Kamis, 02 Februari 2017

MANDAR DALAM PERSPEKTIF KESEJARAHAN




Oleh:
Edward L. Poelinggomang
(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Pelaksana : DPD KNPI Polewali Mandar Masa Bakti 2003-2006)
     Pengantar
Topik Sejarah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi karya standar Sejarah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar berpijak.
Sebagai contoh dapat ditampilkan pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.
Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.
Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.

     Latar Kesejarahan 

Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu’ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.
Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.
Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.
Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.
Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentangan di negerinya, Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso, Todang Todang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan di Napo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. Proses pemilihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.
Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (baca: Ahmad Sahur, 1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga memprakarsai Muktamar Tammenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.
Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar’ yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin, 1985: 41).
Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.
Pada periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de yure dan de fakto setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan abad ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut afdeeling Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah afdeeling ini terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling: Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan Staatblad 1940 No. 21). Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama Mandar telah mencakup wilayah pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan PUS, dan telah menjadi konsep perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah itu kemudian menampilkan nama itu sebagai mengejawantakan diri kelompok penduduk penghuni wilayah ini, sehingga umum dijadikan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari kelompok Makassar dan Bugis.
Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malusse Tasi, Kelompok Ajataparang dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van. Nederlandsch-Indie, “Mandar”: 664).
Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di Sulawesi. Berdasarkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi.
Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang memiliki arti “Sungai”.

    Tinjauan Akhir

Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.
Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengembang nama Mandar.
Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.
Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.
Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembangkan pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.

Rabu, 01 Februari 2017

Video : Koa-Koayang Teater Flamboyant Mandar


Koa-koayang berasal dari nama koa', sejenis burung yang sudah jarang ditemukan dan hampir punah. Burung koa ini mempunyai ciri berbadan besar, terbang tinggi sekuat tenaga. Menurut Nurdin Hamma (budayawan Balanipa), selain 'koa' burung ini dahulu dijuluki 'kali arung' (kali artinya kadhi atau hakim dan arung adalah yang dituakan atau pemimpin). Burung kali arung ini diberi kesempatan oleh tuhan meluruhkan seluruh bulunya dan mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arasy.
Dahulu kala, koa-koayang dikenal dengan nama 'pammanu-manu', ini menjadi ritual pada acara pernikahan di Mandar. Pammanu-manu ini dilaksanakan pada malam setelah proses akad nikah disiang harinya. Mempelai wanita dipakaikan kostum dari sarung yang tak dikenal oleh mempelai laki-laki. Sehingga lelaki harus mencari dan mengejar wanitanya sampai ia dapatkan. Ini menjadi sebuah ritual pernikahan yang mengandung hiburan.
Perjalanan selanjutnya kemudian dieksflorasi menjadi seni pertunjukan seni tradisi parrawana tommuane yang kemudian dinamai pakkoa-koayang. Pada fase ini pakkoa-koayang menjadi sebuah seni pertunjukan yang berlangsung puluhan tahun dan tampil kadang dibuatkan panggung. Untuk saat ini, kelompok parrawana tommuane yang masih melestarikan tradisi ini adalah kelompok rebana yang ada di Lamase Kec. Tinambung.
Pakkoa-Koayang pertama kali diangkat dalam seni teater oleh kelompok Teater Flamboyant (TF) yang diberi judul Koa-Koayang. Sutradara Teater Koa-Koayang awalnya Amru Sa'dong sekaligus penulis naskahnya tahun 1997, lalu adaptasi naskah Koa-koayang yang ditulis Rahman Baas pada pentas teater di TMII Jakarta tahun 2010 yang  di sutradarai oleh Ramli Rusli beberapa kali. Kemudian pentas trater koa-koayang 2014 kembali di Jakarta disutradarai oleh Candrawali, kemudian teater koa-koayang 2015 di Mamuju kembali sutradarai oleh Ramli Rusli.

Tahun 1997 itu menjadi momentum paling bersejarah karena lewat penampilan dipentas seni teater di IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta ini, melahirkan sebuah konsep cerdas mengenai pembacaan kondisi bangsa Indonesia dibawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Lewat bangsa koa-koayang dari Mandar ini sampai pada simpulan bahwa Indonesia selama ini berada di selangkangan elit yang tak serius dan kesalahan paling besar terletak pada ketidak seriusannya dalam pengertian tidak boleh berfikir normal dalam situasi tidak normal.

Minggu, 29 Januari 2017

ABM-ENNY DAN PENGUATAN SISTEM KELEMBAGAAN PEMERINTAH

Tulisan ini adalah catatan Bapak Suyuti Marzuki, tokoh ahli dibidang manajemen yang telah menyelesaikan studi masternya bidang coastal engineering and manajemen (2005). Berikut catatan singkatnya menyikapi Pelaksanaan Debat Publik Tahap 2 Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat 2017, di Ballroom d'Maleo Hotel mamuju, 29 Januari 2017 : 

Ada satu agenda hal yang yg maha penting yang luput dipertajam pada debat Gubernur di Sulawesi Barat, yaitu ketika bicara soal pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, yaitu “SISTEM KELEMBAGAAN PEMERINTAH” yang oleh pakar Manajemen Organisasi kenamaan dunia, Piter Dracker (Drucker, 1954) menempatkan system kelembagaan sebagai Roh-nya organisasi hidup atau mati, organisasi belanjut atau mati suri.

Sejalan dengan ini pakar dan penemu teori manajemen organisasi berbasis balanced scorecard (Kaplan & Nagel, 2004; Kaplan & Norton, 1996) lantas meletakkan kelembagaan ini dalam sebagai salah pondasi organisasi pemerintah (Lawrie & Cobbold, 2004) maupun organisasi swasta atau korporat ((Shen, Chen, & Wang, 2016). Prof. Paul S. Kaplan dan Prof David P Norton, menempatkannya pada perspektif dasar dari empat perspektif utama dalam teori balanced scorecard yang telah berkembang di seluruh belahan dunia yaitu pada “perspective Learn and Growth” (Persfektif Pembelajaran dan Pertumbuhan dalam organisasi).

Apa keempat fondasi itu?
1. Sistem Pengembangan SDM
2. Sistem Kelembagaan pemerintah
3. Sistem data dan informasi
4. Sistem penganggaran organisasi

Ada apa dan Mengapa Kelambagaan pemerintah?

Kelembagaan pemerintah itu harus dipahami sebagai suatu hal yang sangat berbeda dengan kelembagaan dunia bisnis/korporat. Jika kelembagaan swasta dibangun dena tujuan dan atas dasar mengejar keuntungan/profit, maka dalam hirarki kelembagaan pemerintah justru Masyarakatlah yang herus menjadi tujuan utama pembangunan.


Sehingga sangat dibutuhkan pemimpin daerah yang benar2 memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengelola organisasi pemerintahan.
Untuk mencari pemimpin seperti ini tidaklah mudah, dibutuhkan sebuah proses panjang dalam pembelajarannya sebagaimana yang telah sy dijelaskan di atas pada perspektif Learn and Growth.

INGAT, sekali lagi bahwa seseorang yang sukses dalam dunia bisnis/korporat, belum tentu akan bisa mengelola lembaga pemerintah. karena tujuan dan filosofinya serta hirarki bekernya kedua organisasi ini sangatlah bertolak belakang. Swasta mengejar keuntungan, sedangkan pemerintah menekankan Stakeholders menuju kesejahteraan masyarakatnya.

Beberapa hal pokok yg dapat dilakukan dalam memperkuat kelembagaan daerah ini menuju Good governace meliputi:
1) Penataan organisasi daerah yang efisien dan efektif secara terintegrasi
2) Meningkatkan dan mengukur kinerja seluruh organisasi daerah
3) Kepala SKPD harus paham betul apa tugas fungsinya masing2 yang tertuang di dalam peta strateginya.
4) SKPD harus fokus membangun sektornya masing2 berdasarkan janji-janji kerja dan indicator kinerja utama (IKU) yang telah dibangun.
5) Program-program dan kegiatan-kegiatan SKPD harus benar2 sinkron dan mendukung Peta Strategi pemerintah daerah (peta strategi Gubernur) dari kelima MISI daerah (Provinsi)
6) harus bisa mencari sumber2 pendanaan dari pusat dan luar, jangan tergantung kepada gubernur saja.
7) Menciptakan birokrasi yang benar2 melayani masyarakat, tiap SKPD ada tim reaksi cepat atas pengaduan masyarakat terkait tugas fungi sektornya masing2 SKPD
😎Dan seterusnya……..


Di Provinsi Sulawesi Barat, saya hanya melihat pada sosok ABM, yang sudah sangat matang dan sarat pengalaman dalam mengelola organisasi pemerintah......

Citation:
Drucker, P. (1954). Peter Drucker on the profession of management. The Journal of Academic Librarianship. https://doi.org/10.1016/S0099-1333(98)90121-5
Kaplan, R. S., & Nagel, M. E. (2004). Improving Corporate Governance with the Balanced Scorecard. NACD Directors Monthly, 28, 6–10.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System. Harvard Business Review, (October 1993), 75–86. https://doi.org/10.1016/S0840-4704(10)60668-0
Lawrie, G., & Cobbold, I. (2004). Third-generation balanced scorecard: evolution of an effective strategic control tool. International Journal of Productivity and Performance Management, 53(7), 611–623. https://doi.org/10.1108/17410400410561231
Shen, Y.-C., Chen, P.-S., & Wang, C.-H. (2016). A study of enterprise resource planning (ERP) system performance measurement using the quantitative balanced scorecard approach. Computers in Industry, 75, 127–139. https://doi.org/10.1016/j.compind.2015.05.006

.................Cermati pada gambar berikut
:

Sabtu, 28 Januari 2017

VISI MISI ABM-ENNY Calon Gunernur & Wakil Gubernur Sulawesi Barat Periode 2017-2022 Nomor Urut 3

VISI MISI 
ALI BAAL MASDAR - ENNY ANGRAENI ANWAR
NOMOR URUT 3
PILKADA SULAWESI BARAT 
2017-2022














DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Kematian Husni dan Air Mata yang Mengairi Tujuh Sungai” (Bagian Kedua)




