0leh: Muhammad Munir-Tinambung
Pada
mulanya, semua kerajaan yang ada di Mandar belum terjalin dalam satu
persekutuan atau kerjasama antar kerajaan. Masing-masing kerajaan sendiri dan memerintah serta berdaulat penuh
diwilayah kerajaannya sendiri
tanpa ada hubungan kerjasama dengan
kerajaan lain, baik yang ada di kawasan Mandar, terlebih kerajaan yang ada di
luar wilayah Mandar. Masing-masing
kerajaan berusaha memperluas wilayah kekuasaan, sehingga sering terjadi
perselisihan yang berlanjut pada perang
antara kerajaan. Upaya menghancurkan kerajaan lain dengan tujuan menjadi
terkuat dan terbesar adalah kejadian rutin pada saat itu. Puncak kekacauan terjadi ketika munculnya peralihan kekuasaan melalui kudeta di kerajaan
Passokkorang. Passokkorang dengan kekuatan militer dan kekayaan
yang melimpah membuat keonaran hampir disetiap kerajaan yang ada di Mandar.
Salah satu wilayah yang tak
mampu ditaklukkan oleh Pasokkorang adalah wilayah persekutuan Bocco Tallu,
yaitu Sendana, Alu dan Taramanu. Salah satu strategi yang bisa membentengi wilayah
ini adalah kekuatan persekutuan yang tercermin dalam ikrar puraloa di
Sibunoang. Ikrar Bocco Tallu itu begitu mengakar dan disakralkan oleh
masyarakat yang ada diwilayah tersebut. Bahkan perjalanan sejarah keruntuhan
Passokkorang oleh Sekutu Balanipa tidak terlepas dari campur tangan Alu yang
berhasil menyusup masuk ke wilayah Passokkorang dan menjadi duri dalam daging,
sehingga Raja Passokkorang tidak menyadari bahwa orang yang masuk sebagai dukun
sakti itulah yang mengantarnya menemukan takdirnya untuk berakhir dalam
kebesaran dan keberlimpahannya.
Tak dapat disangkal, apa yang
tertuang dalam ikrar puraloa itu bukan saja sebentuk kalimat yang terdiri dari
susunan kata biasa, tapi ia adalah akumulasi dari mantra, sumpah yang kerap
dibathinkan oleh semua warga yang berada di garis batas Bocco Tallu itu. Untuk
tidak membuat tulisan ini sekedar menjadi bacaan yang lumrah, menarik kita
telisik kembali bunyi yang terkadung dalam perjanjian di Sibunoang itu. Ini
penting, agar kita semakin yakin bahwa sesungguhnya leleuhur kita bukanlah
sekumpulan manusia yang tak tahu apa-apa, disamping itu, ikrar tersebut
diharapkan bisa menjadi spirit bagi kita menemukenali kesejatian Mandar yang
kita jadikan sebagai identitas.
Inilah ikrar puraloa di
Sibunoang yang dikenal dengan Assitalliang Bocco Tallu Pertama: Madzondong duang bongi anna
dziang mappasisala Pattallumboccoang, ongani balimbunganna baoangi arianna.
Iya-iyannamo tau mambueq puraloa meppondoq diallewuang di Pattallumboccoang
mendaung raqbas, mettaqe sapeq, pappang naola pappang raqba, buttu naola buttu
latta, puppus sorokawu mangandeapi dipennannaranna tomamboeq pura loa.
“Besok lusa bila ada yang memecah belah
persekutuan Bocco Tallu, Balikkan bubungan rumahnya kebawah dan tiangnya
keatas. Barang siapa diantara kita mengingkari perjanjian dan membelakangi
kesepakatan dalam persekutuan Bocco Tallu, berdaun gugur bertangkai jatuh, lembah diallui lembag runtuh, gunung dilalui
gunung terpotong. Hidupnya terkutuk bagai api membakar turun temurun yang
ingkar pada perjanjian” .
Adapun butir
butir perjanjian yang disepakati dalam pertemuan
ini merupakan hasil pemikiran Puatta di Saragiang dan Daeng Palulung yang
tertulis dalam lontar Sendana Mandar sebagai berikut :
Nauamo Daeng Palulung: “Tallumi tau
anna mesa, mesami anna tallu, Sendana, Alu, Taramanuq. Litaq silambang
tassipomalla, tassitundang matadzang tassiroyong masandeq, tautta sisolong
tassisawaq, mesa balami tanni atonang, Sendana,
Alu, Taramanuq di Puang di Kondo Budata, mate simateang tuo situoang”.
Berkatalah Daeng Palulung: ”Kita adalah
tiga menjadi satu, satu tapi tiga. Sendana, Alu, Taramanuq. Pemimpin saling
menyebrang tak keberata, tak saling mengingatkan dengan keras apalagi kasar,
rakyat saling mengunjungi dengan aman. Kitasudah satu pagar tak berbatas,
Sendana, Alu, Taramanuqbagi pemimpin dan bagi rakyat. Mati satu mati semua
hidup satu hidup semua”.
Nauamo Puatta di Saragiang: “Mammesa
puammi tau mammesa tau, maqjuluq sara maqjuluq rio, mammesa pattuju dilatte
sallambar siola paqdisang. Daqdua memmata di Sawa, mesa memmata di mangiwang,
monasisaraq tubhu anna nyawa tassisaraqi Alu, Taramanuq, Sendana. Tassipaoro di
adzaq, sipalete di rapang, padza nipeadzaq adzaqta, padza niperapangi rapattaq,
tasibore-boreang gauq tassipolong tanjeng,tassiraqba tanang-tanang, sitaiang
apiangan tassitaiang adzaeang”.
Berkatalah Puatta I Saragian:
“Bangsawan kita sudah menyatu rakyat juga jadi satu menghadapi kesusahan dan
kebahagiaan, menyatukan keinginan diatas tikar selembar sebantal bersama. Dua
mengawasi ular satu mengawasi ikan hiu. Walau terpisah tubuh dengan nyawa, Alu,
Taramanuq dan Sendana tidak akan terpisahkan. Tidak saling mencampuri urusan
adat dan aturan masing-masing, menjalankan adat dan kebiasaan serta hukum dan
peraturan masing-masing, tidak saling keras mengerasi, tidak salingmerusak
tanaman, saling membawa pada kebaikan, saling menghindarkan dari keburukan”.
“Nauwa
bomo Daeng Palulung: “Mate arawiang Alu Taramanuq, mate di baya-bayai Sendana.
Sara pole sara nisolai, leboq tanni joriq, uwai tanni latta, buttu tanni polong
dilalanna Bocco Tallu”.
Berkata Daeng Palulung: “Bila Alu dan
Taramanuq mati diwaktu sore, Sendana mati diwaktu pagi. Kesusahan yang
datangkesusahan yang dibagi, kebahagiaan yang datang kebahagiaan yang kita
bagi. Laut tidak kita garis, gunung tidak kita potong di wilayah Bocco Tallu”.
Melihat latar belakang pembentukan serta butir kesepkatan yang ada di dalamnya, dapat
disimpulkan bahwa Perjanjian Bocco Tallu pertama dibentuk untuk membangun satu
kekuatan dengan melihat situasi dan kondisi di Mandar pada saat itu. Sangat jelas dalam butir kesepakatan bahwa pertahanan dan
keamanan merupakan prioritas utama disamping kerjasama pada bidang ekonomi. Ini
merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perang saudara antara
Sendana, Alu dan Taramanuq yang bisa saja terjadi akibat hasutan dan strategi
adu domba yang dijalankan oleh orang-orang Passokkorang pada saat itu.
Kalimat daqdua memmata
disawa mesa memmata di mangiwang adalah kalimat kiasan yang memiliki makna;
Dua kerajaan (Alu dan Taramanuq) yang menjaga dan mengawasi musuh dari arah
gunung atau hutan, dan satu kerajaan (Sendana)yang mengawasi musuh yang datang
dari laut atau pesisir. Kesepakatan
ini lahir dengan melihat letak geografis wilayah masing-masing, dimana Alu dan
Taramanuq merupakan kerajaan yang ada dipegunungan dan Sendana adalah kerajaan
yang berada di daerah pesisir atau pantai.
Ini berarti, keamanan atas ancaman musuh yang datang dari arah hutan
menjadi tanggung jawab kerajaan Alu dan kerajaan Taramanuq sementara musuh yang
datang dari arah laut atau pesisir menjadi tanggung jawab kerajaan Sendana.
Persekutuan
Bocco Tallu bertahan sampai pada abad XV masehi dan baru mulai memudar
seiringdengan terbentuknya persekutuan Pitu Baqbana Binanga.