Oleh:
Edward L. Poelinggomang
(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas
Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Pelaksana : DPD KNPI
Polewali Mandar Masa Bakti 2003-2006)
Pengantar
Topik Sejarah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan
dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa
penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi
karya standar Sejarah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar
masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar
berpijak.
Sebagai contoh dapat ditampilkan pengertian Mandar. Dalam
makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki
tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat
menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi
Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3)
Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan
kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang
jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai
pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti
“sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak
berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah
itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah
sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang,
Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai
keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan
keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar
yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag
yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu
diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan
Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai
Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal
itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan
perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai
Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan
penyebutan Sungai Mandar.
Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan,
apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan
menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar
kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan
Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan
itu.
Latar Kesejarahan
Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan
keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini
mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud
(1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu’ Sadang.
Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah
berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain
itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang
datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian
menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk
daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang
sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah
penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan
membangun pemukiman baru.
Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh
keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan
mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke
berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang
bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak
sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana
yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti
dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara
pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya
tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah
Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We
Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk
mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu,
maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya
dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini
mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan
ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.
Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam
kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat
memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu
persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan,
kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti
kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat
senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat
menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan
konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil
memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang
terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak
karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol
kewenangan pemegang kendali politik.
Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini
memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar.
Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar
ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk
Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang
sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan,
manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang
Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone,
Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena
masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah
pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan
kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.
Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos
itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga
dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia
mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani)
Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546).
Pada waktu menjadi pertentangan di negerinya, Ia dipanggil pulang untuk
membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan
perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi
pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso,
Todang Todang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan di Napo, satu wilayah yang
sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi
dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. Proses
pemilihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan
kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.
Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat
dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka itu dilanjutkan pula oleh
penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan
menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan
lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (baca: Ahmad Sahur,
1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga memprakarsai Muktamar
Tammenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada
dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke
landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan
itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan
Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.
Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin
persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah
membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan:
Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan.
Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan
perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu
adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan
persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban
menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh
yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil
mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut
Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar’
yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin, 1985: 41).
Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam
penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda
berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani
pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah
PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa)
dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden
landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini
tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan
nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan
yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat
pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah
PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS;
sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.
Pada periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de
yure dan de fakto setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan
abad ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut afdeeling
Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah afdeeling ini
terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling: Majene, Mamuju,
Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan Staatblad 1940 No. 21).
Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama Mandar telah mencakup wilayah
pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan PUS, dan telah menjadi konsep
perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah itu kemudian menampilkan nama itu
sebagai mengejawantakan diri kelompok penduduk penghuni wilayah ini, sehingga
umum dijadikan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari
kelompok Makassar dan Bugis.
Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan
kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang
mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667),
Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang
Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi
Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang
berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan
yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang
menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi
pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya
Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam
pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok
Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene,
Tanatte, Malusse Tasi, Kelompok Ajataparang dan Mandar. Oleh karena itulah
dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen)
disebut juga orang Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van.
Nederlandsch-Indie, “Mandar”: 664).
Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami
perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di
Sulawesi. Berdasarkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara
1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27
Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II
(Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa. Pada
perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002,
pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya
satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah
Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu
pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya
tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar,
kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi.
Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang
berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal
itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu
Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju
Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah
ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang
berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah
besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan
oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa
kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi
ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga
dan salu yang memiliki arti “Sungai”.
Tinjauan Akhir
Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa
penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan
Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam
konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju,
Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten
dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan
Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman
etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih
menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.
Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat
dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini
merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius
wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini
mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB
dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan
demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya
gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten
dengan mengembang nama Mandar.
Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah
mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali
Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari
wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar.
Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah
mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar,
hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai
nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama
lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk
seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan
cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang.
Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan
dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram.
Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama
Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan
pemerintah yang tertib dan tentram.
Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai
salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping:
Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun
oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya
Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas
Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian
Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia
perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembangkan
pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.