Oleh Muhammad Munir
  
Husni Djamaluddin lahir adalah sosok malaqbiq yang lahir di Tinambung Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 10 November 1934. Ia wafat  24 Oktober 2004 tepat 1 bulan setelah perjuangan Pemebentukan Provinsi Sulawesi Barat ketuk palu di Senayan. Warisan terbesarnya untuk Mandar adalah Provinsi Sulawesi Barat dan Kata Malaqbiq yang menjadi ikon Sulawesi Barat. Begitupun ia mewariskan banyak karya besarnya untuk Indonesia antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).
Ia adalah salah satu tokoh besar yang dimiliki Mandar. Selain penyair ia juga seorang kolumnis, wartawan senior dan politikus. Jasa-jasanya terhadap pembentukan Provinsi Sulawesi Barat adalah manivestasi cintanya pada Mandar yang mungkin tak semua orang mampu dan peduli untuk melakukannya. Bahkan pada saat Sulawesi Barat disahkan dalam rapat paripurna di DPR RI, ia datang dengan menggunakan kursi roda, sebab saat itu ia dalam keadaan sakit parah. Dan kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ini ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari Mandar ini. Malaqbiq terpancar jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat Ketua Dewan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat ini.
Penyair handal yang dijuluki  Panglima Puisi ini adalah sosok yang energik dan mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita Mandar dengan sangat sabar hingga menjadi Lipa’ Sa’be yang terkenal ke penjuru nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam menenun benang putih yang  kemudian lekat menjadi kappung bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana melo’ di cingga’ melok di lango-lango. (aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi warna). Penggalan kata “bannang pute” yang berarti benang putih tersebut sekaligus melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin “Sang Bannang Pute”.
Berbicara pembentukan Sulbar, peran Husni jelas tak bisa diragukan. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti almarhum Baharuddin Lopa, alm Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat Hasanuddin, Ma’mun Hasanuddin, Naharuddin, Anwar Adnan Saleh dan banyak lagi yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai pejuang-pejuang Sulbar. Hal ini merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang panjang dan tak kenal menyerah.
Catatan ini penulis ambil dari ringkasan beberapa testimoni dan pernyataan beberapa tokoh yang menulis tentang beliau. 3 buah buku tentang Husni Djamaluddin yang sempat penulis bawa pulang dari acara Launching Rumah Budaya Husni Djamaluddin kemarin (jumat, 27/01) cukup memberi informasi bagi penulis untuk disarikan kepada khalayak tentang siapa sosok Malaqbiq Husni Djamaluddin. Ketiga buku tersebut adalah Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal, Adakah Kita Masih Bertanya? dan INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku?.
Buku “ INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku ? “ yang berisi kumpulan puisi Husni Djamaluddin dalam rentang waktu 1934-2004 adalah wisata di tengah alam yang sejuk sembari melintasi sejarah-sejarah yang pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh penyair nasional lainnya. Dalam sajak-sajak Husni, kita akan menemukan banyak pencitraan tentang laut, lagi-lagi ini adalah hal yang wajar sebab Husni memang lahir di Mandar. Mandar adalah peradaban identik dengan dua elemen yang bahan dasarnya air, yaitu air sungai dan air laut. Mandar adalah pelaut ulung meski tak harus menyebutnya orang laut, sebab Husni telah menghibahkan dirinya dalam sajak “Akulah Laut”. Husni Djamaluddin mencoba mengindentifikasikan dirinya dengan laut yang surut dan yang pasang.
Dalam pencitraannya tentang laut, tentu saja tidak penting menyebut orang Mandar sebagai orang laut? Sebab kemudian Husni Djamaluddin tak hanya piawai membincang laut yang pada akhirnya ia harus menghadapi kenyataan ombak yang ditolak oleh tepinya. Selain itu, Husni juga adalah sosok yang piawai membincang budaya pegunungan  yang diusungnya melalui sajak tentang Toraja. Husni berhasil mengabadikan tentang jenazah yang masih basah, tentang kepala yang tinggal tengkorak, tentang belulang yang dipeti ukir, tentang gua-gua yang berbukit kapur dan tentang kerbau, babi dan tuak. Melalui sajak-sajaknya tentang Toraja, tidak saja memperkaya perpuisian dan kesusastraan Indonesia, tapi sekaligus telah memperkenalkan suku bangsa dan budaya yang tadinya terpencil itu sekarang menjadi obyek wisata yang masyhur.  
            Sampai disini penulis ingin menegaskan bahwa Husni Djamaluddin tidak saja merelakan jiwanya diamuk badai, tapi juga mewakafkan fikirannya dikabuti embun pegunungan. Dan hampir seluruh kehidupan yang dimilikinya tak pernah sedikitpun terlewatkan untuk bagaimana bisa menghibahkan dirinya secara utuh buat Mandarnya. Terbukti, setelah segala perjuangannya tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat usai dilembar negarakan di Senayan. Sebulan kemudian ia tersenyum menghadap sang pencipta-Nya. Senyum itu ia bawa pergi dan ribuan orang Sulbar tanpa sadar melelerkan air matanya untuk mengairi 7 sungai dari hulu sampai muara. Itulah Husni Djamaluddin yang hari ini dibincang biasa bersama orang-orang yang luar biasa. (Bersambung)

DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Husni Djamaluddin, Sang Bannang Pute Itu Masih Hidup” (Bagian Petama)




                                                                 Oleh Muhammad Munir[1]

Suatu ketika dalam sebuah bincang literasi di Rumpita, ada salah seorang peserta yang bertanya, “Mana yang lebih hebat Baharuddin Lopa dengan Husni Djamaluddin?”. Mendengar pertanyaan ini, penulis langsung teringat dengan guruku, Prof. Lamboruso. Menurut Lamboruso, Lebih hebat Husni Djamaluddin, sebab jika Baharuddin Lopa bisa hebat begitu karena dia punya jenjang pendidikan tinggi, sementara Husni Djamaluddin hanya tamatan SMA tapi mampu menembus batas akademik itu. Ia bahkan dijuluki Panglima Puisi secara nasional .

