perjuangan dalam dirinya.Opu Daeng Risaju adalah seorang social agency (agen perubahan social), menurut Lyod (1999:93-95),dalam satu masyarakat selalu terdapat apa yang disebut sebagai social agency,yakni ”individu” atau ”kelompok” otonomis yang berada dan menjadi bagian masyarakat tetapi mempunyai power,authority, dan kharisma untuk bertindak sebagai ”aktor” yang mengatur dan mengendalikan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.Besar kecilnya authority yang dimilikinya,tergantung pada kemampuan masing-masing.Besar kecilnya power yang mereka miliki tergantung pada kedudukannya dalam struktur sosial, baik formal maupun non formal.Adapun kharisma yang dimiliki social agency tentu biasanya bersifat irasional, namun selalu juga terkait dengan authority dan power.Makin tinggi posisi dan kedudukan seseorang dalam struktur, makin tinggi pula authority, power, dan kharismanya.
Opu Daeng Risaju adalah potret nyata eksistensi perempuan Sulawesi Selatan dalam menggerakkan realitas sosial masyarakatnya justru ketika bangsa ini masih berada dalam cengkraman penjajahan Belanda.Ia begitu teguh dengan keyakinannya seolah mengingatkan kita pada pada Joan D Ard,perempuan Prancis yang memimpin peperangan dalam melawan Inggris pada abad pertengahan.Opu Daeng Risaju adalah potret nilai konsistensi manusia dalam memperjuangan rakyat yang masih memiliki relevansi dengan kondisi kekinian.Juga refleksi bagi tokoh-tokoh agama hari ini untuk lebih memposisikan diri dibarisan terdepan dalam membela kepentingan ummat agar bebas dari pembodohan,kemiskinan,dan kezaliman.

Kronologis:
1880 : Lahir di Palopo
1912 : Berdirinya Sarekat Islam di Solo
1913 : Berdirinya Sarekat Islam di Makassar
1913 : Kongres Sarikat Islam Pertama di Surabaya
1914 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Mandar di Pamboang
1921 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Sinjai
1927 : Opu daeng Risaju menjadi anggota SI cabang Pare-Pare
1928 : Berdirinya Sarikat Islam Cabang Barru
1929 : Berdirnya Sarikat Islam Cabang Pambusuang
1929 : Kelompok Pappadang (kelompok padagang Mandar) mendirikan Sarikat Mandar di Padang Sumatera Barat.
1929 : Perubahan nama dari Sarikat Islam ke Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII)
1930 : PSII menerima 3 anggota baru dari golongan Adat yang potensial yakni: Andi Abdul Kadir anggota Swapraja Tanete/Barru, Datu Hj.Andi Ninnong anggota Swapraja Wajo dan Opu Daeng Risaju anggota Swapraja Luwu.
1930 : Pendirian Cabang PSII Cabang Luwu,Wajo dan Tanete/Barru
1930: Opu Daeng Risaju menghadiri Kongres PSII di Pare-Pare.Bertemu dengan pengurus Pusat PSII H.Agus Salim dan A.M.Sangaji.
1930: Opu daeng Risaju mendirikan ranting PSII di Malangke sebagai bagian dari Cabang PSII Luwu.
1930: Aktivitas radikal di PSII membuat Belanda menjatuhkan vonis 13 bulan penjara untuk Opu Daeng Risaju.
1930: Penangkapan Opu Daeng Risaju menyulut solidaritas rakyat bahkan membuat PSII semakin bekembang.
1932: Mendirikan Ranting PSII di Malili
1932: Ditangkap bersama suaminya H.Muhammad Daud di distrik Pitumpanua.Selanjutnya mereka dibawa ke Kolaka.Kemudian di bawa lagi Palopo.
1932: Mendapat Sangsi Adat dengan pencoptan gelar kebangsawanan karena tidak menghentikan aktivitas perjuangannya.Dan bercerai dengan suaminya karena suaminya mendapat tekanan kelompok adat dan Belanda waktu itu.
1933: Berangkat ke Jawa mengikuti Kongres Majelis Taklim PSII di Batavia (Jakarta)
1934: Mendapat hukuman penjara 14 bulan
1935: Datu Luwu Andi Kambo Daeng Risompa meninggal dunia dan digantikan Datu Andi Jemma yang lebih pro pada perjuangan Opu Daeng Risaju.
1942: Sulawesi Selatan resmi dikuasai oleh Jepang.Pelarangan semua organisasi sosial maupun politik termasuk PSII oleh rezim Jepang.
1942: Pembunuhan Ahmad Cambbang salah satu tokoh PSII Luwu karena penentangan terhadap kebijakan Jepang.
1945:Kemerdekaan Indonesia dan Jepang menyerah pada sekutu.
1946:Anggota PSII dan kelompok pemuda melakukan perlawanan terhadap NICA atas instruksi dari Opu Daeng Risaju.Mereka menyerang pusat kegiatan NICA di Bajo Palopo Selatan.
1946:Nica melakukan serangan balasan ke Belopa serta memburuh Opu Deang Risaju yang dianggap sebagai penggerak perlawanan rakyat.
1947:Opu Daeng Risaju ditangkap di Bone oleh NICA.dan dihukum 11 bulan penjara.
1949:Opu Daeng Risaju tinggal di Pare-Pare ikut anaknya H.Abdul Kadir Daud
1959:Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.227/P.K. tertanggal 26 Februari 1959 memberikan tunjangan penghargaan pada Opu Daeng Risaju dari Palopo sesuai dengan PP No 38 
1964: Opu Daeng Risaju menghembuskan nafas terakhir dan dikuburkan di perkuburan Raja-Raja Lakkoe di Palopo, tanpa ada upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan yang meninggal..

