Sabtu, 28 Januari 2017

DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Husni Djamaluddin, Sang Bannang Pute Itu Masih Hidup” (Bagian Petama)




                                                                 Oleh Muhammad Munir[1]

Suatu ketika dalam sebuah bincang literasi di Rumpita, ada salah seorang peserta yang bertanya, “Mana yang lebih hebat Baharuddin Lopa dengan Husni Djamaluddin?”. Mendengar pertanyaan ini, penulis langsung teringat dengan guruku, Prof. Lamboruso. Menurut Lamboruso, Lebih hebat Husni Djamaluddin, sebab jika Baharuddin Lopa bisa hebat begitu karena dia punya jenjang pendidikan tinggi, sementara Husni Djamaluddin hanya tamatan SMA tapi mampu menembus batas akademik itu. Ia bahkan dijuluki Panglima Puisi secara nasional .

Membincang dua tokoh Mandar tersebut, kita mungkin bisa kehabisan kata untuk mengurainya. Begitupun ceritanya, mungkin seorang penulis akan tersesat di rimba abjat jika tetap bersikukuh untuk menuliskan semuanya, sebab sampai hari ini, Indonesia belum pernah melahirkan kembali dua sosok pendekar hukum dan panglima puisi tersebut. Pun di Mandar sendiri belum ada generasi yang mampu menyamainya. Itulah Mandar dan dua sosok yang bagai matahari, tak pernah redup. Ia senantiasa bergerak setia mengikuti perjalanan waktu. Bangkit, tersungkur dan bangkit lagi. Hingga dalam ketiadaan mereka pun kita tak pernah merasa kehilangan aura dan aroma kedua sosok malaqbiq ini.
 
Entah untuk kali keberapa, ada beberapa acara yang kerap penulis ikuti ditempat yang sama dilingkungan Kandeapi Tinambung. Jumat, 27 Januari 2017 tepatnya pukul 16.00 Rumah Adat Husni Djamaluddin, demikian orang menyebutnya. Beberapa orang terlihat sementara asik diskusi kecil ketika penulis sampai ditempat itu. Nampak Rektor Unsulbar, Akhsan Jalaluddin, Ketua DPRD Majene, Darmansyah, Mursalim dan beberapa dari elemen masyarakat, tokoh budaya dan tokoh pemuda, Kapolres Majene, Kapolres Polman dan seorang Polisi Jepan setingkat Brigjen, Izawa.
 
Yuyun Yundini Husni Djamaluddin, putri sulung almarhum Husni Djamaluddin ini mengingatkan kita kembali seorang sosok yang memang tak pernah mati. Yuyun, demikian ia akrab disapa. Ahli Perpolisian masyarakat ini memang tak asing lagi bagi insan perpolisian. Tak heran jika kedatangannya ke Mandar kita pasti menemukan banyak polisi yang menyertai dan menyambut beliau. Ia adalah seorang dosen kepolisian di Jakarta. Grendy TP, Kapolres Majene adalah salah satu yang pernah diajar oleh Yuyun.

Hari ini, kristal air mata itu terbentuk bagai kondensasi air hujan. Di mata Yuyun, dan dimata semua yang hadir, perasaan itu membuncah, menyeruak dan seketika kerinduan pada sosok almarhum Husni Djamaluddin menyerang begitu kuat saat Yuyun Yundini memerintahkan salah seorang keluarga untuk membentangkan spanduk sepanjang 3,5 meter bertuliskan : RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN. Yuyun menangis, dengan tersedu ia mengurai sosok mendiang ayah yang ia sangat kagumi.

“Husni Djamaluddin tidak mati. Ia masih hidup dan ia hadir disini, ditengah-tegah kita”. Ucap Yuyun sembari mencoba melawan sesuatu yang hendak menyumpal tenggorokannya. Suaranya terpatah namun akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN inilah yang ia akan jadikan untuk melahirkan sosok Husni Djamaluddin pada 10, 20, 50 bahkan 100 tahun kedepan. Rumah almarhum ini kedepan akan dihibahkan untuk menjadi aula segala bentuk kegiatan budaya. Rumah Budaya ini nantinya akan secara berkala mengelar “Workshop Budaya” yang setiap angkatannya akan mengikuti rangkaian kegiatan selama 3 hari 3 malam.

Workshop ini nantinya akan menyuguhkan materi-materi tentang esensi Malaqbiq. Malaqbiq adalah kata yang dipopulerkan oleh Husni Djamaluddin dalam mengawal proses perjuangan Sulbar. Materi kedua adalah tentang apa dan siapa Husni Djamaluddin. Pada segmen ini, peserta akan mendapatkan informasi tentang Husni, tentang proses kreatifnya hingga dijuluki Panglima Puisi, tentang inisiatif  Husni menyiasati berbagai persoalan hidup untuk menjadi seorang pemenang hinga dijuluki Sang Bannang Pute To Mandar. Materi ketiga, peserta akan diperkenalkan pada sosok inspiratif yang berhasil menenun nasibnya dari kelas teri menjadi materi yang dilisan-tuliskan. Sda banyak sosok generasi Mandar dari berbagai latar belakang akan dihadirkan untuk membakar semangat para peserta Workshop.         

”Husni bukan hanya tokoh budaya, tapi ia adalah sosok pejuang yang bisa mewujudkan mimpinya lewat perjuangan Sulbar. Dahulu perjuangan Sulbar dengan  keterbatasan, tapi mampu dilakukan karena  Malaqbiq adalah spirit untuk menjadikan Mandar dan Sulbar sebagai sebuah wilayah. Dan mimpi Husni Djalamluddin itu telah kita nikmati selama 12 tahun”. Demikian Yuyun mengulas singkat sepak terjang ayahnya yang melatari mengapa Rumah Budaya Husni Djamaluddin hadir pertama kali di Sulbar.

Sebelum ia menutup kata sambutannya, ia menyampaikan 3 komitmen dasar yang menjadi prasyarat untuk bisa disebut Sulbar Malaqbiq, yaitu Malaqbiq DPR-nya, Malaqbiq Pemerintahnya dan Malaqbiq Rakyatnya. Pertanyaannya adalah “Sudah Malaqbiq kah kita hari ini?”. Pungkas wanita cantik berkacamata yang kabarnya akan menjadi pemandu dalam Debat Publik Tahap II Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, 29 Januari 2017. (Bersambung)



[1] Penulis adalah pengurus Masayarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar