Sabtu, 14 Januari 2017

ORANG MANDAR PELAUT ULUNG: Pelaut Mandar Adalah Ahli Astronomi (Bagian Kedua)



Tulisan ini adalah Makalah yang disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10 November 2016:

B. Pembahasan

Julukan Orang Mandar Pelaut Ulung sangatlah tepat. Beberapa penemuan dan bukti-bukti yang mendukung julukan tersebut dapat kita temukan melalui kajian sejarah di tanah Mandar. Penemuan yang paling berharga bagi pelaut Mandar dalam mengarungi samudera ke berbagai negeri di Nusantara adalah telah ditemukannya Teluk Tomini. Bukan hanya itu, pelaut Mandar juga mendirikan kerajaan Kasimbar dan kerajaan Moutong di wilayah teluk Tomini di sekitar abad ke-16 Masehi. Teluk Tomini di kabupaten Parigi Moutong, provinsi Sulawesi Tengah adalah teluk terbesar di dunia dan merupakan segitiga terumbu karang (Coral Triangle) terbaik dunia, dengan luas 1.031 hektar, memiliki hutan mangrove seluas 785.10 hektar dan Taman Nasional Laut Kepulauan Togean dikenal sebagai “The Heart Of Coral Triangle“. International Hydrographic Organization (IHO) Mendefinisikan sebagai salah satu perairan Kepulauan Hindia Timur.

Tomini berasal dari bahasa Mandar dengan asal kata “ Tau dan Mene “. Tau artinya orang dan Mene berarti naik atau baru datang. Dalam bahasa lokal (bahasa Kaili) berarti orang yang baru datang, karena yang baru datang di teluk terbesar dunia itu adalah orang-orang Mandar maka orang Kaili sebagai penduduk asli menyebut orang Mandar sebagai Tomene. Dalam perjalanan sejarah, kata Taumene dipengaruhi oleh bahasa dan dialek Tiola maka Taumene berubah menjadi Toumini dan terakhir menjadi Tomini.

Kehadiran pelaut Mandar di teluk Tomini diperkirakan pada abad ke-16 Masehi. Konon ceritanya, orang-orang Kaili Kasimbar bermukim di atas gunung dengan menanam binte (jagung). Mereka turun dari gunung dan tiba-tiba menemukan perahu orang-orang Mandar. Dalam berkomunikasi tentu tidak nyambung tapi orang Mandar memberi bahasa isyarat yang menandakan bahwa mereka bukanlah musuh.

Kehadiran orang-orang Mandar di teluk Tomini, bertepatan dengan adanya imperialisme kerajaan Gorontalo ke negeri-negeri yang ada di wilayah teluk Tomini. Kelompok-kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Olongian-Olongian – kurang lebih sama dengan Tomakaka’ di Mandar (pemimpin komunitas), tidak dapat bekerjasama untuk mengusir penjajah dari negeri lain karena di antara kelompok terjadi pertikaian. Dalam kondisi seperti itu, maka dengan sangat mudah dikuasai oleh kerajaan Gorontalo. Kehadiran orang-orang Mandar di wilayah Tomini dipimpin oleh Daeng Manase dari kerajaan Sendana. Kedatangan orang-orang Mandar diwilayah teluk Tomini berdampak positif bagi kehidupan politik penduduk setempat.

Untuk mengenang kehadiran pelaut Mandar di teluk Tomini, pemerintah kabupaten Parigi Moutong bersama seluruh komponen masyarakat, mengabadikan peristiwa itu melalui tarian Tomene-Tomini. Tarian klosal Tomene-Tomini pernah ditampilkan pada acara penyambutan Presiden Joko Widodo bersama dengan Mantan Presiden Megawati Sukarno Putri serta sejumlah menteri Kabinet Gotong Royong dalam acara “Festival Teluk Tomini Momentum Menuju Sail Teluk Tomini 2015”.

Bukti lain bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung, adalah adanya istilah dalam masyarakat Mandar yang dikenal dengan Mallekka’ dapurang, yaitu kebiasaan orang-orang Mandar pindah ke tempat lain (bermigrasi) dengan membawa serta isi dapur dan lain sebagainya ke tempat tujuan, ada pun yang tidak bisa dibawa serta, mereka jual semuanya. Mereka meninggalkan kampung halaman dengan melalui jalur lalulintas laut dan menggunakan perahu sande’ untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ada juga dengan alasan keamanan karena di kampung halamannya terjadi pemberontakan. Orang-orang Mandar asal Ba’babulo (Pambuang) misalnya  malleka’ dapurang (bermigrasi) ke berbagai daerah di Nusantara karena kampung halaman mereka hangus dibakar oleh pengacau (gerombolan), begitu juga pasukan  gurillah (pasukan Kahar Muzakkar) yang dikenal dengan DI/TII tahun 1950 – 1965. Mereka bermigrasi ke Pulau Kalimantan, khususnya ke Pulau Laut, Karassiang, Tanjong Saloka, Karajaan, Tali Sayang, Masalima, dan beberapa daerah lain. Pemikiran di atas juga diperkuat oleh Said dan Prabowo (2010), dalam buku “Diaspora Bugis dalam Alam Melayu Nusantara“.

Akar kemaritiman orang-orang Mandar dapat diketahui dari beberapa literatur yang banyak mengkaji jiwa orang-orang Mandar. Cristian Pelras dengan tegas mengemukakan dalam bukunya The Bugis (1996) bahwa sebenarnya orang bugis bukanlah pelaut ulung seperti yang banyak dikatakan orang selama ini. Orang Bugis sebenarnya adalah Pakkambilo (pedagang) dan yang mengantar sampai ke pulau-pulau atau daerah tujuan adalah perahu sande’ orang Mandar. Laut dan perahu hanyalah  media atau sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung maka paling tepat sebutan itu ditujukan pada orang orang Mandar. Dalam lontar di Mandar, banyak sekali ditemukan pantun yang berhubungan dengan kemaritiman dan itu merupakan salah satu bukti bahwa orang Mandar sudah sangat akrab dengan kehidupan laut sejak jaman dahulu kala. Berikut ini adalah beberapa contohnya :
1)   Tania tau passobal                    : Bukanlah pelaut ulung
Moa’ mappelinoi                      : Jika menunggu rebahnya ombak
Lembong di tia                        : Justru ombaklah
Mappadzottong labuang.              : Yang mengantarkan pada tujuan.

2)   Lembong tallu di lolangang          : Walau ombak setinggi gunung
Sitonda tali purrus                 : Serta kilat sambar-menyambar
Uola toi                           : Kuarungi jua
Ma’itai dalle’ u.                    : Untuk mencari rezki.

3)   Tikkalai nisobalang                     : Kalau layar sudah terkembang
Dotai lele ruppu                      : Lebih baik tenggelam dan hancur
Dadzi lele tuali                         : Dari pada kembali
Dilolangang.                          : Surut ke belakang.

4)   Moa’ diang mating bura                : Jikalau ada busa menghampiri
Dise’dena lopimmu                       : Di dekat perahu
Dao pettule’                              : Usahlah bertanya
Salili’ u mo tu’ u.                        : Itulah tanda rinduku padamu.

Dalam Memorie Leyds, Asistant Resident Van Mandar (1937 -1940) ditemukan catatan jalur-jalur pelayaran yang ditempuh oleh pelaut-pelaut Mandar (yang berlangsung sampai saat penjajahan Belanda), bukan hanya terbatas sampai Maluku tetapi bahkan sampai ke Papua Nugini. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pelaut dari Sulawesi yaitu suku Mandar, Makassar, Bugis merupakan pelaut ulung yang kerap kali mengarungi lautan hingga ke Madagaskar. Di provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan dikenal ada empat etnis utama yang berdiam di wilayah ini, yaitu etnis Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja. Etnis ini telah menciptakan jaringan luas, tradisi wirausaha dan komunitas persebaran serta pelibatan diri yang lebih jauh dalam segala aspek kehidupan. Dibekali keberanian mengarungi lautan, mereka melakukan pelayaran untuk mencari kehidupan baru yang menjanjikan. Selain itu, banyak di antara para pelaut yang telah melakukan perdagangan sepanjang garis pantai Asia Tenggara merupakan pelaut yang berasal/ orang yang bersuku Mandar, Bugis, dan Makassar. Beberapa tempat yang mereka diami dan tinggali adalah Jawa bagian tengggara, selat Malaka (Malaysia dan Riau), kepulauan Nusa Tenggara (Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timor), kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore dan Seram), Kalimantan (Samarinda, Balik Papan, dan Banjarmasin).

Orang-orang Mandar sudah melakukan perdagangan lintas pulau. Mereka sudah berdagang sampai ke Gersik Jawa Timur, Malaysia Timur, Bangka Belitung, Malaka. Menurut Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH. pedagang Mandar itu disebut Passa’la’ dan Pa’abo. Pa’abo adalah pedagang orang-orang Mandar yang pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah,  kemudian dibawa ke Semenanjung Malaka (Passa’la’) untuk kemudian dijual secara barter dengan produk luar negeri seperti benang, kain (terutama sutera), dan barang pecah belah dari bahan keramik cina (Passa’la’ polei mambawa cawalla). Ada juga yang disebut dengan Pa’jawa atau Passelatan, yaitu pedagang orang-orang Mandar yang menyeberangi laut Jawa. Pattawao’ juga adalah pedagang orang-orang Mandar yang meyeberang sampai ke Negara Malaysia. Perdagangan orang-orang Mandar ini diperkirakan berlangsung sejak abad ke-15 hingga tahun 1990. Koloni orang-orang Mandar di Jawa Timur diabadikan melalui Peraturan Daerah kabupaten Bayuangi tentang Pembentukan kelurahan Kampung Mandar di kecamatan Bayuangi. Di Pulau Panggang – Jakarta Utara, telah ditetapkan Peraturan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Tentang pembentukan kelurahan Lagoa. Lagoa adalah seorang Pendekar Darah Putih asal Mandar yang telah berjasah mengusir bajak laut di kepulauan seribu disekitar abad ke-17, sezaman dengan tokoh legendaries Betawi, Sipitung.

Keberanian orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan perahu tradisionalnya, dibuktikan oleh leluhur KALEMDIKPOL RI, Komjen Pol. Drs. H. Syafruddin Kambo, M.Si. yang mampu menunaikan ibadah haji di Mekkah pada tahun 1889. Keberanian orang-orang Mandar dalam mengarungi samudera didasarkan pada keyakinan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Keyakinan dan ilmu pengetahuan kelautan, dikenal di Mandar dengan sebutan Paissangang Pole’bo’. Mengenai paissangang Pole’bo’ ini, penulis mengklasifikasinya menjadi dua jenis. Pertama Paissangang (mantra) yang dapat memberi keyakinan/semangat bahwa apabila mantra (do’a) dibaca maka hambatan berupa ombak dan badai akan bisa teratasi. Umumnya pelaut di Mandar, yang paling ditakutkan adalah laso anging (angin tornado) dan Indo urang (hujan siklonal), oleh karenanya seorang jurumudi (nahkoda) harus mengetahui mantra yang dapat membelokkan badai. Contoh Mantra : Bismillahirrahmanirrahim – leseo mating anging – nanaolai mating ipanjala-jala lino – laso diting – laso dini. Barakka’ do’a bisa lao di Allah Ta’alah kumfayakum; artinya : Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang – badai yang ada dihadapanku membeloklah – si penjelajah dunia akan lewat –pusaran angin disitu – pusaran angin yang di sini - Berberkahlah do’a mujarab ini karena Allah semata – Maka terkabullah do’a ini.

Paissangan kedua, berupa ilmu pengetahuan (kecerdasan) atau keterampilan. Pelayaran dengan menggunakan perahu layar sangat terkait dengan angin dan cuaca. Apabila anginnya bagus, perahu akan melaju dengan cepat, begitu pula sebaliknya. Angin juga menentukan arah haluan dan kibaran layar. Posisi layar boleh berpindah ke kiri atau ke kanan, tergantung keinginan dan arah yang akan dituju. Ada beberapa istilah yang harus dikuasai oleh seorang jurumudi (nahkoda), sebagaimana dikemukakan Dr. Arifuddin Ismail dalam bukunya Agama Nelayan (2012 : 88), diantaranya adalah sebagai berikut : (a). Bilu’ : perahu diarahkan menghadap arah angin; (b) Turu’ : perahu diarahkan keluar dari arah angin; (c) Tunggeng Turu’ : perahu dibelokkan dengan mengikuti arah angin; (d) Tunggeng Bilu’ : perahu dibelokkan ke arah angin. Penentuan arah tersebut terkait juga dengan posisi layar. Oleh sebab itu, tali yang mengikat pada sumbu bagian bawah layar harus digerakkan dengan lincah. Begitu juga guling (kemudi) yang terdapat di bagian belakang (buritan) perahu harus diseimbangkan dengan arah yang dituju.

Lanjut Dr. Arifuddin Ismail (2012: 89) menyebutkan bahwa pelaut Mandar mengenal beberapa tanda-tanda alam, baik yang ada di laut (gelombang, arah angin, dan arus air), maupun yang ada di daratan (gunung, tanjung, burung, dan tanda-tanda alam tertentu), begitu juga tanda-tanda alam yang ada di langit (awan, bintang-bintang, bulan, dan matahari). Semua tanda alam tersebut dijadikan petunjuk dalam menentukan posisi dan arah perahu. Tanda-tanda alam di laut berupa ombak terkait dengan angin, arus, dan karang. Pelaut Mandar mengenal beberapa jenis lembong (ombak), diantaranya : (1) Lembong kaiyyang (ombak besar); (2) Lembong sirua-rua (ombak sedang); (3) Lembong keccu’ (ombak kecil); (4) Lembong siruppa-ruppa’ (pertemuan ombak yang terjadi karena adanya arus yang saling bertemu dan menimbulkan pusaran air); (5) Lembong silatu-latu’ (ombak yang datang dari berbagai arah). Hubungannya dengan karang laut yang dalam bahasa Mandar disebut taka’, bagi nelayan Mandar – lembong (ombak) dijadikan petunjuk utama. Kalau ombaknya tidak besar, kemudian memiliki jarak yang rapat, ukurannya sekitar 1,5 - 2 meter, jarak antara satu ombak dengan ombak lainnya sekitar 1 meter, itu berarti ada karang laut. Begitu juga, apabila warna air laut sudah tidak terlalu biru, ada perubahan mendadak dari hitam kebiru-biruan menjadi biru muda.

Tanda-tanda alam di daratan seperti gunung, karang, tanjung, burung darat juga digunakan pelaut Mandar sebagai pedoman ketika sedang berlayar. Misalnya, ketika berada di perairan Selat Makassar, dari jauh sudah kelihatan Tanjung Rangas di Majene. Gunung itulah yang dijadikan tanda dalam menentukan arah haluan untuk mendarat. Demikian pula dengan gunung, kalau gunungnya tinggi lagi terjal (berjurang) dan dekat ke bibir pantai, itu berarti lautan di sekitarnya dalam. Begitu juga sebaliknya, bila gunung jauh dari bibir pantai, gunungnya tidak tinggi menjulang, daratannya luas, maka itu berarti lautan di sekitarnya dangkal.

Burung juga membantu para nelayan, jika burung sudah nampak mencari makanan di sekitar perahu, bertengger pada batang pohon yang hanyut, itu berarti daratan sudah dekat. Burung-burung terbang meninggalkan daratan paling jauh 40 kilometer. Burung tersebut orang Mandar menyebutnya burung jagong, bentuknya mirip burung bangau, lehernya panjang, kakinya agak kecil panjang, warnanya hitam bercampur putih keabu-abuan. Burung ini beroperasi di laut pada pagi hari dan kembali ke sarangnya di darat menjelang malam.

Baharuddin Lopa  dalam buku “Hukum Laut : Pelajaran dan Penerapan menyebut tanda–tanda alam lain yang sangat membantu pelaut adalah bintang-bintang yang ada di langit. Pelaut Mandar memahami ilmu astronomi, dari bintang-bintang, mereka dapat memahami pergantian musim dan posisi keberadaannya di laut. Ada empat jenis bintang yang digunakan untuk mengetahui arah dan pergantian musim, diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Balunus, (2) Tallu-tallu, (3) Towalu, (4) Sapo kepang. Sapo kepang, terbit sesudah isya dan menghilang menjelang subuh. Jika bintang sapo kepang sudah tidak kelihatan, para nelayan Mandar akan segera berangkat ke laut. Bintang balunus dapat menandai arah selatan sedangkan Tallu-tallu untuk menentukan arah utara. Petunjuk bintang ini digunakan pada saat berlayar di malam hari. Sedangkan di siang hari, mereka menggunakan arah ombak dan tanda alam lain baik yang ada di darat maupun yang ada di laut. Awan oleh pelaut Mandar, juga dijadikan pedoman dalam mengarungi samudra. Bila sedang berlayar, lalu melewati awan tebal di angkasa raya maka itu berarti perairan di sekitarnya sangat dalam. Bila langit di perairan dijumpai awan yang tipis dan bersisik serta lautannya berombak kecil maka itu berarti disekitar perairan terdapat banyak ikan. Demikian pula di waktu pagi hari, dijumpai awan kemerah-merahan dan menjulang tinggi ke angkasa diikuti dengan terbitnya matahari, maka itu berarti akan terjadi kemarau panjang (paceklik).

Perhitungan bulan Qamariah dan bulan Syamsiah, juga digunakan sebagai pedoman pelaut Mandar untuk turun ke laut. Para nelayan Mandar tidak mau melaut pada perhitungan awal bulan qamariah (1 – 3), juga bulan pertengahan (14 – 16), begitu juga pada hitungan bulan (27 – 30). Tanggal-tanggal pada perhitungan bulan qamariah ini, orang Mandar menyebutnya teppu lotong (langit gelap-gulita). Pelaut Mandar berkeyakinan bahwa pada tanggal-tanggal itu biasanya angin kencang dan ombak besar sehingga ikan sukar didapat. Begitu juga penanggalan Syamsiah, pelaut Mandar menggunakan perhitungan bulan Masehi untuk menentukan musim. Musim barat dimulai pada bulan Oktober – Nopember hingga bulan Maret – April. Musim timur dimulai pada bulan April – Mei hingga September – Oktober. Bila musim timur tiba, nelayan Mandar beraktifitas di laut untuk mencari telur ikan terbang (Pa’otto’/Pattallo’), mencari ikan terbang (tui-tuing/banggulung). Pada musim barat, nelayan Mandar beraktifitas di laut untuk mencari ikan cakalang/bambangang yang dikenal dengan istila Pakkalor/Palladzung. Petunjuk lain yang digunakan nelayan Mandar adalah bulan sabit. Apabila bulan sabit agak miring ke utara, maka yang terjadi adalah musim barat. Musim barat ditandai dengan angin bertiup secara terus-menerus dan kadang kala disertai gemuruh (Guntur) dan hujan lebat. Dan apabila bulan sabit agak miring ke selatan, maka yang berlangsung adalah musim timur.  Angin akan bertiup dari arah tenggara ke barat daya. (BERSAMBUNG)



ORANG MANDAR PELAUT ULUNG : Dari Orang Mandar Orang Laut Ke Orang Mandar Pelaut Ulung(Bagian Pertama)



Tulisan ini adalah Makalah yang disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10 November 2016:

A.   Pendahuluan

Makalah ini pada mulanya berjudul “Orang Mandar Orang Laut”, namun dengan beberapa pertimbangan maka dilakukan penyempurnaan. Berdasar pada  abstrak makalah yang diajukan ke panitia Kongres Nasional  Sejarah X  dan telah dinyatakan lolos seleksi berdasarkan berita acara nomor : 2912/E5/LL/2016, maka makalah ini lebih tepat diberi judul “Orang Mandar Pelaut Ulung – Suatu Tinjauan Historis“. Makalah ini akan disampaikan kepada panitia kongres paling lambat 15 Oktober 2016 dan akan dipresentasikan di Jakarta pada tanggal 5 – 7 Nopember 2016.

Membincang kehidupan bahari, maka tidaklah tepat jika tidak melibatkan cerita tentang pelaut Mandar. Nenek moyang orang Mandar yang dimitoskan selama ini berasal dari langit dan digelar dengan sebutan “Tomanurung”, menurut hemat penulis merupakan kejumudan berpikir generasi Mandar. Penulis berpendapat bahwa Tomanurung, baik Tokombong di bura (orang yang muncul dari busa air) maupun Tobisse di tallang (Orang yang tenggelam lalu muncul dari pecahan bambu) dan Tonisesse’ di Tingalor (orang yang didapat dari perut ikan merah) proses kehadirannya/kedatangannya semuanya berasal dari laut. Begitu juga tokoh legendaris, bapak orang Mandar, Pongkapadang yang berasal dari daratan Ulu Salu  (hulu sungai) yang mempersunting Torije’ne’. Torije’ne’, secara harfiah terdiri dari dua kata; To berarti orang dan Ri-je’ne’ berarti dari air laut. Torije’ne’ adalah seorang perempuan yang menurut hikayat terbawa oleh air bah ke sebuah daratan (Landa Banua) dan ditemukan oleh Pongkapadang di atas perahu yang berukuran kecil yang disebut “Olang Mesa“. Perahu Olang Mesa, terbuat dari sebatang kayu golondongan yang dikeruk menjadi perahu yang bentuknya menyerupai lesung. Olang Mesa inilah  menjadi cikal bakal lahirnya perahu tradisonal Mandar, yaitu “Pakur dan Sande’“. Untuk mengabadikan perahu tradisional “Olang Mesa” ini di tanah Mandar (wilayah Provinsi Sulawesi Barat), Pemerintah Daerah Kabupaten Majene telah menetapkan Olang Mesa sebagai logo daerah melalui Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Majene No. 3  Tahun 1979 Tentang Lambang Daerah.

Latar belakang perjumpaan nenek moyang orang Mandar di atas, kelak di kemudian hari (1000 tahun kemudian) menginspirasi terbentuknya Negara konfederasi Mandar yang lebih populer dengan sebutan Pitu Ba’ba Binanga dan Pitu Ulu Salu (tujuh kerajaan di darat dan tujuh kerajaan Maritim di pesisir) yang terdiri dari:
a.  Kerajaan maritim, yang meliputi: 1) Kerajaan Balanipa, 2) Kerajaan sendana, 3) Kerajaan Banggae, 4) Kerajaan Pambuang, 5) Kerajaan Tappalang, 6) Kerajaan Mamuju, 7) Kerajaan Binuang.
b. Kerajaan di hulu sungai, yang meliputi : 1)Kerajaan Tabulahan, 2) Kerajaan Rattebulahang, 3) Kerajaan Aralle, 4) Kerajaan Bambang, 5) Kerajaan Tabang, 6) Kerajaan Mambi , 7) Kerajaan Matangnga.

Oleh karena itu, tidaklah berlebihan jika penulis berpendapat bahwa jauh sebelum naskah sumpah pemuda dicetuskan 28 oktober 1928, Negara konfederasi Mandar sudah menerapkan konsep “Tanah dan Air”. Air yang dimaksud tentulah tujuh Kerajaan Maritim di pesisir Mandar, yang panjang pantainya kurang lebih 600 km, memanjang dari utara ke selatan. Dan tanah yang dimaksud adalah tujuh Kerajaan di Hulu Sungai (Pegunungan Mandar).

Bukti dalam sejarah yang menunjukkan bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung ialah orang Mandar telah menjadikan lautan sebagai lahan kehidupan. Orang Mandar umumnya hidup dari hasil laut karena kondisi alamnya di daratan tidak menguntungkan (kurang subur), juga pemukiman penduduk berjejer - berderet berhadapan langsung dengan laut lepas. Itulah yang membuat orang-orang Mandar menjadi pelaut, baik sebagai saudagar antar pulau maupun sebagai nelayan (penangkap ikan di laut).

 Bukti sejarah lain yang menunjukkan kepada khalayak bahwa orang Mandar sangat akrab dengan kehidupan laut adalah terciptanya sebuah teknologi tradisional yang disebut “rumpon”. Rumpon merupakan alat bantu penangkapan ikan yang ramah lingkungan, dipasang di laut dalam maupun di laut dangkal. Rumpon dibuat untuk mengundang gerombolan ikan agar datang bernaung/berlindung sehingga memudahkan nelayan dalam menangkap ikan. Teknologi rumpon diduga pertama kali diciptakan dan dikembangkan oleh nelayan Mandar, demikian pendapat Dr. Horts Leibner, seorang peneliti dari Jerman. Dalam  penelitiannya menyebutkan bahwa nelayan Mandarlah yang menciptakan dan menyebarkan teknologi rumpon ini ke berbagai daerah di Nusantara.

Di Mandar sudah berkembang pemakaian rumpon sebagai alat penangkap ikan sejak abad ke-17 Masehi. Rumpon berasal dari bahasa Mandar, dari kata roppong atau rappang yang berarti rumput. Dalam sejarahnya, pada zaman dahulu, di pesisir pantai atau alam laut teluk Mandar, berserakan rumput yang dibawa oleh air sungai, begitu juga rumput kiriman dari pulau Kalimantan. Rumput yang berserakan berupa daun kelapa, daun pisang, pohon bambu, batang pohon bakau, tongkol batang nipa, dan lain sebagainya. Rumput yang berserakan dijadikan ikan sebagai tempat bernaung dan itulah yang menginspirasi nelayan Mandar dalam menemukan/menciptakan rumpon fish aggregating device (FAD).

Menurut Baharuddin Lopa, roppo (rumpon) yang dipasang pada zaman pemerintahan tradisional, dijadikan sebagai batas daerah teritorial laut dari kerajaan. Roppo (rumpon) yang dipasang di tengah pada  wilayah laut yang mencapai kedalaman 200 – 1.800 meter misalnya merupakan batas wilayah yang masuk dalam hukum tentang landasan continental (tebing dasar laut). Sementara roppo yang dipasang jauh melewati tengah laut sudah berada pada zona ekonomi ekslusif (ZEE).

Orang yang pertama kali menciptakan roppo dan sande’ tidak diketahui secara pasti. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akan ditemukan dalam catatan sejarah bahwa ada seorang raja di Mandar yang digelar Tomissawe di Mangiwang dan Tomatindo di Balitung (Raja Sendana), beliau telah banyak melanglang buana ke berbagai negeri di Nusantara dengan menggunakan perahu sande’. Raja ini telah menjadikan pelabuhan Pulau Taimanu’ di Palipi Sendana sebagai bandar niaga kala itu. Beliaulah yang mendatangkan bibit pohon jati yang diperoleh dari Bangka Belitung. Hamparan pohon kayu jati yang berpuluh-puluh hektar sebagai amal jariah  Tomatindo di Balitung, dapat kita temukan di wilayah bekas pusat Kerajaan Sendana, di bukit Podang.

Asbabunnuzul rumpon di Mandar, juga menginspirasi raja Tomatindo di Balitung melahirkan falsafah bagi para pemimpin di Mandar yang mengatakan bahwa seorang mara’dia (raja) hendaknya menjadi roppo (pelindung) bagi rakyat yang dipimpinnya. Seorang raja, ibarat pohon yang hanyut di lautan (rumpon), di bawahnya ada rakyat yang sedang berlindung dan bernaung. Falsafah itu lengkapnya sebagai berikut : ”I’o dziting bunga kodza’ dao melo’ nisullu’ moa’ tania to mamea gambana. To mameapa gambana tamma’ topa mangayi, marete’ topa pano pindang dadzanna. Pano pindang di dzadzanna paindo mesa-mesa naindo naung ku’bur meghara-ghara. Ku’bur mo meghara-ghara, lembong memonge-monge’, labuang pio’ - namaccappu’i nyawa
  
Makna harpiah dari falsafah di atas, kurang lebih seperti ini: I’o dziting bunga kodza’. Bunga kodza’ adalah lambang kaum adat di Mandar, kurang lebih sama dengan Bate Salapang di Kerajaan Gowa/Makassar dan Arung PituE bagi kerajaan Bone, Hulu Balang di Kerajaan Melayu. Dao melo’ nisullu’ artinya jangan mencalonkan jadi mara’dia (raja),  moa’ tania to mamea gambana artinya kalau bukan sosok manusia yang memiliki moral, teguh pendirian, konsisten, adil, jujur dan berani di atas kebenaran, (odziadza – odzibiasa), tegas, serta kuat jiwa dan raganya, bijaksana dalam mengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak. Tomameapa gambana tamma’ topa mangayi artinya selain tegas, jujur, juga luas dan dalam ilmunya, utamanya ilmu yang menyebabkan takut kepada Allah, memiliki kecerdasan intelektual, memahami kondisi geografis dan demokrafis daerah, memiliki keahlian dalam memimpin serta paham benar tata kelola pemerintahan dan kemasyarakatan.

Memiliki kecerdasan emosional yang dimaksud di atas adalah dapat berbaur dengan rakyat yang dipimpinnya, mengetahui serta merasakan penderitaan rakyat sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik, hidupnya diabdikan/diwakafkan untuk kepentingan rakyat. Itulah sebabnya sehingga di masyarakat Mandar lahir falsafah yang berbunyi moa’ nitami balimbunganna mara’dia siola se’ i adza, tuomi tau tammate yang arti harpiahnya sebagai berikut jika sudah nampak mata bubungan atap rumah raja dan para pemangku adat, maka harapan hidup sudah terbangun.

Memiliki kecerdasan spiritual maksudnya adalah bahwa seorang pemimpin harus sadar bahwa jabatan yang disandang merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui perwakilannya sappulo sokko’(sepuluh anggota lembaga adat) dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT.

Marete’ topa pano pindang dadzanna artinya memiliki pengalaman yang banyak dalam memimpin organisasi, baik organisasi pemerintahan, organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Seorang pemimpin yang handal bukan karbitan (tania anu nisou maksudnya ibarat pisang yang diperam hingga masak, masak belum waktunya). Pemimpin karbitan dan dipaksakan memimpin meskipun tidak mampu bakal akan menemui masalah hingga pada akhirnya ia akan dipaksa turun atau berhenti dari jabatannya lewat aksi unjuk rasa.

Pano pindang di dzadzanna paindo mesa-mesa maknanya kepemimpinan yang ia miliki terbukti mampu menciptakan keteladanan, ide dan gagasannya cemerlang serta karya-karyanya bersinar, dirasakan, dan bermanfaat bagi orang banyak.

Naindo naung ku’bur menghara-ghara artinya yang terbaik di antara orang pilihan, memiliki idealisme, pikirannya jernih, gagasan dan ide-idenya bersinar (menjadi falsafah) walau pemimpin tersebut sudah berada di liang lahat. Dan pemimpin yang baik adalah mereka yang  berkarya secara ikhlas, tulus, tidak mengharapkan pujian, yang mereka harapkan adalah  amal jariah yang dapat mengalir walau ia sudah tiada.

Ku’bur mo menghara-ghara lembong memonge-monge artinya mereka yang rela mengorbankan jiwa dan raganya, tidak peduli dengan dirinya sendiri, keluarga dan kerabat, serta kelompoknya demi kepentingan orang banyak. Tarrare di tindo, tannasai’ tanggal, tannayappangngi cipur, o nanasurung lewa pa’banua, o nanasurung tumballe’ lita’ maksudnya Tidurnya di malam hari tak nyenyak karena memikirkan rakyat yang tak makan di malam hari. Di siang hari tak kenal lelah, tepat waktu, disiplin, bekerja secara professional demi wilayah yang dipimpinnya.

Lawuang pio’ (Rumpon) namaccappu’ i nyawa artinya rela membela dan melindungi kepentingan kaum marginal, rakyat kecil, demi kesejahteraan masyarakat secara umum walau jiwa jadi taruhannya. Pio’  adalah sejenis ikan kecil yang hidupnya bergerombol, bernaung di bawah pohon besar (roppong) yang terapung di lautan. Itulah pemimpin, ibarat pohon yang hanyut di lautan dijadikan rakyat sebagai tempat  bernaung sehingga kelangsungan hidupnya tidak terancam. Mo siasollor bandangang, siasolli’ mata gayang, sisembe’ kondobulo, siapi’  bulang anna’ lita’, moa’ nitami balimbunganna mara’dia siola seiadza’,  tuomi tau tammate, mapiami takkadzake’ maknanya segala kemelut dan penderitaan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, masyarakat tidak perlu khawatir karena kita sudah terlindung dan dinaungi oleh pohon besar yaitu mara’dia/ raja dan kaum hadat (rumpon).

Memaknai falsafah leluhur Mandar di atas, dapat disimpulkan bahwa budaya Mandar mengharapkan sosok pemimpin yang memiliki idealisme kerakyatan, memiliki moral force yang tangguh serta rasa optimisme yang kuat dalam mencapai  cita-cita luhur seluruh rakyat. Menjelang pemilihan kepala daerah serentak di seluruh Indonesia, penulis menyarankan kepada partai politik dan masyarakat  pada umumnya untuk memilih pemimpin yang ingin menjadi pelindung “roppo” bagi rakyat yang dipimpinnya.

Sejalan dengan falsafah di atas, seorang raja yang terpilih (khususnya di kerajaan Sendana dan Pambuang) dilantik diatas punggung penyu karena penyu memiliki nilai filosofis bagi seorang raja di Mandar. Penyu sebagai simbol bahwa seorang pemimpin yang letak geografisnya berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu. Penyu, merupakan jenis hewan laut yang dalam bahasa Mandar disebut Pannu.  Filosofis serta makna yang terkandung dalam penyu adalah : 1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun. Diharapkan raja dapat bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat. 2) Penyu mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Ini berarti bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung  yang sumber kehidupannya berada di laut. 3) Penyu itu berpenampilan pendiam tapi ketika mencari makanan di lautan pantang menyerah pada ombak besar. Dan ketika kembali ke darat untuk bertelur, telurnyapun tidak sedikit. Itulah sebabnya orang-orang Mandar dengan gagah berani menyeberangi lautan dengan perahu “Sande’nya”. Begitu juga dengan gagah dan berani mempertaruhkan hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah pada laut yang dalam. 4) Penyu itu berkulit tebal untuk melindungi tubuhnya dari predator. Diharapkan raja dapat melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Untuk mengenang penyu di Mandar maka diabadikan melalui kue Mandar yang disebut “Tallo’ Pannu”.

Begitu juga perahu sande’ merupakan bukti bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung. Perahu sande’ digunakan sebagai alat transportasi dalam melakukan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara. Perahu tradisional sande’ adalah hasil cipta orang Mandar yang telah diakui sebagai warisan budaya nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dengan nomor registrasi : 154004/B/MPK.A/DO/2014. Perahu tradisional sande’ juga telah terlibat dalam dunia perdagangan maritim dan telah berlayar sampai ke Tumase’ (Singapura = Tumasik).

Dalam pengembaraan niaga orang-orang Mandar, telah banyak menemukan pulau-pulau tak berpenghuni dan mereka mendiaminya. Itulah sebabnya sejak tahun 1930 telah menetap 216 orang dari Afdeling Mandar di Kepulauan Paternoster. Menurut Edwar L. Palenggomang bahwa Kepulauan Paternoster salah satu pulaunya adalah pulau Lerek-lerekkan. Pulau Paternoster, oleh Pemerintah Hindia Belanda telah ditata wilayah pemerintahannya dan menjadi wilayah kekuasan kerajaan Mamuju (onder afdeling Mamuju) yang pusat pemerintahannya berada di Majene. (Bersambung)

Teori Evolusi Darwin Versus Teori Bare Lesang Prof. Lamboruso

Oleh: Muhammad Munir
Rumah Kopi dan Perpustakaan (Rumpita) Kandemeng kerap secara kebetulan menjadi ruang yang tiba-tiba saja mengubah takdirnya sebagai aula untuk diskusi budaya. Adalah Tammalele atau Abdul Mujib alias Prof. Dr. Lamboruso dan atau siapalah. Yang pasti saya seketika tersedak ketika mendengar sebuah cerita yang kira-kira judulnya adalah "Bare Lesang" (Pembagian barang ala monyet).

Suatu ketika terjadi kesepakatan antara kucing dan anjing disebuah halaman rumah Lamboruso. Kesepakatan itu lahir dari sebuah kondisi yang menyebabkan keduanya harus bekerja sama untuk mendapatkan makanan. Si Kucing yang lihai memanjat didaulat untuk mendapatkan seekor ikan asing diatas bate-bate (tempat penyimpanan ikan dan kayu bakar diatas tungku dapur). Kesepakatan kedua intinya, jika ikan tersebut jatuh sampai ke tanah, maka ikan tersebut adalah jatah anjing, demikian juga sebaliknya. Maka dengan penuh optimisme yang tinggi, kucing segera beraksi dan memanjat sampai keatas bate-bate. Entah karena lompatannya kurang cermat, ikan yang menjadi targetnya lepas dan jatuh hingga menyentuh tanah.

Jika keduanya konsisten, maka anjinglah yang mempunyai hak penuh untuk barang yang jatuh ke tanah tersebut. Tapi Si Kucing mencoba persuasif dan menggoda Si Anjing. Awalnya anjing bersikukuh untuk mempertahankan dan menganggap Si Kucing tidak konsisten. Namun lagi-lagi si Kucing berdiplomasi bahwa "Matindoi adaq muaq diang assamaturuang" (Hukum menjadi gugur ketika terjadi kesepakatan). Karna Kucing tidak menggugat, maka Si Anjing tergugah untuk berbagi demi menjaga persahabatan keduanya. Maka kesepakatan keduanya terjadi. Ikan di bagi dua dan pembagiannya mesti imbang.

Masalah kemudian muncul ketika tiba pada proses menyeimbangkan bagian masing-masing. Dalam kondisi seperti itu, Monyet (Lesang) datang memberi solusi dengan menawarkan jasa timbangan (dacing). Keduanya sepakat untuk menerima tawaran Si Monyet. Monyet pasang wibawa dan menjaga sikap agar Si Anjing dan Si Kucing bisa menerima hasil pembagian ala monyet. Monyet menimbang ikan untuk pembagian yang adil.. Tentu saja tidak bisa imbang, karena jasa yang ditawarkan Si Monyet hanya modus belaka. Si Anjing protes karena takarannya tidak seimbang, demikian juga Si Kucing.

Solusi yang ditawarkan si Monyet adalah dengan silih berganti mengambil sedikit demi sedikit ikan yang ada di timbangan tersebut. Hasilnya selalu tidak seimbang, dan tentu saja monyet mendapat kesempatan untuk terus mengurangi takaran secara bergantian. Hingga tanpa sadar, Monyet menghabiskan ikan tersebut.

Cerita ini mungkin tidak menarik, tapi ada hal yang bisa ditarik sebagai pelajaran dan hikmah tentang methode "Bare Lesang" yang di negara kita sistem ini bukan hal baru. Saya tentu tidak harus menjelaskan lagi siapa sebagai apa, tapi siapa melakukan apa dan sampai pada apa dan siapa yang melakukan. Monyet memang punya takdir yang lebih beruntung hadir mewarnai berbagai peradaban dunia, karena monyet lahir sebagai binatang dan manusia menjadikannya sebagai jenis hewan homosimbolitikum. Tak perlu meneliti fosil monyet sebagai homosimbolitikum, sebagaimana homosoloensis, homowajakkensis dan homo-homo lainnya.

Cukup hari ini kita baca teori Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari monyet. Sampai disini, mungkin tak penting buat kita menyerapahi Darwin dengan menarasikan berbagai sanggahan dalam bentuk hasil penelitian dan karya ilmiah, sebab saya yakin Darwin-lah monyet itu, dan monyet itu bisa saja dari Darwin. Monyet sungguh beruntung, punya garis tangan dan guratan dahi yang dipenuhi bulu yang memang nyaris sebentuk dengan postur manusia. Sepanjang sejarah peradaban manusia, monyet memang menjadi satwa yang unik, dilindungi habitatnya, dijaga dan kadang dieksploitasi karena hanya modal topeng, maka model monyet berubah jadi topeng monyet. Lagi-lagi monyet bisa jadi modal.

Lalu apa rahasia tuhan dengan melestarikan hewan yang berjenis monyet ini? Entah kebetulan atau apa, yang pasti pamor monyet menjadi begitu meroket ketika manusia ikut menanggapi pernyataan Bapak Monyet sedunia (Charles Darwin). Dan hari ini, saya melihat teori Darwin masih kurang lengkap, sebab ternyata di Indonesia ada monyet dan manusia yang hampir tak bisa dibedakan antara keduanya. Ada monyet yang dipelihara oleh manusia, ada manusia yang dijaga monyet, ada manusia yang jadi monyet, dan ada monyet yang punya kemampuan sama dengan manusia. Lalu apakah monyet adalah manusia atau manusia adalah monyet? Anggap ini sekedar upaya untuk memanusiakan monyet tanpa harus memonyetkan manusia, sebab tanpa itu, monyet di Indonesia tak akan mampu kita hilangkan jejaknya, sebab ia dijaga-dilindungi oleh manusia. Bahkan tabiat, karakter dan sifat monyet dibudayakan selain sebagai pembudidaya monyet.

Terkait karakter dan sifat monyet, secara bentuk dan sifatnya yang serakah, monyet memang sosok yang tepat dengan tabiat itu. Ketika monyet melihat makanan, ia pasti menjadi yang paling rakus, mulutnya ia suapi sampai tersumpal, tangan dan kakinya pun penuh dengan makanan, bahkan melihat temannya dapat makanan, ia sudah pasti menyergap untuk coba merebut. Itulah monyet, bahkan ketika terpaksa harus membagi makanan, pembagiannya pasati dengan teori monyet.
Sampai disini, saya minta manusia jangan marah ketika membaca narasi yang menyandingkan nama monyet dengan manusia, sebab monyetpun belum tentu terima, bahkan boleh jadi, monyet juga marah dan menggugat karena malu namanya dicatut dan diserupakan manusia oleh manusia.

Mengoreksi Koruptor ala Monyet

Monyet mungkin hanya akan menjadi sejarah sebab Darwin mengapresiasinya. Tapi ketika monyet menjadi jati diri manusia, maka namanya bukan lagi monyet, tapi ia menjadi koruptor. Koruptor itulah monyet yang dimaksudkan oleh Charles Darwin. Lihatlah pejabat kita yang korupsi. Bukankah monyet bisa lebih berharga dari pada para koruptor. Korupsi yang mendarah daging di Indonesia adalah wujud dari teori evolusi sekaligus eksploitasi yang melupakan jati diri sebagai manusia. Apakah ketika manusia menjadi monyet, maka monyet akan bersuka ria? Tidak. Ia mungkin sedih, sebab hutan-hutan akan dibalak, habitat mereka dihutan tentu punah. Ketika Koruptor menjadi-jadi, maka musnahlah monyet secara hakiki. Sebab habitatnya punah, jati dirinyapun diambil alih oleh manusia.

Monyet berdasi itu semakin menyulitkan, menyulitkan kawanan monyet lain, menggagalkan upaya kita untuk menempuh jalur bisnis yang lurus, bersih dan jujur. Meski urusan bisa berjalan lancer, namun budaya saling pengertian bahkan semua bisa diatur sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu. Inilah yang menggurita dan sangat berdampak buruk bagi individu, masyarakat dan negara. Pelaksanaan tender  proyek di instansi pemerintahan misalnya, seperti proyek pengadaan barang dan jasa, pembangunan, bahkan sampai dengan kasus PAPA minta SAHAM Freeport dan lain-lain.
Semua akhirnya berjalan tidak sesuai yang diharapkan dan jauh dari apa yang namanya profesional. Nilai kontrak dalam pengadaan barang sering kali di ma­rk up atau digelembungkan terlebih dahulu sesuai dengan kesukaan mereka sebelum dilaksanakan dan dikerjakan oleh rekanan atau kontraktor. Dan sudah bukan rahasia umum lagi, bahwa setiap pegawai yang melaksanakan pekerjaan seperti itu akan mendapat bagian atas tanda tangannya tentunya. Padahal mereka semua sudah mendapatkan gaji dari pemerintah atau negara. Bagaimana uang seperti itu bisa mengalir kepada mereka, padahal tidak ada dalam perincian anggaran.

Oh monyet, ini bukan lagi sebatas teori, yang pasti saat mark up dilakukan, upeti dijalankan, hasil kerja tidak akan sesuai dengan yang diharapkan dan jauh dari apa yang namanya profesional. Karena sering kali saling pengertian tersebut ditempuh, secara otomatis akan menurunkan komponen dan spesifikasi pekerjaan. Meskipun pekerjaan seperti itu, semua bisa lolos dari unsur pengawasan dan pemeriksaan, semua karena “SALING PENGERTIAN”


Kini saatnya monyet berdasi itu dikarantina, direhabilitasi untuk kembali menjadi manusia, sebab jika tidak bahkan monyetpun akan berdemo, karna hak-hak mereka yang azasi telah dicaplok oleh manusia. Hentikan teori Bare Lesang !

Pencanangan GIM di Mandar


MENULIS PUISI


Kutulis puisi dibola matamu
Agar aku dengan leluasa hidup dikornea matamu
Kutulis puisi dibibirmu
Agar lisanmu terjaga mengeja namaku
Dengan bola mata dan bibirmu
Aku puas berpuisi meski kadang harus puasa karnamu
Dimatamulah aku memasung riduku
Dan dibibirmu sempat aku nikmati kata jujurmu

Aku memang harus selalu menulis puisi
Sebab kutahu dimata dan bibirmu kulihat banyak puisi
Puisi yang ditulis oleh mereka yang punya rasa sama denganku
Dan puisi-puisi itu tak harus kubiarkan merongrongku
Sebab aku belum bisa merampungkan puisiku jadi kolekserium dihatimu
Aku memang harus selalu menulis puisi
Sampai kutemukan jazadku lebur di lidah jiwamu
Dan segala tentangmu kanikmati bagai puisi

Bola mata yang indah dan bibirmu yang basah
Adalah makhluk tuhan yang tercipta dari sifat-Nya
Maka izinkan aku mensifati sifat tuhan itu diduniamu
Agar duniaku yang terpagut cemas berkemas menjadikanmu emas
Hingga kau menemukan diriku menjadikanmu kehormatan
Bukan sebagai penikmat yang hanya mengikis malam dengan birahi
Dengan bola mata itu, tataplah aku apa adanya
Dengan bibir itu basahilah dengan rasa syukur apa yang ada
Kelak kita akan terbaca dan semak bibir akan memuji
Untuk kita jadikan pujaan hidup dalam memuja Tuhan

                                                Barane,
                                                Dua Delapan Januari

                                                2015 


ANDI KUBE DAUDA : Pencetus Slogan Tarrare di Allo Tammatindo di Bongi


            Andi Kube Dauda[1] lahir di Sengkang, Wajo. Ia masuk sekolah dasar di kampung kelahirannya sampai menjelang naik ke kelas 6. Ia pindah ke Makassar dan tinggal dirumah pamannya. Setamat SD ia melanjutkan sekolahnya di SMP Nasional Makassar, dilanjutkan ke SMA katolik di Surabaya, Jawa Timur.
           
Selesai SMA ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Airlangga, Surabaya, tapi tak sampai satu tahun sebab kesulitan biaya kuliah. Kiriman dari orang tuanya di kampong tak lagi bisa ia harapkan sebab di Sulawesi Selatan saat itu sedang terjadi pergolakan besar yang digerakkan oleh Kahar Muzakkar. Jangankan biaya kuliah, untuk biaya hidup di Surabaya saja sudah sangat silit.

            Untuk menyiasati kesulitan biaya hidup, ia akhirnya memilih bekerja di sebuah perusahaan Watras-Wajo Trading System Compeny milik orang Wajo di Surabaya. Ia bekerja selama empat tahun dan setelah merasa kondisi keuangannya mulai membaik, ia kemudian melanjutkan kuliahnya, namun lagi-lagi tak sampai selesai.

            Pada tahun 1958 orang tuanya di Sengkang memanggilnya untuk pulang kampung. Di Wajo ia diangkat jadi pegawai negeri sipil. Menjadi PNS membuatnya selalu berfikir untuk bisa melanjutkan kuliahnya. Dan kesempatan itu datang setelah bekerja di Pemda Wajo. Ia mendapatkan tawaran beasiswa untuk jurusan Sospol. Kendati sebenarnya ia menginginkan untuk bisa kuliah mengambil jurusan kedokteran atau teknik. Hanya satu pilihan, menerima beasiswa berarti harus mengambil jurusan Sospol.

Begitulah ketentuan dari peluang beasiswa tersebut, sehinga ia harus rela memilih kuliah di Fakultas Sospol UNHAS Makassar pada tahun 1963. Selama di kampus,  ia sempat menjadi Ketua Senat Fakultas Sospol UNHAS dan menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) komisariat Sospol. Ia selesaikan dulu diploma tiga di Sospol. Usai sarjana muda, ia tak langsung pulang ke Wajo sebab di kampus ia dipercaya menjadi asisten dosen sekaligus lanjut kuliah hingga sarjana lengkap. Selesai sarjana lengkapnya, pihak kampus menawarkan bea siswa S2 ke Amerika Serikat, namun ia tolak karena statusnya sekolah adalah tugas belajar dari Pemkab Wajo. Ia kembali ke Sengkang dan langsung menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Pemkab Wajo (1971).

Menjadi Kepala Bagian hanya satu setengah tahun dan dipindahkan menjabat Kepala Bagian Umum. Saat Pemilu pertama Orde Baru sudah mulai mendekat, ia kemudian dipercaya sebagai Sekretaris PEMILU 1971. Dengan berbagai pengalaman dibeberapa tempat itulah sehingga ia dipercaya untuk menjabat sebagai Sekda Kabupaten Barru pada tahun 1974-1979.

Dari Barru ia ditarik ke kantor Gubernur Sulsel sebagai Kepala Biro Pemerintahan Umum Pemprov. Sulawesi Selatan. Disana ia hanya bekerja 8 bulansebab pada tahun 1985, DPRD Kab. Bulukumba memilihnya sebagai Buapti Bulukumba untuk periode 1985-1990. Selesai di Bulukumba ia langsung menjabat sebagai Buapti Polmas setelah HS. Mengga memerintah selama 10 tahun (1980-1990).

Ia datang ke Polmas betul-betul menjadikannya sebagai orang asing. Betapa tidak, selain ia harus bekerja dilingkungan orang-orang yang tak mengenalnya, sehingga kondisi ini membuatnya harus bekerja keras untuk memperkenalkan dirinya dimana-mana tak terkecuali masyarakat di pantai dan pegunungan. Dan dalam setiap kesempatan ia selalu menyampaikan bahwa kedatangannya ke Polmas hanya semata-mata mengemban tugas pelaksanaan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kinerja 6 bulan di tahun pertama Andi Kube di Polman adalah membenahi birokrasi. Ia memperkenalkan paradigm baru hakekat birokrasi sebagai pelayan masyarakat banyak. Tahun kedua mulailah ia menyentuh program-program pembangunan yang lebih berwawasan kepentingan public langsung. Termasuk pengembangan pendidikan  dengan cara banyak mengunjungi sekolah-sekolah untuk menyampaikan ide-ide pengembangan SDM.

Cetusannya yang paling terkenal di periodenya adalah “ Tarrare diallo tammatindo dibongi mappikkirri atuwoanna pa’banua”. Inilah yang kerapia sampaikan ketika memimpin apel pagi di kantor daerah Polewali Mamasa, termasuk juga ketika berada di masyarakat yang ia kunjungi.

Dalam lingkungan birokrasinya, ada empat doktrin yang ia sangat tekankan, Pertama, haruspercaya pada diri sendiri. Kedua, harus punya keberanian. Ketiga, harus menguasai bidangnya dan mengembangkan apa yang menjadi tugasnya. Keempat, kreatif dan tidak hanya menunggu perintah atasan. Inti dari keempat doktrin tersebut adalah kemandirian, kreativitas, keberanian dan professional.

“Lakukan saja, kalau ada yang salah nanti saya yang bertanggung jawab. Yang penting dalam melaksanakan tugas punya itikad baik”. Demikian ia menekankan pada pegawainya. Sebab yang terpenting baginya adalah bagaimana masyarakat bisa sejahtera dan mandiri.

Selama menjadi Bupati di Polmas, ia sadar betul bahwa orang Mandar jika mau berhsil memimpinnya bukan dengan kekerasan. Sebab jika yang digunakan adalah kekerasan maka orang Mandar bisa lebih keras lagi responnya terhadap sikap keras yang kita nampakkan padanya.

Kesadaran itulah yang mendorongnya untuk memenage birokrasinya, sehingga yang diutamakan adalah sikap kekeluargaan. Sikap kekeluargaan itu ia tampakkan dengan panggilan “Andik”[2] dan jika ada masyarakat yang mau menghadap ke rumah jabatan, maka ia akan lebih dahulu keluar untuk menjemput para tamunya.

Demikianlah Andi Kube Dauda menjalani hari-harinya sebagai Bupati di Polmas. Bagai pedati yang terus berputar. Hingga mendekati akhir masa jabatannya. Namun sebuah keberuntungan dalam menjalankan tugasnya, sebab jabatan sebagai bupati berakhir Maret 1995, namun jabatan itu baru diserahterimakan pada bulan Agustus. Jadi ia menjalani tugas sebagai Bupati lebih dari 5 tahun.

Selepas menjadi Bupati Polmas, ia pensiun betul di rumahnya Jl. Bau Mangga 13 Makassar. Namun yang mengusiknya adalah dorongan untuk terus belajar dan menambah ilmu pengetahuannya. Hal ini yang membuatnya memilih melanjutkan pendidikan S2-nya dan setelah selesai ia  dipercaya menjadi dosen di STIA-LAN kerjasama UNHAS, Makassar. Di lingkungan kampus kembali ia menemukan kebahagiaan sebab bisa bertemu dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan jenjang pendidikan.

Kebahagiaan lain yang juga sangat ia syukuri adalah karena delapan orang buah cintanya dengan Hj. Faridah (istrinya yang telah mendahuluinya menghadap sang khalik pada 1994) kini sudah sibuk dengan dunianya masing-masing, ada yang jadi birokrat, ada militer, dan ada yang masih kuliah tingkat doctoral.

Sepeninggal istrinya Hj. Faridah, ia memilih melabuhkan hati dan berkeluh kesah kepada seorang perempuan karir, Hj. Andi Syamsiah yang bekerja sebagai Hakim di Pengadilan Agama Kota Makassar. Wanita inilah yang menjadi pendamping hidupnya sejak 1994.[3]




[1] Bupati Polewali Mandar ke-4 periode 1990-1995
[2] Sapaan akrab yang sepada dengan kata dinda atau adik.
[3] Sarman Sahuding, 2006