Membincang dua tokoh Mandar tersebut, kita mungkin bisa kehabisan kata untuk mengurainya. Begitupun ceritanya, mungkin seorang penulis akan tersesat di rimba abjat jika tetap bersikukuh untuk menuliskan semuanya, sebab sampai hari ini, Indonesia belum pernah melahirkan kembali dua sosok pendekar hukum dan panglima puisi tersebut. Pun di Mandar sendiri belum ada generasi yang mampu menyamainya. Itulah Mandar dan dua sosok yang bagai matahari, tak pernah redup. Ia senantiasa bergerak setia mengikuti perjalanan waktu. Bangkit, tersungkur dan bangkit lagi. Hingga dalam ketiadaan mereka pun kita tak pernah merasa kehilangan aura dan aroma kedua sosok malaqbiq ini.
 
Entah untuk kali keberapa, ada beberapa acara yang kerap penulis ikuti ditempat yang sama dilingkungan Kandeapi Tinambung. Jumat, 27 Januari 2017 tepatnya pukul 16.00 Rumah Adat Husni Djamaluddin, demikian orang menyebutnya. Beberapa orang terlihat sementara asik diskusi kecil ketika penulis sampai ditempat itu. Nampak Rektor Unsulbar, Akhsan Jalaluddin, Ketua DPRD Majene, Darmansyah, Mursalim dan beberapa dari elemen masyarakat, tokoh budaya dan tokoh pemuda, Kapolres Majene, Kapolres Polman dan seorang Polisi Jepan setingkat Brigjen, Izawa.
 
Yuyun Yundini Husni Djamaluddin, putri sulung almarhum Husni Djamaluddin ini mengingatkan kita kembali seorang sosok yang memang tak pernah mati. Yuyun, demikian ia akrab disapa. Ahli Perpolisian masyarakat ini memang tak asing lagi bagi insan perpolisian. Tak heran jika kedatangannya ke Mandar kita pasti menemukan banyak polisi yang menyertai dan menyambut beliau. Ia adalah seorang dosen kepolisian di Jakarta. Grendy TP, Kapolres Majene adalah salah satu yang pernah diajar oleh Yuyun.

Hari ini, kristal air mata itu terbentuk bagai kondensasi air hujan. Di mata Yuyun, dan dimata semua yang hadir, perasaan itu membuncah, menyeruak dan seketika kerinduan pada sosok almarhum Husni Djamaluddin menyerang begitu kuat saat Yuyun Yundini memerintahkan salah seorang keluarga untuk membentangkan spanduk sepanjang 3,5 meter bertuliskan : RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN. Yuyun menangis, dengan tersedu ia mengurai sosok mendiang ayah yang ia sangat kagumi.

“Husni Djamaluddin tidak mati. Ia masih hidup dan ia hadir disini, ditengah-tegah kita”. Ucap Yuyun sembari mencoba melawan sesuatu yang hendak menyumpal tenggorokannya. Suaranya terpatah namun akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN inilah yang ia akan jadikan untuk melahirkan sosok Husni Djamaluddin pada 10, 20, 50 bahkan 100 tahun kedepan. Rumah almarhum ini kedepan akan dihibahkan untuk menjadi aula segala bentuk kegiatan budaya. Rumah Budaya ini nantinya akan secara berkala mengelar “Workshop Budaya” yang setiap angkatannya akan mengikuti rangkaian kegiatan selama 3 hari 3 malam.

Workshop ini nantinya akan menyuguhkan materi-materi tentang esensi Malaqbiq. Malaqbiq adalah kata yang dipopulerkan oleh Husni Djamaluddin dalam mengawal proses perjuangan Sulbar. Materi kedua adalah tentang apa dan siapa Husni Djamaluddin. Pada segmen ini, peserta akan mendapatkan informasi tentang Husni, tentang proses kreatifnya hingga dijuluki Panglima Puisi, tentang inisiatif  Husni menyiasati berbagai persoalan hidup untuk menjadi seorang pemenang hinga dijuluki Sang Bannang Pute To Mandar. Materi ketiga, peserta akan diperkenalkan pada sosok inspiratif yang berhasil menenun nasibnya dari kelas teri menjadi materi yang dilisan-tuliskan. Sda banyak sosok generasi Mandar dari berbagai latar belakang akan dihadirkan untuk membakar semangat para peserta Workshop.         

”Husni bukan hanya tokoh budaya, tapi ia adalah sosok pejuang yang bisa mewujudkan mimpinya lewat perjuangan Sulbar. Dahulu perjuangan Sulbar dengan  keterbatasan, tapi mampu dilakukan karena  Malaqbiq adalah spirit untuk menjadikan Mandar dan Sulbar sebagai sebuah wilayah. Dan mimpi Husni Djalamluddin itu telah kita nikmati selama 12 tahun”. Demikian Yuyun mengulas singkat sepak terjang ayahnya yang melatari mengapa Rumah Budaya Husni Djamaluddin hadir pertama kali di Sulbar.

Sebelum ia menutup kata sambutannya, ia menyampaikan 3 komitmen dasar yang menjadi prasyarat untuk bisa disebut Sulbar Malaqbiq, yaitu Malaqbiq DPR-nya, Malaqbiq Pemerintahnya dan Malaqbiq Rakyatnya. Pertanyaannya adalah “Sudah Malaqbiq kah kita hari ini?”. Pungkas wanita cantik berkacamata yang kabarnya akan menjadi pemandu dalam Debat Publik Tahap II Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, 29 Januari 2017. (Bersambung)



[1] Penulis adalah pengurus Masayarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar

BAYI LANGIT : Bayi Yang Lahir Dari Gua Garba Syuman Saeha

Judul Buku 
Bayi Langit (Antologi Puisi)

Penulis        
Syuman Saeha

Penerbit     
Interlude Yogyakarta, 2016
Cetakan Pertama

Pengantar :
Iman Budhi Santosa


Harga Buku Rp. 50.000,-
Pembelian Bisa melalui Rumpita dan Jaringan Rumah Baca di Majene, Tappalang, Mamuju               dan Pasangkayu

SYUMAN SAEHA, Lahir 17 Agustus 1975. Di Lelupang Desa Lampoko Kecamatan Campalagian. Tempat kelahirannya itu selayaknya disebut rantuan belaka, seperti hanya disinggahi selama kurang lebih 15 Tahun. Sebab Tahun 1990, kemudian ditinggalkan. Lalu hijrah dan bermukim di Bala (desa) Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sampai sekarang. Menikah dengan gadis Galeso, Nurhani Nurdin 2014, dan dikaruniai anak Pangrita Palogai.
Pada Tahun 1984, hanya karena sebuah kenakalan yang melibatkan perkelahian sesama kelas di Sekolah Dasar (SD), Membuat dia bersitegas untuk keluar dari sekolah, itupun karna menghindari hukuman. Anak kelima dari sebelas bersaudara ini kemudian mengambil keputusan untuk belajar mengembala sapi dan menggarap sawah sampai Tahun 1988 di tanah Bugis (Pinrang). Niat itu diluluskan semata ingin membantu penghasilan Ibunya (PASA) sebagai penenun sutra dan Bapaknya (SAEHA) yang tukang photo.
Bukan hanya itu, sepulang dari rantauan sebagai pengembala, alih alih melanjutkan sekolahnya yang tertunda di kelas III SD. Ia malah asyik menjadi peladang, menanam jagung, mangga dan kakao walau itu tak berlangsung lama. Sebab kemarau panjang kemudian menyeretnya untuk turun ke laut menjala ikan sebagai nelayan. Semua itu pernah dijadikan pekerjaan, sebagaimana juga buruh bangunan hingga tukang batu.
Sebenarnyalah kalau ditarik garis batas antara hidup berdaya jadi, dengan berdaya asal jadi, tak susah sangat. Sebab yang terpenting dalam hal ini adalah tindakan. Sebuah keputusan untuk memilih arah hidup, dan itu terjadi Tahun 2003. Setelah mengenal dunia seni panggung. (teater) berkat kelembutan tangan Muh. Radi Rahman, Syuman remaja bermain drama untuk kali pertama bersama kelompok RAMESWARPOL yang dipimpinnya Tahun 1998.
Pada Tahun yang sama (1998) Adil Tambono, mengajaknya bergabung di Sanggar Layonga Mandar yang diasuh Duddin Dower. Tak cukup hanya dengan itu, Tahun 1999 mengembangkan bakat seninya bersama Amru Sa’dong di Teater Flamboyant selama kurang lebih dua Tahun. Ia dengan teman-teman sejawat mendirikan Organisasi BONEK (bondo nekat) di desanya (Bala) Tahun 2000. Semua itu dia jalani demi untuk bermain teater.
Tahun 2006-2009 menjadi salah seorang penggiat Komunitas Sastra dan Teater (kosaster) SIIN di Unasman. Setahun kemudian (2010) Bersama Azikin Noer, Abdul Hakim Pariwalino dan Hendra Djafar, mendirikan Padepokan Sastra Mpu Tantular di Polewali dan Pendopo Sastra Kappoeng Jawa di Wonomulyo, dan Azhim Ghafur-lah kemudian yang terpilih sebagai Lurahnya (ketua). Bersama Hendra Djafar, mendirikan Teater Palatto Tahun (2003) yang kemudian melibatkan Abdul Hakim Pariwalino sebagai orang penting di komunitas ini sampai sekarang.
Di Tahun 2003, dia jatuh cinta pada teater bukan alang kepalang, hingga dengan sangat tegas meninggalkan banyak aktifitas yang menghidupinya demi dunia kesenian yang satu ini. Tak ketinggalan dunia tulis menulis juga turut dirambah secara serius. Bukan hanya puisi, tapi juga mulai menulis cerita pendek dan naskah lakon, antara lain Kembali, Mejitta, Anos dll.
Dan media cetak Radar Sulbar juga Rakyat Sulbar dan SulbarDOTcom untuk publikasi puisi dan cerita pendek. Karyanya yang sudah dibukukan. INTEROGASI, Kumpulan Cerpen. Oase Pustaka. Surakarta, 2015. REQUIEM TERAKHIR Kumpulan Puisi Terbaik Oase Pustaka. Surakarta, 2016. Tim Penyusun KUMPULAN CERITA RAKYAT, SELAWESI BARAT, Interlude. Yogyakarta, 2016.
Adapun acara yang pernah diikuti adalah Palu Indonesia Dance Forum (2001) Stigma dan Workshop Keaktoran bersama Putu Wijaya (2009) Sita dan Workshop Teater bersama Imam Saleh dan Asmadi Alimuddin (2010) Dan menyutradarai banyak pertunjukan antara lain, MATA RANTAI, Syuman Saeha, adaptasi TRANSISI karya Duddin Dower, pentas tunggal Sanggar Layonga (Tinambung, 1999) AWAL DARI SEBUAH AKHIR, yang ditulis bersama Hendra Djafar, malam sejuta aspirasi Bonek (Bala, 2000) KEMBALI, Syuman Saeha, panggung demokrasi (Wonomulyo, 2003) SKETSA MANDAR, Nur Dahlan Jirana, pentas keliling Kosaster SIIN (Majene, Campalagian, Polewali, 2006) PERKAWINAN, Nicolas Gogolk, FTMI (Makassar, 2006) PETANG DI TAMAN, Iwan Simatupang, Temu teater lima group (Mamuju, 2007) BUNGA DESA, R. Suradji D. FTMI (Palopo, 2009) DEMOKRASI, (monolog) Putu Wijaya, (Makassar, 2009) KOAYANG, Amru Sa’dong. Gedung Kesenian Jakarta dan satu panggung Kenduri Cinta, Emha Ainun Najib (Taman Ismail Marsuki, 2014)
Tahun 2011 hal kedua yang terpenting selama perantauannya di muka bumi. Karna di Tahun ini dia banyak bertemu orang orang bijak, terutama  dengan penyair Riki Dhamparan Putra. Persuaannya, meski sangat singkat dengan penyair Riki Dhamparan Putra. Membuat dia seperti melahirkan dirinya kembali dalam rahim perpuisian. Boleh dibilang  sesingkat mempertemukan dua jenis kelamin yang berbeda namun sanggup membuahkan benih.[1]



[1] Syuman Saeha, 2016. Antologi Puisi Bayi Langit. Yogyakarta: Interlude