Oleh
Muhammad Munir[1]
Suatu ketika
dalam sebuah bincang literasi di Rumpita, ada salah seorang peserta yang
bertanya, “Mana yang lebih hebat
Baharuddin Lopa dengan Husni Djamaluddin?”. Mendengar pertanyaan ini,
penulis langsung teringat dengan guruku, Prof. Lamboruso. Menurut Lamboruso,
Lebih hebat Husni Djamaluddin, sebab jika Baharuddin Lopa bisa hebat begitu
karena dia punya jenjang pendidikan tinggi, sementara Husni Djamaluddin hanya
tamatan SMA tapi mampu menembus batas akademik itu. Ia bahkan dijuluki Panglima
Puisi secara nasional .
Membincang
dua tokoh Mandar tersebut, kita mungkin bisa kehabisan kata untuk mengurainya.
Begitupun ceritanya, mungkin seorang penulis akan tersesat di rimba abjat jika
tetap bersikukuh untuk menuliskan semuanya, sebab sampai hari ini, Indonesia
belum pernah melahirkan kembali dua sosok pendekar hukum dan panglima puisi
tersebut. Pun di Mandar sendiri belum ada generasi yang mampu menyamainya.
Itulah Mandar dan dua sosok yang bagai matahari, tak pernah redup. Ia
senantiasa bergerak setia mengikuti perjalanan waktu. Bangkit, tersungkur dan
bangkit lagi. Hingga dalam ketiadaan mereka pun kita tak pernah merasa
kehilangan aura dan aroma kedua sosok malaqbiq
ini.
Entah untuk
kali keberapa, ada beberapa acara yang kerap penulis ikuti ditempat yang sama
dilingkungan Kandeapi Tinambung. Jumat, 27 Januari 2017 tepatnya pukul 16.00
Rumah Adat Husni Djamaluddin, demikian orang menyebutnya. Beberapa orang
terlihat sementara asik diskusi kecil ketika penulis sampai ditempat itu.
Nampak Rektor Unsulbar, Akhsan Jalaluddin, Ketua DPRD Majene, Darmansyah,
Mursalim dan beberapa dari elemen masyarakat, tokoh budaya dan tokoh pemuda,
Kapolres Majene, Kapolres Polman dan seorang Polisi Jepan setingkat Brigjen,
Izawa.
Yuyun
Yundini Husni Djamaluddin, putri sulung almarhum Husni Djamaluddin ini
mengingatkan kita kembali seorang sosok yang memang tak pernah mati. Yuyun,
demikian ia akrab disapa. Ahli Perpolisian masyarakat ini memang tak asing lagi
bagi insan perpolisian. Tak heran jika kedatangannya ke Mandar kita pasti
menemukan banyak polisi yang menyertai dan menyambut beliau. Ia adalah seorang
dosen kepolisian di Jakarta. Grendy TP, Kapolres Majene adalah salah satu yang
pernah diajar oleh Yuyun.
Hari ini,
kristal air mata itu terbentuk bagai kondensasi air hujan. Di mata Yuyun, dan
dimata semua yang hadir, perasaan itu membuncah, menyeruak dan seketika
kerinduan pada sosok almarhum Husni Djamaluddin menyerang begitu kuat saat Yuyun
Yundini memerintahkan salah seorang keluarga untuk membentangkan spanduk
sepanjang 3,5 meter bertuliskan : RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN. Yuyun
menangis, dengan tersedu ia mengurai sosok mendiang ayah yang ia sangat kagumi.
“Husni Djamaluddin tidak mati. Ia
masih hidup dan ia hadir disini, ditengah-tegah kita”. Ucap Yuyun
sembari mencoba melawan sesuatu yang hendak menyumpal tenggorokannya. Suaranya
terpatah namun akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa RUMAH BUDAYA HUSNI
DJAMALUDDIN inilah yang ia akan jadikan untuk melahirkan sosok Husni
Djamaluddin pada 10, 20, 50 bahkan 100 tahun kedepan. Rumah almarhum ini
kedepan akan dihibahkan untuk menjadi aula segala bentuk kegiatan budaya. Rumah
Budaya ini nantinya akan secara berkala mengelar “Workshop Budaya” yang setiap
angkatannya akan mengikuti rangkaian kegiatan selama 3 hari 3 malam.
Workshop ini
nantinya akan menyuguhkan materi-materi tentang esensi Malaqbiq. Malaqbiq adalah
kata yang dipopulerkan oleh Husni Djamaluddin dalam mengawal proses perjuangan
Sulbar. Materi kedua adalah tentang apa dan siapa Husni Djamaluddin. Pada
segmen ini, peserta akan mendapatkan informasi tentang Husni, tentang proses
kreatifnya hingga dijuluki Panglima Puisi, tentang inisiatif Husni menyiasati berbagai persoalan hidup
untuk menjadi seorang pemenang hinga dijuluki Sang Bannang Pute To Mandar.
Materi ketiga, peserta akan diperkenalkan pada sosok inspiratif yang berhasil
menenun nasibnya dari kelas teri menjadi materi yang dilisan-tuliskan. Sda
banyak sosok generasi Mandar dari berbagai latar belakang akan dihadirkan untuk
membakar semangat para peserta Workshop.
”Husni bukan hanya tokoh budaya, tapi ia adalah sosok pejuang yang
bisa mewujudkan mimpinya lewat perjuangan Sulbar. Dahulu perjuangan Sulbar dengan
keterbatasan, tapi mampu dilakukan
karena Malaqbiq adalah spirit untuk
menjadikan Mandar dan Sulbar sebagai sebuah wilayah. Dan mimpi Husni
Djalamluddin itu telah kita nikmati selama 12 tahun”. Demikian
Yuyun mengulas singkat sepak terjang ayahnya yang melatari mengapa Rumah Budaya
Husni Djamaluddin hadir pertama kali di Sulbar.
Sebelum ia
menutup kata sambutannya, ia menyampaikan 3 komitmen dasar yang menjadi
prasyarat untuk bisa disebut Sulbar Malaqbiq, yaitu Malaqbiq DPR-nya, Malaqbiq
Pemerintahnya dan Malaqbiq Rakyatnya. Pertanyaannya adalah “Sudah Malaqbiq kah kita hari ini?”. Pungkas wanita cantik
berkacamata yang kabarnya akan menjadi pemandu dalam Debat Publik Tahap II
Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, 29 Januari 2017. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar