Jumat, 29 April 2016

DOKUMENTASI GERAKAN LITERASI RUMPITA DAN VIORIC


ANGGARAN DASAR MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA (MSI)

ANGGARAN DASAR
MASYARAKAT SEJARAWAN INDONESIA
(MSI)

Pembukaan
Pasal I
Nama, Waktu, dan Kedudukan
  1. Nama oganisasi Masyarakat Sejarawan Indonesia, disingkat MSI
  2. MSI dibentuk di Yogyakarta pada 29 Agustus 1970
  3. Kedudukan MSI di Jakarta Ibukota Republik Indonesia
Pasal 2
Azas
  1. MSI berazaskan Pancasila
Pasal 3
Tujuan
  1. Memajukan ilmu dan pengetahuan sejarah
  2. Memajukan pengkajian Sejarah Indonesia dari segala aspek
  3. Menghimpun para sejarawan Indonesia dalam suatu wadah profesi
  4. Menjadi forum komunikasi para sejarawan  pendidik dan peminat sejarah
Pasal 4
Usaha
  1. Menyelenggarakan pertemuan ilmiah dalam bidang ilmu dan pengetahuan sejarah
  2. Mengusahakan apresiasi masyarakat terhadap sejarah
  3. Menerbitkan majalah dan monografi yang memuat hasil penelitian para ilmuwan dalam  dan luar negeri mengenai sejarah Indonesia
  4. Mengadakan kerjasama dengan lembaga keilmuan khususnya bergerak dalam penelitian dan pengembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
  5. Mengusahakan bantuan untuk kegiatan penelitian sejarah Indonesia dan sejarah umum
  6. Mengusahakan dan mendorong sejarawan untuk berperan dalam pembangunan.
Pasal 5
Struktur Organisasi
  1. Organisasi MSI terdiri atas MSI tingkat Pusat. MSI Tingkat Cabang, dan MSI Komisariat.
  2. Di setiap propinsi atau Daerah Tingkat I dapat dibentuk Cabang MSI jika di tempat tersebut terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) komisariat
  3. Di setiap daerah Tingkat II, kabupaten atau kotamadya dapat dibentuk komisariat MSI jika di tempat tersebut komisariat MSI jika di tempat tersebut terdapat sekurang-kurangnya 10 anggota.
  4. Ketua umum MSI Tingkat pusat dipilih dan disahkan oleh kongrres
  5. Ketua MSI tingkat Cabang dipilih dalam musyawarah Cabang dan disahkan oleh MSI pusat.
  6. Ketua MSI komisariat dipilh dalam Musyawarah Paripurna Komisariat dan disahkan oleh MSI cabang.
Pasal 6
Keanggotaan
  1. Keanggotaan MSI terdiri dari
  2. Yang dapat menjadi anggota biasa ialah
  3. Anggota kehormatan ialah mereka yang diangkat oleh pengurus Pusat berdasarkan jasa mereka bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
  4. Anggota Peminat terdiri atas
  5. Anggota Donatur ialah mereka yang memberikan sumbangan secara tetap kepada MSI tanpa mengikat.
  6. Keanggotaan berakhir karena
    1. Meninggal dunia
    2. Atas permintaan sendiri
    3. Diberhentikan oleh pengurus pusat berdasarkan usul pengurus komisariat dan pengurus cabang
  1. Anggota Biasa
  2. Anggota Kehormatan
  3. Anggota Peminat
  4. Anggota Donatur
  1. sekurang-kurangnya lulusan sarjana Jurusan Sejarah, Jurusan Arkeologi, Pendidikan Sejarah dari suatu perguruan tinggi
  2. Lulusan pergurruan tinggi dalam bidang lain, tetapi telah mengadakan penelitian bidang sejarah
  3. Mereka yang telah menghasilkan tulisan yang mempunyai arti bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
  1. Para pengajar sejarah di tingkat pendidikan dasar dan menengah
  2. Para peminat sejarah yang menggunakan ilmu sejarah untuk menunjang karya atau profesinya
  3. Anggota Donator ialah mereka yang memberikan sumbangan secara tetap kepada MSI  tanpa mengikat
Pasal 7
Hak dan Kewajiban Anggota
  1. Anggota MSI berkewajiban menaati AD & ART, serta ketentuan MSI lainnya.
  2. Anggota MSI  berhak megikuti kegiatan organisasi dan memanfaatkan hasil kegiatan MSI
  3. Anggota MSI mempunyai hak suara dalam rapat paripurna anggota sesuai dengan tingkatannya.
Pasal 8
Rapat Paripurna Anggota
  1. Rapat Paripurna Anggota di Tingkat Pusat disebut MSI
  2. Rapat Paripurna Anggota di Tingkat Cabang disebut  Musyawarah Cabang atau Muscab
  3. Rapat Paripurna Anggota di Tingkat Komisi disebut Musyawarah Komisariat atau Muskom
  4. Rapat Paripurna Anggota baik dalam bentuk Kongres, Muscab, dan Muskom adalah kekuasaan tertinggi dalam MSI sesuai dengan tingkat masing-masing.
  5. Kongres, Muscab, dan Muskom diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun bersamaan dengan penyelenggaraan kegiatan keilmuan sejarah.
  6. Kongres bersifat terbuka dan dihadiri oleh utusan-utusan MSI Tingkat Cabang dan Tingkat Komisariat.
  7. Dalam Kongres dibahas, dan ditetapkan hal-hal sebagai berikut:
    1. Laporan keuangan dan pertanggungan jawab Pengurus Pusat
    2. Masalah kebijakan organisasi
    3. Masalah yang berhubungan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan sejarah
    4. Menetapkan program kerja lima tahun
    5. Memilih dan menetapkan Pengurus Pusat
    6. Kongres Luar Biasa dapat diselenggarakan berdasarkan permintaan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah cabang, dalam keadaan:
      1. Akan membubarkan MSI, atau
      2. Pengurus Pusat MSI menyimpang dari ketentuan-ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Pasal 9
Pengurus
  1. Pengurus terdiri sekurang-kurangnya seorang ketua, dua orang wakil ketua, dua orang sekretaris, dan dua orang bendahara. Merupakan pengurus harian dengan dibantu
  2. Pengurus Harian dilengkapi oleh sejumlah komisi yang membantu merumuskan kebijakan pengembangan dalam bidang-bidang:
  3. Penelitian, Pengembangan, dan Penulisan
  4. Pendidikan, dan Pertemuan Ilmiah
  5. Organisasi
  6. Dana
  7. Publikasi dan Dokumentasi
  8. Masing-masing komisi pada ayat (2) dipimpin oleh sejumlah komisi yang membantu merumuskan kebijakan pengembangan dalam bidang-bidang:
  9. Rapat gabungan antara pengurus harian, para ketua komisi, dan para anggota pengurus yang diperbantukan kepda semua komisi merupakan Dewan Pengurus Paripurna yang bertugas merumuskan kebijakan untuk melaksanakan keputusan Kongres, Muscab,, dan Muskom.
  10. Pengurus MSI Cabang dipilih oleh Muscab, dan diangkat oleh Pengurus MSI Pusat berdasarkan usulan Muscab.
  11. Pengurus MSI Komisariat dipilih oleh Muskom, dan diangkat oleh Pengurus MSI Cabang berdasarkan usulan Muskom
  12. Untuk menyelenggarakan kegiatan ilmu dan pengetahuan sejarah yang bersamaan waktunya dengan kongres, muscab, dan muskom pengurus dapat membentuk suatu panitia penyelenggara
  13. Pengurus berhak bertindak sebagai Panitia Pengarah kegiatan sejarah yang diselenggarakan bersamaan dengan kongres, muscab, dan muskom.
  14. Masa bakti kepengurusan berlaku 5 tahun.
Pasal 10
Hak dan Kewajiban
  1. Pengurus Harian dan ketua-ketua komisi berhak mewakili dan berwenang untuk bertindak atas nama MSI baik ke luar maupun ke dalan dengan sepengetahuan ketua umum.
  2. Segala kewenangan dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pengurus harian dipertanggungjawabkan kepada Kongres untuk Pengurus Pusat, Muscab, untuk Pengurus Komisariat.
  3. Kewenangan dan kebijakan yang dilakukan oleh ketua komisi dipertanggungjawabkan kepada Rapat Pengurus Paripurna.
  4. Pengurus berkewajiban memenuhi dan melaksanakan ketentuan AD, ART, dan Keputusan Rapat Paripurna atau Kongres Muscab, dan Muskom sesuai dengan tingkatanya.
  5. Pengurus berkewajiban melaksanakan program kerja untuk mewujudkan tujuan MSI
  6. Pengurus berkewajiban membela dan memajukan kepentingan para anggota serta mempertahankan integritas profesi.
  7. Pengurus berwenang menetapkan peraturan dan kebijaksanaan utuk menjalankan tugasnya sepanjang tidak bertentangan dengan AD, ART, dan keputusan kongres, muscab dan muskom
Pasal 11
Kekayaan
  1. Sumber keuangan unuk membiayai usaha MSI sesuai dengan tujuan yang tersebut pada pasal 3 adalah:
  2. Dalam usahanya mengembangkan ilmu dan pengetahuan sejarah MSI dapat mengelola milik-milik:
  1. Uang pangkal dan iuaran tahunan para anggota biasa dan anggota peminat.
  2. Sumbangan sukarela dari anggota penderma.
  3. Bantuan Pemerintah RI dn lembaga swasta.
  4. Sumbangan dari masyarakat berupa hibah, hibah wasiat, warisan dan pemberian lain yang sah dan tidak mengikat.
  1. Hasil publikasi
  2. Perpustakaan
  3. Lain-lain yang didapat dengan dengan usaha yang sah dan tidak mengikat.
Pasal 12
Pengesahan dan Perubahan Anggaran Dasar
  1. Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan oleh sekurang-kurangnya 2/3 peserta kongres.
  2. Pemungutan suara dilakukan dalam Kongres bila sesuai keputusan tidak berhasil berdasarkan musyawarah dan mufakat (aklamasi), jika perlu juga dapat melalui referendum
Pasal 13
Pembubaran MSI
  1. Pembubaran MSI hanya dapat dilakukan apabila dikehendaki oleh 2/3 (dua pertiga) dari seluruh peserta Kongres.
  2. Apabila MSI dibubarkan, maka kekayaan yang dimiliki setelah semua hutang-hutang dibayar lunas dapat diserahkan kepada lembaga pengantinya yang mempunyai tujuan sama dengan MSI
Pasal 14
Penutup
  1. Hal-hal yang tidak dan belum diatur dalam Anggaran Dasar diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
  2. Anggaran Rumah Tangga disahkan oleh kongres berdasarkan usulan Pengurus Pusat.
  3. Anggaran Rumah Tangga tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar MSI.
Ditetapkan dan disahkan oleh Kongres MSI ke : IV
di                           : Jakarta
Pada tanggal        : 13 November 1996

Bung Ali Sjahbana dan Potret Pemuda Tinambung (1)

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 1)
“ Bung Ali Syahbana dan Potret Pemuda Tinambung”  
Oleh: Muhammad Munir


Tinambung hanyalah sebuah kota kecil kecamatan yang pendapatan warga masyarakatnya banyak bersumber dari hasil pertanian, melaut, berdagang dan sebagian lainnya adalah pegawai negeri sipil. Tinambung dikenal dengan Sungai Mandar-nya yang membelah kota tua ini. Selain sungai Mandar yang membelahnya, ia juga diapit areal perkebunan di kaki bukit dan gunung serta berada dekat pantai teluk Mandar. Sekitar beberapa meter dari aliran sungai Mandar, terdapat sebuah kompleks pasar yang menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi sejak lama. Pasar Tinambung ini ramai dikunjungi oleh masyarakat sekitar kecamatan Tinambung seperti Alu Balanipa bahkan Majene. Pasar ini menjadi ikon Tinambung sebelum kemudian pemerintah memindahkannya ke wilayah yang jauh dari jalan poros. Tahun 2012/2013 para pedagang direlokasi sehingga hari ini yang nampak hanyalah hamparan tanah lapang yang digenangi air, rumput tumbuh liar dan tak terawat menjadi penanda berakhirnya  riwayat pasar Tinambung sebagai pusat perdagangan tradisional yang menjadi ikon kota tua tersebut.
 
Cerita tentang pasar Tinambung memang melegenda dengan tabiat para kusir bendi yang tak mau menegnal rambu-rambu lalu lintas. Lampu merah (traffick light) Tinambung sejak berdirinya nyaris tak pernah difungsikan. Bagaimana tidak, sebab para kusir yang datang tak peduli dengan nyala lampu, merah kuning hijau semua ia labrak. Celakanya, tak jarang tiang traffick light tersebut jadi tambatan kuda. Apakah tak ada petugas keamanan? Oh jangan tanya itu, sebab para kusir yang kebanyakan hanya faham bahasa Mandar ini ketika ditegur, jawabannya hanya satu yaitu Kowi Lakka (parang panjang), berurusan dengan mereka jelas tak ada untungnya. Lalu apakah para kusir itu adalah komplotan preman? Jawabnya juga satu. Bukan !. Mereka adalah sekelompok manusia yang interaksi sosialnya sangat tinggi, tuturnya santun, sopan, ramah, suka menolong. Entah apa sebabnya, karena untuk urusan lampu merah, mereka tak mau kompromi. Itulah keunikan dari sebagian masyarakat Tinambung yang mungkin karakter seperti ini hanya satu di Indonesia, Sudah salah, duluan marah pula.
 
Cerita tentang Tinambung tak berhenti sampai disitu. Mereka adalah masyarakat yang terkenal dengan kebudayaan dan banyak melahirkan budayawan. Kota sejarah yang melahirkan banyak sejarawan, kampung seni yang melahirkan ratusan seniman handal, penulis yang piawai, aktor yang kesohor, politisi vocal dan banyak aksi, cerdas, berani dan banyak dituliskan. Tinambung sejak Indonesia ditulis menemukan takdirnya sebagai pusat kesenian dan kebudayaan. Teater Flamboyant (TF), adalah komunitas yang tumbuh, tidak saja sebagai komunitas kesenian yang melulu berteater melalui usungan karya seni ke pentas lokal tapi juga menasional. TF muncul menjadi semacam agen perubahan, dan pentafsir atas nilai-nilai kebudayaan (baca: kearifan budaya lokal) masyarakat Mandar. 

Dalam deskripsi TF yang ditulis oleh Muhammad Syariat Tajuddin menceritakan tentang awal kelahiran TF yang dibangun oleh para pemuda yang menandaskan hari-harinya dengan bertanggang dan main gitar, berjudi, minum tuak dan beragam pelaku khas gerombolan anak kampung, kemudian dilecut untuk menyatu dalam sebuah komunitas yang kemudian sanggup mengambil alih kesibukan dan perhatian para pemuda itu untuk lebih kratif mengembangkan kesenian. Apa yang digambarkan oleh M. Syariat Tajuddin tersebut dibantah oleh M. Sukhri Dahlan (Dewan Kehormatan TF). Menurutnya, tak ada pemuda yang khas gerombolan anak kampung (penjudi dan minum-minum) dalam ruang lingkup awal pendirian TF. Meski diakuinya, bahwa memang banyak pemuda yang hobbinya berjudi dan minum-minum di Tinambung, tapi itu tidak dalam lingkaran pemuda yang menjadi embrio dari komunitas TF ini. Pemuda yang menata diri lewat Flamboyant itulah yang kemudian menata para pemuda khas gerombolan itu menjadi komunitas yang tercerahkan dan mencerahkan.

Dalam wawancara penulis dengan M. Sukhri Dahlan, ia banyak menerangkan latar belakang dan kronologis terbentuknya TF. Sebagaimana yang ceritakannya, bahwa sejak tahun 70-an di Tinambung sudah terbentuk komunitas "Sebatin" atau "Seni Budaya Tinambung" yang dimotori oleh Ahmad Patingari, M. Asri, Nurdin dimana M. Dahlan tampil sebagai pihak yang mengupayakan alat musiknya. Pada tahun yang sama Bung Ali Syahbana, salah seorang sosok penggerak TF kelahiran Tinambung melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di Kota Gudeg Yogyakarta. Dari Kota Gudeg, ia kemudian banyak bersinggungan dengan seniman jalanan dan gelandangan Malioboro yang salah satu diantaranya Emha Ainun Najib, Eko Tunas, Ebiet G. Ade dan beragam lainnya yang sama-sama aktif dalam Study Sastra Persada Club dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi (Presiden Penyair Malioboro) kala itu. (Bersambung).

RUMPITA: Melanggengkan Tradisi Intelektual yang Berbudaya

Oleh: Muhammad Munir 

RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan) adalah beranda pustaka yang menjadi tempat kongkow-kongkow literasi yang menyediakan fasilitas ruang baca buku, Wi-fi untuk internetan. Nama Rumpita sendiri merupakan ide cerdas dari Abdul Rasyid Ruslan yang kemudian dikelola secara ikhlash untuk menata diri dan membuka ruang bagi aktifis pemuda, pelajar dan mahsiswa, budayawan, seniman serta sejarawan untuk berkumpul mengumpul kata banyolan yang tak ubahnya seperti sejarah yang selalu siap mencatat kebudayaan yang lahir sebagai peradaban. Selaku penulis sekaligus pengelola Rumpita juga tidak mengetahui asbab dari sebuah sebab yang membuat mereka berkumpul pada jam yang tak mau dicheklist dalam rangkaian agenda. 

Sejak launching pada 17 Februari 2016 yang dihadiri oleh Darwin Badaruddin (Asisten Bupati Polewali Mandar), Agusniah Hasan Sulur (Kabid Sosbud Bappeda Polman) dan Rusbi Hamid (Anggota DPRD Majene), sejak itu pula Rumpita menjadi alternatif untuk kumpul-kumpul. Kumpulnya seakan tak kenal waktu, entah pagi, siang, sore, malam bahkan sampai larut malam dan shubuhpun telah menjadi sesuatu yang lumrah atau sudah biasa dan terbiasa. Bukan hanya Tammalele yang kerap datang menyentil lalu hilang, bukan hanya Hendra Djafar yang kadang memekik tawanya ketika sampai pada titik klimaks diskusi, bukan juga hanya Muhammad Ishaq, Syuman Saeha, Bakri Latief, Ahmad Asdy, Hardi Jamal, Abdul Rahman Epo, Abdul Rahman Baas, Ramli Rusli, Mattotorang, Andi Morgan, Hasbi, Zulfihadi, Mursalin, yang dengan berbagai model teori dan materi terkupas terbelah liar. Bahkan Darmansyah, Nurdin Hamma, Horst Liebner, Hamzah Ismail, M. Sukhri Dahlan, Amru Sa'dong, Asri Abdullah, Saharuddin Madju, Arifin Nejas, Aldhin, Fausi Rizal, Muhammad Rahmat Muchtar-pun bukan orang asing dalam sebuah acara diskusi literasi dan kopi darat teman sosmed. 

Kebiasaan yang mungkin biasa tersebut ternyata bukanlah persoalan biasa-biasa saja yang sempat mereka munculkan. Ada hal yang begitu luar biasa ketika banyolan-banyolan itu sampai pada sebuah persoalan yang mesti diseriusi. Berkaca pada gerakan tambang sungai Mandar, membaca fenomena alam yang menggurita pada eksistensi lembaga yang bernama Flamboyant, taman budaya, literasi, festival sungai Mandar sampai pada persoalan poltik dan suksesi 2017pun diurai dengan sangat luar biasa. Katakanlah Tammalele yang dengan santainya mengatakan Budayawan bukanlah satu-satunya orang yang berbudaya. Ini tentu menjadi sebuah renungan yang tak biasa. Sebab hari ini, pembacaan pada persoalan kebudayaan, terutama pemerintah kadang jauh panggang dari api. Lihatlah ketika pemerintah membincang kebudayaan, bukankah kita hanya menemukan mereka terpenjara sebatas mengapresiasi budayawan dan seniman. 

Tidakkah Sandeq, Pakkacaping, Passayang-sayang, dan kesenian tradisional menjadi arti dan pemaknaan pada kebudayaan diantara mereka. Inilah yang mesti kita refly dan sasar untuk menjadi bagian dalam menentukan kajian dan pembacaan kita pada Sulbar secara makro. Tentu tak elegan lagi membincang Sulbar secara mikro, sebab bagaimanapun, Sulbar adalah ruang dialektika yang tentu menuntut siapapun untuk menjadikannya malaqbiq tidak sebatas jargon. Agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan antar manusia dengan Tuhan, akan tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat lainnya, dari yang paling kecil sampai kepada yang lebih besar. Islam juga berisi peraturan-peraturan dan tuntunan-tuntunan untuk segala siklus kehidupan. Dengan keberadaannya seperti itu, Islam bisa dikatakan selain sebagai agama juga bisa disebut satu kebudayaan yang sempurna yang tidak timbul dari hasil pergaulan masyarakat, bukan hasil ciptaan masyarakat, tapi merupakan kebudayaan yang langsung diturunkan Tuhan kepada masyarakat Arab yang juga berlaku untuk seluruh dunia. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya menjadi dapat diselaraskan dengan masing-masing masyarakat itu. 

Dalam kehidupan masyarakat, segala sesuatu saling mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultur product), yang satu mempengaruhi yang lain selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain. Dari sinilah kita mengenal Peradaban Masyarakat (Lafran Pane). Menarik dan sungguh sebuah keberuntungan bisa mengenal teman-teman diskusi yang dengan apa adanya menyuguhkan berbagai pengalaman untuk pengembangan cakrawala berfikir. Menyuguhkan sederet pengetahuan umum, pengetahuan agama yang dapat diselami menjadi ilmu serta membedah persoalan dengan cara kiri dan cara kanan. Ternyata situasi ini adalah sebuah bentuk membangun peradaban secara alami. Untuk menguatkan pernyataan tersebut, mari kita telisik dengan menggunakan teori Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan, tanda wujudnya peradaban adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik, astronomi, optik, kedokteran, dan lain sebagainya. Dalam teori ini, substansi dari sebuah kemajuan-kemunduran suatu peradaban kuncinya di ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tentu tidak akan bisa berkembang tanpa adanya komunitas yang aktif mengembangkannya. 

Penulis sangat yakin, bahwa diskusi-diskusi beginilah yang membentuk komunitas Teater Flamboyant Mandar dan Ali Syahbana begitu mengakar dan menyejarah hingga kematiannya. Dalam sejarah peradaban dunia, sebuah peradaban besar ternyata dimulai dari komunitas kecil, yang kemudian berkembang menjadi sebuah peradaban besar. Dalam perjalanan sejarah, komunitas itu umumnya lahir di perkotaan dan bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah, terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah, Kordova, Baghdad, Samara, Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara. Ibnu Khaldun bahkan memberikan gambaran lebih spesifik dengan tanda-tanda hidupnya sebuah peradaban yaitu dengan berkembangnya teknologi (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur), kegiatan ekonomi, tumbuhnya praktik kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik, sastra, seni rupa, dll.). Dan dari balik tanda-tanda lahirnya sebuah peradaban itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan (Hariqo Wibawa Satri). 

Selain Ibnu Khaldun dengan teori dan tanda-tanda peradabannya, Sayyid Qutub beserta para sarjana Muslim kontemporer memasukkan agama, spiritual atau kepercayaan sebagai sumber peradaban. Beliau menyatakan bahwa, keimanan adalah sumber peradaban. Peradaban Islam misalnya, meski struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanen. Prinsip itu adalah keyakinan dan ketakwaan kepada Tuhan, supremasi kemanusiaan diatas segala yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, kesemuanya akan menyadarkan kita pada fungsi sebagai khalifatan fil ardh. Dari dua konsep tersebut muncul sebuah korelasi bahwa agama-agama samawi, Tuhan disimbolkan sebagai cahaya oleh para rasul melalui ajaran kitabnya. Dan kita tahu teori gerak benda dengan kecepatan tertentu akan menghasilkan energi, energi dengan kecepatan tertentu akan menhgasilkan cahaya. Ini rumus pengetahuan dan tentu saja ilmu harus kita sepakati sebagai Cahaya, Nur. 

Dari kesepakatan itulah kita sejatinya menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sebuah proses untuk mensifati sifat Tuhan. Dari sini kemudian menjadi menarik untuk kita simak pengakuan, Arnold Toynbee bahwa kekuatan spiritual (bathiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah yang kemudian disebut peradaban. Bahkan Muhammad Abduh menekankan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala peradaban, entah itu peradaban purba seperti Yunani, Mesir, India maupun peradaban modern, agama, keyakinan atau kepercayaan mutlak harus dilibatkan dalam membangun sebuah peradaban. Sampai disini, terdapat 3 point penting yang menopang sebuah peradaban, yakni ilmu pengetahuan, komunitas yang mengembangkannya serta keyakinan atau agama sebagai asas peradaban. Dalam konteks ber-Indonesia, hal ini sudah berjalan ratusan tahun silam. Sebut saja Zaman Syailendra, Sriwijaya, Majapahit, termasuk Sulawesi dan tentu saja didalamnya ada Mandar, selain Bugis, Makassar, Luwu, Bone, Tator. Tapi kita tak akan masuk dalam membincang persoalan ratusan tahun lalu itu. 

Cukup hari ini kita menyadari, betapa pertukaran energi dari sebuah diskusi adalah hal yang paling urgen dan terbukti menjaga kesehatan dan memanjangkan umur. Demikian Pak Nurdin Hamma memberikan spirit untuk tetap mebangun budaya diskusi yang tidak saja menjadi esensi bagi terbangunnya peradaban, sekaligus sebagai bentuk pertukaran energi untuk memanjangkan umur secara fisik dan memanjangkan umur sebagai manusia yang menyejarah dan namanya kerap dilisankan meski ketiadaan melingkupi usia kemanusiaan kita. Akhirnya, penulis berharap komunitas apapun dan dimanapun mesti menjadi ruang bersama untuk menumbuhkan tradisi intelektual sebagai penanda bahwa kebudayaan kita hari ini masih menjadi penyaksi akan eksistensi peradaban Mandar yang kita jadikan identitas.

RUMPITA: BERANDA PUSTAKA DAN KONGKOW LITERASI

Oleh; Muhammad Munir

Berawal dari sebuah konsep Rumah Buku dan Cafe Baca yang dibentuk di Campalagian pada 2011. Konsep ini berjalan dengan menyediakan buku dan ruang baca plus minum kopi dan diskusi. Namun dalam perjalanannya tidaklah berjalan sesuai yang diharapkan. Hal ini kemudian mandeg dan hanya oleh karena rendahnya minat baca masyarakat dan berbagai kesibukan. Tahun 2013 -2014 pindah ke Wonomulyo, lagi-lagi tak mendapat respon dan tanggapan masyarakat terhadap budaya literasi. Dan nanti saat Pustaka Rakyat Sepekan yang diadakan kali keduanya ditahun 2015 oleh Generasi Muda Pambusuang (Dahri Dahlan) Barulah kemudian pengelola berinisiatif untuk pindah ke Tinambung. 

Di Tinambung kemudian ganti nama Komunitas Rumah Pustaka dengan moda Sepeda Pustaka, Rumah Buku dan Cafe Baca dan Motor Baca. Lengkaplah sudah moda pustaka untuk meramaikan kegiatan pustaka dan menularkan budaya literasi ke sekolah-sekolah dan beberapa model belajar di alam terbuka. Penulis menjadi salah satu penggembira dari demam literasi ini. Animo masyarakat dan apresiasinya begitu terasa. Adalah Darwin Badaruddin dan Abed El Mubarak, Adi Arwan Alimin dan Agusniah Hasan Sulur adalah sederet orang yang langsung mendonorkan sepedanya, begitupun donasi buku dari berbagai kalangan mulai dari pejabat bahkan masyarakat ikut berdonasi buku, termasuk Abdul Rahman dari Tandung ikut berdonasi dengan 1 unit Motor Honda CG100. 

Tak berhenti sampai disitu, Oktober 2015, Abdul Rasyid Ruslan Direktur CV. Juragan Pasar tak pake fikir lama langsung merogoh koceknya jutaan rupiah untuk menginjeksi semangat literasi dalam bentuk Rumah Kopi dan Perpustakaan disingkat Rumpita. Rumpita kemudian tampil menjadi tradisi baru yang menyatukan konsep gerakan sosial bidang literasi dengan konsep keirausahaan (entrepreneur). Dalam pandangan penulis, gerakan sosial tanpa adanya panding dana, hanya akan memperalat gerakan untuk merogoh kocek pemerintah untuk mengantongi anggaran. Rumpita kemudian menjadi wadah untuk mencerdaskan generasi dengan fasilitas buku bacaan dengan fasilitas jaringan Wifi yang bisa dinikmati setiap pengunjung. Pihak Rumpita menyediakan menu kopi susu, gorengan dan binte'. 

Membuka usaha kreatif via Rumpita adalah salah satu upaya untuk memperoleh keuntungan secara bermartabat yang sebagian dari keuntungan itu dialokasikan mendanai operasional kegiatan literasi. Rumpita dalam perkembangannya ikut membantu pemerintah Polewali Mandar sebagai media mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan hanya Polman, Manajemen Rumpita juga ikut berkonstribusi dilingkup pemerintahan dan komunitas masyarakat Majene dengan penguatan literasi. Penguatan yang dimaksud dengan menggarap beberapa buku tentang Mandar untuk diterbitkan oleh Pemda Majene. Salah satu yang sudah terbit adalah Sastra Mandar yang ditulis oleh Drs. Darmansyah dan Bakri Latief dan beberapa buku lain yang saat ini dalam proses cetak. 

Bilik Baca Rumpita sampai saat ini sudah ada di 10 titik di Kabupaten Polewali Mandar dan Majene. Setiap titik diberikan fasilitas buku bacaan 100 eksemplar untuk dibaca olen masyarakat di sekitar Bilik Baca Rumpita secara gratis. Rumpita juga kerap melakukan Beranda Pustaka dan Kongkow Literasi di berbagai komunitas masyarakat, sekolah dan desa-desa terpencil. Beranda Pustaka dengan cara tebar buku dan Kongkow Literasi disediakan untuk ruang diskusi dengan tema bebas. Pelaksanaannya tidak terjadwal resmi tapi kapan saja ketika Rumpita ditawari. Kondisi inilah yang membuat kami kewalahan dalam menyediakan buku bacaan sehingga kami sangat membutuhkan peran bapak/ibu untuk meringankan beban kami dalam menyediakan buku bacaan. Kepada yang berminat silahkan inboks kami atau invite pinBB 2653FE37.

ALAMAT:
RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan)
Jl. Trans Sulawesi Depan Masjid Nurul Amin Kandemeng Desa Batulaya Kec. Tinambung Kab. Polewali Mandar Prov. Sulawesi Barat 91353

LAUNCHING RUMPITA (Diskusi Dari Motor Pustaka Merembes ke Sampah)

Catatan Muhammad Munir

Malam bertengger dibilangan 16 februari 2016, bintang gemintang menggelantung diatas langit lazuardi, angin rekah dan pecah diantara deru mesin campur debu di jalan Trans Sulawesi depan masjid Kandemeng ikut menjadi saksi bahwa malam itu, Rumpita-Tinambung resmi di buka. Tulisan ini, tentu tidak dalam rangka membesar-besarkan Rumpita, tapi sekedar menarasikan bahwa launching tersebut bukan sebuah peristiwa biasa tapi sebuah kejadian yang menandai bangkitnya sebuah tradisi dan peradaban baru. Betapa tidak, sebab entah kebetulan atau tidak, sebuah informasi di media sosial ternyata mampu menggerakkan Darwin Badaruddin (Asisten Pemkab Polewali Mandar), Agusniah Hasan Sulur (Ka.Bidang Sosbud Bappeda Polewali Mandar), Rusbi Hamid (Anggota DPRD Kab. Majene).

Bukan hanya tiga orang tersebut yang hadir, tapi puluhan praktisi, akademisi, seniman, satrawan, budayawan dan tokoh masyarakat ikut hadir menandai dibukanya sebuah konsep perpaduan antara Cafe dan Perpustakaan yang dilabeli RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN (RUMPITA). Mereka yang tampak hadir, antara lain Hamzah Ismail (Ka. UPTD Disdikpora Kec. Tinambung), H. Ahmad Asdy (Penulis dan Sejarawan), Bakri Latief (Sastrawan), Nurdin Hamma (Tokoh Masyarakat Batulaya), Tammalele (Budayawan), Hendra Djafar (Sastrawan dan Penulis), Syuman Saeha (Sutradara), Ramli Rusli (Aktifis Pemberdayaan), Muhammad Rahmat Muchtar (Uwake’ Cultur), Urwa dan As’ad Sattari (Armada Pustaka), Asri Abdullah (Ketua MSI Polman), Muhammad Ishaq (Komunitas Sure’ Bolong), Muhammad Adil Tambono (Teater Kakanna), Zul Elang Biru (Appeq Jannangang), Wildan S. Baso (Entertainment), M. Sukhri Dahlan dan Syaharuddin Madju (Teater Flamboyant), dan personil Rumah Teater serta puluhan pemuda dan aktifis lainnya.

Sebelum acara dimulai, Agusnia Hasan Sulur sempat menyampaikan kepada penulis bahwa Pemerintah sudah menganggarkan pembelian motor (tiga roda) pustaka yang nantinya akan diberikan kepada komunitas penggiat literasi (termasuk Rumpita dan Nusa Pustaka) di Kabupaten Polewali Mandar. " Kita sudah anggarkan pembelian motor dalam APBD Pokok 2016, tapi karena anggaran pembelian boks tidak masuk sehingga mungkin pada anggaran perubahan baru  bisa dilengkapi". Ujar Hasan Sulur yang di amini oleh Darwin Badaruddin .
 
Yang menarik dari launching Rumpita ini adalah diskusi yang membincang penguatan literasi sampai pada persoalan sampah. Sampah memang merupakan fenomena gunung es yang sampai hari ini belum ditemukan formulanya. Baik Urwa, Ishaq Jenggot maupun Ramli Rusli menyoroti belum maksimalnya pemerintah dalam menangani persoalan sampah. Namun Darwin Badaruddin maupun Agusnia Hasan Sulur mencoba melakukan pendekatan dengan menggunakan methode bank sampah. Bank Sampah yang saat ini marak dan bertumbuh di kota-kota besar diharapkan mampu menjadi solusi dalam hal penangan sampah. Darwin, misalnya mencontohkan pengalaman di kota Makassar, dimana pada era pemerintahan Dani Pomanto, persoalan sampah menjadi rebutan bagi sebagian warga Makassar. Sementara Tammalele, menganggap sampah justru merupakan persoalan sepele jika masyarakat mempunyai kesadaran. Jika masyarakat sadar, maka sampah tak akan menjadi masalah besar. Demikian Tammalele menyikapi persoalan sampah yang jadi topik diskusi.

Sekedar diketahui, bahwa Rumpita yang malam ini di launching adalah berkat kerjasama dengan CV. Juragan Pasar, Abdul Rasyid Ruslan yang sejak awal mulai dari nama sampai biaya yang digunakan dalam pembangunannya merupakan partisipasinya untuk menguatkan gerakan teman-teman. Abdul Rasyid yang lahir di Desa Sabang Subik adalah salah satu generasi muda yang kreatif, ulet, peduli dan selalu memberi ruang kepada teman-temannya untuk merubah kondisi. Salah satu yang ia tekankan adalah bagaiman membangun kerjasama serta tetap peduli dengan nasib anak bangsa.

Sabtu, 24 Mei 2014

I MANYAMBUNGI TODZILALING


I Manyambungi diperkirakan lahir pada abad XV Masehi di Lemo,Desa Pendulangan yang sekarang tergabung dalam kecamatan Limboro, Polman. Ia adalah putra dari Tomakaka di Napo,Puang Digandang dengan Weapas, Putri dari I Taurra-urra. I Taurra-Urra sendiri adalah anak dari Tobittoeng, anak dari Topalliq,Tomakakaq di Lemo. Awal kedatangan I Mayambungi di Gowa yaitu pada masa pemerintahan Karaeng Batara Gowa sebagai Raja VII,dilatar belakangi oleh hubungan perdagangan antara kerajaan Gowa dengan Tomakakaq Napo yang terjalin dengan baik. I Manyambungi menginjakkan kakinya di Gowa pada usia yang masih kanak-kanak. Alasan kedatangan I Manyambungi di Butta Gowa,diperkirakan sebagai upaya pengaasingan dirinya atas hukuman yang dijatuhkan Tomakakaq Appeq Banua Kayyang (Napo, Samasundu, Mosso, Todang-Todang) setelah membunuh saudara sepupunya sendiri.

Di Gowa, I Manyambungi sebagai panglima perang Kerajaan Gowa, tersohor sampai ke Mandar setelah berhasil memimpin pasukan Kerajaan Gowa menaklukkan Kaerajaan Lahe, dan bahkan kerajaan Pariaman (Sumatera) yang termasuk kerajaan terkuat pada masa itu. Gong dari Lahe (Ta’bilohe) dan keris Pattarapang dari Pariaman menjadi medali kemenangan yang diberikan oleh Daeng Matenre pada I Mayambungi.

Pada masa yang sama di Mandar terjadi perseturuan antara Apppe Banua Kaiyyang dengan Passokkorang (Biring Lembang,Renggeang,Manu’Manukan,Salarri). Para Tomakaka dari Appe Banua kaiyyang sepakat mengutus Pappuangan di Mosso menjemput I Manayambungi di Gowa. Nama besar I Manyambungi diharapkan dapat membantu Appeq Banua Kaiyyang menaklukkan Passokorang. Akhirnya I Manyambungi bersama keluarganya meninggalkan Gowa menuju Napo. Setelah peperangan dengan Passokkorang yang dimenangi oleh Appeq banua Kayyang dibawah komando I Manynyambungi, maka disatukanlah appeq banua kayyang tersebut menjadi sebuah kerajaan dengan dengan nama Balanipa dan I Manynyambungi kemudian diangkat menjadi maraqdia pertama. Pada masa –masa kemudian, ketika terjadi perang saudara antara Gowa melawan Bone dalam Perang Makassar dimana Bone bersekutu dengan VOC sedangkan Gowa bersekutu dengan beberapa kerajaan Bugis, Ternate dan Buton, maka kerajaan Balanipa pun mengambil posisi dipihak kerajaan Gowa. Dari kisah ini kemudian kadang melahirkan letupan kecil dibeberapa indvidu untuk antipati terhadap suku yang lain yang terlibat dalam perang ini lebih-lebih ketika pemerintah mengangkat salah satunya sebagai pahlawan sedangkan yang lain dicap sebagai pengkhianat. Padahal kalau merunut sejarah, maka terjadinya perang dahsyat yang hampir menggagalkan pendudukan VOC dijazirah sulawesi ini bukan semata-mata pertimbangan politik namun juga mengandung nilai siri’ dari seorng yang dianggap “pengkhianat” tersebut. Apalagi Raja Bone saat itu (La Tenri Tatta To Erung Petta Malampe’e Gemme’na) adalah saudara sepupu dari Raja Gowa saat itu (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape).

TOKAPE



TOKAPE

Tokape adalah maraqdia (raja) Balanipa (salah satu kerajaan besar di wilayah Mandar atau Sulawesi Barat) pada akhir tahun 1800-san. Ada versi yang menuliskan dia raja ke 46, ada juga ke-48. Ada perbedaan sebab ada perbedaan kesepakatan bahwa apakah maraqdia kesekian diakui atau tidak.
***
Pada tahun 1819 salah satu pusat perdagangan dunia mulai mapan, yakni Singapura (sebelumnya disebut Tumasik, sehingga orang Mandar yang berlayar ke sana untuk berdagang disebut “Pattumasek”). Pada masa itu dan setelahnya, salah satu komoditas perdagangan dunia yang juga banyak terdapat di Mandar marak diperdagangkan, yakni kopra (boka’ dalam bahasa Mandar). Dengan kata lain, Mandar terlibat dalam perdagangan internasional. Sebab pada tahun 1850, perdagangan antara orang pribumi dengan orang Eropa mulai marak.
Menurut catatan Belanda, pada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para mara’dia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang secara signifikan mempengaruhi kekuatan kepemimpinan di Mandar (menjadi melemahkan). Waktu itu, pihak Belanda membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Tumasik (Singapura).
Jadi, pedagang pribumi mengharapkan harga yang layak. Permintaan ini tak digubris Belanda. Maka terjadilah perlawanan. Paling terkenal oleh perlawanan Maraqdia Tokape.
***
Sebelum I Boroa (gelaran lain bagi Tokape, yang artinya Si Nakal, sebab dia tidak tunduk pada Belanda), sepupu sekalinya yang bernama Mandawari alias Tomilloli memangku maraqdia. Di masa itu, Belanda bebas keluar masuk Mandar dengan berkedok sebagai pedagang. I Mandawari gembira bila Belanda datang, sebab selalu mendapat paket candu.
Karena kegemarannya itu, urusan masyarakat terabaikan. Hadat Appe’ Banua Kayyang pun seapakat untuk meninjau kedudukannya sebagai maraqdia. Akhirnya disepakati untuk mengangkat Tokape menggantikannya.
Masa kepemimpinan Tokape, situasi politik terhadap Belanda di Balanipa berubah total. Tokape pun menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang merakyat dan sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Bila bertemu orang yang duduk-duduk saja, tak segan dia menegurnya dan meminta mereka untuk bekerja.
Tokape mengeluarkan kebijakan untuk tidak menjual kopra hasil rakyat Mandar ke Belanda, melainkan menjualnya langsung ke Makassar, Surabaya, dan Singapura. Tentu kebijakan demikian mengandung resiko sebab menentang Belanda. Maka dia bekerja sama dengan Ammana I Wewang, Maraqdia Alu yang sekaligus sebagai Maraqdia Malolo atau panglima di Kerajaan Balanipa memperkuat pertahanan.
Lama kelamaan, gudang kopra Belanda kekurangan stok kopra. Belanda melakukan operasi pasar langsung ke masayarakat untuk membeli kopra. Tapi hal itu ditentang Tokape. Rakyat harus dibebaskan untuk memilih pembeli kopranya, jangan dipaksa. Demikian kehendak Tokape.
Berbagai cara dilakukan Belanda agar Tokape berubah pendirian. Namun tak berhasil. Belanda kemudian melakukan trik adu domba. Dia membujuk Mandawari untuk bisa bekerjasama. Ada rumor, jika Mandawari berhasil, dia akan dijadikan kembali sebagai maraqdia. Mandawari tergoda. Dia pun mengiyakan untuk melemahkan dan menghancurkan kedudukan Tokape.
Salah satu bentuk dukungan Mandawari terhadap Belanda, yang juga menjadi strategi perlawanan terhadap Tokape adalah pendirian loji (benteng) di dekat rumah Mandawari. Di loji tersebutlah Belanda memperkuat pertahanan.
Setelah dirasa kuat pertahanannya, Belanda mengajukan perundingan dengan Tokape. Permintaan Belanda disetujui oleh Tokape dengan syarat: kedua belah pihak dilarang bersenjata memasuki daerah perundingan, pengawal kedua belah pihak harus berada di pos masing-masing, tempat pertemuan disetujui kedua belah pihak. Utusan perundingan Tokape yang hadir adalah Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali, Ajuara, Sumakuyu, dan Parrimuku.
Dalam pertemuan itu, Belanda seolah-olah mau memaksakan keinginannya. Tokape dipaksa untuk menandatangani naskah perjanjian yang telah disiapkan oleh Belanda. Akibatnya, Tokape merobek-robek naskah tersebut di hadapan Belanda.
Ammawa I Wewang menyadari situasi perundingan yang memanas. Tiba-tiba dia berdiri menyentakkan kakinya di tanah seraya berkata “Tuan-tuan Belanda ini seperti tidak tahu aturan. Rupanya tuan-tuan ini kurang ajar di negeri kami. Tuan-tuan orang kulit putih, tidak berhak mengatur kami. Negeri ini adalah negeri orang Mandar. Tuan-tuan adalah tamu kami untuk datang berdagang. Kalau mau berkuasa di mandar ini kami tidak terima. Lebih baik tuan-tuan cepat meninggalkan ruangan sebelum saya marah. Ayo pulang cepat dan kalau tidak saya bunuh tuan-tuan di tempat ini.”
Marah Ammana I Wewang menciutkan nyali Belanda. Mereka pun cepat-cepat meninggalkan tempat perundingan.
Ammana I Wewang atau I Caloq Ammana I Wewang adalah pejuang melawan Belanda di awal abad ke-20. Dalam perlawanannya tertangkap dan diasingkan ke pulau Belitung, lebih tiga puluh tahun lamanya. Lahir di Kampung Lutang (sekarang di dalam wilayah Kel. Tande, Kec. Banggae, Kab. Majene), 1854. Buah perkawinan I Gaqang- I Kena.
I Gaqang, Marqdia ‘Raja’ Alu, I Kena adalah putri Maraqdia Banggae. Neneknya dari pihak bapaknya bernama Maqdusila alias Lippo Ulang, Maraqdia Pamboang, dan neneknya dari pihak ibu ialah To Cabang Maraqdia Pamboang. Sebelum memperoleh keturunan dari permaisuri, dipopulerkan dengan panggilan Ammana I Wewang. (I Wewang, nama seorang kemanakan permaisurinya. Pengenakan gelar/panggilan seperti itu, sudah menjadi tradisi bagi keturunan bangsawan Mandar. Tidak sopan atau tidak hormat jika masih menyebut nama pribadi (nama kecil) kepada seseorang bangsawan setelah berkeluarga).
Dia mempunyai tiga saudara yaitu, Kacoq Puang Ammana I Pattolawali, Cacaqna Pattolawali, dan Cacaqna I Sumakuyu. Pada usia ke-30 dinobatkan menjadi Maraqdia Malolo Kerajaan Balanipa menggantikan I Tamanganro. (Yang memangku jabatan Maraqdia Balanipa waktu itu ialah Tokape). 1886 ia dilantik menjadi Maraqdia Alu, dan tetap sebagai Maraqdia Malolo Balanipa.
***
Pemberontakan Tokape terjadi pada 1872-1873, hanya 1 tahun. Sangat singkat bila dibandingkan Perang Diponegoro atau Perang Makassar.
Tokape diangkat menjadi maraqdia pada tahun 1872. Dia diangkat oleh “Appeq Banua Kayyang” (Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang) menjadi Arayang Balanipa menggantikan I Mandawari. Sebagai pemimpin baru, oleh Belanda ingin memperbaharui kontrak dengannya. Tapi isinya memberatkan rakyat Mandar.
Bersama maraqdia lain dari anggota Ba’bana Binanga, disepakati untuk menyepakati kontrak yang diajukan oleh Belanda. Tapi bentuk penolakan berbeda, menentang dengan senjata oleh Balanipa, Banggae, Pamboang dan Binuang; dengan diplomasi oleh Sendana, Tappalang, dan Mamuju.
Perlawanan oleh Kerajaan Balanipa dipimpin oleh Tokape dan Calo Ammana I Wewang. Perlawanan mereka tidak mampu dibendung oleh Belanda. Maka mereka meminta bala bantuan dari Makassar. Malangnya, bantuan dari Makassar diserang oleh sekutu Balanipa dari Kerajaan Labakkang yang dipimpin oleh Andi Marudani Karaeng Bonto-bonto.
Karaeng Bonto-bonto berjibaku dengan Tokape melawan Belanda. Bersama pasukannya mereka bergerilya di hutan Balanipa dan Tomadio. Lama kelamaan, pasukan gabungan ini melemah.
Belakangan, Tokape terkepung di istananya di Lekopa’dis (Tinambung) untuk kemudian ditangkap Belanda. Ada versi mengatakan menyerahkan diri untuk melindungi pasukan dan sekutunya. Kemudian dia dilayarkan ke Makassar pada 4 November 1893. Hampir dua bulan ditahan di Makassar untuk selanjutnya dibawa ke Batavia untuk diadili. Keputusannya, dia diasingkan ke Jawa Timur, di Pacitan.
Kedudukan Tokape digantikan (kembali) oleh Mandawari (menjadi maraqdia pada periode I: 1870-1872). Setelah menjabat selama 7 tahun (1874-1880), Mandawari digantikan oleh sepupu satu kalinya, I Sanggaria. Belakangan, karena bertentangan dengan hadat, I Sanggaria meletakkan jabatan sebagai maraqdia pada 1885. Untuk ketiga kalinya, I Mandawari kembali menjadi Maraqdia Balanipa (ke-49, 1885-1907).
Pelantikan I Mandawari diperdebatkan, sebab dia tidak dilantik oleh kaum hadat secara lengkap, tapi hanya beberapa. Itu pun terjadi di Makassar, oleh Belanda. Dia tidak dilantik di Mandar sebab banyak yang tidak setuju. Tapi karena I Mandawari pendukung Belanda, maka dia mempunyai posisi kuat.
Tertangkapnya Tokape membuat perlawanan Ammana Wewang menggunakan sistem gerilya. Sebab susah ditangkap, Belanda minta dukungan Mandawari dan I Laju Kanna Doro (juga kerabat dekat Tokape; belakangan akan menggantikan Mandawari menjadi maraqdia) untuk memberikan informasi keberadaan Ammawa Wewang.
I Laju Kanna Doro mencari tahu siapa orang dekat Ammana Wewang. Akhirnya dia mendapat informasi bahwa tokoh masyarakat Tandassura bernama Ka’tabbas mengetahui siapa tukang pijat Ammana Wewang. Namanya Ka’sawa dan Ka’mana.
Kepada Ka’tabbas dijanjikan kedudukan dan terhadapa tukang pijat akan diberia hadiah 1000 ringgit. Akhirnya si tukang pijit memberitahukan tempat persembunyian Ammana Wewang.
Saat Ammana Wewang istirahat (tidur), si tukang pijit menghubungi prajurit Belanda. Rombongan serdadu membawa serta beberapa bambu dan seutas tali ijuk. Sebab Ammana Wewang dikenal kebal, digunakan cara tersendiri untuk menangkapnya: tubuh dihimpit dengan bambu lalu diikat. Dengan tubuh yang terikat, Ammana Wewang dibawa ke Majene. Kejadian ini terjadi pada 23 Juli 1907.
Sebulan ditahan lalu diadili di Campalagian. Dia divonis 20 tahun penjara. Tanggal 24 Agustus 1907, Ammana I Wewang kembali disidangkan untuk selanjutnya ditahan di Benteng Rotterdam, Makassar. Setengah bulan ditahan lalu dikirim ke Batavia. Lalu pada akhir 1907, Ammana I Wewang bersama 9 pengikutnya diasingkan di Pulau Belitung, Sumatera Selatan.
Ammana I Wewang hampir 40 tahun berada di Pulau Belitung. Pada 1 April 1945, dengan menggunakan perahu lete dari Mandar, Ammana I Wewang meninggalkan Pulau Belitung. Dia tiba di Ba’babulo, Pamboang pada 22 Mei 1945. Ammana I Wewang wafat di Limboro, pada 11 April 1967.
***
Pada tahun 1907, sebab merasa sudah tua dan intrik di kalangan bangsawan, I Mandawari meletakkan jabatan untuk kemudian digantikan oleh I Laju Kanna Doro Tomatindo di Jeddah (sebab mangkat di Jeddah, Arab Saudi). Kedudukan I Laju Kanna Doro digantikan Andi Baso, cucu Tokape. Kemudian Andi Baso digantikan istrinya yang juga putri I Laju Kanna Doro, yaitu Andi Depu, penerima Bintang Mahaputera dari Presiden Soekarno dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Sumber: Muhammad Ridwan Alimuddin