Rabu, 06 Juli 2016
Sabtu, 25 Juni 2016
ABSTRAK MAKALAH DRS. DARMANSYAH KE KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X
“ORANG MANDAR PELAUT ULUNG”
Oleh: Drs. Darmansyah
Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Barat
Ketua DPRD Kabupaten
Majene
ABSTRAK
Jauh sebelum konsep Tanah Air yang tertuang
dalam naskah Sumpah Pemuda tahun
1928, di sebuah wilayah konfederasi bagian Sulawesi bagian barat sudah berbentuk
negara, yaitu Pitu Ulunna
Salu – Pitu Ba’bana Binang. Sejak tahun 1580, wilayah ini sudah dikenal lita’ Mandar yang mempunyai pengertian “Tanah Air“. Dari sini,
sebuah peradaban Mandar terbentuk sebagai wilayah dan sebagai suku bangsa. Suku
bangsa Mandar yang terdiri dari tujuh wilayah adat yang berada di daratan
dan tujuh wilayah adat yang berada di pantai. Tujuh wilayah adat ini menjadi negara konfederasi
Mandar adalah yang notabene wilayah pantainya adalah kerajaan
bahari (berhadapan langsung dengan laut lepas) sementara
dari pegunungan menguatkannya dengan adanya aliran sungai yang semuanya
bermuara ke teluk Mandar. Alasan inilah barangkali yang membuat Kristian Pelras, penulis buku “The Bugis” menyebutkan bahwa bukan
orang Bugis atau orang Makassar pelaut ulung, tapi orang Mandarlah yang lebih tepatnya disebut pelaut ulung.
Adanya ritual pelantuikan Raja-raja di Mandar yang dilantik diatas punggung penyu adalah simbol kepemimpinan yang letak geografisnya
berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu. Pannu (Panynyu) adalah
jenis hewan laut yang dalam bahasa Indonesia disebut Penyu. Secara Filosofi
mengandung makna yang dalam tentang penyu yaitu:
(1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun, dan diharapkan raja dapat
bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat; (2) Penyu
mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Inilah salah satu bukti bahwa
orang Mandar itu adalah orang laut yang
sumber penghidupannya berada di laut namun
peradabannya besar di daratan; (3) Penyu punya karakter pendiam tapi dalam hal mencari rejeki ia pantang
menyerah pada keadaan (ombak
besar). Penyu juga mempunyai jumlah telur yang banyak.
Filosofi penyu bagi orang
Mandar terlakonkan dengan
kepiawaiannya mengarungi laut dengan perahu
“Sande’-nya” untuk mencari rejeki. Orang Mandar dengan
gagah-berani mempertaruhkan
hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah
pada laut yang dalam. Hal paling inti
dari filosofi penyu terletak pada kulitnya yang tebal yang mempunyai fungsi melindungi
tubuhnya dari peredator. Ini menjadi sebuah
harapan kepada raja untuk dapat
melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Kesemuanya itulah sehingga tidak berlebihan jika orang
Mandar mengabadikan nama
penyu melalui kue tradisional yang
disebut “Tallo Pannu”.
Terkait keberanian orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan
perahu tradisional sande’ dapat dibuktikan melalui leluhur
Komjen Pol. Drs. H Syafruddin Kambo, M.Si (Kalemdikpol
RI) yang menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1889. Perahu
tradisional “ sande’ “ hari ini telah menjadi warisan budaya nasional yang
dibuktikan dengan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan Nasional RI, dengan nomor
registrasi : 154004 B/MPK.A/DO/2014. Selain itu, di kepulauan
nusantara ini, kita bisa menemkan beberapa jejek perkampungan orang Mandar di
pesisir pulau jawa dan Bali, termasuk di Nusa Tenggara dan Kepulauan Bangka
Belitung.
PENDAHULUAN
Indonesia
dalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dari data Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI tahun 2010, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas
daratan 1.922.570 km2 dan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah
dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut
Indonesia sebesar 7. 900. 000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan
luas daratan dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia
beraneka ragam, seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan
faunanya.
Dengan
kondisi seperti itu, maka tak berlebihan jika Indonesia ini disebut bumi
maritim. Indonesia menjadi bagian terpenting dari sistem planet bumi yang
merupakan satu kesatuan alami antara darat dan laut di atasnya tertata secara
unik, menampilkan ciri-ciri negara dengan karakteristik sendiri yang menjadi
wilayah yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Hal inilah yang kemudian jadi
acuan dalam menggagas sebuah Negara Maritim Indonesia sebagai aktualisasi
wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola
tindak bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara.
Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama,
terbayang sebagai kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air. Interaksi
antar pulau dalam bentang Sabang hingga Merauke seyogyanya tidak bisa
dipisahkan dari laut, termasuk daratannya juga tak bisa dipisahkan dari alur
sungai yang bermuara ke laut. Di Jawa, kota-kota besar, Surabaya, Semarang dan
Jakarta, terbentuk oleh kehadiran pelabuhan-pelabuhan. Demikian pula di
Sulawesi, peradaban bahari bertaut erat dengan relasi dagang antara kesultanan
besar sejak dahulu kala.
Hari ini, Indonesia mempunyai sumber daya
manusia sebesar 250 juta orang penduduk. Angka terbesar keempat di dunia
setelah Tiongkok, India, dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak
ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus demografi), dengan jumlah kelas
menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal kekayaan alam
yang melimpah dan beragam baik di darat ataupun lautan, serta posisi geoekonomi
yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global. Ada sekitar 45% dari
seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$1.500
triliun per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2010).
Selama ini ada sebuah yang ironi, bahwa
filosofi yang mendasari setiap kebijakan nasional kita selama ini selalu
bertumpu pada paradigma “daratan”. Di sinilah letak ironinya, negara kita yang
sejak dahulu tersohor dengan negara maritim dengan wilayah yang 75% lautan,
namun kita sama sekali mengabaikan bahkan “memunggunginya”. Tidak mengherankan
bila sampai saat ini, negara-negara lainnya yang justru menangguk keuntungan
dari semua kekayaan laut kita.
Sampai saat ini, pencapaian hasil pembangunan
maritim Indonesia masih menyisakan begitu banyak persoalan dan pekerjaan rumah
bagi pemerintah. Salah satu buktinya adalah hingga kini kontribusi seluruh
sektor maritim terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal, pada Negara-negara
dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti
Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok dan Thailand, kontribusi
bidang maritimnya rata-rata telah mencapai di atas 30% dari PDB.
Hal lain yang perlu diingat, peradaban
sungai adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban
yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya
pesisir. Artinya, jika upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada
paradigm “kelautan” semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau
ketimpangan pembangunan pasti akan terjadi seperti pada masa Orde Baru, namun
dalam wujud yang berbeda. Untuk itu diperlukan sebuah cara berpikir dan
bertindak baru untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
ORANG MANDAR PELAUT ULUNG...............................................................................
...........................................................................................................................................................dst.
Inilah Makalah yang akan dikirimkan ke Kongres Sejarah Indonesia, 7-10 November 2016 di Jakarta.
Rabu, 15 Juni 2016
CV. JURAGAN PASAR GROUP GARAP KELOR DI SULBAR
Kalau di Sulsel Musawwir Muchtar berhasil mempresentasekan kelebihan
daun kelor dihadapan Presiden Barack Obama (Baca: Fajar, 15 Juni 2016), maka di
Sulbar ada Abdul Rasyid Ruslan yang saat ini intens dalam pembelian
biji kelor dan penanaman Pohon Kelor sebagai komoditas yang insyaallah mampu
mengubah persentasi angka kemiskinan dan pengangguran di Sulbar. Baik Musawwir
maupun Abdul Rasyid, keduanya adalah sosok pemuda yang punya perhatian besar
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Keduanya berhasil membuktikan bahwa
dunia memang tak selebar daun kelor. Persoalannya adalah, maukah masyarakat
kita berubah? Sebab sangat susah memang untuk mengajak masyarakat berubah jika
masyarakatnya sendiri tidak ada keinginan untuk berubah. Kondisi ini sama
persis dengan mengajari kambing bernyanyi.
Sekarang peluang itu telah
terbuka. Dibawah panji CV.Juragan Pasar dan CV. Kenduri Cinta Indonesia siap
menjadi mitra anda untuk meraih masa depan yang lebih baik dengan budidaya
kelor. Untuk informasi lebih lanjut mengenai penjualan dan penanaman kelor
silahkan menghubungi kami di RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN (RUMPITA) TINAMBUNG.
Kami perusahaan yang
bergerak sebagai suppliers comodity membutuhkan biji kelor dalam jumlah banyak.
Silahkan menghubungi kami :
085230663104 (ABD RASYID / Direc. Juragan Pasar)
082113008787 (Muhammad Munir / Manaj. Rumpita)
PIN BB: 59991E5D
WA/LINE/WeChat : 081242705488
Silahkan menghubungi kami :
085230663104 (ABD RASYID / Direc. Juragan Pasar)
082113008787 (Muhammad Munir / Manaj. Rumpita)
PIN BB: 59991E5D
WA/LINE/WeChat : 081242705488
Selasa, 14 Juni 2016
Mengenang Kolonel Abdul Rauf, Mantan Bupati Majene 1965-1967
Desa
Samasundu adalah sebuah perkampungan tua yang dulu masuk dalam wilayah adat
pemerintah kerajaan Balanipa, yaitu Appeq Banua Kayyang. Disana tinggal
sepasang suami istri yang kukuh mempertahankan cintanya dalam ikatan rumah
tangga. Namanya H. Tanggo Daengna I Saniasa dengan Sinna yang melahirkan enam orang
anak, salah satunya adalah Abdul Rauf yang lahir bertepatan dengan hari Jumat
tanggal 17 Agustus 1923.
Sinna, ibu
dari Abdul Rauf masih tercatat sebagai keturunan langsung pappuangan. Meski
begitu, gaya hidupnya tak pernah menampakkan sifat-sifat feodal. Demikian juga ayahnya,
H. Tanggo Daengna I Saniasa, juga dari keturunan adat Banua Samasundu-Napo dan keturunan
adat kerajaan Pambauang. Jadi dalam darah ayahnya, mengalir cera’ puang yaitu
Balanipa dan Pamboang.
Dari
pasangan inilah tumbuh dan berkembang seorang anak yang bernama Abdul Rauf.
Rauf menempuh pendidikan sekolah dasarnya dengan berjalan kaki dengan jarak
tempuh yang lumayan jauh. Pendidikan sekolah dasarnya ia jalani di HIS selama
enam tahun. HIS saat itu hanya ada di Majene, Ibukota Afdeling Mandar. Bisa
dibayangkan jarak tempuh antara
Samasundu dan Majene sejauh 15 kilometer.
Tapi bukan
Rauf kalau tak bisa menyiasati kasulitan dalam perjalanan ke sekolah ini. Pada
awalnya ia menempuh dengan jalan kaki mulai dari rumahnya hingga sejauh 5
kilometer hingga tiba Tinambung. Di Tinambung lalu dilanjutkan naik
bendi-kendaraan tradisional Mandar- yang ditarik seekor kuda di Majene. Sitti
Alawiah termasuk yang berjasa menunggunya dalam perjalanan sejauh 10 kilometer.
Rutinitas ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut. Pada tahun kelima
dan keenam di HIS, strategi perjalanan pun berubah dan ini akan menjadi sebuah
kisah yang tak pernah dilupakan oleh Abdul Rauf semasa hidupnya.
Begitu dalam
kumpulan naskah ‘’Kenanganku’’ yang disusun sendiri oleh Abdul Rauf, di akhir
tulisan tertanggal 26 Mei 1984, sebagai kado ulang tahun perkawinannya yang ke
37. Ceritanya begini. Seorang teman kelasnya bernama
Sitti Alwiah, Seorang anak dari
jalur Pappuangan Biring Lembang. Sitti Alawiah tinggal di kampung
Tangnga-tangnga, samping masjid kerajaan Balanipa, 10 kilometer dari Majene.
Jadi ketika Abdul Rauf usai menempuh jalan kaki 5 kilometer, maka tibalah di
tempat Sitti
Perempuan
ini memiliki sebuah sepeda hasil pemberian kakaknya, Muhammad Taufik. Tapi
sayang Sitti Alawiah tak bisa mengayuh sepeda. Untungnya Abdul Rauf lincah naik
sepeda tapi ia tak punya sepeda. Nah dua kesulitan ini pun berkumpul menjadi
satu. Seseorang punya sepeda dan yang satu tak punya sepeda, tapi terampil
besepeda.
Melanjutkan
perjalanan ke sekolah HIS di Majene, mereka pun bersepakat berboncengan, Abdul
Rauf di depan mengayuh pedal dan Sitti
Alawiah duduk dibangku boncengan. Untungnya bagi Abdul Rauf, ketika pulang
sekolah, saat Sitti Alawiah sudah tiba di rumahnya sepeda pun dilanjutkan ke
rumah Abdul Rauf, hingga malam. Begitulah seterusnya.
Rupanya
masih ada kesepakatan dari keduanya mengenai sepeda. Dan hal ini tak boleh
dilanggar. Kalau kelak ban sepeda rusak di bagian depan maka Abdul Rauflah yang
akan menanggungnya. Dan kalau ban belakang yang rusak maka Sitti Alawiah
pulahlah yang menanggungnya.
Di masa kanak-kanaknya itu, Abdul Rauf kerap
bermain-main mattaru, ma’gasing, siseppa, silanja, dan mallayang. Di bidang
seni ia gemar memainkan kecapi, gambus, rebana, dan permainan pencat silat.
Untuk
pertama kalinya Abdul Rauf ke Makassar, tepatnya 26 Juni 1937. Bila saja ia
lulus masuk di Normal School maka nasibnya menjadi guru akan tercapai. Tapi ia
tak beruntung. Seiring saat itu pula pecah perang Asia Timur Raya, dan Abdul
Rauf pun dengan tujuan melamar di sekolah Putsu Cu Gakko, tapi itu pun belum
bisa masuk dikarenakan ia tiba ketika penerimaan siswa sudah ditutup.
Meski begitu
Abdul Rauf tak pulang kampung, ia harus sabar menunggu penerimaan tahun depan
di sekolah yang sama. Alhasil, ditahun
berikutnya ia diterima di Putsu Cu Gakko. Sekolah di Makassar tak lama sebab
ketika tentara sekutu mengadakan serangan balik terhadap pendudukan Jepang,
kota Makassar pun porak-poranda terpaksa proses belajar mengajar di sekolah
Abdul Rauf di pindahkan ke Sinjai.
Disamping ia
menimbah ilmu ilmiah, juga mulai diperkenalkan perjuangan untuk merdeka:
semangat, disiplin dan latihan militer. Pada tahun 1945 pihak pimpinan sekolah
meliburkan siswanya, dan Abdul Rauf memilih pulang kampung yaitu Tinambung. Ia menunggu
kabar dibukanya kembali hari sekolah, ternyata yang datang adalah menyerahnya
Jepang terhadap sekutu. Ambang kemerdekaan Indonesia pun tinggal menghitung
hari untuk tiba.
Di Mandar.
Dibawah komando Andi Depu atas restu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo)
mengorganisir pemuda-pemuda pejuang untuk bersama-sama mempertahankan
kemerdekaan republik yang telah di proklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta
di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Dengan
berhimpunnya pemuda-pemuda pejuang itu, maka dibentuklah sebuah wadah
perjuangan yang disebut Kris Muda Mandar. Keterlibatan Abdul Rauf juga sangat
berarti, terutama ketika sekutu hendak menjajah kembali. Begitu banyak hal yang ia
lakukan untuk perjuangan perlawan tersebut.
Suatu ketika,
dari banyak momen keaktifan sebelumnya di tanun 1946, Abdul Rauf menemani
pimpinan perjuangan Mandar, H. Abdul Malik ke daerah Matangnga. Tujuannya untuk
menyampaikan pesan bahwa kelak ketika pasukan NICA hendak menangkap H. Abdul
Malik, maka pasukan perlawanan akan bergerak dan berkonsentrasi di daerah
Matangnga. Kalau-kalau NICA lebih jauh bisa menduduki Majene dan Polewali.
Tapi rupanya
NICA licik sekali, dan telah menyiapkan hari-hari naas bagi H. Abdul Malik,
Abdul Rauf dkk. Abdul Rauf tak punya pilihan selain mengantisipasi kelicikan
Belanda dengan menghindar. Keputusan untuk ke daerah seberang adalah
satu-satunya pilihan untuk menghindari maut dan perang yang tak imbang. Pilihan
sulit itu terasa meradang, sebab itu berarti tokoh pejuang Mandar ini harus
berpisah dengan kampung yang amat dicintainya, termasuk sekian banyak rakyat yang
mendukungnya harus ia tinggalkan dalam waktu yang agak lama.
Pada jumat,
12 April 1946 sekitar pukul 12 malam, H. Abdul Malik, Abdul Rauf dengan
perlahan beranjak dari rumah dengan tujuan ke Jawa. Di malam yang gelap, di
tengah ramainya bunyi jangkrik dan gulita malam. Mereka melangkah perlahan agar
tak membuat rakyat panik sebab kalau rakyat tahu betapa sedihnya mereka bila
ditinggal pergi oleh pimpinanannya. Tak cukup selusin orang yang menyaksikan
kepergian itu: dan hanya do’a dan air mata mengiringnya pergi.
Sekitar
pukul dua dinihari, sebuah perahu sampan mengantar mereka menuju Balikpapan,
Kalimantan Timur. Untuk bisa sampai di Balikpapan mereka membutuhkan waktu tak
kurang dua minggu berlayar dilaut lepas. Di Makassar, rupanya NICA mengetahui
kalau pimpinan perjuangan rakyat Mandar, H. Abdul Malik dkk. tengah dalam
perjalanan menuju pulau Jawa.
Lewat siaran
radio NICA, penguasa Belanda di tanah Mandar diinstruksikan untuk menangkap
mereka. Kalau ada yang berhasil menangkap Mara’dia dan rombongan maka akan
diberi hadiah Rp 5000. Tapi H. Abdul Malik dkk. punya strategi dalam perjalanan
untuk mengantisipasi instruksi Belanda itu, sehingga rintangan cukup pelik dalam
perjalanan mampu mengantarnya sampai di tempat tujuan, Pulau Jawa.
Tepat 9 Juli
1946, rombongan Abdul Malik dan Abdul Rauf tiba di Jepara. Untuk pertama
kalinya mereka menginjakkan kaki di pulau Jawa. Mereka terus berpindah-pindah
sampai pada akhir Juli 1946 mereka tiba di Yogyakarta, ibukota pemerintahan
Republik Indonesia. Di Jogya mereka berjumpa B. Ratulangi, ketua Lasykar
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (Kris). Berkat pertemuan inilah H. Abdul
Malik dan Abdul Rauf dimasukkan dalam Asrama Republik Indonesia (ASRI),
kemudian diberangkatkan ke Solo untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Di
sinilah mereka mulai terdaftar sebagai bagian dari militer Indonesia.
Pada
November 1946, lewat sebuah kereta api, tibalah ia di kota Cirebon. H. Abdul
Malik sudah Kapten dan menjabat wakil kepala inspektorat BPD 31. Sementara
Abdul Rauf sudah Letnan Muda.
Ketika di Cirebon,
Abdul Rauf menemukan tambatan hatinya. Roro Suharti, Seorang perempuan Jawa
keturunan bangsawan yang hendak diperjodohkan. Ia berkirim surat untuk saling
kenal dan yakin akan hidup bersama seumur hidupnya.
Kamis 26 Mei
1947 di rumah Raden Kadio Singohadimulyo, Abdul Rauf resmi resmi mengucapkan
ijab Kabul untuk mempersunting Roro Suharti. Abdul Rauf sebagai pihak laki-laki
di dampingi oleh H. Abdul Malik.
Tahun 1947
terjadi pergeseran dilingkungan inspektorat perjuangan daerah 31. Kapten H.
Abdul Malik menjadi kepala inspektorat perjuangan Kabupaten Majalengka, dan
Letnan Muda Abdul Rauf menjabat kepala
keuangan insp. BPD 31, atau menggantikan posisi Kapten Abdul Malik.
Dalam
menjalankan tugas, duka menyapa pasangan muda ini. Ketika tentara Belanda
menduduki Jogyakarta, Abdul Rauf harus berpisah dengan istrinya, Roro Suharti.
Selama perpisahan itu, Abdul Rauf berkeliling di banyak tempat dan kadang masuk
hutan. Bahkan beredar kabar kalau suaminya sudah meninggal, tapi sang istri
selalu yakin kalau suaminya masih hidup.
Ternyata Suharti
benar, sebab setahun kemudian mereka bertemu kembali setelah perpisahan dimulai
29 Juli 1947 berpisah di Cirebon, tepat pukul tiga sore sampai jumat 30 Juli
1948 tepat pukul 7.30 malam bertemu di
Yogyakarta.
Dalam
catatan selanjutnya, Abdul Rauf menulis. Pada sabtu, 18 Sebtember 1948 PKI
dibawah pimpinan MUSO mengadakan pemberontakan di kota Madium. Muso dibantu
dukungan Letkol Adam-TNI B 29 berhasil mengusai kota Madium dan sekitarnya.
Atas
perampasan kekuasaan dan pemerintahan yang digerakkan oleh PKI, Presiden RI
Soekarno melalui RRI, mengumumkan bahwa semua anggota TNI yang turut terlibat
menjadi kaki tangan Muso dipecat. Berkat kerja sama pasukan Siliwangi dengan
pasukan Jawa Timur, pada jumat 15 0ktober 1948 Kota Madium kembali di rebut
oleh TNI. Pengejaran dilakukan terhadap
Muso dan akhirnya berhasil ditembak mati.
Januari 1950,
Abdul Rauf mendapat tugas mengantar surat ke Makassar. Pada 20 Februari 1950
kapal yang ditumpanginya merapat dipelabuhan Makassar. Saat itulah Abdul Rauf
bertemu kembali kawan-kawannya: M. R.
Amin Daud, Abdul Rahman Tamma, Lappasbali, Andi Parenrengi.
Sekembali
Rauf ke Yogyakarta. Ia hanya tinggal sebentar saja, sebab pada 22 Mei 1950,
bersama keluarganya meniggalkan Yogyakarta menuju Makassar untuk tugas dan
pengabdian di Sulawesi.
Sebelum
kapalnya merapat ke pelabuhan Makassar, Abdul Rauf bertemu dengan Mayor M.
Saleh Lahade. Lahade menawarkan agar
Rauf tak usah terus ke Mandar dan bergabung di staf teritorial Kodam 14
Hasanudin, Makassar. Tapi di Makassar tak lama, sebab pada 1 januari 1950,
Abdul Rauf dan keluarga berangkat ke Mandar untuk tugas baru di tengah-tengah
keluarga dan kawan-kawan sepejuangannya di Tinambung.
Tahun 1965,
Abdul Rauf di angkat menjadi Bupati Majene menggantikan Abdul Rachman Tamma. Menjadi bupati pada saat
itu bukanlah perkara mudah. Selain karena waktu itu terjadi G.30 S PKI yang di mulai dijantung
Ibukota Jakarta. Di Mandar juga gerombolan
pemberontak masih merajalela. Kondisi inilah yang akan membuat hari-hari Abdul
Rauf tak akan tenang dalam memimpin Kabupaten Majene.
Hanya dua
tahun lebih memimpin Kabupaten Majene. Dalam ukuran masa jabatan formal seorang
Bupati dimasa kini memang tidaklah lama. Tapi sungguh sebuah proses yang luar
biasa, dalam suasana republik yang masih transisi oleh pecahnya pemberontakan
PKI tahun 1965. Di Majene juga ada beberapa oknum tentara dan kepolisian yang
membelok masuk mendukung gerakan PKI, belum lagi aksi gerombolan dari sisa-sisa
pasukan DI /TII juga kerap mamanfaatkan keadaan.
Dalam
suasana seperti itu, sebagai bupati, Abdul Rauf tetap bisa mengendalikan pemerintahan
dan pembangunan di kabupaten yang ia pimpin. Pembangunan dalam tanda petik pembangunan
fisik yang mercusuar, sebab selain karena situasi keamanan yang sangat tak
konduktif juga dana pembangunan masih sangat minim sekali, terlebih saat itu
belum dikenal dengan pembangunan Renacana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Meski minim
dana, pembangunan masih tetap bisa dimaksimalkan oleh Abdul Rauf. Bahkan
seandainya semua unsur yang tergabung dalam pasca tunggal (sekarang muspida) bisa
kompak, arah dan konsep pembangunan pasti bisa dijalankan. Namun yang terjadi, justeru unsur pasca tunggal masing-masing jalan
sendiri. Bahkan ada segelintir petinggi di Kabupaten Majene yang hendak
memonopoli perdagangan kopra.
Sebagai
bupati, Abdul Rauf tentu tidak sepakat dengan cara seperti itu. Ia mau
perdagangan terus berjalan normal, tanpa ada monopoli segelintir pihak. Sebab monopoli
adalah cara buruk dalam perputaran ekonomi di daerah.
Sebagai tentara, Abdul Rauf tentu sangat
menyadari bahwa menjadi bupati adalah proses pengabdian pada bangsa dan negara,
bukan mengabdian kepada segelintir tokoh. Dan semangat itulah yang kokoh ia
perjuangkan dan diperlihatkan pada masyarakat Majene.
Komitmen dan
prinsipnya yang teguh itu memunculkan ketidaksukaan segelintir elit di Majene
atas kepemimpinan Abdul Rauf. Ia dianggap terlalu disiplin dalam tugas dan tak
mau neko-neko. Kondisi itu tak membuat Abdul Rauf goyah. Ia tak bergeming
dengan sikapnya, sebab ia harus tunduk pada komitmennya ketika ia diserahi
jabatan sebagai Bupati Majene. Ia pantang menyalahgunakan jabatan hanya karena
desakan segelintir pihak untuk berbuat serong.
Suatu waktu
di awal tahun 1967 beberapa tokoh yang tak sependapat dengan bupati Abdul Rauf
memprovokasi warga. Mobilisasi sejumlah warga ini berkedok kerja bakti. Warga
diperintahkan membawa parang. Hal Ini sesungguhnya lebih nampak demonstrasi
kepada bupati.
Bupati Abdul
Rauf pun sadar bahwa kolega koleganya, bahkan ada juga kerabatnya yang sekian
lama bermain bisnis di rumah jabatan pun tampil mendemonya. Di benak Abdul
Rauf, hal ini adalah wajar. Baginya, kalau memang ada tokoh-tokoh yang tak suka
lagi padanya, itu bukan masalah. Pada akhirnya, rakyat akan sadar sendiri bahwa kita hanyalah korban dari
egoisme segelintir elit di Kabupaten Majene ini. Dengan berbagai pertimbangan
atas kondisi yang ada, berakhirlah masa kepemimpinan Abdul Rauf sebagai Bupati
Majene.
Meski tak
lagi menjabat sebagai bupati Majene, tapi sebagai seorang perwira menengah di
Angkatan Darat, Abdul Rauf tak sepi dari jabatan. Usai jabatan bupati, ia
langsung diposisikan di Makassar. Dan ketika usai Pemilu 1971, pemilu pertama
di masa orde baru, Abdul Rauf diangkat sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Banyak
kenangan ketika menjadi anggota dewan. Masa aktifnya di TNI juga telah berakhir
dengan penghargaan khusus: Kolonel (Purn.) Abdul Rauf.
Biduk rumah
tangga yang dibangun dengan kesetian bersama Roro Suharti ini dikaruniai 13
anak, 7 perempuan dan 6 laki-laki. Selama hidup Abdul Rauf tampil sangat
sederhana. Jujur dan tak pernah tertarik yang disebut KKN. Padahal bila diukur
dari jabatan yang pernah ia pegang terutama ketika menjadi Bupati Majene dan
Anggota DPRD SulSel peluang itu terbentang luas.
Integritas dan
pendirian yang teguh itulah yang selalu ia pertahankan, sehingga dalam
perjalanan hidupnya tak memiliki rekening gendut selain hanya memiliki rumah
seadanya di jalan Sawerigading 14 Makassar, itupun nanti setelah dekat dekat
pensiun baru disertifikatkan. Kalau pun Abdul Rauf memiliki sebuah mobil Datsun,
itu berkat hadiah dari seorang Tokoh Mandar yang diserahkan kepada Abdul Rauf masyarakat
Mandar.
Cerita
Suharti, istrinya, tanah dan rumah itu disertifikatkan karena berkat dorongan
istrinya. Ketika Abdul Rauf masih menjadi anggota DPRD SulSel, suatu waktu ia
akan menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saat itulah istrinya berpesan, “Pak
kalau balik ke Makassar tak usah di belikan ole-ole, kalau ada uang uruskanlah
sertifikat tanah dan rumah ini, biar kalau bapak meninggal ada kenang-kenangan
buat aku dan anak-anak kita, “. Kenang Roro Suharti.
Dirumah
kenangan yang sederhana itulah, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun sering datang
dan menginap di situ. Emha sudah menganggap Abdul Rauf sebagai guru sekaligus
orang tuanya.
Bahkan
Baharuddin Lopa ketika masih di Makassar kerap menemui Abdul Rauf. Disitu ia
mengobrol hingga larut malam. Di masa tuanya, atau ketika Abdul Rauf sudah
benar-benar tak lagi berkecimpung di segala aktifitas, datanglah suatu momen
yang sangat penuh arti. Saat itu Andi Lantara meninggal dan dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar. Di pemakaman itu hadir pula kawannya, Andi
Tau.
Ketika acara
pemakaman usai, dan seluruh pengantar hendak pulang, Abdul Rauf membisikan
sepotong kalimat di dekat telinga Adi Tau, “Nanti saya yang menutup pintu
tempat pemakaman ini.” kata Abdul Rauf.
Rupanya
pesan lewat kalimat ini punya arti yang amat dalam. Tak lama setelah momen itu,
Abdul Rauf menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat tahun 1994. Ia pun
diantar oleh iringan sanak Famili dan kawan kawannya di taman makam pahlawan,
tak jauh dari sisi Andi Lantara.
Umur Abdul
Rauf genap 71 tahun. Dan Suharti, sejak saat itu, telah kehilangan kekasih dan
orang dekat selama empat puluh tujuh tahun. Suharti beruntung, sebab mempunyai seorang
anak yang hampir lengkap mewarisi karakter ayahnya. Selain itu hanya dia yang
mengikuti jejak ayahnya sebagai tentara: Kolonel Satria Putra Rauf puskopol AD
Kodam VII Wirabuana, anaknya yang ketujuh. (Sumber: Disari dari buku "Dalam Sejarah Akan Dikenang" Sarman Sahuding. 2005).
SEDIKIT TENTANG ADMIN BLOG RUMPITA galerikopicoqboq.blogspot.com
Dari sebuah ruang yang pengap dan sempit, ketika malam makin jauh, seperti larinya kuda jantan di malam hari. Terlukis kecemasan, ketakutan dan kebahagiaan yang menyatu dalam diri seorang ibu yang sedang berjuang meregang nyawa, menikmati rasa sakitnya dalam dekapan seorang lelaki yang masih tampak gagah dari garis-garis wajahnya. Dengan sisa-sisa tenaga sang ibu yang berhasil memenangkan pertarungan itulah yang mengantarku merasakan udara dingin dirembang malam yang merupakan detik, menit dan hari pertama dunia mengenalku dan menyematkan identitas padaku sebagai penduduk bumi.
Alam sepi dan sunyi seketika rancu oleh suara tangis bayi yang sedang dalam penanganan seorang wanita tua yang akrab di panggil “Kanne Sando” alias “dukung beranak” yang dengan cekatan “Marrattas belarang” (memotong tali pusar) lalu kemudian mempersilahkan seorang lelaki muda dan gagah itu membisikkan bait-bait kalimat sakral (Adzan ditelinga kanan dan iqamat ditelinga kiri) yang ternyata kalimat itulah yang menjadikanku sebagai seorang hamba Allah yang hidup dalam naungan panji-panji keislaman.
Wanita yang sukses dalam pertarungannya itu adalah ibu (Amma’)nya yang bernama HARMI anak seorang kepala kampung yang bernama HASAN atau Ka’Pinda. Dan lelaki yang mengumandangkan kalimat suci itu adalah bapak (Pua’) nya yang bernama NURDIN atau ALIMUDDIN yang bapaknya bernama Razak. Mereka memberi pada putra keduanya dengan nama asli ”MUHAMMAD” yang kemudian pada saat megenal tulisan dia memperkenalkan nama pena “MUNIR” akronim dari MUHAMMAD BIN NURDIN IBNU RAZAK.
Seiring berjalannya waktu ia bertumbuh dan mengenali lingkungannya yang kumuh, kuno dan hanya bisa menikmati kasih sayang dari pasangan suami istri yang miskin (harta, ilmu dan pengalaman). Dengan kaki telanjang ia lalui hari-harinya dengan menggembala sapi (Ma’ambiq saping) sambil bersekolah. Masa kecil yang sulit ia nikmati dengan sebuah harapan yang penting bisa makan saja. Paceklik dan kemarau panjang dari tahun 1985 sampai 1987 yang cukup menyiksa sangat lengket dalam memori fikirannya betapa untuk makan dari beras sangat sulit, dan harus rela mengganti makanan pokok itu dengan pisang, sagu dan jagung.
Akhir tahun 1987 musim berganti, dari kemarau panjang ke musim hujan. Curah hujan diatas normal menjadikan air sungai meluap hingga akhirnya banjir besar melanda. Semua menjadi korban, mulai sapi, tanaman, sampai rumah dan perkampungan di dusun kelahirannya separuhnya terseret arus. Kesulitan makin meradang, kemiskinan semakin menyiksa. Hanya keajaiban dan pertolongan Tuhan jualah yang membuat dia dan masyarakat mampu bertahan hidup dan mempunyai peluang untuk menyelesaikan pendidikannya. Meski untuk itu, ia harus mengorbankan kenikmatannya dan berharap menikmati pengorbannya itu esok dan nanti. Lelaki ini ditakdirkan lahir berdarah Mandar di Botto, Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar pada tanggal 15 Februari 1979.
Sosok pria berkulit hitam manis khas masyarakat pesisir ini, di usianya yang masih terbilang muda, ia cukup bahagia dalam karirnya yang aktif disalah satu parpol dan belakangan aktif dalam aktifitas yang berkaitan dengan budaya dan lingkungan hidup sebagai salah satu core person dalam Komunitas Appeq Jannangang. Kesuksesan publikasi aplikasi android Lontaraq Digital tidak lepas dari partisipasi aktifnya dalam berpromosi diberbagai media dan kesempatan.
Meskipun ia lahir di wilayah Mandar pesisir, namun pengetahuannya tentang seluk beluk Mandar pegunungan layak diacungi jempol. Selain ranah budaya dan lingkungan hidup, lelaki Mandar yang satu ini juga aktif dalam bidang literasi. Pendiri Komunitas RumahPustakaRumpita (Rumah Kopi dan Perpustakaan) ini getol menyumbangkan tulisan-tulisannya diharian Radar Sulbar dan media-media lain seperti Surat Kabar Plat Merah, Media online Seputar Sulawesi Barat, Kandora, Suryatop News, dengan berbagai tema.
Selain menulis, suami dari Hernawati Usman ini juga dikenal sebagai seorang penelusur. Nyaris seluruh wilayah Mandar ini ia telusuri, mulai dari Paku-Soremana, dari Polewali ke Mamasa, Mamasa ke Mambi-Aralle Tabulahan, Banehau. Bonehau ke Kalumpang dan dari Kalumpang kembali ke Bonehau, Keang, Kalukku Tasiu-Mamuju.
Demikian juga dari Tinambung, Alu, Pumbijagi, Poda, Padang Mawalle, Lullung, Ro'boang, Patulang, Ambo Padang, Batupanga, Luyo sampai ke Mapilli. Jalur Lampa-Kanusuang, Pulliwa Bulo ke Matangnga, Mehalaan, Keppe dan Mambi. Jalur dari Matangnga, ke Passembu, Kondo, Lenggo, Kalo, Ratte Kallang, Tubbi, Besoangin, Tibung tembus ke Pelattoang Majene sudah ia lalui.
Dengan kegemarannya ini kemudian membuatnya dilirik oleh Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar untuk menjadi Pengurus dan sering di undang sebagai pembicara di seminar sejarah dan kebudayaan serta acara diskusi di Majene, Balanipa dan Polewali. Selain buku Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar ini, ia telahmenyelesaikan naskah bukunya Mengeja Mandar Lewat Balanipa, Demokrasi Benu Base. Buku yang lain yaitu Novel Bamba Sangiq anna Cawa, Kolekserium Puisi Serigala Bertopeng Nabi. Maka sangat patutlah ia menjadi teman berdiskusi dan belajar tentang sejarah dan kebudayaan Mandar Lampau.
Lelaki yang akrab disapa MUNIR ini bisa dihubungi di: 0821 1300 8787 atau e-mailgalerikopicoqboq@gmail.com
Akun Fecebook: Muhammad Munir
Fanpage: RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan), Website: jurnalbalanipa.comdan blog: galerikopicoqboq.blogspot.comProfil Tokoh: ABDUL HAFID IMRAN, Ketua DPRD Majene 1987-1992
Dari Dosen
menjadi legislator. Itulah sekelumit perjalanan panjang Drs. Hafid Imran, Ketua
DPRD Kabupaten Majene masa bakti 1987-1992.
Hafid Imran dilahirkan di Majene
pada tanggal 16 Juni 1928 dari pasangan Imran dan Hj Aminah. Dari pernikahannya
dengan Hj. St. Zainab Fatani, tokoh Muhammadaiyah Majene ini dikarunia delapan
orang anak, yaitu: Drs. Aminullah, Ir. Mahyuddin, Ir. Nasrullah, Drs. Darmawan,
Dra. Marhama, Irfan ST, Zaenal Abidin SE, dan Erwin, Lc, M.Ag, M,Ed.
Hafid
mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Majene dan melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah (MTs) Majene. Pilihan MTs. mungkin sudah menggambarkan
karakter hidupnya yang banyak bertawadhu kepada pencippta-Nya. Di zamannya,
anak anak seusianya lebih gandrung melanjutkan sekoalah ke jenjang umum.
Sekolah agama terkadang dianngap sebelah mata.
Dalam
memilih jalur pendidikan, Hafid konsisten dengan jalur sekolah agama. Hal itu
nampak pada pilihan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Majene. Tiga tahun di PGA, Hafid
melanjutkan pendidikan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Aluaddin Ujung
Pandang. IAIN adalah salah satu kampus agama terbaik di Indodenesia Timur kala
itu.
Setelah
memperoleh gelar sarjana lengkap IAIN pada tahu 1974, Hafid terpilih menjadi
dosen di kampusnya.
Menjadi dosen tentunya menjadi
harapan semua mahasiswa tetapi menggapainya tidaklah mudah sebab dosen hanyalah
mereka yang memiliki prestasi akademis di kampus kala menjadi mahasiswa.
Prestasi
itulah yang mengantarkan Hafid lolos menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN
Alauddin Ujung Pandang. Tak hanya dosen semata, peraih penghargaan pengabdian
dasawarsa dosen IAIN Alauddin Ujungpandang ini juga pernah tercatat sebagai sekretaris
fakultas syariah di kampus yang sama.
Menjelang
pensiun, Hafid pindah ke Majene, kampung halamannya. Di Majene, Pimpinan Legiun
Veteran Republik Indonesia Kabupaten Majene
ini kembali diserahi tugas untuk menjadi dekan fakultas syariah filial
Majene yang merupakan cabang IAIN Alauddin Ujung Pandang.
Bukan hanya
dekan Fakultas Tarbiyah Filial IAIN, Hafid juga diminta oleh kalangan akademisi
Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah (STIT) Majene sebagai ketua untuk turut
membesarkan kampus agama ini.
Hafid Imran juga
sempat tercatat sebagai Ketua DPRD Majene pada tahun 1987-1992. Hafid Imran
memparipurnakan pengabdiannya dengan menghadap sang khalik dalam usia 76 tahun
pada tahun 2004. Sebagai orang yang banyak berjasa pada daerah, bangsa dan
negara.
Hafid Imran
tetaplah sosok pejuang sejati yang rendah diri tak banyak menuntut jasa atas
pengabdiannya. Peraih penghargaan ex komponen pejuang 45 ini diminta oleh
pemerintah untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Majene, tapi berdasarkan
wasiatnya, ia kemudian di makamkan di pemakaman tugu 45 Baruga. Sebuah contoh
yang baik untuk kita teladani. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah 2015)Profil Tokoh: ABD. WAHAB ANAS (Ketua DPRD Majene 1966-1971)
Jika dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, nama Fatmawati Soekarno tercatat
sebagai penjahit Sang Saka Merah Putih, maka di Majene, Abd. Wahab Anas adalah
salah satu dari tiga pemuda yang pertama kali mengibarkan Sang Saka Merah Putih
di ibukota Afedeling Mandar, Majene.
Peristiwa
monumental ini terjadi tak lama setelah berita kemerdekaan Republik Indonesia
yang diproklamirkan Soekarno-Hatta sampai ke Mandar. Pada sekitaran September
1945, lewat siaran sebuah radio Australia, segenap kalangan pejuang di Mandar
gegap gempita menyambut berita dibacakannya proklamasi kemerdekaan RI.
Sambutan
masyarakat Majene atas peristiwa bersejarah ini membahana memenuhi setiap sudut
dan ruang-ruang yang ada. Pekik merdeka menjadi kata yang paling sering
dikumandangkan. Puncaknya adalah Pengibaran perdana bendera Sang Saka Merah Putih
di tengah-tengah Kota Majene. Tepat jam tiga dinihari, Abd. Wahab Anas, A.
Halim A.E dan Muhsin Ali menjadi pelakonnya.
Atas
peristiwa ini, pihak kepolisianpun memanggil dan menginterogasi Abd. Wahab Anas
dan menanyakan alasan pengibaran bendera Merah Putih.
“Merah putih
adalah bendera resmi RI yang berpusat di Tanah Jawa”, Itulah jawaban Wahab Anas
atas pertanyaan tersebut.
Setelah
kejadian tersebut, Wahab Anas kemudian menginisiasi pembentukan organisasi
perjuangan di Majene. Berawal dari diskusi di rumah Wahab Anas di Saleppa, pada
tanggal 16 September 1945, diadakanlah rapat umum merah putih di gedung sekolah
rakyat putri Tanjung Batu Majene. Dari rapat ini, lahirlah organisasi
perjuangan kemerdekaan yang bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI) di bawah
pimpinan Andi Tonra. Abd. Wahab Anas sendiri menjadi salah satu pengurusnya.
Bermula dari
PRI inilah Wahab Anas aktif dalam pergerakan mengawal dan mempertahankan
kemerdekaan di Majene. Di awal tahun 1946, Abd. Wahab Anas pernah tercatat
sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Majene sektor barat. PNI
sendiri adalah partai pergerakan nasional yang didirikan oleh Soekarno, dan
menjadi salah satu sarana perjuangan dalam meraih kemerdekaan.
Aktifitasnya
di PRI dan PNI, menjadi alasan Belanda untuk menangkap Wahab dan aktivis PRI setelah
peristiwa pembantaian Westerling di Galung Lombok pada 11 Desember 1946. Wahab
Anas dan aktivis PRI lainnnya ditahan di tangsi KNIL Belanda Majene. Dalam
penjara, Wahab Anas banyak mengalami siksaan fisik. Ia digantung dengan kepala
terjungkal kebawah, dipukul hingga pingsan kemudian di siram dengan air. Wahab
Anas selanjutnya di tahan di penjara Makassar.
Selepas dari
penjara, tahun 1948, ia bersama A. Halim AE kembali ke Majene dan mempelopori
pendirian sebuah partai perjuangan baru. Pada tanggal 29 Februari 1948, bertempat
di rumah H. Abd. Halim, salah seorang tokoh Muhammadiyah Majene, secara resmi berdiri
Partai Kebaktian Rakyat.
Dalam rapat
umum pembentukan partai ini, Wahab Anas tampil membawakan materi yang
bertemakan perkembangan politik terakhir tanah air.
Kehadiran
Partai Kebaktian Rakyat ini mengundang banyak diskusi dan terkait ketidak
setujuan peserta sebab di dalam anggaran dasar partai hanya termuat kata-kata
menuntut kemerdekaan Republik Indonesia 100 % dan tidak tegas menyatakan Negara
berbentuk kesatuan. Perdebatan bermutu ini mengingatkan kita pada sejarah
perjuangan Tan Malaka, salah seorang tokoh kemerdekaan nasional seangkatan
Soekarno yang telah melanglang buana ke seluruh dunia menyuarakan anti
imperilalisme dan kolonialisme. Merdeka 100 % adalah tuntutan Tan Malaka pada
penjajah kolonialis Belanda. Partai Kebaktian Rakyat ini sendiri kemudian
ketuai oleh Aco Arif.
Partai ini
banyak melakukan kegiatan pendidikan politik rakyat. Dengan di pandu Abd. Wahab
Anas dan A. Halim AE, diadakanlah kursus-kursus dan diskusi membahas berbagai
problem kenegaraan. Diskusi politik ini sangat berarti dalam meningkatkan
pengetahuan politik masyarakat. Bahkan kepala pemerintahan Majene saat itu yang
berkebangsaan Belanda Totok. H.J. Ubbink beberapa kali mengunjungi forum
diskusi ini, karena dianggap bagus dan bermutu.
Usia Partai
Kebaktian Rakyat tidak berlangsung lama. Sebagai partai lokal, partai ini
segera dilebur ke dalam partai-partai berbasis nasional yang kemudian masuk di
Majene. Para aktivis partai kemudian bergabung dalam Partai Sarikat Islam
Indonesia (PSII) dan PKR. Abd. Wahab Anas sendiri kemudian terpilih memimpin
PKR Cabang Majene.
Untuk lebih
mengefektifkan koordinasi PKR dan PSII Majene, pada tanggal 17 Agustus 1948,
dibentuklah sebuah badan baru yang bernama BAPNA (Badan Permufakatan Nasional).
Badan ini mengkoordinasi seluruh elemen-elemen perjuangan di Majene. Lewat
BAPNA, Abd. Wahab Anas pernah diutus ke Yogyakarta untuk menghadiri konfrensi
pendidikan antar Indonesia yang dilaksanakan pada bulan Agustus 1949.
Resolusi
bersejarah yang pernah diusulkan BAPNA adalah mendorong pembentukan Dewan
Mandar (semacam DPRD) secara demokratis serta menuntut pembatalan hukuman mati
Wolter Monginsidi.
Setelah
penyerahan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda, Abd. Wahab Anas tetap memegang
peranan penting dalam percaturan politik di Afdeling Mandar. Dan saat Kabupaten
Dati II Majene terbentuk pada tahun 1959, Abd. Wahab Anas terpilih menjadi Ketua
DPRD Kabupaten Majene. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah. 2015)
Seusai
menjadi legislator, Wahab Anas berkecimpung di dunia birokrasi. Ia mengabdi dan
akhirnya pensiun di dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi Selatan.
Abd. Wahab
Anas menutup usianya pada tahun (1982) di Majene. Atas jasa-jasanya pemerintah
daerah meminta kepada keluarga yang ditinggalkan untuk dapat di makamkan di
Taman Makam Pahlawan Majene. Tapi atas wasiat yang ditinggalkan, Wahab Anas
lebih memilih dimakamkan di pemakaman umum. Abd Wahab Anas tenang dan damai menghadap
Ilahi Rabb di peristirahatan terakhirnya di pekuburan Pettuanginan
Saleppa.
Senin, 13 Juni 2016
ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI AMANAT NASIONAL
ANGGARAN DASAR/ANGGARAN
RUMAH TANGGA
PARTAI AMANAT NASIONAL
BAB I. NAMA, KEDUDUKAN dan LOGO
PARTAI AMANAT NASIONAL
BAB I. NAMA, KEDUDUKAN dan LOGO
Pasal 1. Nama dan kedudukan
Partai ini bernama PARTAI AMANAT NASIONAL disingkat dengan
PAN yang dibentuk dan dideklarasikan pada hari Ahad tanggal 23 Agustus 1998 di
Jakarta.
Dewan Pimpinan Pusat PAN berkedudukan di ibukota negara
Republik Indonesia.
Pasal 2. Logo
Nilai yang terkandung dalam logo PAN adalah dengan kehadiran
partai ini diharapkan akan mampu membawa pencerahan ke arah masa depan
Indonesia yang lebih baik.
Penjelasan terhadap logo PAN tertera dalam Anggaran Rumah
Tangga.
BAB II. ASAS, SIFAT dan IDENTITAS
Pasal 3. Asas Partai Amanat Nasional
berasaskan Pancasila.
Pasal 4. Sifat PAN adalah partai
politik di Indonesia yang bersifat terbuka, majemuk, dan
mandiri. Pasal 5. Identitas Identitas partai
ini adalah menjunjung tinggi moral agama dan kemanusiaan.
BAB III. TUJUAN
Pasal 6. PAN bertujuan
menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan,
kemajuan material dan spiritual.
BAB IV. USAHA
Pasal 7 Untuk mencapai tujuan pada Pasal 6,
maka PAN menjalankan usaha antara lain sebagai berikut:
Membangun masyarakat Indonesia baru, berdasarkan moral
agama, prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Membangun masyarakat madani yang bebas dari kesengsaraan,
rasa takut, penindasan dan kekerasan.
Mewujudkan manusia Indonesia yang berdaulat, memiliki jati
diri, cerdas, berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa kepada Allah, Tuhan Yang
Maha Esa.
Membangun manusia Indonesia yang mampu menguasai dan
mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan bangsa dan
umat manusia.
Meningkatkan peran serta politik dan kontrol sosial
masyarakat pada penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
Meningkatkan kesadaran atas pelaksanaan kewajiban warga
negara sebagai manusia dan kewajiban negara dalam penegakan hak-hak asasi
manusia yang semakin terjamin dan bertanggung jawab.
Mengupayakan pertanggungjawaban yang terbuka dalam
pengurusan negara melalui penguatan masyarakat madani dalam mengawasi
kekuasaan.
Memperjuangkan peningkatan kemampuan daerah dalam
mengembangkan kemandirian dalam mengurus sumber daya, mencari pendanaan dan
menikmati hasil-hasilnya sehingga dapat mencegah disintegrasi nasional dan
ekploitasi pusat terhadap daerah.
Memperjuangkan kebebasan pers yang memperhatikan norma-norma
hukum, susila, akhlak dan kepatutan sehingga masyarakat memperoleh informasi
yang obyektif dan transparan.
Mengusahaan penegakan hukum tanpa diskriminasi sehingga
semua masyarakat mendapat akses yang sama dalam lembaga peradilan yang
independen, adil, murah dan cepat.
Memperjuangkan secara tegas pemisahan antara lembaga
eksekutif, yudikatif dan legislatif untuk menjamin proses dapat saling kontrol
di antara lembaga-lembaga tersebut.
Mengupayakan peranan ABRI yang sesuai dengan fungsinya di
bidang HANKAM, tunduk pada hukum, konstitusi dan kontrol publik.
Mengupayakan agar setiap warga negara memiliki akses
langsung pada penguasaan dan pemilikan tanah, pengakuan hak ulayat, dan
mengembalikan fungsi sosial yang melekat pada tanah.
Mengusahakan persamaan hak Perempuan secara proporsional
sebagai insan yang harus dihormati dengan memberikan kesempatan yang sama di
mata hukum, sosial, ekonomi dan politik.
Mewujudkan kesejahteraan sosial lewat pemerataan yang
berlandaskan moralitas agama serta menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia.
Memperjuangkan pemberian kesempatan yang sama bagi semua
pelaku ekonomi untuk mewujudkan segala potensi yang dimiliki bagi penguatan
daya saing nasional.
Meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan nasional yang
mampu meningkatkan sumber daya manusia yang merangsang kemandirian dan
kreativitas.
Memperjuangkan perlindungan kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan hidup dari keserakahan manusia untuk menjamin keadilan antar
generasi.
Memperjuangkan kebijakan ekonomi yang memihak kepada yang
lemah dan mendukung terciptanya keadilan bagi masyarakat luas.
Memperjuangkan berjalannya pemerintahan yang bersih,
efektif, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Bab V. KEANGGOTAAN
Pasal 8. Peraturan keanggotaan diatur lebih
lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bab VI. SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 9
1.
|
Dewan Pimpinan Ranting ialah kesatuan anggota dan tingkat
kepemimpinan di tingkat kelurahan / desa.
Dewan Pimpinan Cabang ialah kesatuan anggota dan
kepemimpinan di tingkat kecamatan.
Dewan Pimpinan Daerah ialah kesatuan anggota dan
kepemimpinan di daerah tingkat II.
Dewan Pimpinan Wilayah ialah kesatuan anggota dan
kepemimpinan di daerah tingkat I.
Dewan Pimpinan Pusat ialah kesatuan anggota dan
kepemimpinan yang berada di tingkat pusat.
|
Di setiap tingkat kepemimpinan di bentuk Majelis
Pertimbangan Partai (MPP), yang berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Dewan Pimpinan Partai.
Di setiap tingkat kepemimpinan dapat dibentuk Badan Otonomi
dan lembaga / Panitia khusus yang akan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah
Tangga.
Ketentuan tentang hubungan struktural antara DPW, DPD, DPC
dan DPRt diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 10. Pimpinan Organisasi
Dewan Pimpinan Pusat
Dewan Pimpinan Pusat adalah pimpinan tertinggi dalam
memimpin partai .
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat dipilih dan ditetapkan dalam
kongres.
Anggota Dewan Pimpinan Pusat terdiri dari :
- Majelis Pertimbangan Partai. - Seluruh
anggota pengurus Dewan Pimpinan Pusat.
Dewan Pimpinan Wilayah
Dewan Pimpinan Wilayah memimpin partai di wilayahnya dan
melaksanakan kepemimpinan dari Pimpinan Pusat.
Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah dipilih dan ditetapkan dalam
musyawarah wilayah untuk masa jabatan 5 tahun.
Kepengurusan Dewan Pimpinan Wilayah berdasarkan hasil
musyawarah wilayah disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dengan Surat
Keputusan.
Anggota Dewan Pimpinan Wilayah terdiri dari :
- Majelis Pertimbangan Partai wilayah. - Seluruh
anggota pengurus Dewan Pimpinan Wilayah.
Dewan Pimpinan Daerah
Dewan Pimpinan Daerah memimpin partai di daerahnya dan
melaksanakan kepemimpinan dari Dewan Pimpinan Wilayah.
Pengurus Dewan Pimpinan Daerah dipilih dan ditetapkan
dalam Musyawarah Daerah untuk masa jabatan 5 tahun.
Kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah hasil Musyawarah daerah
disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dengan surat keputusan yang tembusannya
disampaikan kepada Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Cabang.
Anggota Dewan Pimpinan Daerah terdiri dari :
- Majelis Pertimbangan Partai Daerah.- Seluruh anggota
pengurus Dewan Pimpinan Daerah.
Dewan Pimpinan Cabang
Dewan Pimpinan Cabang memimpin partai dalam cabangnya
dan melaksanakan kepemimpinan dari Dewan Pimpinan Daerah.
Pengurus Dewan Pimpinan Cabang dipilih dan ditetapkan oleh
musyawarah cabang untuk masa jabatan 5 tahun.
Kepengurusan Dewan Pimpinan Cabang hasil musyawarah cabang
disahkan oleh Dewan Pimpinan Wilayah dengan surat keputusan yang tembusannya disampaikan
kepada Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Ranting.
Anggota Dewan Pimpinan Cabang terdiri dari :
- Majelis Pertimbangan Partai cabang. -
Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Cabang.
Dewan Pimpinan Ranting
Dewan Pimpinan Ranting memimpin
partai dalam rantingnya dan melaksanakan kepemimpinan
dari Dewan Pimpinan Cabang.
Pengurus Dewan Pimpinan Ranting dipilih dan ditetapkan oleh
musyawarah ranting untuk masa jabatan 5 tahun.
Kepengurusan pimpinan ranting hasil
musyawarah ranting disahkan oleh Dewan Pimpinan Daerah
dengan surat keputusan yang tembusannya disampaikan kepada Dewan
Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Daerah.
Anggota Dewan Pimpinan Ranting terdiri dari :
- Majelis Pertimbangan Partai ranting. - Seluruh anggota
pengurus Dewan Pim-pinan Ranting.
BAB VII. PERMUSYAWARATAN
Pasal 11
Bentuk macam-macam permusyawaratan.
1.1. Kongres 1.2. Rapat Kerja
Nasional 1.3. Rapat Paripurna 1.4. Musyawarah
Wilayah 1.5. Rapat Kerja Wilayah 1.6.
Musyawarah Daerah 1.7. Rapat Kerja
Daerah 1.8. Musyawarah Cabang 1.9. Rapat
Kerja Cabang 1.10. Musyawarah Ranting 1.11. Rapat
Kerja Ranting 1.12. Kongres Luar Biasa 1.13.
Musyawarah Wilayah Luar Biasa 1.14.
Musyawarah Daerah Luar Biasa 1.15. Musyawarah
Cabang Luar Biasa 1.16. Musyawarah Ranting Luar
Biasa 1.17. Rapat Pleno 1.18. Rapat
Harian 1.19. Rapat Anggota Ranting
Hal-hal yang berkenaan dengan aturan
permusyawaratan yang belum diatur dalam Anggaran Dasar
akan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
Bab VIII. ACARA PERMUSYAWARATAN
Pasal 12. Acara permusyawaratan diatur
dalam Anggran Rumah Tangga.
Bab IX. MASA JABATAN PENGURUS
Pasal 13 Masa Jabatan ketua Umum dalam
Dewan Pimpinan Pusat serta jabatan ketua dalam tingkat DPW, DPD, DPC, dan DPRt
paling lama hanya untuk 2 (dua) kali masa jabatan dan tidak dapat dipilih
kembali.
BAB X. KORUM DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 14 Korum dan pengambilan keputusan
diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB XI. HAK SUARA DAN HAK BICARA
Pasal 15 Hak suara dan
hak bicara dalam permusyawaratan diatur dalam Anggaran
Rumah Tangga.
BAB XII. SUMBER KEUANGAN
Pasal 16 Sumber keuangan partai terdiri
dari :
Uang iuran anggota
Usaha, sumbangan dan infak
Hibah dan wasiat
Sumber sumber lain yang dianggap halal dan tidak
mengikat.
Bab XIII. PENGESAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 17 Pengesahan Anggaran Dasar ini
untuk pertama kalinya disahkan dalam Rapat Formatur pada
tanggal 22 Agustus 1998.
BAB XIV. PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 18 Perubahan Anggaran Dasar hanya
dapat diubah oleh kongres.
Bab XV. PEMBUBARAN PARTAI
Pasal 19
Partai hanya dapat dibubarkan oleh kongres dan atau kongres
luar biasa yang khusus diadakan untuk itu.
Kongres dan atau Kongres Luar Biasa tersebut diatas
dinyatakan sah, apabila dihadiri oleh 2/3 (dua per tiga) dari Dewan Pimpinan
Daerah dan disetujui oleh 2/3 suara yang hadir.
Apabila terjadi pembubaran partai, maka seluruh harta benda
milik partai diputuskan pula dalam kongres tersebut.
Bab XVI. KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini akan
diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
Ketentuan-ketentuan
lain yang belum tercakup dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga akan
diatur lebih lanjut oleh DPP PAN sejauh tidak bertentangan dengan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
ANGGARAN RUMAH TANGGA
PARTAI AMANAT NASIONAL
ANGGARAN RUMAH TANGGA
PARTAI AMANAT NASIONAL
BAB I. KEANGGOTAAN
1.1. pemberian sanksi teguran tertulis dilakukan oleh DPP
PAN berdasarkan hasil keputusan Rapat Harian DPP PAN. 1.2.Pemberian Sanksi
pemberhentian sementara sebagai pengurus dan atau anggota dan pemberhentian
selamanya sebagai pengurus dan atau anggota dilakukan oleh DPP PAN berdasarkan
Rapat Pleno DPP PAN.
BAB II. PENDIRIAN dan PIMPINAN ORGANISASI
1.1. Pendirian Dewan Pimpinan Ranting dilaksanakan ditingkat
kelurahan/desa berdasarkan hasil musyawarah anggota dalam satu kelurahan/desa
yang telah memiliki anggota paling sedikit 25 (dua puluh lima)
orang. 1.2. Susunan pengurus berdasarkan hasil musyawarah ranting
dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Daerah disertai dengan
rekomendasi dari Dewan Pimpinan Cabang setempat. 1.3. Apabila dalam
satu kelurahan/desa tidak terdapat Dewan Pimpinan Ranting bila dianggap perlu
untuk kepentingan partai maka Dewan Pimpinan Cabang dan/atau Dewan Pimpinan
Daerah dapat memprakarsai pendirian ranting. 1.4. Untuk mengisi
kekosongan jabatan ketua, Dewan Pimpinan Ranting dapat melaksanakan Musyawarah
Ranting Luar Biasa dengan melakukan koordinasi dengan Dewan Pimpinan
Cabang setempat. 1.5. Dewan Pimpinan Ranting dapat menambah
dan/atau mengur-angi Anggota Dewan pengurusnya melalui rapat pleno dengan
meminta pengesahan kepada Dewan Pimpinan Daerah yang tembusannya dikirim kepada
Dewan Pimpinan Cabang. 1.6. Dewan Pimpinan Ranting
dapat membuat pedoman kerja tersendiri sesuai dengan kebutuhannya
dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah partai.
2.1. Pendirian Dewan Pimpinan Cabang dilaksanakan di tingkat
kecamatan yang telah memiliki sekurang-kurangnya tiga Dewan Pimpinan
Ranting. 2.2. Susunan pengurus berdasarkan hasil musyawarah
cabang dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Wilayah disertai dengan
rekomendasi dari Dewan Pimpinan Daerah setempat. 2.3. Apabila dalam
satu kecamatan belum terbentuk Dewan Pimpinan Cabang, namun dianggap perlu
untuk kepentingan partai, maka Dewan Pimpinan Wilayah dapat memprakarsai
pendirian cabang dengan melakukan koordinasi dengan Dewan Pimpinan
Daerah. 2.4. Apabila terdapat kekosongan jabatan ketua,
maka Dewan Pimpinan Cabang dapat melaksanakan Musyawarah Cabang Luar Biasa
dengan melakukan koordinasi dengan Dewan Pimpinan Daerah dan Dewan
Pimpinan Wilayah setempat. 2.5. Dewan Pimpinan Cabang dapat
menambah dan/atau mengur-angi anggota dewan pengurusnya melalui
rapat pleno dengan meminta pengesahan kepada Dewan Pimpinan Wilayah yang
tembusannya kepada Dewan Pimpinan Daerah.
3.1. Pendirian Dewan Pimpinan Daerah dalam tingkat Kabupaten
dan/atau Kotamadya dilaksanakan dalam Musyawarah Daerah yang telah memiliki
sedikitnya tiga Dewan Pimpinan Cabang. 3.2. Pengesahan
pendirian Dewan Pimpinan Daerah serta pengurus terpilih berdasarkan hasil
Musyawarah Daerah dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Pusat disertai
dengan rekomendasi dari Dewan Pimpinan Wilayah setempat. 3.3.
Dewan Pimpinan Daerah berkedudukan di Ibukota Kabupaten dan/atau Kotamadya
setempat. 3.4. Dewan Pimpinan Daerah adalah pemimpin tertinggi
yang memimpin partai didaerahnya. 3.5. Untuk mengisi kekosongan
jabatan ketua, maka Dewan Pimpinan Daerah dapat melaksanakan Musyawarah Daerah
Luar Biasa dengan melakukan koordinasi dengan Dewan Pimpinan Wilayah
untuk meminta pengesahan pada Dewan Pimpinan Pusat. 3.6. Dalam
keadaan yang tidak memungkinkan dilaksanakan Musyawarah Daerah Luar Biasa
maka Dewan Pimpinan Daerah dapat melaksanakan mekanisme rapat kerja
daerah dan melaporkan hasilnya kepada Dewan Pimpinan Pusat dengan tembusannya
kepada Dewan Pimpinan Wilayah. 3.7. Dewan Pimpinan Daerah
dapat me-nambah dan atau mengurangi Anggota Dewan Pengurusnya melalui rapat
pleno dan meminta pengesa-han kepada Dewan Pimpinan Pusat. 3.8.
Dewan Pimpinan Daerah dapat membuat pedoman kerja tersendiri sesuai
dengan kebutuhan daerahnya asal tidak bertentangan dengan kaedah
organisasi.
4.1. Pendirian Dewan Pimpinan Wilayah dalam
tingkat Propinsi dilaksanakan dalam Musyawarah Wilayah yang telah memiliki
sekurang-kurangnya tiga Dewan Pimpinan Daerah. 4.2. Pengesahan
pendirian Dewan Pimpinan Wilayah serta pengurus terpilih berdasarkan hasil
Musyawarah Wilayah dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan
Pusat. 4.3. Dewan Pimpinan Wilayah berkedudukan di Ibukota
Propinsi. 4.4. Dewan Pimpinan Wilayah adalah pemimpin
tertinggi yang memimpin Partai diwilayahnya. 4.5. Apabila
terdapat kekosongan jabatan ketua, Dewan Pimpinan Wilayah dapat melaksanakan
Musyawarah Wilayah Luar Biasa dengan melakukan koordinasi
dengan Dewan Pimpinan Pusat. 4.6. Dalam keadaan yang
tidak memungkinkan dilaksanakan Musyawarah Wilayah Luar Biasa maka Dewan
Pimpinan Wilayah dapat melaksanakan rapat kerja wilayah dengan meminta
pengesahan hasilnya kepada Dewan Pimpinan Pusat . 4.7.
Dewan Pimpinan Wilayah dapat menambah dan / atau mengurangi anggota dewan
pengurusnya melalui mekanisme Rapat Pleno dan dimintakan pengesahannya
kepada Dewan Pimpinan Pusat. 4.8. Dewan
Pimpinan Wilayah dapat membuat pedoman kerja tersendiri sesuai dengan
kebutuhannya asal tidak bertentangan dengan kaedah organisasi.
5.1. Dewan Pimpinan Pusat adalah pemimpin
tertinggi dalam kepemim-pinan partai yang melaksanakan dan meneruskan,
mengawasi serta menginstrusikan keputusan-keputusan Kongres kepada seluruh
Dewan Pimpinan Partai dalam semua tingkatan. 5.2. Dewan
Pimpinan Pusat dapat menambah dan/atau mengurangi anggota pimpinannya
yang kemudian dimin-takan pengesahannya dalam rapat harian. 5.3.
Dewan Pimpinan Pusat dapat menetapkan peraturan-peratu-ran khusus maupun
pedoman kerja dan/atau pedoman organi-sasi lainnya dalam rangka
menjaga ketertiban dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya. 5.4. Apabila terdapat kekosongan
jabatan Ketua Umum, maka pimpinan sementara akan dipimpin secara
presidium oleh para ketua-ketua, untuk selanjutnya dilaksanakan
Kongres Luar Biasa yang khusus diadakan untuk itu .
BAB III. DEPARTEMEN-DEPARTEMEN
Pada tingkat DPP, DPW, DPD, DPC dan DPRt dibentuk
departemen-departemen dimana lembaga dan pengurusnya ditempatkan berdasarkan
profesionalitas.
Jumlah dan komposisi departemen di jenjang
kepengurusan pada tingkat DPW ke bawah disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing akan tetapi tidak boleh melebihi jumlah departemen di tingkat
Dewan Pimpinan Pusat.
BAB IV. BADAN OTONOM DAN LEMBAGA / PANITIA KHUSUS
Badan Otonom adalah institusi yang mempunyai kedudukan
mandiri, berhak mengatur dan mengelola sendiri kerja lembaga berlandaskan AD /
ART PAN.
Badan Otonom dibentuk berdasarkan Surat Keputusan PAN.
Badan Otonom bisa dibentuk di setiap eselon mengacu pada
struktur organisasi yang ada di DPP.
Hal-hal yang berkaitan dengan Badan Otonom akan diatur dalam
peraturan lebih lanjut.
Lembaga / Panitia Khusus adalah institusi yang dibentuk
berdasarkan kebutuhan partai dalam rangka menjalankan program kerja dan agenda
partai.
Lembaga / Panitia Khusus dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan PAN.
Lembaga / Panitia Khusus dapat dibentuk di setiap eselon
kepengurusan.
Hal-hal yang berkaitan dengan Lembaga / Panitia Khusus akan
diatur di dalam peraturan lebih lanjut.
BAB V. PERGANTIAN PIMPINAN
Penggantian pimpinan partai dalam semua tingkatan
dilaksana-kan lima tahun sekali.
Penggantian pimpinan pada tingkat DPP
dilaksanakan dalam Kongres, penggantian DPW, DPC, DPD dan DPRt dilaksanakan
dengan musyawarah di jenjang masing-masing.
Serah terima jabatan pimpinan harus dilaksanakan
pada akhir acara Kongres /Musyawarah.
BAB VI . PEMILIHAN PIMPINAN
Kongres adalah permusyawaratan tertinggi dalam partai
yang diadakan atas undangan Dewan Pimpinan Pusat dilaksanakan
sekali lima tahun yang dihadiri oleh peserta Kongres
dan anggota Kongres.
Peserta Kongres terdiri dari :
2.1. Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan
Pusat. 2.2. Seluruh pengurus dan anggota MPP Dewan Pimpinan
Pusat. 2.3. Ketua dan sekretaris Dewan Pimpinan
Wilayah. 2.4. Ketua dan sekretaris Dewan Pimpinan
Daerah.
Anggota Kongres terdiri dari :
3.1. Undangan Dewan Pimpinan Pusat yang diputuskan oleh
rapat pleno DPP sebagai peninjau.
Hak suara dan hak bicara
4.1. Hak suara hanya dimilki oleh peserta
Kongres. 4.2. Anggota Kongres hanya memiliki hak bicara akan tetapi
tidak memiliki hak suara.
Acara pokok kongres adalah sebagai berikut :
5.1. Laporan pertanggungjawaban DPP tentang: pelaksanaan
dan kebijaksanaan, organisasi dan keuangan serta pengesahan laporan
DPP terhadap perjalanan organisasi dalam satu periode. 5.2.
Menetapkan dan/atau melakukan perubahan terhadap AD/ART serta peraturan
organisasi lainnya. 5.3. Menetapkan program kerja untuk periode
berikutnya. 5.4. Pemilihan dan penetapan Ketua Umum secara langsung.
Ketua Umum terpilih secara ex officio adalah sebagai ketua
formatur. 5.5. Memilih dan menetapkan formatur yang akan
menyusun kelengkapan personalia pengurus DPP. 5.6. Formateur
berjumlah sebanyak 9 orang, termasuk ketua formatur. 5.7. Menyusun
anggota Majelis Pertimbangan Partai DPP. 5.8. Dewan Pimpinan Pusat
bertanggung jawab terhadap pelak-sanaan Kongres. 5.9. Isi dan
susunan acara Kongres serta keputusan tentang pelaksanaan Kongres,
ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dengan memperhatikan hasil-hasil Rapat
Kerja Nasional. 5.10. Selambat lambatnya satu bulan setelah
kongres dilaksanakan, pengurus DPP terpilih sudah harus menyampaikan
hasil-hasil Kongres kepada seluruh DPW, selanjutnya paling lambat dalam
waktu 10 hari setelah diterimanya oleh DPW maka DPW
telah harus menyampaikan pula kepada seluruh DPD, demikian pula
selanjutnya oleh DPD kepada DPC dan DPRt. 5.11. Keputusan
Kongres diberlakukan untuk masa periode kepengurusan selanjutnya.
Bab VII. KORUM dan PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Kongres dinyatakan sah dan memenuhi korum
apabila dihadiri oleh setengah lebih satu dari jumlah Dewan Pimpinan
Daerah.
Seluruh rapat permusyawaratan selain Kongres dan Kongres
Luar Biasa, dinyatakan sah dan dapat berlangsung dengan tidak
memandang jumlah yang hadir asal yang berkepentingan telah diundang
yang dapat dibuktikan dengan bukti penerimaan dan atau
pengiriman baik secara langsung maupun
melalui kantor Pos negara.
BAB VIII. KONGRES LUAR BIASA BAB IX. RAPAT-
RAPAT
1.1. Seluruh pengurus DPP. 1.2. Seluruh pengurus
MPP DPP. 1.3. Ketua MPP Wilayah dan Daerah. 1.4. Ketua
Dewan Pimpinan Wilayah. 1.5. Ketua Dewan Pimpinan Daerah.
2.1. Laporan Dewan Pimpinan Pusat. 2.2.
Masalah-masalah penting dan aktual yang menyangkut kepentingan
partai. 2.3. Evaluasi perjalanan partai. 2.4.
Masalah-masalah yang oleh Kongres diserahkan kepada rapat kerja nasional. 2.5.
Acara-acara pokok dan persiapan serta masalah-masalah yang akan dibicarakan
dalam Kongres. 2.6. Dewan Pimpinan Pusat bertanggung
jawab terhadap pelaksa-naan rapat kerja nasional. 2.7. Isi dan
susunan acara Rapat Kerja Nasional ditentukan oleh Dewan Pimpinan Pusat.
2.1. Dewan Pimpinan Pusat (2 orang). 2.2. Seluruh
anggota pengurus Dewan Pimpinan Wilayah. 2.3. Seluruh pengurus
MPP Dewan Pimpinan Wilayah. 2.4. Ketua dan sekretaris Dewan
Pimpinan Daerah. 2.5. Ketua, sekretaris dan ditambah 4 orang
pengurus Dewan Pimpinan Cabang.
4.1 Hak suara hanya dimiliki oleh Peserta Musyawarah
Wilayah. 4.2 Anggota Musyawarah Wilayah hanya memiliki hak bicara
akan tetapi tidak memiliki hak suara.
5.1. Laporan pertanggung jawaban DPW tentang
pelaksanaan dan kebijakan organisasi dan keuangan serta pengesahan
laporan DPW terhadap perjalanan organisasi dalam satu
periode. 5.2. Menetapkan, melakukan perubahan terhadap peraturan
organisasi di wilayahnya. 5.3. Menetapkan Program Kerja untuk
periode berikutnya yang mengacu pada keputusan Kongres. 5.4. Pemilihan
dan penetapan ketua DPW secara langsung, ketua terpilih secara ex officio
adalah sebagai ketua formatur. 5.5. Memilih dan menetapkan
formatur. 5.6. Formatur berjumlah tujuh orang termasuk ketua
formatur. 5.7. Menyusun anggota Majelis Pertimbangan Partai
wilayah. 5.8. Dewan Pimpinan Wilayah bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan Musyawarah Wilayah. 5.9. Musyawarah Wilayah
dilaksanakan lima tahun sekali. 5.10. Isi
dan susunan acara Musyawarah Wilayah serta kepu-tusan tentang pelaksanaan Musyawarah
Wilayah, ditetapkan oleh Dewan Pimpi-nan Wilayah dengan memperhatikan
hasil-hasil Rapat Kerja Wilayah. 5.11. Selambat-lambatnya satu bulan
setelah Musyawarah Wi-layah, pengurus DPW terpilih sudah
harus menyampaikan hasil-hasil Musyawarah Wilayah kepada seluruh DPD,
selanjutnya paling lambat dalam waktu 10 hari setelah diterimanya oleh DPD maka
DPD telah harus menyampaikan pula kepada DPC dan DPRt. 5.12.
Keputusan Musyawarah Wilayah mulai diber-lakukan untuk masa kepengurusan selanjutnya. 5.13.
Musyawarah Wilayah dinyatakan sah dan memenuhi korum apabila
dihadiri oleh setengah lebih satu dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah.
2.1. Dewan Pimpinan Wilayah (2 orang). 2.2.
Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Daerah. 2.3. Seluruh
pengurus MPP Dewan Pimpinan Daerah. 2.4. Ketua dan sekretaris
ditambah tiga orang pengurus harian Dewan Pimpinan
Cabang. 2.5. Ketua dan sekretaris ditambah tiga orang pengurus
DPRt yang dipilih oleh rapat kerja ranting yang khusus yang dilakukan untuk
itu.
3.1. Undangan Dewan Pimpinan Daerah yang ditetapkan oleh
rapat pleno DPD.
4.1. Hak suara hanya dimiliki oleh peserta Musyawarah
Daerah. 4.2. Anggota Musyawarah Daerah hanya memiliki hak
bicara akan tetapi tidak memiliki hak suara.
5.1. Laporan pertanggungjawaban DPD tentang
pelaksanaan dan kebijakan, organisasi dan keuangan serta penge-sahan laporan
DPD terhadap perjalanan organisasi dalam satu
periode. 5.2. Menetapkan, melakukan perubahan terhadap
peraturan organ-isasi di daerahnya. 5.3. Menetapkan program kerja
untuk periode berikutnya yang mengacu kepada keputusan Kongres dan keputusan
Musyawarah Wilayah. 5.4. Pemilihan dan penetapan ketua DPD secara
langsung. Ketua DPD terpilih secara ex officio adalah sebagai ketua
formatur. 5.5. Memilih dan menetapkan formatur. 5.6.
Formatur berjumlah sebanyak 7 orang termasuk ketua formatur. 5.7.
Menyusun anggota Majelis Pertimbangan Partai Daerah. 5.8. Dewan
Pimpinan Daerah bertanggung jawab terhadap pelak-sanaan Musyawarah Daerah. 5.9.
Musyawarah Daerah dilaksanakan lima tahun sekali. 5.10. Isi dan
susunan acara Musyawarah Daerah serta keputu-san tentang pelaksanaan Musyawarah
Daerah, ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dengan memperhatikan hasil-hasil
Rapat Kerja Daerah. 5.11. Selambat lambatnya satu bulan
setelah Musyawarah Daerah, Pengurus DPD terpilih sudah harus
menyampaikan hasil-hasil Musyawarah Daerah kepada DPW dan seluruh
DPC, dan DPRt. 5.12. Keputusan Musyawarah Daerah diberla-kukan untuk
masa kepengurusan selanjutnya. 5.13. Musyawarah Daerah
dinyatakan sah dan memenuhi korum apabila dihadiri oleh setengah
lebih satu dari Musyawarah Daerah.
2.1. Dewan Pimpinan Wilayah ( 2 orang ). 2.2.
Dewan Pimpinan Daerah ( 2 orang ). 2.3. Seluruh pengurus Dewan
Pimpinan Cabang. 2.4. Seluruh pengurus MPP
cabang. 2.5. Ketua dan sekretaris ditambah lima orang
Dewan Pimpinan Ranting.
BAB X. STRUKTUR KEPENGURUSAN
1. Ketua Umum
2. Ketua - ketua
3. Sekretaris Jenderal
4. Wakil - wakil Sekretaris Jenderal
5. Bendahara Umum
6. Bendahara
7. Dewan Ekonomi :
- Ketua
- Wakil Ketua
- Sekretaris
- Anggota
8. Majelis Pertimbangan Partai :
- Ketua
- Wakil Ketua
- Sekretaris
- Anggota
9. Departemen Kaderisasi, keanggotaan
Organisasi.
10. Departemen Kampanye dan pemenangan Pemilu.
11. Departemen Humas / Media Massa.
12. Departemen Hubungan Internasional.
13. Departemen Buruh, Tani, Nelayan.
14. Departemen Perhubungan/Telekomunikasi.
15. Departemen Pendidikan.
16. Departemen Sumber Daya Alam dan Energi.
17. Departemen Agama.
18. Departemen Perlindungan Konsumen.
19. Departemen Hukum dan Keadilan.
20. Departemen Kesehatan.
21. Departemen Kebudayaan dan Kesenian.
22. Departemen Pemberdayaan Perempuan.
23. Departemen lingkungan Hidup.
24. Departemen Agraria.
25. Departemen Pemuda dan Olah Raga.
26. Departemen Penelitian dan Pengembangan.
27. Departemen Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi.
28. Departemen Wirausaha dan Koperasi.
29. Departemen Sosial.
30. Pengurus setiap departemen terdiri dari kepala
departemen, wakil kepala, dan anggota.
2.1. Ketua 2.2. Wakil-wakil ketua 2.3.
Sekretaris 2.4. Wakil-wakil sekretaris 2.5.
Bendahara 2.6. Wakil-wakil bendahara 2.7. Majelis Pertimbangan
Partai - Ketua - Wakil ketua -
Sekretaris - Anggota
2.8. Departemen-departemen sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
BAB. XI. MAJELIS PERTIMBANGAN PARTAI
BAB XII. LOGO dan LAMBANG PARTAI Pasal 30
1. Filosofi Logo :
Matahari putih yang bersinar cerah dilatarbelakangi segi empat warna biru dengan tulisan PAN dibawahnya, merupakan simbolisasi bahwa Partai Amanat Nasional membawa suatu pencerahan baru menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.
2. Makna Logo :
Simbol Matahari yang bersinar terang :
Matahari merupakan sumber cahaya, sumber kehidupan. Warna putih adalah ekspresi dari kebenaran, keadilan dan semangat baru.
BAB XII. LOGO dan LAMBANG PARTAI Pasal 30
1. Filosofi Logo :
Matahari putih yang bersinar cerah dilatarbelakangi segi empat warna biru dengan tulisan PAN dibawahnya, merupakan simbolisasi bahwa Partai Amanat Nasional membawa suatu pencerahan baru menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.
2. Makna Logo :
Simbol Matahari yang bersinar terang :
Matahari merupakan sumber cahaya, sumber kehidupan. Warna putih adalah ekspresi dari kebenaran, keadilan dan semangat baru.
Langganan:
Postingan (Atom)