Sabtu, 20 April 2024

Surat Cinta Kepada Presiden RI Joko Widodo



Surat Cinta Kepada Presiden RI Jokowi Dodo

Salama' ki pada-pada
Selamat datang di Bumi Kondo sapata Wai Sapalelean Presiden ke 7 Ir. H Joko Widodo, selaku Masyarakat Mamasa kami menyambut baik kedatangan Presiden ke litak di ADA'I (Tanah Beradat) kabupaten Mamasa, ini kali pertamanya sejak Indonesia terbentuk seorang Presiden menginjakkkan kakinya di Kabupaten Mamasa.

kami sangat senang dengan Kunjungan Kerja Bapak ke Kabupaten paling tertinggal di Sulawesi Barat ini. kami sangat berharap dengan kehadiran presiden RI di kabupaten Mamasa , Mamasa bisa mendapatkan perhatian Nasional. Seperti yang di ketahui oleh banyak warga mamasa bahwa Kabupaten Mamasa setelah zaman  Ramlan Badawi-Martinus Tiranda sebagai bupati dan wakil bupati Mamasa memiliki jutaan Masalah yang tak selesai hingga akhirnya mereka berdua menyelesaikan Periode. Tak kurang dari 220 M defisit yang di tinggalkan HARMONIS untuk Mamasa pada pertengahan 2023 saat mereka mengakhiri jabatannya juga hutang dana PEN sebesar 97 M menjadi warisan untuk seluruh rakyat Mamasa. 

Defisit 220 M dan keharusan membayar cicilan bunga dana PEN 97 M membuat Mamasa masuk dalam masa Krisis dan hampir bangkrut (Kolaps). Pergeseran Dana Alokasi Khusus untuk dana sertifikasi dan Tambahan penghasilan Guru dialihkan Oleh Pemda Mamasa sehingga menimbulakan Gejolak dan mogok kerja oleh Guru guru pada rentan waktu 2022-2024, Pembayaran Gaji dan Honor para tenaga Kontrak Daerah juga tenaga Kesehatan menjadi tertunda bahkan untuk gaji para tenaga Honorer tahun 2022 di Putihkan Oleh Pemda Mamasa. Pemda Mamasa juga melakukan Pemecatan terhadap Para tenaga Kesehatan yang 
memperjuangankan Gajinya sehingga berakibat pada tidak maksimalnya pelayanan Kesehatan utamanya di RSUD Kondosapata, beberapa tenaga kesehatannya juga melakukan Mogok Kerja sehingga pelayanan di RSUD Kondosapata sempat terhenti. RSUD kondosapata juga memiliki beragam Masalah dalam prosedur pelayanan hingga warga Mamasa menyebutnya sebagai “Rumah Sakit Rujukan” rumah sakit yang hanya bisa merujuk pasiennya.

Aparat Desa dan Kepala Desa juga menjadi Korban dari Defisit yang di alami Mamasa, Siltap Aparat Desa dan Kepala desa juga di tunda pembayarannya Oleh Pemda Mamasa bahkan sampai 7 bulan padahal seharusnya Pemda Mamasa membayarkan Siltap ini setiap bulan. Dari 168 desa yang ada di Mamasa belum 50% yang menerima pemabayaran Siltap ini. rezim Harmonis juga meninggalkan Utang Kepada para pihak ke-3 di Mamasa atau Para Kontraktor yang nilainya sampai ratusan M.

Sebagai informasi Juga pak di kabupaten Mamasa banyak sekali Pasar yang di bangun baik dari dana kementrian perdagagnan maupun APBD Mamasa seperti pasar Rakyat Malabo dan Pasar Barra Barra yang terbengkalai dan cenderung buang buang anggaran kerena sebelum Gedung pasar ini di bangun Pemda Mamasa tidak mempertimbangkan Lokasi pasar sebelumnya sehingga bangunan ini menjadi Mubazzir.

Masih ada banyak Masalah di Mamasa pak Presiden yang mungkin jika di sebutkan 1 persatu tidak akan cukup 1 buku. Tapi kami berharap Masalah Masalah di atas dapat di perhatikan Oleh Pemerintah Pusat utamanya peningkatan fasilitas pelayanan Kesehatan di Mamasa, karena untuk mendapat pelayanan Kesehatan yang Prima di Kabupaten Mamasa masih sangat sulit. Kami juga berharap penegakan Hukum yang tidak pandang Bulu untuk mereka Mafia dan Perampok APBD Kabupaten Mamasa.

Terima Kasih, Kurru Sumanga'
Dari Rakyat Mamasa yang mencintaimu

Taufik Rama Wijaya