Oleh: Drs. Darmansyah
(Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Caban Sulawesi-Barat)
A. Pendahuluan
“
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya “, Demikian ungkapan
Bung Karno. Kalimat ini menurut penulis terinspirasi dari kitab suci dan
naskah-naskah kuno yang pernah dikaji oleh
pendiri bangsa ini. Dalam Al-Qur’an misalnya ditegaskan Lakad kana fi qasasihim ‘ibratul li ‘ulil
albab makana hadisan yuftara walakin tasdiqallazi baina yadaihi watafsila kulli
saiy-in, wa hudan wa rahmatan liqaumin yu’minun (Sungguh pada saejarah itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal, Al-Qur’an itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat melainkan membenarkan yang sebelumnya
(sejarah) dan menjelaskan segala sesuatunya dan sebagai petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang beriman (QS : Yusuf : 111). Diayat lain Allah Swt. jelaskan Faqsusil qasasa la ‘allahum yata fakkarun :
Maka ceritakanlah kisah-kisah (sejarah) itu agar mereka berfikir (QS : Al-A’raf
: 176).Dalam sejarah telah dikisahkan jatuh - bangunya peradaban ummat manusia.
Kejayaan Mesir kuno, Sriwijaya, Majapahit dan lain sebagainya hendaknya
dijadikan pembelajaran dalam membangun daerah dan bangsa.
Jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar didunia,
termasuk di Nusantara dapat kita ketahui
dari naskah-naskah kuno. Banyak peradaban ummat manusia yang perna tampil
dimuka bumi ini tapi sudah tidak dikenali lagi karena tidak ada catatan yang
dibuat oleh pelakunya. Tapi oleh Tuhan ingin menjadikan sebagian masa silam
yang perna ada itu sebagai pembalajaran bagi manusia berikutnya – maka Allah
memberitakan melalui kitab sucinya. Peristiwa jatuh-bangunnya peradaban Kaum
Ad, Kota Iram, kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Saba, kisah Nabi dan Rasul,
Fir-aun, Haman, Ashabul Kahfi, kisah Dzulkarnain (Alexander The Great), dan beberapa
peradaban ummat manusia dibelahan bumi ini, semuanya hanya ditemukan dalam
pemberitaan kitab suci baik itu Al-Qur’an maupun dalam kitab Taurat. Dari
informasi kitab suci itulah para sejarawan dan arkeolog diabad modren melakukan
penelitian dan telah menemukan beberapa artefak, bukti fisik bahwa peradaban
masa silam itu, benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kejadian
masa lalu ibarat perak (masalakai) bila
hanya dituturkan secara lisan kepada generasinya, tapi ia akan menjadi emas (mabulawangi) jika ia ditulis(dikitabkan). Saya berpendapat bahwa “
Proses peradaban ummat manusia yang dituturkan secara lisan – akan menguap lalu
lenyap, Tapi bila ia ditulis – akan membumi, berakar dan menjalar “.
Proses
peradaban ummat manusia yang mendiami jazirah Mandar yang mala’bi ini,sangat jarang kita jumpai dalam bentuk tulisan sehingga
oleh pemerhati sejarah (sejarawan) kurang referensi dalam mengangkat peristiwa
itu. Yang ada adalah tuturan dari mulut – kemulut yang keapsahannya diragukan -
mungkin ada yang luput diceritakan atau justru banyak ditamba-tambai. Begitu
juga dimasyarakat Mandar masih ada yang menyimpan naskah-naskah kuno berupa lontar belum dipublikasikan dan
diterjemahkan kedalam tulisan dan bahasa yang mudah dipahami.Semua itu -
generasi Mandar segera sadar, bangun dari tidur, matahari belum terbenam –
ambil penah lalu goreskan.
Inilah
yang mendorong penulis membuat tulisan sederhana ini sebagai salahsatu upaya
menjawab tantangan bahwa jika sejarah keberadaan kerajaan-kerajaan di Mandar
ingin dikenal dan dijadikan mata pelajaran di dunia pendidikan sebagaimana
kerajaan – kerajaan lain seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, Singosari dan
lain sebagainya maka pilihannya harus ditulis dan seterusnya - dan seterusnya.
Berikut
penulis kisahkan sejarah dan pemerintahan kerajaan Sendana sebagai salahsatu
kerajaan yang ada di Mandar. WilayahSa’adzawang (Sendana) semula ditemukan oleh
Daeng Tumana’, Tomakaka’ Tabulahan
dari Pitu Ulunna Salu. Konon suatu
ketika Tomakaka’ Tabulahan bersama
beberapa pengikutnya turun kedaerah pantai untuk mencari kebutuhan hidup –
terutama garam, ikan dan lain sebagainya. Kawasan Sa’adzawang yang panorama
alamnya sangat indah, sehingga Sang Tomakaka’
tergiur untuk menjadikan tempat peristirahatan bagi orang-orang Tabulahan bila
turun kepantai dan lambat laun lokasi ini dijadikan tempat bermukim secara
tetap.
Wilayah
Sa’adzawang berada dipuncak gunung Putta’da’ yang mengarah ke pantai bagian
barat. Karena pemandangannya yang memukau, sehingga orang-orang Tabulahan
menjaganya dengan harapan tidak ada pihak lain yang mendiaminya. Kepemimpinan
awal yang bermukim di Sa’adzawang bergelar “Bawa Tau” yang dipimpin langsung
Daeng Tumana, Tomakaka’ Tabulahan.
Beberapa
dekade kemudian, Datanglah Daeng Palullung bersama istirinya, yang istirinya bergelar
Tomesaraung Bulawang, Dan
kepemimpinan bawa tau yang diperankan oleh Tomakaka’ dilanjutkan oleh Daeng Palullung dengan model
kepemimpinan Tomemmara-mara’dia.Berdasarkan sumber lontar Pattappingang- menyebutkan bahwa Daeng Palullung adalah
putra dari Datu ri Luwuk (Palopo). Dalam lontar dikisahkan sebagai berikut :
Inilah asal-usul Puang di Luwuk, Idaeng Sirua, namanya. Ia meninggalkan Luwuk
menuju Timpuru – Donggala. Dari Timpuru/Donggala ia menuju ke Labuang Rano.
Setibanya di labuang Rano – ia memerintahkan pengikutnya naik kedaratan untuk
mengambil kayu api, setibanya didarat ia dikejar sepotong bara api - karena ia
takut maka segeralah kembali keperahu dan menyampaikan kepada tuannya kejadian
yang dialaminya. Kata Daeng Sirua kembalilah kedarat dan ambil bara itu. Sang
budak pun segera kedarat tanpa rasa takut menangkap bara dan membawa kehadapan tuannya. Daeng Sirua
mengambil bara dan seketika itu ia menjelma menjadi pusaka/keris dan diberi
nama Ijarra’.