Oleh
Muhammad Munir
Husni Djamaluddin lahir adalah sosok malaqbiq yang lahir di Tinambung Kab.
Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 10 November 1934. Ia wafat 24 Oktober 2004 tepat 1 bulan setelah
perjuangan Pemebentukan Provinsi Sulawesi Barat ketuk palu di Senayan. Warisan
terbesarnya untuk Mandar adalah Provinsi Sulawesi Barat dan Kata Malaqbiq yang
menjadi ikon Sulawesi Barat. Begitupun ia mewariskan banyak karya besarnya untuk
Indonesia antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku
(1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka
Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III
(1978).
Ia adalah salah satu tokoh besar yang dimiliki
Mandar. Selain penyair ia juga seorang kolumnis, wartawan senior dan politikus.
Jasa-jasanya terhadap pembentukan Provinsi Sulawesi Barat adalah manivestasi
cintanya pada Mandar yang mungkin tak semua orang mampu dan peduli untuk
melakukannya. Bahkan pada saat Sulawesi Barat disahkan dalam rapat paripurna di
DPR RI, ia datang dengan menggunakan kursi roda, sebab saat itu ia dalam
keadaan sakit parah. Dan kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ini
ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari Mandar ini. Malaqbiq terpancar
jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat Ketua Dewan Pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat ini.
Penyair handal yang dijuluki Panglima Puisi ini adalah sosok yang energik
dan mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita
Mandar dengan sangat sabar hingga menjadi Lipa’
Sa’be yang terkenal ke penjuru
nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam menenun benang putih yang kemudian lekat menjadi kappung bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana melo’ di cingga’ melok di
lango-lango. (aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi
warna). Penggalan kata “bannang pute” yang berarti benang putih tersebut
sekaligus melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin “Sang Bannang
Pute”.
Berbicara pembentukan Sulbar, peran Husni
jelas tak bisa diragukan. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti
almarhum Baharuddin Lopa, alm Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat
Hasanuddin, Ma’mun Hasanuddin, Naharuddin, Anwar Adnan Saleh dan banyak lagi
yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai pejuang-pejuang
Sulbar. Hal ini merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang
panjang dan tak kenal menyerah.
Catatan ini penulis ambil dari ringkasan
beberapa testimoni dan pernyataan beberapa tokoh yang menulis tentang beliau. 3
buah buku tentang Husni Djamaluddin yang sempat penulis bawa pulang dari acara
Launching Rumah Budaya Husni Djamaluddin kemarin (jumat, 27/01) cukup memberi
informasi bagi penulis untuk disarikan kepada khalayak tentang siapa sosok
Malaqbiq Husni Djamaluddin. Ketiga buku tersebut adalah Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal, Adakah Kita Masih Bertanya? dan INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku?.
Buku “ INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku ?
“ yang berisi kumpulan puisi Husni Djamaluddin dalam rentang waktu 1934-2004
adalah wisata di tengah alam yang sejuk sembari melintasi sejarah-sejarah yang
pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh
penyair nasional lainnya. Dalam sajak-sajak Husni, kita akan menemukan banyak
pencitraan tentang laut, lagi-lagi ini adalah hal yang wajar sebab Husni memang
lahir di Mandar. Mandar adalah peradaban identik dengan dua elemen yang bahan
dasarnya air, yaitu air sungai dan air laut. Mandar adalah pelaut ulung meski
tak harus menyebutnya orang laut, sebab Husni telah menghibahkan dirinya dalam
sajak “Akulah Laut”. Husni Djamaluddin mencoba mengindentifikasikan dirinya
dengan laut yang surut dan yang pasang.
Dalam
pencitraannya tentang laut, tentu saja tidak penting menyebut orang Mandar
sebagai orang laut? Sebab kemudian Husni Djamaluddin tak hanya piawai
membincang laut yang pada akhirnya ia harus menghadapi kenyataan ombak yang
ditolak oleh tepinya. Selain itu, Husni juga adalah sosok yang piawai
membincang budaya pegunungan yang
diusungnya melalui sajak tentang Toraja. Husni berhasil mengabadikan tentang
jenazah yang masih basah, tentang kepala yang tinggal tengkorak, tentang
belulang yang dipeti ukir, tentang gua-gua yang berbukit kapur dan tentang
kerbau, babi dan tuak. Melalui sajak-sajaknya tentang Toraja, tidak saja
memperkaya perpuisian dan kesusastraan Indonesia, tapi sekaligus telah
memperkenalkan suku bangsa dan budaya yang tadinya terpencil itu sekarang
menjadi obyek wisata yang masyhur. Sampai disini penulis ingin menegaskan bahwa Husni Djamaluddin tidak saja merelakan jiwanya diamuk badai, tapi juga mewakafkan fikirannya dikabuti embun pegunungan. Dan hampir seluruh kehidupan yang dimilikinya tak pernah sedikitpun terlewatkan untuk bagaimana bisa menghibahkan dirinya secara utuh buat Mandarnya. Terbukti, setelah segala perjuangannya tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat usai dilembar negarakan di Senayan. Sebulan kemudian ia tersenyum menghadap sang pencipta-Nya. Senyum itu ia bawa pergi dan ribuan orang Sulbar tanpa sadar melelerkan air matanya untuk mengairi 7 sungai dari hulu sampai muara. Itulah Husni Djamaluddin yang hari ini dibincang biasa bersama orang-orang yang luar biasa. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar