Sabtu, 24 Mei 2014

SOLUSI KREATIF UNTUK 12,23% RAKYAT MISKIN DI SULAWESI BARAT



SOLUSI KREATIF UNTUK 12,23% RAKYAT MISKIN DI SULAWESI BARAT.
Oleh:  Muhammad Munir

Perjalanan panjang dan melelahkan dari sebuah proses awal perjuangan yang dipersepsikan “golla tanjari”  mencapai titik klimaksnya ketika Presiden Megawati Soekarno Putri menginjakkan kakinya  di bumi tipalayo dalam rangka kunjungan kerja Presiden ke Kabupaten Polewali Mandar,22 Juni 2004. Kunjungan Presiden ini sontak mendapat sambutan meriah dan melahirkan sebentuk apresiasi dalam sebuah keputusan bersama pemerintah dan tokoh-tokoh Mandar menganugerahkan gelar kehormatan kepada Megawati sebagai “Puang Megawati Indo Banua”. Dalam kunjungan kenegaraan ini Megawati berjanji akan mengeluarkan ampres (Amanat Presiden)  sebagai prasyarat pembahasan RUU bersama dengan DPR-RI. Dan benar saja, janji politik itu terbayar pada tanggal 22 September 2004 ditandai dengan pengetukan palu di ruang paripurna DPR-RI Senayan, sebagai  pertanda disahkannya UU Nomor 26 Tahun 2004 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 5 Oktober 2004 sekaligus menjadi moment sejarah dimana bekas  wilayah konfederasi Pitu Ulunna Salu Pitu Ba’bana Binanga ini menemukan takdirnya sebagai provinsi.

Inilah babak baru yang menjadi peristiwa paling bersejarah dalam perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat yang sekaligus tanggal 22 September 2004 itu dijadikan sebagai hari lahirnya Provinsi Sulawesi Barat, provinsi ke-33 dinegara kesatuan Republik Indonesia. Mulai saat itu Sulawesi Barat menata diri dengan bekal pemberian bantuan dana sebesar Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar) pertahun dalam kurung waktu 2 tahun. Modal itulah yang dipergunakan oleh penjabat pemerintah dalam menata pembangunan di Sulawesi Barat.

Seiring berjalannya waktu, Sulbar terus berbenah dengan  mengusung visi “Terwujudnya Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Barat menjadi provinsi yang malaqbiq”. Hasilnya adalah angka kemiskinan mulai menurun hingga 13.58% pada tahun 2010 yang terus mengalami penurunan sampai pada titik angka 12,23% pada tahun 2013. Pemerintah Sulawesi Barat memang telah berhasi menekan angka dan menurunkan jumlah penduduk miskin sampai 12,23% meski masih berada diatas angka rata-rata nasional sebesar 11,47%. Tapi kita tidak akan (sedang) membincang soal sukses tidaknya menurunkan angka-angka itu, tapi yang akan kita perbincangkan adalah langkah strategis apa yang harus dilakukan (termasuk pemerintah) dalam penanggulangan kemiskinan yang 12.23% itu? 

Untuk masuk dalam prose itu, sejenak kita telaah dulu pointer-pointer langkah yang dirumuskan dalam misi Sulawesi Barat yang dikawal oleh pemerintah, yaitu: (1) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis potensi daerah. (2) Mewujudkan pemerataan, keseimbangan dan keserasian laju pembangunan antar daerah kabupaten serta meningkatkan kerja sama antar daerah, pemberdayaan, prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pembangunan. (3) Menciptakan stabilitas daerah dan meningkatkan ketentraman, ketertiban, persatuan dan kesatuan serta kerukunan masyarakat. (4) Mengusahakan kesempatan berusaha dan menciptakan peluang lapangan kerja. (5) Mengembangkan kapasitas daerah dan perekonomian daerah serta kemampuan/kualitas SDM dan mengusahakan peningkatan kualitas lingkungan hidup. (6) Mengembangkan olahraga, seni budaya, dan meningkatkan kehidupan beragama dan kerukunan antar umat beragama.

Dari 6 point misi tersebut jika kita kaji secara mendalam maka akan kita temukan satu kalimat yang sekaligus dapat membantu Pemerintah Sulbar dalam menangani persoalan 12,23% rakyat miskin. Kata atau kalimat itu adalah Wirausaha  atau Entrepreneurship.

Wirausaha berasal dari kata “Wira” dan “Usaha”. Wira berarti mulia,luhur atau unggul, hal ini bisa dipadankan dengan Malaqbiq atau bisa juga diartikan sebagai gagah berani, utama, teladan, atau pemuka. Sedangkan usaha, diartikan sebagai kegiatan dengan mengerahkan tenaga, fikiran atau badan untuk mencapai sesuatu maksud; pekerjaan (perbuatan, daya, upaya, ikhtiar) untuk mencapai sesuatu maksud; kerajinan bekerja  (untuk menghasilkan sesuatu). 

Wirausaha juga dalam bahasa lebih keren disebut Entrepreneurship adalah istilah yang bersal dari bahasa Prancis, “entrepreneuriat” yang diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi “Ondertake” dan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Kewirausahaan”.

Jadi Wirausaha adalah suatu kegiatan manusia dengan mengerahkan tenaga, fikiran, atau badan untuk mencapai/menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insane mulia. Dengan kata lain, Wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan Wirausaha dinamakan Wirausahawan yang bergerak disektor rill meliputi semua kegiatan produksi yang menghasilkan barang dan jasa, yang diperoleh dari proses memadukan keseluruhan factor produksi. Mereka yang bias disebut Wirausahawan adalah pedagang, saudagar, pengusaha, konsultan, businessman, industrialis, kontraktor, waralaba, investor dan lain-lain.

Dalam kaitannya dengan pengertian wirausahaini, Rhenal Kasali mengartikannya sebagai orang yang menyukai perubahan, melakukan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain,. Karyawannya dibangun  dan dilembagakan agar kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain. Sementara menurut SK Mentri Koperasi dan PPK No.961/Kep/M/XI/1995  mengartikannya sebagai orang yang mempunyai semangat, sikap dan perilaku dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan,mengharapkan cara kerja,  teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang besar.

Melihat arti penting dari konsep wirausaha ini, maka dalam kongres World Association for small and medium entreprise di Turki menetapkan bahwa kewirausahaan adalah sebuah pendekatan baru dalam pembaruan ekonomi. Hal ini harus kita respon secara positif dan mulai mencoba bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan di Negara yang (katanya) kaya akan sumber daya alam ini. Kendatipun kita telah kalah start  tapi untuk sebuah proses menuju perubahan tidak ada kata terlambat. Negara Negara lain memang telah lama bertumbuh dan menjadikan wirausaha sebagai pendekatan dan spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berdaya saing tinggi. Dan ternyata konsep ini terbukti menjadi satu dari empat pilar lapangan pekerjaan dan mengeluarkan masyrakatnya dari lingkaran setan kemiskinan.

Dalam konteks kekinian, kewirausaan ini mesti didorong dan didukung penuh oleh pemerintah dan mulai dikembangkan seluas-luasnya dan sebenar-benarnya sebagai jawaban atau solusi dari penanggulangan kemiskinan. Secara nasional Indonesia yang mempunyai penduduk sekitar 238 juta ini baru memiliki 564.240 orang atau setara dengan 0.24% dari jumlah penduduk. Padahal idealnya Indonesia membutuhkan 4,07 juta wirausaha atau 2% dari total jumlah pendudk untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai 11,5-12% dari jumlah penduduknya. Jumlah wirausahawan di negara tetangga, Singapura mencapai 7% sementara China dan Korea jumlahnya mencapai 10% dari jumlah penduduknya.

Nah,sekarang ini pemerintah Sulawesi Barat sudah harus berusaha merumuskan angka-angka, berapa banyak jumlah wirausahawan baru yang harus dicetak untuk mengeluarkan masyarakat miskinnya dari lingkaran kemiskinan ?. Berapa nominal anggaran yang harus digelontorkan kepada masyarakat?.

Jika pemerintah serius,mencetak 50.000 wirausahawan dalam 5 tahun itu bukan hal yang sulit, mengingat sumber permodalan yang tersedia cukup banyak, misalnya melalui kredit usaha rakyat (KUR), lembaga pengelola dana bergulir (LPDB) melalui jaminan koperasi, kredit konvensional yang pakai agunan (hipotik) atau bisa juga melalui bansos pemerintah kabupaten atau provinsi. Begitupun dengan daya dukung lapangan (potensi dan lahan) juga sangat memadai untuk membuat ruang-ruang itu melalui usaha agraris (pertanian,perkebunan dll),usaha perdagangan (pertokoan,kaki lima,ekspor impor, dll), usaha industry (perhotelan,makanan,perbengkelan dll.), Usaha ekstraktif (pertambangan, hasil hutan,laut dll.), usaha jasa (simpan pinjam,dokter,internet,dll.).
Persoalannya adalah siap tidak (masyarakat dan pemerintah) untuk melakukan itu ? Sebagai masyarakat harus punya nawaitu yang mantap untuk maju demi sebuah perubahan. Karna sangat sulit juga membantu  masyarakat  untuk maju jika masyarakatnya tidak mau maju, sama saja mengajari babi bernyanyi. Ciri masyarakat yang mau maju jika diberikan bantuan sapi atau kambing, bisa jadi sebelum sapi atau kambing itu dia terima mereka sudah menjualnya kepada pedagang. Pun pemerintah juga dalam membuat dan merealisasikan programnya tidak seksedar terpaut pada proses prosedur adminstrasi, melainkan harus ada upaya rill dan memastikan bahwa program itu telah berjalan secara maksimal, tepat sasaran dan punya progres untuk mengubah nasib penerima program.
Terakhir, pemerintah juga juga harus siap menjadi personal guarantie bagi wirausahawan yang mempunyai prospek tapi tak punya agunan untuk jaminan pinjaman modal,serta terus menggalakkan pendidikan dan pelatihan, bimbangan teknik, workshop, studi banding, magang, utusan belajar bagi usahawan. Jika ini bisa dilakukan, yakin dan percaya angka kemiskinan itu tak akan menjadi beban lagi buat rakyat dan pemerintah.     
(Penulis adalah Pendiri Lembaga Pemberdayaan dan Kewirausahaan LPK-MITRA CEMERLANG dan Inisiator Komunitas Rumah Buku Sulawesi Barat)

PROYEK PERKEBUNAN SAWIT,BENCANA DALAM RENCANA



PROYEK PERKEBUNAN SAWIT,BENCANA DALAM RENCANA 

Oleh :Muhammad Munir
Primadona Kelapa sawit menjadi salah satu lambang kemajuan, khususnya di bidang perkebunan. Nama kelapasawitpun kerap dan sangat populer seiring dengan trend pengadaan perkebunan sawit berskala besar di daerah yang berpotensi objek lahan. Kelapasawit yang bertumbuh sangat pesat pda periode 1980 – 2000 dengan posisi awal pada tahun 1970 hanya sekitar 200 ribu hektare dan sekarang tembus mencapai angka sekitar 8 juta hektare. Nilai eksport minyak sawit pada medio 2010sekitar 17 miliar dolar AS atau sekitar 170 dolar perhektare perbulannya.
Pertumbuhan sub sektor kelapa sawit inipun banyak menghasilkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering digunakan pemerintah bagi kepentingannya. Dan ini terbukti pada Desember 2011, majalah Forbes merilis 40 orang terkaya di Indonesia, 10orang diantaranya adalah pengusaha kelapa sawit. Kondisi ini tak ayal membuat nafsu pemerintah ( baca: pusat dan daerah ) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di Asia. Dan para investor melihat ladang empuk untuk dibalik nafsu pemerintah yang seakan memaksakan program perkebunan kelapa sawit itu.Pemerintah bahkan menggalakkan ekspansi besar-besaran ke wilayah kebun meski kemudian harus mengkonversi hutan.Bukan hanya itu, para investor juga dengan mudah menyisir semua wilayah dan mencari pemegang kebijakan (baca: Bupati/Gubernur dan Ketua DPRD) untuk menjadi sasaran tembak untuk memuluskan program sawit di daerah.Tak jarang para investor ini menyuap para kepala Daerah dan atau ketua DPRD yang serakah.

Dalam perjalanan pulang dari Gorontalo ke Tolitoli, saat penulis istirahat di sebuah rumah makan di Kota Raya. Tanpa sengaja melihat lembaran koran yang bekas pembungkus.Koran Mal edisi 20 April 2012 yang menurunkan berita berjudul : ”Ketua DPRD buka amplop suap investor sawit “. Dalam berita itu dijelaskan,seorang ketua DPRD Kabupaten Gorontalo Thomas Mopili membuka langsung amplop suap dari investor sawit di hadapan masyarakat umum. Bupati juga menjelaskan dalam berita itu, ada dua amplop yang diterima dari orang yang tidak dia kenal masing-masing berisi 500 dolar AS. Dikatakannya, amplop suapan itu adalah upaya penyuapan yang mengindikasikan ada hal- hal yang patut di duga meminta kemudahan dalam perizinan investasi di pemerintah daerah.
Lanjut Bupati,amplop itu sengaja dia ambil agar menjadi bukti bahwa ada upaya upaya yang dilakukan dalam memuluskan usahanya tanpa memperhatikan kaidah hukum yang harus dipatuhi. Pertanyaannya, bagaimana dengan daerah-daerah yang ketua DPRD dan Bupatinya diam-diam menerima amplop suap dari investor? lalu uang suap itu diakantongi dan dibuka sendiri dan berucap mesra kepada investor “ Selamat dating di daerah kami ! “.

Penulismenaruh kecurigaan hal itu terjadi di Kabupaten Polewali Mandar, ProvinsiSulawesi Barat, karena program pembangunan perkebunan kelapa sawit tiba-tiba mempunyai izin prinsip dengan peruntukan lahan 18.000 hektare dan terkesan memaksakan program itu masuk di wilayah kecamatan Campalagian, Luyo, Tubbi Taramanu, dan Alu.
Kekhawatiran itu didasarkan pada kenyataan bahwa pihak perusahaan pengembang sawit itu kemudian dengan seta merta melakukan pembibitan di wilayah kecamatan Mapilli dan bersosialisasi dengan propaganda dan janji-janji demi kesejahteraan rakyat.Tidak hanya itu, pihak awak perusahaan langsung mematok lahan kebun warga tanpa pemberitahuan sebelumnya. Dan lucunya, perushaan pengelola perkebunan sawit itu adalah milik salah satu keluarga penguasa di daerah ini, yaitu PT. Mandar SuburSejahtera.

Pemerintah,awak perusahaan dan kaum-kaum yang berkepentingan menggiring masyarakat padaposisi yang membuat mereka terbuai, terlena, terpana dengan segudang iming-iming dari kaum yang berkepentingan ini. Mereka semaikin agresif dan proaktif dan berani manjejakan kaki untuk mendekati masyarakat dengan menjanjikan: “ Jika mengizinkan adanya perkebunan kelapa sawit ini maka, selayaknyalah masyarakat akan memperoleh keuntungan untuk dapat mensejahterakan hidupnya kelak, seperti yang dialami oleh masyarakat Mamuju dan Mamuju Utara “.Begitulah kira-kira yang dijanjikan kepada masyarakat.

Disisi lain,masyarakat pemilik lahan terjadi pro dan kontra. Sebagian besar warga masyarakat mulai bersuara lantang dan melawan, setelah tahu bahwa dampak atau imbas dari perkebunan kelapa sawit begitu dahsyat bagi keberlangsungan hidup generasi selanjutnya. Belum lagi program ini terkesan menjadi mesin ATM buat para kaum yang berkuasa ditambah lagi tidak melalui mekanisme dan prosedur pembangunan perkebunan kelapa sawit, terutama belum adanya kajian ilmiah dan amdal dari program pohon berbuah dolar ini.

Sebagai penulis yang juga putra daerah Polewali Mandar, menyadari betul bahwa kenyataan ini begitu menyedihkan ketika sebagian masyarakat sempat tersugesti mengiyakan perkebunan sawit itu, padahal jelas-jelas hal ini merupakan proses dan bentuk pembodohan dan pemiskinan sekaligus penindasan yang luar biasa terhadap kehidupan sumber daya alam dan kehidupan generasi selanjutnya. Bentuk pembodohan dan penindasan itu antara lain :
1. Lahan peruntukan yang ditunjuk oleh pemerintah adalah wilayah kebun rakyat dan hutan produksi yang sebelum mereka berinvestasi,para investor ( Perusahaan) sudah dapat menikmati dan mendapatkan keuntungan besar berupa kayu dari hutan dengan hanya mengurus Surat IJIN PEMANFAATAN KAYU (IPK) kepada pihak pemerintah,dalam hal ini Kementrian Kehutanan.
2.Penghancuran ekosistem dan musnahnya kearifan lokal dan pengetahuan local hutan, lahan, tanah yang tak dapat berfungi penuh. Hal ini terjadi karena pembukaan lahan sering kali dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efisiensi biaya dan waktu.Perkebunan kelapa sawit ini juga akan menimbulkan eksploitasi kerusakan kawasan hutan yang biasanya digunakan untuk berkebun, berladang, mencari sayur dan buah-buahan, setelah sawit ini tumbuh dan berkembang semua itu akan menjadi kenangan masa lalu. Padahal kita tahu bahwa masyarakat di daerah ini menggantungkan hidupnya terhadap hutandan isinya.
3. Munculnyapersoalan tata ruang dimana monokultur,homogenitas dan overloads konversi hutanyang berimbas pada hilangnya keaneka ragaman hayati.Hal ini memicu kerentanankondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi,hama migran baruyang sangat ganas karena hama ini mencari habitat baru akibat kompetisi yangkeras dengan fauna lainnya.Dan pastinya ini akan menjadi sumber penyakit yangkapan saja mengintai dan melanda masyarakat setempat.
4. Kerakusan Unsur hara dan air bagi tanaman monokultur sejenis sawit ini dalam sehari menyerap 12-25 liter air perhari perpohon.Kondisi ini akan berimabas pada kurangnya debit air diwilayah gunung (hulu) yang tentunya mengurangi pasokan air untuk bendungan Sekka-Sekka (Maloso Kiri dan Kanan) yang merupakan satu-satunya bendungan yang mengairi ribuan hektare lahan sawah.

Berdasarkan deforetasi tersebut, penulis ingin mengajak segenap pemerhati masyarakat,penyelamat lingkungan untuk member warning bahwa program Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Polewali Mandar ini,adalah sebuah program BENCANA DAN PETAKA BUAT GENERASI SELANJUTNYA. Jika ini terus di biarkan,maka besar kemungkinan akan memicu konflik horizontal dikalangan masyarakat. Naudzubillahi min dzalik.

Hemat Penulis, Polewali Mandar dalam kajian apapun pasti tidak akan cocok dengan Kelapa sawit,karna Polewali Mandar adalah daerah yang mempunyai curah hujanyang rendah dengan bulan basah hanya 4-5 bulan pertahun,sementara Kelapa sawit hanya cocok dengan daerah yang curah hujannya tinggi dengan bulan basah 6-8bulan pertahun.Sawit juga membutuhkan kemiringan tanah 30-40 derajat,sementara objek lahan yang dipruntukan pemerintah kemiringan tanahnya hanya 30 derajat kebawah. Kalaupun ada yang mencapai kemiringan 30-40 derajat, maka kawasan itu pasti kawasan hutan lindung.

PesanPenulis, bahwa Polewali Mandar cukuplah dijadikan sentra industri dan mengembangkan potensi lahan sawah dan kebun kakao yang selama ini selalu di jadikan objek program peningkatan mutu intensifikasi pertanian dan gerakan nasional pro kakao yang kesemuanya itu telah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit dan semua itu akan duberangus oleh kehadiran sebuah PERJUDIAN di Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. Memang tidak mudah membalik sejarah,tetapi membiarkan masa depan yang tidak jelas atau tidak pasti dalam bidang pangan (baca:beras) atau dibidang perkebunan (baca: Kakao) dan mengharapkan yang juga tidak pasti memberikan harapan besar (baca:sawit) merupakan model kebijakan dan perjudian yang harus difikirkan dan dikaji secara kolektif dan dilawan sebagai musuh bersama !.

MEMUTUS MATARANTAI LINGKARAN KEMISKINAN



MEMUTUS MATARANTAI LINGKARAN  KEMISKINAN
Oleh Muhammad Munir
Dalam konteks Sulawesi Barat dan pada posisi Kabupaten Polewali Mandar yang saat ini di nakhodai oleh pasangan Andi Ibrahim Masdar dan Natsir Rahmat, kemiskinan masih tetap harus menjadi fokus konsentrasi pada sejumlah kebijakan pemerintah kedepan. Alasannya karena kemiskinan itu sendiri adalah sebuah momok bahkan borok yang menakutkan, mengerikan sekaligus memalukan bagi wibawa seorang pemimpin dan hal itu terus mewarnai perjalanan roda pembangunan di daerah ini selama 1 dasawarsa terakhir (2010-2014). Tapi anehnya,dalam kurung waktu tersebut pemerintah terkesan menjadikan kemiskinan ini menjadi sebuah pajangan . Lihat contoh kasus bocah cilik,Sinar yang berasal dari dusun Todopata Riso Kecamatan Tapango yang harus berjuang menikmati kemiskinannya bersama ibunya,Murni yang juga sakit keras.Pemerintah pada saat itu (2009-2010) luput dari konsep kepeduliannya. Justru Charlie (personil ST-12) yang jauh-jauh dari  Jakarta ke Tapango yang tidak saja menjenguk Sinar tapi justru mengangkat derajat Sinar betul-betul menjadi Sinar yang bersinar.
                Lalu apa yang dilkukan pemerintah pada saat itu ?. Mereka justru ikut berbangga karena ada warganya yang bisa dipajang di media (koran-tv) dan lucunya,mereka  kemudian secara kolektif bertindak seakan-akan sebagai sosok pemerintah yang peduli,padahal mau diliput media dan menjadi penghias cover media atau headline berita sebagai pemerintah yang peduli,sayang dan perhatian pada Sinar (baca: pencitraan). Coba seandainya Sinar tak terpublikasi (dengan jasa jurnalis), dan Charlie tidak datang ke Polewali Mandar saat itu ?. Mungkin buta tuli pemerintah masih akan terus berlanjut dan makin akut.
                Dan secara,saya pada waktu itu sempat apatis dengan sejuta rasa berkecamuk dalam fikiranku, jangan-jangan pemerintah memang sengaja meng –status quo kemiskinan ini, agar rakyat terus mempunyai ketergantungan struktural kepada penguasa yang lupa pada jatidirinya sebagai pemimpin dan pelayan masyarakat.
                Mungkin Sinar hanya bongkahan cerita dari segunung kisah anak negri ini yang tumbuh dan meradang dengan bara nasibnya. Sinar-Sinar lain tentu masih ratusan bahkan ribuan yang terlahirkan ke dunia ini, mereka ada dimana-mana, mungkin ada di antara Petoosang ke Saragian, antara Puppuuring ke Poda-Poda, antara  Sambaliwali ke Pendulangan, atau mungkin tersekap dibalik bukit pegunungan antara Kalo Timolo ke Lenggo, antara Besoangin ke Pelattoang Majene, antara Bulo dengan Matangnga, antara Matangnga ke Passembu,Kondo ke Lakkese, antara Katimbang ke Sumarorong, Antara Tapua dengan Rangoan atau antara Karombang dengan Lenggo karna kemudian kita kembali dikejutkan dengan seorang ibu, Apung(37 tahun) yang lumpuh dan hanya bisa berharap pada anaknya, Ayu(13 tahun) yang tinggal dipinggiran kota Bumimulyo. Ayu dan Apung harus mendampingi dan merawat ibunya dan bersendagurau dengan nasibnya yang entah berapa tetes air mata mengalir dari dalam gubuk pinjaman warga sekitar (lihat Radar,30 April 2014). Ah, seandainya saja pemerintah ini mau menerunkan sedikit saja gaya hidupnya, maka tentu Sinar- Murni, Ayu-Apung  tak akan lagi kita temukan.Dan tentu saja akan berimbas pada positive side efect kepada pemerintah itu sendiri ketika mereka butuh popularitas dan citra baik.
                Sinar-Murni, Ayu-Apung hanya  contoh kasus tentang potret buram daerah kita ini sebagai pengantar membincang kemiskinan. Kemiskinan akan selalu ada, siap atau tidak, mau atau tidak, suka atau tidak,sebab fragmen kehidupan yang tercipta dan seleksi alam yang mengantar sunnatullah kedalam dunia manusia membuat ruang untuk itu. Kemiskinan adalah makhluk tuhan yang tak akan pernah hilang dan tak akan lekang termakan rayap waktu,kemiskinan tidak akan bisa di entaskan oleh siapapun tapi hanya bisa ditanggulangi dan di berdayakan sebagai skala prioritas dalam setiap kebijakan agar tak menjadi beban negara lagi. Oleh karenanya, kemiskinan ini harus kita kaji secara mendalam,secara spesifik  dan mendiagnosanya agar formula penanganannya bisa kita temu kenali.Kemiskinan sudah bukan masanya untuk terus kita lisan tuliskan sebagai bentuk kampanye atau janji-janji politik.
                Langkah awal untuk proses itu adalah memahami hakikat, makna dan arti kemiskinan. ‘Kemiskinan ’ menurut pengertiannya adalah sebuah kondisi ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Sementara penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan disebut ‘penduduk miskin’.Adapun yang dimaksud dengan ‘garis kemiskinan’ adalah gabungan dari kedua pengertian tersebut yang kemudian oleh negara atau pemerintah dalam perhitungannya dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan.
                Pada situasi ini,ada dua komponen dasar yang menjadi standar garis kemiskinan,yaitu; Pertama; Garis Kemiskinan Makanan (GKM) atau nilai pengeluaran kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2.100K kalor perkapita perhari. Patokannya mengacu pada hasil widyakarya pangan 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan ini diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian- umbi-umbian, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, ikan, daging, susu, telur, minyak, lemak dll.). Ke 52 jenis komoditi itu merupakan komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh orang miskin. Jumlah pengeluran untuk komoditi ini sekitar 70 persen jenis komoditi dipedesaan. Kedua; Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) atau kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan ini diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
                Lalu bagaimana caramengukur kemiskinan sebagai perameter penentu bagi mereka yang berada di garis kemiskinan ?. Ada 3 parameter yang juga dijadikan acuan bagi BPS (Biro Pusat Statistik) dalam kegiatan pendataan,yaitu: Pertama; persentase indeks penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Kedua; Indeks kedalaman kemiskinan, yaitu ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Ketiga; Indeks keparahan kemiskinan, yaitu ukuran yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
                Langkah selanjutnya adalah membuat sebuah diagnosa dalam format lingkaran kemiskinan dan lingkaran setan kemiskinan sekaligus menjadi acuan untuk formulasi penanggulangannya. Kedua lingkaran itu adalah: Pertama; Lingkaran Kemiskinan yang dimulai pada kasus pendapatan rendah karena daya beli dan kapasitas menabung yang rendah yang tentunya berimbas pada tingkat pertumbuhan modal yang juga rendah. Hal ini membuat situasi kekurangan modal yang dipicu oleh kreatifitas yang juga rendah. Kedua; Lingkran Setan Kemiskinan dengan kondisi awal pendapatan rendah karena modal rendah; modal rendah karena pendidikan rendah; pendidkan rendah karena kesehatan rendah; kesehatan yang rendah disebabkan kurangnya uang; kurangnya uang juga tentunya karena kreatifitas rendah. Kedua model lingkaran ini sekaligus juga menjadi pemicu rendahnya Indeks Pembangunan Manusia atau yang lebih trend dengan istilah IPM atau HDI (Human Depelopment Indeks) sebagai bentuk yang dihasilkan dari adanya pergeseran paradigma pembangunan dalam sepuluh tahun terakhir.
                Dari rangkaian proses pengkajian tentang kemiskinan ini,  diharapkan program dan kebijakan pemerintah tidak melulu berputar pada tataran pertumbuhan ekonomi yang meningkat,atau angka kemiskinan yang menurun, tapi lebih kepada upaya menciptakan kawasan baru pertumbuhan ekonomi . Pemerintah jangan lagi terfokus pada input dan out put saja, tapi lebih kepada out come nya. Ekonomi harus bertumbuh dari pelosok  desa terpencil, infrastruktur  harus menjadi agenda utama disana, mereka harus menikmati hasil kemerdekaan berupa pembangunan yang tidak Polewli sentris, Wonomulyo sentris, Mamuju sentris. Alokasi anggaran harus mempertimbangkan pendekatan out come perkapita masyarakat. Masyarakat harus berdaya dan diberdayakan dalam kondisi apapun dan sudah saatnya pemimpin di daerah ini mengubah kebijakan anggaran dari pengadaan  barang dan jasa dikurangi dan lebih fokus untuk meningkatkan alokasi belanja modal, agar tercipta sinergitas pembangunan sehingga pada akhirnya masyarakat bisa lebih makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran.
                Akhirnya, saya ingin mengutip sebuah pesan luhur dari leluhur Balanipa, Tandibella Kakanna I Pattang yang bergelar Daetta Tommuane atau Arajang Balanipa ke-4: “ Naiya Maraqdia,tammatindo di bongi, tarrarei di allo mandandang mata dimerrandanna daung aju, dimadinginna litaq, dimalimbonna rura, di ajarianna banne tau, di atepuanna agama ”. ( sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan terlena dalam lelap tidur dikeheningan malam, tidak akan berdiam diri berpangku tangan di siang hari, namun dia akan terus berfikir dan berupaya serta berikhtiar untuk meningkatkan hasil pertanian, berlimpahnya hasil perikanan, terciptanya ketentraman dan kedamaian demi kelangsungan hidup manusia serta sempurnanya kerukunan beragama).
                Pesan ini secara langsung mengisyratkan kepada pemimpin untuk senantiasa memperhatikan rakyat yang dipimpinnya. Semoga dengan ini, pemerintah dapat lebih memberdayakan masyarakat sekaligus memutus mata rantai dan siklus lingkaran setan kemiskinan.
(Penulis adalah Pendiri Lembaga Pemberdayaan dan Kewirausahaan LPK-MITRA CEMERLANG dan Inisiator Komunitas Rumah Buku Sulawesi Barat)    
Dimuat di Radar Sulbar,Selasa 6 Mei 2014                  

Arti Politik dan Wakil Rakyat



Arti Politik dan Wakil Rakyat
Oleh:  Muhammad Munir

ARTI POLITIK

Tahun 2014 adalah tahun politik. Demikian masyarakat Indonesia menyebut dan sepakat untuk menjadikan 2014 sebagai momentum dalam memberi warna pada wajah Indonesia di 34 provinsi pada 9 april 2014.

Politik,adalah sebuah kata yang hampir bisa dipastikan ketika masyarakat umum mendengar kata ini,maka dalam benak mereka adalah; kekuasaan, sikut menyikut, saling bohong membohongi, menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai, identik dengan uang dll. Tentu hal ini bisa dimaklumi karena masyarakat selama ini kurang mendapatkan pemahaman tentang apa dan bagaimana itu politik. Dalam setiap pemilihan, baik itu pilkades, pilkada, pilgub, pileg, dan pilpres yang mereka dapatkan kebanyakan adalah uang, beras, gula, sarung, baju dll. Kondisi ini membuat masyarakat hanya mampu memaknai politik sebatas pada kata intrik atau cara-cara memenangkan sebuah pesta demokrasi yang dimana rakyat atau masyarakat disuguhi dengan visi,misi, janji, uang dan sembako.
Berbicara tentang politik, saya teringat dengan sebuah kisah humor ketika seorang murid SD mendapat tugas pekerjaan rumah dari gurunya untuk menjelaskan arti ‘ kata politik ’. Karena belum memahaminya, ia kemudian bertanya pada ayahnya.
Sang ayah yang menginginkan Si anak dapat berfikir secara kreatif kemudian memberikan penjelasan, “baiklah, Nak. Ayah akan mencoba menjelaskan dengan perumpamaan, misalkan ayahmu adalah orang yang bekerja untuk menghidupi keluarga, jadi kita sebut ayah sebagai ‘investor’. Ibumu adalah pengatur keuangan, jadi kita menyebutnya ‘pemerintah’. Ayah dan ibu disini memperhatikan kebutuhan-kebutuhanmu, jadi kita sebut engkau adalah ‘rakyat’,sementara pembantu kita masukkan dia kedalam kelas ‘pekerja’. Adapun adikmu yang masih balita itu kita sebut sebagai ‘masa depan’. Sekarang fikirkanlah hal itu dan saya mau lihat apakah penjelasan ayah ini bisa kau fahmi ?”.
Setelah itu,sang anak kemudian pergi ke kamarnya sambil memikirkan apa yang dikatakan oleh ayahnya sampai ia tertidur. Pada sekitar jam 03.00 dinihari, anak itu terbangun karena mendengar adiknya menangis karena ngompol. Lalu ia menuju ke kamar tidur orang tuanya dan mendapatkan ibunya sedang tertidur nyenyak. Karena tidak ingin membangunkan ibunya, maka ia kemudian pergi ke kamar pembantu. Karena pintu terkunci, maka ia kemudian mengintip melalui lubang kunci dan melihat ayahnya berada di tempat tidur bersama pembantunya.
Akhirnya ia menyerah dan kembali ke kamarnya,sambil berkata dalam hati bahwa ia sudah mengerti arti politik. Dan pagi harinya,sebelum berangkat kesekolah ia mengerjakan tugas yang diberikan oleh gurunya dan menulis pada buku tugasnya : “ Politik adalah hal dimana para investor meniduri kelas pekerja, sedang pemerintah tertidur lelap,rakyat diabaikan dan masa depan berada dalam kondisi yang menyedihkan”.
Hahahaha.......
Sampai disini,lagi lagi kita hanya bisa mengurut dada. Begitu rumitkah arti kata politik itu untuk di fahami ? Ok, mari kita kerucutkan masalah. Jika diibaratkan kita berada diruang tertutup ditengah terik mentari disiang bolong, tentu yang kita rasakan adalah pengap,gerah yang sungguh sangat menyiksa dan mengusik kenyamanan kita. Lalu kita kemudian berfikir untuk menyalakan kipas angin atau AC (air conditioner). Kipas angin atau AC yang memberikan kesejukan itulah politik menurut saya,meski tentunya,selalu banyak kemungkinan sebuah obyek diinterpretasi secara berbeda dan beragam.Karena politik menurut defenisi ilmiahnya adalah berasal dari dari kata Polish, Police yang bisa dipadankan dengan masyarakat madani. Masyarakat Madani adalah masyarakat yang sejahtera, mandiri serta tercerahkan secara kolektif dan setara. Berpolitik berarti berusaha secara bersama dalam aksi kolektif untuk menuju sebuah kehidupan sosial yang cerah, sejahtera dan mandiri, baik fisik maupun rohani.
Dari uraian dan kisah diatas, manakah diantara defenisi yang akan kita pilih untuk diaktualkan ?, apakah defenisi pertama yaitu dari masyarakat awam yang menganggap politik adalah kekuasaan atau uang, ataukah defenisi anak SD yang memberi arti politik berdasarkan cerita ayahnya dan fakta yang ia lihat, atau kita mengambil defenisi ilmiah,tetapi selayaknya bagaimana logika akademis mampu menerima hal ini ?. Persoalannya adalah, siapakah yang seharusnya diikuti dan siapakah yang selayaknya mengikuti.
Agaknya masyarakat sudah harus niscaya untuk bisa ikut memberi arti politik secara ilmiah, sebelum semuanya di politisir oleh  elite politik disetiap moment pemilihan. Hal ini penting karena politik adalah salah satu dari empat pilar masyarakat abad 21 selain ekonomi,teknologi dan masyarakat itu sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Frank Feather.
WAKIL RAKYAT
                Bagi kalangan tertentu, menjadi wakil rakyat (baca: anggota DPR/DPRD) adalah merupakan sebuah kehormatan yang tak ternilai harganya. Sebab lembaga DPR ini adalah representasi dari kepentingan rakyat luas, sehingga rakyat menempatkannya dalam posisi terhormat. Karena itu,tidaklah heran jika banyak orang siap berkompetisi untuk mendapatkan posisi terhormat tersebut.
                Sukses menjadi wakil rakyat tentunya tidak lepas dari berbagai upaya atau trik politik yang dilakukan untuk meningkatkan elektabilitas selama masa kampanye. Dari kampanye program, sampai janji-janji manis dan money politic dilakukan. Apalagi dengan mekanisme penetapan suara terbanyak, suasana demokratis benar-benar gegap gempita, menjadi ajang persaingan yang keras, bikan saja antar caleg dari partai yang berbeda tetapi juga antar caleg dalam satu partai. Inilah wajah demokrasi kita di negri ini, demokrasi untuk orang terkenal, orang kuat, banyak uang, dan tentu saja berbiaya sangat mahal.
                Kini,kompetisi itu telah reda. Proses perhitungan suara yang menimbulkan banyak harapan dan kecemasan telah berakhir dengan kegembiraan dan kesedihan. Yang menang akan melenggang ke gedung rakyat (baca; Kantor DPR/DPRD), duduk dikursi empuk dengan seragam safari diikuti ekspresi wajah penuh optimisme. Sebaliknya ekspresi berbeda terlihat pada mereka yang tidak terpilih; kekecewaan, kesedihan, dan mungkin trauma, karena banyaknya rupiah yang telah dikeluarkan, waktu dan tenaga yang dikorbankan untuk sebuah cita-cita yang menggiurkan. Demokrasi telah menang di negri ini, meski rakyat harus membayar terlalu mahal dengan pemilihan ini,termasuk keributan dan aksi demo yang disebabkan oleh sebuah ketidak puasan.
                Pasca rekapitulasi kemarin, meraka yang trpilih merayakan kemenangannya sebagai bentuk kesyukuran, padahal sukses sebagai wakil rakyat terlalu prematur kalau itu disyukuri, sebab kedepan akan ketahuan dalam perjalanan waktu, mana wakil rakyat sejati dan mana wakil rakyat yang palsu, mana yang mengabdi untuk kepentingan rakyat dan mana yang hanya memuja kepentingan pribadi.
                Wakil rakyat yang terpilih ini nantinya akan bekerja dibawah sorotan tajam publik, tekanan waktu yang ketat dan godaan duniawi yang menggiurkan. Wakil rakyat punya funsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang tentu harus di faktualkan. Jika mereka tidak kuat iman dan mental justru akan jatuh dan terpuruk menjadi golongan orang yang kaget jadi pejabat, yang justru menjadikan jabatan itu untuk gagah-gagahan dan melupakan urusan rakyat demi urusan pribadi.
                Semoga para politisi kita yang terpilih kali ini bisa sedikit vokal dan berkoar untuk mengkritisi program eksekutif dan tidak membuat rakyat menilainya sebatas aktualisasi diri dan partai semata, sebab kepentingan masyarakat juga merupakan fungsi dari partai politik, dimana persoalan program dan kebijakan eksekutif harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan konstituen dan rakyat di daerah pemilihan masing-masing.
                Ada spirit yang menarik kita simak melalui ungkapan “ my loyality to party end,when my loyality to country ”(kesetiaan saya kepada partai berekhir,ketika kesetiaan pada negra dimulai). Dalam konteks ini ungkapan “ ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country ”(jangan tanya apa yang bangsa dapat kerjakan untuk anda, tanyalah apa yang dapat anda kerjakan untuk bangsa). Wakil rakyat kita sudah saatnya menjadi negrawan yang tidak punya pamrih kecuali kemajuan bangsa dan negara (baca: masyarakat).
                Akhirnta, tulisan ini saya tutup dengan statement politik antara I Manyambungi Todilaling selaku Maraqdia dan Puang di Rano sebagai Pappuangan Napo yang juga merangkap ketua Banua Kayyang yang diantaranya berbunyi : “ Upakarayao,mupakarayaq, Madzondong duang bongi Daeng, anna: maraqba-raqbqo petawung, mambottu-bottu bassiq, marrata-rattas uwakeq, marrappaqo batu, marrusaqo allewuang, mambueqo pura loa, moka-melo, tattaqi uala membali akayyanganmu anna dipependului lao di tomaiqdi “ (kami menjunjung tinggi kebesaran dan kekuasaan raja,namun selayaknya raja selalu menghargai hak dan peranan kami, kapan raja melakukan tindakan melanggar konstitusi, hikum, dasar budaya, dan kepentingan rakyat banyak, menindas rakyat kecil, merusak persatuan dan kesatuan, mengingkari kata janji yang telah terucapkan,maka,rela atau tidak rela akan kami tarik kembali kebesaran itu dan dikembalikan kepada rakyat).
Saatnya wakil rakyat sadar bahwa kepada merekalah tanggung jawab kesejahteraan masyarakat banyak dan masa depan lumbung moral bangsa ini dipertruhkan. Jadilah wakil rakyat yang amanah, punya integritas moral agama dan sense kerakyatan.
(Penulis adalah Inisiator Komunitas Rumah Buku Provinsi Sulawesi Barat)