Senin, 16 Mei 2016

SEJARAH DAN PEMERINTAHAN KERAJAAN SENDANA 1


Oleh: Drs. Darmansyah 
(Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Caban Sulawesi-Barat)

A.   Pendahuluan

“ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya “, Demikian ungkapan Bung Karno. Kalimat ini menurut penulis terinspirasi dari kitab suci dan naskah-naskah kuno yang pernah dikaji oleh pendiri bangsa ini. Dalam Al-Qur’an misalnya ditegaskan Lakad kana fi qasasihim ‘ibratul li ‘ulil albab makana hadisan yuftara walakin tasdiqallazi baina yadaihi watafsila kulli saiy-in, wa hudan wa rahmatan liqaumin yu’minun (Sungguh pada saejarah itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal, Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat melainkan membenarkan yang sebelumnya (sejarah) dan menjelaskan segala sesuatunya dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman (QS : Yusuf : 111). Diayat lain Allah Swt. jelaskan Faqsusil qasasa la ‘allahum yata fakkarun : Maka ceritakanlah kisah-kisah (sejarah) itu agar mereka berfikir (QS : Al-A’raf : 176).Dalam sejarah telah dikisahkan jatuh - bangunya peradaban ummat manusia. Kejayaan Mesir kuno, Sriwijaya, Majapahit dan lain sebagainya hendaknya dijadikan pembelajaran dalam membangun daerah dan bangsa.

Jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar didunia, termasuk di Nusantara  dapat kita ketahui dari naskah-naskah kuno. Banyak peradaban ummat manusia yang perna tampil dimuka bumi ini tapi sudah tidak dikenali lagi karena tidak ada catatan yang dibuat oleh pelakunya. Tapi oleh Tuhan ingin menjadikan sebagian masa silam yang perna ada itu sebagai pembalajaran bagi manusia berikutnya – maka Allah memberitakan melalui kitab sucinya. Peristiwa jatuh-bangunnya peradaban Kaum Ad, Kota Iram, kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Saba, kisah Nabi dan Rasul, Fir-aun, Haman, Ashabul Kahfi, kisah Dzulkarnain (Alexander The Great), dan beberapa peradaban ummat manusia dibelahan bumi ini, semuanya hanya ditemukan dalam pemberitaan kitab suci baik itu Al-Qur’an maupun dalam kitab Taurat. Dari informasi kitab suci itulah para sejarawan dan arkeolog diabad modren melakukan penelitian dan telah menemukan beberapa artefak, bukti fisik bahwa peradaban masa silam itu, benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


Kejadian masa lalu ibarat perak (masalakai) bila hanya dituturkan secara lisan kepada generasinya, tapi ia akan menjadi emas (mabulawangi) jika ia ditulis(dikitabkan). Saya berpendapat bahwa “ Proses peradaban ummat manusia yang dituturkan secara lisan – akan menguap lalu lenyap, Tapi bila ia ditulis – akan membumi, berakar dan menjalar “.

Proses peradaban ummat manusia yang mendiami jazirah Mandar yang mala’bi ini,sangat jarang kita jumpai dalam bentuk tulisan sehingga oleh pemerhati sejarah (sejarawan) kurang referensi dalam mengangkat peristiwa itu. Yang ada adalah tuturan dari mulut – kemulut yang keapsahannya diragukan - mungkin ada yang luput diceritakan atau justru banyak ditamba-tambai. Begitu juga dimasyarakat Mandar masih ada yang menyimpan naskah-naskah kuno berupa lontar belum dipublikasikan dan diterjemahkan kedalam tulisan dan bahasa yang mudah dipahami.Semua itu - generasi Mandar segera sadar, bangun dari tidur, matahari belum terbenam – ambil penah lalu goreskan.

Inilah yang mendorong penulis membuat tulisan sederhana ini sebagai salahsatu upaya menjawab tantangan bahwa jika sejarah keberadaan kerajaan-kerajaan di Mandar ingin dikenal dan dijadikan mata pelajaran di dunia pendidikan sebagaimana kerajaan – kerajaan lain seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, Singosari dan lain sebagainya maka pilihannya harus ditulis dan seterusnya - dan seterusnya.

Berikut penulis kisahkan sejarah dan pemerintahan kerajaan Sendana sebagai salahsatu kerajaan yang ada di Mandar. WilayahSa’adzawang (Sendana) semula ditemukan oleh Daeng Tumana’, Tomakaka’ Tabulahan dari Pitu Ulunna Salu. Konon suatu ketika Tomakaka’ Tabulahan bersama beberapa pengikutnya turun kedaerah pantai untuk mencari kebutuhan hidup – terutama garam, ikan dan lain sebagainya. Kawasan Sa’adzawang yang panorama alamnya sangat indah, sehingga Sang Tomakaka’ tergiur untuk menjadikan tempat peristirahatan bagi orang-orang Tabulahan bila turun kepantai dan lambat laun lokasi ini dijadikan tempat bermukim secara tetap.

Wilayah Sa’adzawang berada dipuncak gunung Putta’da’ yang mengarah ke pantai bagian barat. Karena pemandangannya yang memukau, sehingga orang-orang Tabulahan menjaganya dengan harapan tidak ada pihak lain yang mendiaminya. Kepemimpinan awal yang bermukim di Sa’adzawang bergelar “Bawa Tau” yang dipimpin langsung Daeng Tumana, Tomakaka’ Tabulahan.

Beberapa dekade kemudian, Datanglah Daeng Palullung bersama istirinya, yang istirinya bergelar Tomesaraung Bulawang, Dan kepemimpinan bawa tau  yang diperankan oleh Tomakaka’ dilanjutkan oleh Daeng Palullung dengan model kepemimpinan Tomemmara-mara’dia.Berdasarkan sumber lontar Pattappingang- menyebutkan bahwa Daeng Palullung adalah putra dari Datu ri Luwuk (Palopo). Dalam lontar dikisahkan sebagai berikut : Inilah asal-usul Puang di Luwuk, Idaeng Sirua, namanya. Ia meninggalkan Luwuk menuju Timpuru – Donggala. Dari Timpuru/Donggala ia menuju ke Labuang Rano. Setibanya di labuang Rano – ia memerintahkan pengikutnya naik kedaratan untuk mengambil kayu api, setibanya didarat ia dikejar sepotong bara api - karena ia takut maka segeralah kembali keperahu dan menyampaikan kepada tuannya kejadian yang dialaminya. Kata Daeng Sirua kembalilah kedarat dan ambil bara itu. Sang budak pun segera kedarat tanpa rasa takut menangkap bara  dan membawa kehadapan tuannya. Daeng Sirua mengambil bara dan seketika itu ia menjelma menjadi pusaka/keris dan diberi nama Ijarra’.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar