Sabtu, 28 Januari 2017

DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Kematian Husni dan Air Mata yang Mengairi Tujuh Sungai” (Bagian Kedua)




Oleh Muhammad Munir
  
Husni Djamaluddin lahir adalah sosok malaqbiq yang lahir di Tinambung Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 10 November 1934. Ia wafat  24 Oktober 2004 tepat 1 bulan setelah perjuangan Pemebentukan Provinsi Sulawesi Barat ketuk palu di Senayan. Warisan terbesarnya untuk Mandar adalah Provinsi Sulawesi Barat dan Kata Malaqbiq yang menjadi ikon Sulawesi Barat. Begitupun ia mewariskan banyak karya besarnya untuk Indonesia antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).
Ia adalah salah satu tokoh besar yang dimiliki Mandar. Selain penyair ia juga seorang kolumnis, wartawan senior dan politikus. Jasa-jasanya terhadap pembentukan Provinsi Sulawesi Barat adalah manivestasi cintanya pada Mandar yang mungkin tak semua orang mampu dan peduli untuk melakukannya. Bahkan pada saat Sulawesi Barat disahkan dalam rapat paripurna di DPR RI, ia datang dengan menggunakan kursi roda, sebab saat itu ia dalam keadaan sakit parah. Dan kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ini ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari Mandar ini. Malaqbiq terpancar jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat Ketua Dewan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat ini.
Penyair handal yang dijuluki  Panglima Puisi ini adalah sosok yang energik dan mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita Mandar dengan sangat sabar hingga menjadi Lipa’ Sa’be yang terkenal ke penjuru nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam menenun benang putih yang  kemudian lekat menjadi kappung bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana melo’ di cingga’ melok di lango-lango. (aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi warna). Penggalan kata “bannang pute” yang berarti benang putih tersebut sekaligus melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin “Sang Bannang Pute”.
Berbicara pembentukan Sulbar, peran Husni jelas tak bisa diragukan. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti almarhum Baharuddin Lopa, alm Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat Hasanuddin, Ma’mun Hasanuddin, Naharuddin, Anwar Adnan Saleh dan banyak lagi yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai pejuang-pejuang Sulbar. Hal ini merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang panjang dan tak kenal menyerah.
Catatan ini penulis ambil dari ringkasan beberapa testimoni dan pernyataan beberapa tokoh yang menulis tentang beliau. 3 buah buku tentang Husni Djamaluddin yang sempat penulis bawa pulang dari acara Launching Rumah Budaya Husni Djamaluddin kemarin (jumat, 27/01) cukup memberi informasi bagi penulis untuk disarikan kepada khalayak tentang siapa sosok Malaqbiq Husni Djamaluddin. Ketiga buku tersebut adalah Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal, Adakah Kita Masih Bertanya? dan INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku?.
Buku “ INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku ? “ yang berisi kumpulan puisi Husni Djamaluddin dalam rentang waktu 1934-2004 adalah wisata di tengah alam yang sejuk sembari melintasi sejarah-sejarah yang pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh penyair nasional lainnya. Dalam sajak-sajak Husni, kita akan menemukan banyak pencitraan tentang laut, lagi-lagi ini adalah hal yang wajar sebab Husni memang lahir di Mandar. Mandar adalah peradaban identik dengan dua elemen yang bahan dasarnya air, yaitu air sungai dan air laut. Mandar adalah pelaut ulung meski tak harus menyebutnya orang laut, sebab Husni telah menghibahkan dirinya dalam sajak “Akulah Laut”. Husni Djamaluddin mencoba mengindentifikasikan dirinya dengan laut yang surut dan yang pasang.
Dalam pencitraannya tentang laut, tentu saja tidak penting menyebut orang Mandar sebagai orang laut? Sebab kemudian Husni Djamaluddin tak hanya piawai membincang laut yang pada akhirnya ia harus menghadapi kenyataan ombak yang ditolak oleh tepinya. Selain itu, Husni juga adalah sosok yang piawai membincang budaya pegunungan  yang diusungnya melalui sajak tentang Toraja. Husni berhasil mengabadikan tentang jenazah yang masih basah, tentang kepala yang tinggal tengkorak, tentang belulang yang dipeti ukir, tentang gua-gua yang berbukit kapur dan tentang kerbau, babi dan tuak. Melalui sajak-sajaknya tentang Toraja, tidak saja memperkaya perpuisian dan kesusastraan Indonesia, tapi sekaligus telah memperkenalkan suku bangsa dan budaya yang tadinya terpencil itu sekarang menjadi obyek wisata yang masyhur.  
            Sampai disini penulis ingin menegaskan bahwa Husni Djamaluddin tidak saja merelakan jiwanya diamuk badai, tapi juga mewakafkan fikirannya dikabuti embun pegunungan. Dan hampir seluruh kehidupan yang dimilikinya tak pernah sedikitpun terlewatkan untuk bagaimana bisa menghibahkan dirinya secara utuh buat Mandarnya. Terbukti, setelah segala perjuangannya tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat usai dilembar negarakan di Senayan. Sebulan kemudian ia tersenyum menghadap sang pencipta-Nya. Senyum itu ia bawa pergi dan ribuan orang Sulbar tanpa sadar melelerkan air matanya untuk mengairi 7 sungai dari hulu sampai muara. Itulah Husni Djamaluddin yang hari ini dibincang biasa bersama orang-orang yang luar biasa. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar