Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Kamis, 07 Maret 2024

IMAM TANDUNG (1912-1992) Dalam Narasi Sejarah Pergolakan Antara DI/TII dengan Bn.710

Reportase: Muhammad Munir

IMAM TANDUNG atau KH. MUHAMMAD QASIM adalah salah satu tokoh agama dan pemerhati pendidikan. Selain dikenal sebagai Imam Tandung, Gelaran sebagai Imam Tandung begitu lekat padahal ia tak hanya di Tandung menjadi imam, tapi juga ditempat lain seperti di Rea Barat, Imam di Jalan Cendrawasih dan juga imam di Masjid Al-Anwar selama 36 tahun (wawancara dengan Haidir Ramli dan Nurmiati, 2022). 

Berdasarkan dokumen resminya, Imam Tandung lahir di Mandar pada tahun 1912 dan wafat pada tanggal 4 Mei 1992 dirumah kediaman istrinya yang kedua di Jalan Sila-sila Lampa Mapilli. Ia wafat pada saat selesai shalat shubuh. Saat itu, ia baru saja menyelesaikan sholat shubuh. Ia duduk di sebuah kursi dan meminta kepada keluarganya agar mengambil kambing yang ada di kompleks pesantren DHI. Kambing tersebut ia minta agar dipotong. Setelah kambing selesai di potong, ia mengucapkan kalimat tauhid dan menghadap Tuhan-Nya dalam kondisi terduduk.

Tak banyak yang tahu tentang asal usul dan masa kecil Imam Tandung. Nama lengkapnya pun jarang yang pernah menyebut selain gelarannya sebagai Imam Tandung. Pada saat menjadi Imam Tandung, ia dijemput oleh gerombolan pasukan DI/TII (Darul Islam/Tentara Nasional Indonesia) untuk dibawa ke hutan. Menurut putrinya, ia tidak diculik tapi ia dijemput untuk dibawa ke hutan. (Wawancara dengan Dahariah, 80 tahun).  Versi lain menyebut ia diculik dan dibawa masuk ke hutan untuk menjadi hakim pengadilan dan membimbing masyarakat guna memahami agama secara paripurna. 

Pada saat pemberontakan DI/TII digulingkan oleh Qahar Mudzakkar, penculikan para ulama dam guru-guru marak terjadi. KH. Abdul Rahman Ambo Dalle juga pernah diculik dan dibawa ke hutan. Di Mandar, penculikan ulama juga terjadi pada KH. Muhammad Qasim (Imam Tandung), KH. Muhammadiyah di Bonde Campalagian serta KH. Umar Mappeabang (saat masih bertugas menjadi guru di MI DDI Lapeo). Para ulama tersebut dibawa masuk ke hutan untuk menjadi penganjur islam dan sebagian dijadikan hakim agama di pengadilan. 

Pada tahun 1953, Konferensi Pombijagi digelar dan menandai masuknya gerakan DI/TII di Mandar. Organisasi bentukan Qahar Mudzakkar tersebut dideklarasikan di Mandar melalui Sunusi Tande dan MT. Rahmat. Sejak itu, Imam Tandung tak lagi terdengar namanya sampai kemudian Gerombolan DI/TII ditumpas. Ia ikut sama anaknya yang bernama Amin Rante (tentara) di Makassar dan sempat jadi imam masjid di Cendrawasih Makassar. Setelah dari Makassar, ia sempat menjadi imam di Masjid Rea Polewali.

Selasa, 05 Maret 2024

Hj. Sitti Maemunah ||Guru Pejuang Dari Majene



Catatan Muhammad Munir

HJ. SITTI MAEMUNAH adalah seorang Pempimpin Kelaskaran GAPRI 5.3.1 (Gabungan Pemberontak Republik Indonesia Kode 5.3.1) yang berpusat di Baruga, Majene. Pada tahun 1916, ketika cengkraman Hindia Belanda benar benar menikam pribumi. Di bumi Baruga, sepasang siami istri bernama Muhamnad Saleh dan Habiba hidup memadu kasih dan melahirkan sosok bayi perempuan yang mereka beri nama Sitti Maemunah.
Keduanya mungkin tak akan pernah berfikir dan bermimpi bahwa kelak anak petempuannya itu akan tumbuh dan berkembang menjadi tokoh perempuan pendidik dan tokoh pejuang yang mampu mengorganisir organisasi besar sekelas GAPRI 5.3 1.

Maemunah kecil tumbuh dan berkembang di Kampung Baruga. Ia hidup di antara rindang pohon dan dinginnya malam. Ia hidup dalam bimbingan orangtua dan lingkungan yang taat beragama, sehingga kelak sosok Maemunah dikenal sebagai wanita salehah, sebagai guru dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah.

Sisi kehidupan Maemunah sesungguhnya tidak terhitung mujur, sebab ketika masih berumur 6 tahunan ia harus kehilangan sosok ibu yang penyayang. Praktis kematian sang Ibu membuat Maemunah harus lebih banyak belajar menjadi sosok ibu bagi kedua adiknya yang bernama Bahria dan Nurdin. Melihat kondisi anak-anaknya yang masih membutuhkan peran seorang ibu, Muhammad Saleh kemudian memutuskan untuk  menikah kembali dengan wanita bernama Sohora. Dari pernikahan ini, dikaruniai 2 orang putra bernama Mabrur dan Abrar, keduanya berdomisili di Makassar.
Dalam kehidupan keluarga Maemunah, pendidikan Islam menjadi hal utama yang harus ditanamkan. Termasuk pendidikan nonformal berupa adat istiadat yang berlaku di masyarakat Mandar. Inilah yang kemudian menjadikan Maemunah dikenal sebagai anak yang shalehah, taat beribadah dan pemberani. Karakter pemberani ini boleh jadi karena ia anak petama dari lima bersaudara. Selain itu Maemuna selalu bersikap hati-hati dalam bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya.
Pada tahun 1928, ketika usia Maemunah menginjak 12 tahun, ia mulai mengenal sekolah formal, yaitu Sekolah Dasar 6 tahun di Majene. Selanjutnya ia mengambil  pendidikan guru selama 2 tahun di tempat yang sama. Hingga pada tahun 1937, Maemunah kemudian melanjutkan ke CVO untuk mendidik tenaga-tenaga guru dan terangkat sebagai Kepala Sekolah Ba’babulo dari tahun 1937-1953.

Setiap selesai shalat subuh, Maemunah selalu bersiap untuk berangkat ke sekolah dengan perjalanan yang sangat panjang dan penuh resiko karena pada saat itu keamanan belum stabil apalagi seorang wanita yang rentan dengan kejahatan.
Tiga tahun menjadi Kepala Sekolah, pada tahun 1940 Mamunah menikah dengan pemuda bernama Muh. Jud Pance, seorang guru dari tanah Bugis. Pernikahan keduanya dilangsungkan di Deteng-Deteng, Majene. Sayang sekali, pernikahan mereka tak dikaruniai anak.

Pemikiran Maemunah pada saat itu bisa dikatakan telah melebihi pemikiran dari teman-teman sebayanya. Maemaunah memiliki pemikiran nasionalisme yang luas yang mengakibatkan dia ikut dalam beberapa diskusi organisasi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme yang kuat memanggilnya untuk turut serta melawan para penjajah.
Keberadaan Maemunah dalam perkembangan sejarah perjuangan di Mandar sangat signifikan karena Maemunah berhasil membawa Kelaskaran GAPRI 5.3.1 menjadi salah satu kelaskaran yang sangat dibenci oleh Tentara Belanda pada saat itu. Maemunah dalam Kelaskaran GAPRI 5.3.1 bertugas untuk mengatur strategi perjuangan agar terorganisir dalam melaksanakan setiap aksinya. Rumahnya juga dijadikan sebagai markas besar yang menjadi pusat untuk mengatur stategi dan sebagai tempat bagi para pasukan beristirahat.

 Maemunah menjadi garda terdepan dalam melawan (praktik kolonialisme baru, khususnya di daerah Mandar). Melalui organisasi ini, GAPRI 5.3.1 melakukan berbagai persiapan, baik proses pengumpulan atau penyeleksian anggota, hingga proses penyediaan alat-alat persenjataan perang. Sebagai upaya untuk melengkapi berbagai kebutuhan yang diperlukan, maka GAPRI 5.3.1 melakukan hubungan dengan pihak-pihak tertentu di Balikpapan dan beberapa daerah lain di Indonesia untuk mendapatkan alat-alat persenjataan perang. Selain itu, pembinaan atau pelatihan kemiliteran juga menjadi agenda penting dalam proses penyelenggaraan persiapan perang itu sendiri. 

Dalam upaya untuk mempersiapkan segala kebutuhan perjuangan, GAPRI 5.3.1 lebih bertumpu pada pendanaan pribadi dari Maemunah dan Djud Pance. Kendati demikian, pendanaan juga terbuka bagi pihak luar yang ingin memberikan sumbangsi kepada organisasi perjuangan itu. Dengan demikian, perjuangan GAPRI 5.3.1 dapat dimaknai sebagai wujud kongkrit dari bentuk nasionalisme rakyat Mandar. Masyarakat Mandar tidak pernah berpikir tentang siapa yang membantu, siapa yang mampu membantu perjuagan itu.

Pada sekitar bulan April dan Mei 1945, Soekarno bersama rombongannya mendatangi Kota Makassar untuk memberikan dorongan kepada berbagai pihak serta mempersiapkan diri dalam rangka menyambut sebuah negara baru yang bebas dari bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme asing. Kedatangan Soekarno di Kota Makassar seolah memberi sinyalemen bahwa sebentar lagi Indonesia akan merdeka dan berdaulat, sehingga mampu berdiri sama tinggi, duduk sarna rendah dengan negara-negara lain yang berdaulat. Bagi masyarakat yang ada di Sulawesi, Inilah isyarat awal bahwa akan muncul sebentar lagi sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Tidak berselang lama dari kedatangan Soekarno di Kota Makassar, sebuah negara baru berdiri dan secara resmi diproklamirkan pada Tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menandai bahwa Indonesia sebagai sebuah negara secara de facto telah merdeka. Informasi tentang proklamasi yang disebarkan melalui radio ditangkap oleh seluruh rakyat Indonesia, baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Pada saat pembacaan proklamasi di Jakarta, beberapa Wilayah di Indonesia juga tidak sedikit yang belum mengetahui, sehingga pekik kemerdekaan belum sepenuhnya bergema. 
Seperti halnya di Mandar, pada saat pembacaan proklamasi kemerdekaan, di wilayah ini masih mengalami penjajahan. Selang beberapa hari pasca pembacaan proklamasi di Jakarta, informasi tentang kemerdekaan Indonesia akhirnya sampai juga di Mandar. Para pemuda Mandar yang mendapatkan informasi itu melalui siaran radio amatir. Informasi yang didengarkan itu disebarkan ke beberapa pihak yang dianggap mampu memberikan dorongan dalam proses penyambutan terbentuknya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. 

Sepasang suami istri yang saat itu berstatus sebagai Kepala Sekolah Dasar Ba'babulo I dan II, Djud Pance dan Maemunah juga mendengar informasi tersebut melalui radio amatir yang dimiliki. Atas informasi itu, mereka mencoba menata hati secara baik-baik untuk kemudian merundingkan tentang perihal apa yang akan dilakukan dalam menyikapi proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta di Jakarta. 

Setelah beberapa saat melakukan perundingan terkait langkah-langkah apa yang akan dilakukan, keduanya kemudian memutuskan untuk bersama-sama terjun ke lapangan, dari Ba'babulo ke kampung halamannya di Baruga yang berjarak + 12 Km. Di Baruga, kedua guru ini membagi informasi tentang kemerdekaan itu kepada beberapa keluarganya terlebih dahulu kemudian disebarkan kepada masyarakat sekitar. 
Di tempat lain, informasi mengenai kabar yang menggembirakan itu ternyata juga telah diterima oleh para pemuda di Majene. Beberapa pemuda yang telah mendengar informasi tentang proklamasi itu secara sigap menyebarluaskan  informasi itu secara cepat kepada masyarakat. Tidak berselang lama, beberapa pemuda seperti Abd. Wahab Anas, Abdul  Halim, AE, Mallewa, Sawawy, dll., secara cepat berkeliling di jalan raya sembari mendengungkan pekik kemerdekaan.

Masyarakat yang melihat dan mendengar pekikan mereka itu akhirnya ikut bergabung dalam iring-iringan yang telah dibuat sebelumnya. Suasana menjadi semakin ramai dan penuh kemenangan. Kendati masih terdapat beberapa pihak masyarakat yang masih belum sepenuhnya memahami tentang ada apakah gerangan, ada juga yang cenderung pasif dan tak sedikit pula yang bertindak sebagai penonton. 
Pekik kemerdekaan terus bergema khususnya di Baruga dan di Kota Majene. Beberapa pihak saling berunding untuk membahas apa yang harus dilakukan dalam menyambut hari baik itu. Djud Pance yang selalu didampingi oleh isteri setianya, Maemunah, membangun komunikasi dengan HM. Syarif yang saat itu masih menjadi ketua organisasi sosial kemasyarakatan Persatuan Rakyat Mandar (PRAMA) yang berada di Baruga. Dalam pertemuannya itu menghasilkan sebuah keputusan untuk menggunakan organisasi itu sebagai wadah perjuangan dalam rangka menyambut dan menyusun berbagai strategi untuk merealisasikan janji proklamasi. Beberapa langkah kongkrit yang akhirnya direalisasikan adalah merubah nama organisasi PRAMA menjadi Perjuangan Masyarakat Indonesia (PERMAI) pada Tanggal 24 Agustus 1945. 

Itulah langkah awal perjuangan rakyat Baruga dalam menyambut kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Perubahan nama PRAMA menjadi PERMAI yang dilakukan oleh Djud Pance, Maemunah, dan HM. Syarif dapat dipahami sebagai proses penting dalam rangka menciptakan sebuah identitas kebangsaan baru. Artinya, perubahan identitas PRAMA yang semula masih bersifat kedaerahan menjadi PERMAI yang mencirikan sebuah identitas baru yang bersifat keindonesiaan. Mereka terbayang tentang konsep keindonesiaan, sehingga mereka secara sadar menaikkan status terhadap identitas yang sebelumnya bersifat primordial menjadi plural dan multikultur, bukan bangsa Mandar, melainkan Bangsa Indonesia. 

Pasca perubahan terhadap identitas organisasi tersebut, proses selanjutnya adalah menyusun rencana strategi perjuangan. Rencana setrategi yang disusun dalam organisasi PERMAI dibagi menjadi dua bagian. Pertama, menjelaskan bahwa PERMAI merupakan sebuah organisasi sosial, ekonomi, dan budaya yang secara spesifik berada di Baruga. Fungsi organisasi yang demikian diperankan oleh H. Muh, Syarif. Kedua, menjelaskan bahwa PERMAI memiliki underbow bernama GAPRI 5.3.1, yang secara penuh menjadi penyokong terhadap kelembagaan PERMAI melalui sistem keagenan yang bersifat rahasia. 

Identitas rahasia dalam hal ini dimaksudkan apabila terjadi segala sesuatu terkait dengan perubahan situasi, maka organisasi tetap dapat berjalan. Organisasi pergerakan GAPRI 5.3.1, dikelola dan dijalankan oleh dua sejoli Djud Pance dan Sitti Maemunah.
Berpijak dalam suatu organisasi Kelasykaran, Maemunah memulai kehidupan politisnya yang tentu mengandung resiko sehubungan dengan makin meluasnya pengaruh NICA di daerah Majene. Dalam kegiatan GAPRI 5.3.1, Maemunah mengorganisasikan para pejuang, baik dalam latihan kemiliteran, persediaan makanan, persediaan senjata maupun turun langsung ke medan pertempuran melawan Belanda. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, ia bergabung dengan pemuda lainnya dalam melawan Belanda dan berusaha menghimpun kaum wanita diantaranya Sitti Habibah, Sitti Fatimah, Jaizah, Hadara, Sitti Maryam, dan lain-lain.

Beberapa petempuran hebat terjadi antara pihak Belanda dengan Pejuang GAPRI diantaranya:
(1) April 1946 pasukan GAPRI 5.3.1 dibawah pimpinan Basong melancarkan serangan terhadap patroli aparat NICA dan KNIL di Segeri-Baruga. Pada pertempuran tersebut kepala kampung Segeri yaitu Siada tewas. Pada bulan yang sama pasukan yang dipimpin oleh Basong dan Labora melancarkan serangan tehadap NICA dan KNIL di Pangale-Majene dan selanjutnya pasukan dibawah pimpinan Haruna dan Bundu menyerang patroli KNIL di Pambuang.

(2) Mei 1946 kelaskaran GAPRI menyerang mata-mata musuh di Pangale, mengadakan pertempuran di Abaga, Tarring (Baruga), Simullu melawan Polisi KNIL.
Juni 1946, GAPRI makin giat melakukan serangan dengan menyerang banyak mata-mata dan tentara KNIL di jembatan Simullu.

(3) Juli 1946, GAPRI menyerang pasukan KNIL yang sedang melakukan patroli di Pamboang dan asing-asing.
Selanjutnya pada bulan Agustus, September, Oktober, dan Desember pasukan GAPRI melakukan beberapa panghadangan terhadap pasukan Belanda. 
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI di Majene terhadap pemerintah NICA dan tentara KNIL tersebut, bukannya membuat Belanda menciut tetapi malah semakin meningkatkan provokasi dan penindasan kepada rakyat dan pejuang dengan ditangkapnya beberapa pejuang penting yang membuat pergerakan GAPRI semakin tersudut.
Perlawanan demi perlawanan yang dilakukan oleh GAPRI 5.3.1. membuat Belanda makin geram dan jengkel. Kehadiran serdadu Westerling di Mandar tujuan utamanya adalah mengahncurkan seluruh pemberontak yang ada di Mandar tanpa terkecuali sampai ke akar-akarnya.

Letnan Gubernur Jenderal Dr. H. J. Van Mook di Batavia mengumumkan pernyataan “Keadaan perang dan darurat” atau SOB pada tanggal 11 Desember 1946 (Surat keputusan No. 1 Batavia 11 Desember 1946) yang dinyatakan berlaku di dareah Afdeling Makassar, Afdeling Bantaeng, Afdeling Parepare, dan Afdeling Mandar. Akan tetapi pada hakikatnya keadaan darurat perang dalam kenyataannya berlaku diseluruh daerah Sulawesi Selatan karena Kolonel H.J. Vries atas perintah Jenderal S. Poor mengeluarkan suatu perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara dibawah perintahnya untuk serentak menjalankan operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan SOB yang harus tegas, cepat, dan keras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan penembakan mati di tempat tanpa proses pengadilan. 

Hal ini membuat pejuang GAPRI semakin tersudut karena pihak Belanda semakin gencar melakukan operasi dengan menyebar polisi kampung yang selalu mengawasi daerah-daerah yang menjadi pusat pergerakan di Majene.Inilah yang menjadi penyebab pergerakan pemuda di Majene semakin sempit akbat adanya polisi kampung yang selalu mengawasi gerak-gerik mereka.

Pasca Panyapuang di Galung Lombok, tepatnya tanggal 4 Februari 1947 HBA Sangkala Menangkap dan membawa Maemunah ke Majene untuk di tahan. Dalam tahanan, Maemunah dan pejuang lainnya mendapat siksaan yang sangat kejam dari pihak Belanda. Sebelum Maemunah ditangkap, ia menyuruh suaminya untuk menghindar demi kelanjutan perjuangan. Pasukan Belanda di Parepare yang sejak awal sering melihat Djud Pance berdagang di kampung Langnga Parepare, Posisi Djud Pance menjadi buronan Belanda cukup mudah mengintainya. Meski demikian, Belanda rupanya tak harus mengerahkan pasukan untuk menangkap Pance, sebab rupanya Pance tak tega pada istrinya yang tersiksa di penjara  sehingga pada tanggal  7 Februari, Ia  menemui Maemunah dan langsung ditahan. Keesokan harinya Maemunah dibebaskan namun ia tak ingin bebas dan memilih di hokum sama suaminya.

Setelah lima puluh sembilan hari di tahanan, karena tidak didapatkan bukti kejahatan yang kuat, pada tanggal 6 April 1947 Pance bersama dengan 30 tahanan lainnya bebas. Namun berselang 3 hari, Pance kembali di tangkap dan langsung ditahan. Tetapi penangkapan Pance ini tidak menyurutkan Pejuang Mandar baik itu KRIS MUDA dan GAPRI untuk melakukan penyerangan terhadap Belanda. Hal tersebut terbukti dengan perlawanan yang terjadi di beberapa daerah seperti Pamboang, Totolisi, Onang, Camba Pambusuang, dan lainnya.

Pada masa inilah Maemunah semakin berani mengikuti urusan-urusan perjuangan bekerjasama dengan pejuang di Makassar. Selain itu urusan Kelaskaran GAPRI 5.3.1 tetap dilanjutkan. Pembelian senjata api untuk dikirim ke Mandar dan Bangkala sebagai daerah yang masih bergejolak karena pejuang kemerdekaannya belum sempat ditangkap Belanda. Tepat pada tanggal 27 Desember 1949, seluruh tawanan pejuang kemerdekaan bangsa dibebaskan dan mulailah para pejuang dapat menghirup udara bebas. 

Setelah pembebasan, Maemunah dan lain-lain pulang ke Majene.  Maemunah dan rombongan tiba di Majene terus ke Baruga. Setelah proses perjuangan dan kondisi keamanan sudah mulai reda, Maemunah kembali menjadi Kepala SGB di Majene (1954-1960) dan menjadi Guru SGA berbantuan Muhammadiyah di Makassar. Tanggal 1 Januari 1963 Maemunah mengalami gangguan kesehatan sehingga dipensiunkan. Ia sembuh dari sakitnya setelah 11 tahun konsentrasi berobat. 
Pada tanggal 1 Desember 1973 ia ke Jakarta dan bekerja di PT. Air Baja, perusahaan besi baja pertama di Indonesia, milik H. Hamma’dia.  Di Jakarta, Maemunah tinggal di Teluk Gong Terusan Bendungan Utara No. 1 Jakarta Kota. 
Atas jasa-jasanya dalam pejuangan di daerah Mandar, Maemunah diberikan pengakuan sebagai veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dengan golongan A Tanda Jasa dari Departemen Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata oleh Laksamana TNI Soedomo tanggal 31 Juli 1982. Selain itu, atas jasa-jasanya pemerintah setempat mendirikan tugu perjuangan di bekas rumahnya di Baruga. Maemunah meninggal dunia di Makassar 21 Juli 1995 dan di makamkan di Pekuburan Dadi Makassar.

Selasa, 27 Februari 2024

ANDI BEBAS MENYAMBANGI PETANI DI BOTTO

Selasa, 27 Februari 2024, Andi Bebas Manggazali berkesempatan hadir dalam acara Mappalili atau Rapat Turun Sawah di Sanggar Gabungan Kelompok Tani P3A SIPAKARAYA dan SIPATTURU Dusun Kontar Desa Botto Kecamatan Campalagian. 

Senin, 05 Februari 2024

MENGENAL DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA. DAN KARYA MONUMENTALNYA



SEKILAS RIWAYAT INTELEKTUAL DAN KEULAMAAN 
DR. MUHAMMAD NAWAWI YAHYA ABDURRAZAQ, MA.  
DAN KARYA MONUMENTALNYA

Oleh: Wajidi Sayadi

Sehubungan hari ini Senin, 5 Pebruari 2024 diperingati Haul wafatnya Dr. Muhammad Nawawi Yahya, MA oleh para alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir yang tergabung dalam Organisasi  Internasional Alumni al-Azhar (OIAA) wilayah Sulawesi Barat, berikut ini kami menuliskan sedikit riwayat intelektual dan keulamaan Dr. Muhammad Nawawi Yahya,MA., sebagai putera Mandar yang mengukir prestasi Internasional di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya Abdurrazaq lahir di Dusun Manjopai (Mojopahit) Desa Karama Kecamatan Tinambung Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat pada tahun 1929. 
Dr. Muhammad Nawawi Yahya dibesarkan dan dididik dalam lingkungan keluarga yang kental dan ketat dengan tradisi agama Islam. Ayahnya adalah KH. Yahya Abd Razak seorang ulama yang kharismatik dan disegani. Beliau imam masjid Jami Tanwir al-Masajid di Manjopai. Rumah tempat tinggalnya banyak berderetan dan berjejeran di rak-rak dan lemari kitab-kitab kuning dari berbagai disiplin keilmuan. Kitab-kitab ini merupakan peninggalan dari milik ayahnya sebagai seorang ulama. 

Dr. Muhammad Nawawi Yahya dilahirkan dari seorang ibu yang luar biasa bernama Hj. Siti Fatimah Abdullah. Adapun saudara-saudaranya adalah H. Muhammad Zawawi Yahya, H. Muhmmad Nahrawi Yahya, Hj. Maawiyah Yahya, Hj. Jugariyah Yahya, dan Ir. Hj. Jawiyah Yahya. 

Masa kecil dan remaja Dr. Muhammad Nawawi Yahya di kampung halaman Manjopai Desa Karama Tinambung dengan asuhan bimbingan dari ayah dan guru-guru lainnya. Riwayat Pendidikan formalnya tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah diselesaikan di daerahnya kelahirannya di masa penjajahan Belanda dan bangsa Jepang. 

Dua tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan secara resmi, terjadi suatu peristiwa bencana peradaban kemanusiaan bagi masyarakat Mandar yang terpusat di Galung Lombok oleh kekejaman Westerling. Peristiwa ini dikenal di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, sebagai pembantaian korban 40.000 jiwa oleh Westerling, pada tanggal 2 Pebruari 1947. 
Dalam peristiwa pembantaian masyarakat Mandar oleh Westerling di Galung Lombok, selain ribuan korban tewas juga banyak tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh pemuda ditangkap dengan semena-mena. Salah seorang diantaranya adalah saudara Muhammad Nawawi sendiri ikut tertangkap namanya Muhmmad Zawawi Yahya. 

Sehari setelah peristiwa Westerling di Galung Lombok ini, Muhammad Nawawi Yahya yang pada wakut itu umurnya 18 tahun tinggalkan Manjopai Karama menuju Sawitto di Kabupaten Pinrang atas inisiatif dari ayah dan keluarganya. Selama tiga tahun di Pinrang menyelesaikan sekolah Madrasah Aliyah. Tahun 1950, Beliau berangkat ke Mekah bergabung bersama rombongan jamaah haji. Selain untuk melaksanakan ibadah haji, niat utamanya adalah tinggal dan belajar di Mekah. Beberapa tahun tinggal di Mekah belajar, hingga akhirnya berangkat pindah ke Kairo Mesir. 

Sejak usia yang masih muda itulah Muhammad Nawawi Yahya tinggalkan kampung halaman pergi belajar dan belajar di Mekah kepada papar ulama besar pada zamannya hingga pindah dan masuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. 
Perjalanan dan pengabdian umurnya lebih banyak digunakan di luar negeri termasuk di Eropa pernah tinggal beberapa lama di Belanda sebelum berlabuh dan tinggal menetap belajar di Kairo Mesir.

Suatu saat Muhammad Nawawi Yahya mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit kebetulan ditangani oleh seorang perawat perempuan. Perawat tersebut statusnya janda punya empat orang anak. Selama di berada pembaringan di rumah sakit, Beliau tidak mau dilihat auratnya dan apalagi disentuh oleh perempuan yang tidak halal baginya atau yang bukan mahramnya, akhirnya Beliau melamar dan menikahi janda tersebut yang berprofesi sebagai perawat di rumah sakit. Istrinya ini sangat berjasa mengantarkan Beliau hingga menyelesaikan Disertasinya dan berhasil meraih gelar Doktor di bidang Zakat pada tahun 1980. 

Proses karir intelektual dan keulamaannya dibentuk sejak dini melalui ayah, guru-guru, ulama-ulama di kampung halaman serta keluarga, dilanjutkan pendalamannya  di Mekah hingga dimatangkan di Kairo Mesir. 

Muhammad Nawawi Yahya masuk di Fakultas Syariah wa al-Qanun yang dianggap konsisten menulis tentang zakat perspketif perbandingan madzhab sejak program Magister dan dikembangkan serta disempurnakan pada Program Doktor. 

Muhammad Nawawi Yahya satu almamater dan program studi  dengan Syekh Yusuf al-Qaradhawi di Fakultas Syariah wa al-Qanun. Syekh Yusuf al-Qaradhawi lebih tua tiga tahun, Beliau lahir tahun 1926 sedang Muhammad Nawawi Yahya lahir 1929. 
Yusuf al-Qaradhawi menulis disertasi berjudulفقه الزكاة دراسة مقارنة لأحكامها وفلسفتها في ضوء القرآن والسنة  yang selesai lebih awal sekitar tahun 1977. Disertasi Yusuf al-Qaradhawi terdiri dari 2 jilid 1.227 halaman. 
Sedangkan Muhammad Nawawi Yahya menulis disertasi berjudul الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة selesai tahun 1980 terdiri dari 6 jilid 3.246 halaman. 

Kitab فقه الزكاة  karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi ini menjadi sudah rujukan referensi tentang zakat di era kontemporer termasuk di Indonesia karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sementara الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة karay Dr. Muhammad Nawawi Yahya belum banyak dikenal, belum dibaca, apalagi dijadikan referensi, acuan tentang zakat. Inilah Mutiara karya Ulama Nusantara Putra Manjopai Mandar Sulawesi Barat yang bereputasi Internasional tetapi masih terpendam dan melangit belum membumi. 

Pada masanya, Muhammad Nawawi Yahya tercatat sebagai satu-satunya Doktor bidang syariah khususnya tentang zakat perspektif perbandingan dari Asia Tenggara. Karya monumentalnya berupa disertasi terdiri atas 6 jilid 3246 halaman. 

Empat tahun setelah menyelesaikan program Doktornya di Universitas Al-Azhar Kairo, tahun 1984 Beliau balik silaturrahmi ke kampung kelahirannya di Dusun Manjopai Desa Karama Polewali Mandar. Sekitar satu bulan di kampung halamannya, Beliau wafat secara mendadak tanpa perawatan sakit. 
Selepas shalat subuh Beliau jalan pagi keliling di sekitar lingkungan rumah. Seusai shalat Dhuha Beliau wafat dalam posisi sedang memegang dan mendekap sebuah kitab kuning di dadanya tepatnya pada hari kamis, 9 Pebruari 1984 dalam usia 55 tahun. 

Jenazahnya dimakamkan di samping makam ayah dan ibunya di halaman Masjid Tanwir al-Masajid Dusun Manjopai Karama Tinambung Polewali Mandar. Sulawesi Barat. 

إنا لله وإنا إليه راجعون
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ  وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Sekilas Karya Monumental Dr. Muhammad Nawawi Yahya
Dr. Muhammad Nawawi Yahya menulis Disertasi berjudul الزكاة والنظم الإجتماعية المعاصرة atas bimbingan Promotor Dr. Muhammad Anis Ubbadah 
Disertasi ini terdiri atas 6 jilid ditulis masih menggunakan mesik tik zaman dahulu di atas kertas HVS berukuran 30 X 21 cm dengan jumlah halaman 3246.

Sistematika pembahasannya terdiri atas: 
Muqaddimah terdiri atas 16 halaman:
Membahas mengenai terminologi zakat dan sedekah dan landasan normatif agama baik al-Qur’an maupun hadis mengenai ketetapan kewajiban zakat dalam Islam. Awal mula penetapan kewajiban zakat serta periodisasinya. Kebijakan Abu Bakar ash-Shiddiq mengenai zakat dan pengaruhnya dalam tatanan masyarakat negara serta pengembangan dakwah Islam. 

Jilid I terdiri atas 1- 626 halaman:
Membahas mengenai zakat sebagai ibadah dan kewajiban sosial sebagai modal dasar dalam pembentukan sebuah tatanan negara. Kedudukan zakat dalam pembinaan sosial dalam Islam, sebagai kekuatan material dan spiritual. Harta dan sistem kepemilikan dalam perspektif kerangka hukum Islam dan hukum positif yang mengandung kebaikan universal melalui sistem zakat. Sistem sosial dan kekayaan material di era kontemporer dan perbandingannya dengan system zakat. 

Jilid II terdiri atas 627 – 1045 halaman:
membahas mengenai kriteria zakat meliputi syarat-syarat global diwajibkannya zakat seperti muslim, mukallaf, memiliki secara sempurna, bebas dari hutang, nisab dan haul. Kedudukan niat dalam transaksi dan distribusinya. Apakah zakat wajib disegerakan atau boleh ditangguhkan penyerahannya? Ta’jil zakat dan klasifikasinya. Apakah kewajiban zakat gugur karena kematian pemiliknya? 

Jilid III terdiri atas 1046 - 1667 halaman: 
membahas mengenai terminologi harta dan batasannya yang wajib dizakati beserta kadar pendistribusiannya disertai dalil masing-masing. Masalah emas dan perak, hasil pertanian dan buah-buahan, hewan, harta perdagangan.

Jilid IV terdiri atas 1668 – 2109 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai delapan kelompok yang berhak menerima pendistribusian zakat. Apakah delapan kelompok akan diberikan dalam jumlah yang sama atau diberikan atas dasar pertimbangan skala prioritas? 

Jilid V terdiri atas 2110 – 2779 halaman: 
Membahas secara rinci mengenai perbandingan pendapat dari kalangan sahabat dan tabiin ahli hukum Islam, serta empat imam madzhab dan dari kalangan imam madzhab zhahiriyah, Syi’ah dan Zaidiyah. 

Jilid VI terdiri atas 2780 – 3246 halaman: 
Membahas mengenai tarjih. Mendialogkan atau mendiskusikan beberapa pendapat dari beberapa argumentasi yang dikemukakan, lalu memilah dan memilih pendapat yang dianggap lebih unggul dan tepat.  

Disertasi DR. Muhammad Nawawi al-Mandary tersebut merupakan karya monumental ulama dan intelektual muslim Indonesia sangat penting dan dipandang perlu untuk dijadikan referensi dalam studi hukum Islam khususnya kajian tentang zakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan potensi ekonomi umat masa depan. 

Pontianak, 5 Pebruari 2024

HAMZAH ||Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Perjuangan

"Upangipi sala toi, mua' nemenjaria Caleg (Mimpipun tak pernah jika saya harus jadi Caleg)" . Pungkas Hamzah suatu ketika kepada penulis. Guratan takdirlah yang  mengusung namanya sebagai salah satu deretan Caleg DPRD Polman Dapil 3 dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hamzah mungkin tak setenar dan sekaya dengan Caleg lain. Bahkan mustahil memiliki kemampuan untuk melakukan serangan fajar.

Satu-satunya yang dimiliki oleh pria kelahiran Berampa Katumbangan, 28 September 1988 ini adalah harapan. Harapan yang dibungkus dengan semangat untuk mempertanggung jawabkan suara dan amanah rakyat yang di setiap TPS pada Pemilu 2024 yang akan digelar pada tanggal 14 Februari. Inilah yang menjadi impian besar Hamzah dalam kontestasi lima tahunan kali ini. 

Menjadi wakil rakyat sejatinya diraih dengan cara bermartabat, bukan dengan cara mempedaya rakyat dengan imbalan uang, sembako atau sarung dan voucher. Politisi yang menggunakan uang harus dijadikan sebagai musuh bersama, sehingga kedepan rakyat benar-benar memiliki perwakilan di gedung rakyat. Harus difahami, selama ini hak-hak sebagai rakyat telah dihilangkan oleh bandit-bandit demokrasi yang punya uang tapi miskin integritas. 

Hamzah adalah caleg yang lahir dari rahim rakyat, ia lahir di sebuah kampung bernama Berampa Desa Katumbangan. Ia mengenal pendidikan dasarnya di SD Inpres 039 Katumbangan. Lalu melanjutkan ke MTs. Mas'udiyah Wonomulyo. Ia sempat sekolah di SPP (Sekolah Pertanian Pembangunan) Polewali sampai kelas dua dan berakhir di MA. Darul Falah Tomandar Campalagian 2011. 

Perjalanan hidup Hamzah jangan bayangkan sebagai seorang yang dimanjakan fasilitas. Untuk bisa sekolah, ia harus nyambi bekerja di Toko Citra Mas Wonomulyo. M. Said Sidar memberinya kesempatan menyelesaikan studinya di tingkat SMA. Terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011, ia menjadi karyawan PT. Citra Mas Silolongi mulai dari Wonomulyo sampai ke Fajar Mas Mapilli dan Albar Cell yang juga milik Said Sidar (politisi yang telah 4 periode jadi anggota DPRD Polman). 

Hamzah sempat merantau ke Negeri Seberang, Kuala Lumpur selama 2 tahun setengah. Sepulang dari sana, ia kembali dipanggil oleh Said Sidar sebagai Sopir Pribadinya dari tahun 2014 sampai 2021. Politisi PAN itu menjadikan Hamzah banyak berbaur dengan politisi di DPRD Polman. Ia banyak belajar dari para politisi dan mengenal banyak karakter yang berbeda. Jika kemudian Hamzah menjadi politisi tentu bukan hal yang tabu, sebab ia faham betul bagaimana harusnya menjadi wakil rakyat. 

Hamzah telah mengambil keputusan maju sebagai Caleg dari PAN No. 5 Dapil 3 Polman. Keputusannya itu harus kita sambut gembira dengan dukungan suara dan doa. Harapan kita tak lain adalah menjadi bagian dari perjuangan rakyat untuk meretas gerakan politisi kotor yang selama ini mencederai demokrasi di negeri ini. 

Kami mengajak semua pihak bergerak secara kolektif dan menjadikan Politik Uang sebagai musuh bersama. Kedepan, masyarakat harus berdaya dan mendapatkan hak-haknya yang azasi sebagai rakyat. 

Jika anda sepakat, maka Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Untuk Perjuangan. 
Salam Demokrasi !!! 



Minggu, 04 Februari 2024

MENGENAL IMAM JANGGO'

MENGENAL IMAM JANGGOQ, IMAM LEGENDARIS MESJID AL HURRIYYAH TINAMBUNG.

By Muhammad Ridwan Alimuddin

Dari sekian imam mesjid Al Hurriyyah Tinambung, ada satu yang melegenda. Mungkin karena sapaannya yang nyentrik dan mudah diingat, Imam Janggoq "imam berjanggut". Nama aslinya K. H. Achmad Alwy, ulama dari Pambusuang yang lahir di Mekkah di awal abad ke-20. Achmad lahir bisa lahir di Mekkah karena saat menunaikan ibadah haji, ibunya, bernama Puang Sapi, sedang hamil.

Selain belajar agama dari orangtuanya, K. H. Alwy "Annangguru Kaeyyang", juga berguru ke pamannya, K. H. Yasin (Annangguru Kacing, menjadi warga negara Arab Saudi dan wafat di sana), K. H. M. Ghalib (Annangguru Gale), K. H. Syed Hasan bin Sahil, dan K. H. Syahabuddin (bukan K. H. Syahabuddin pendiri Univ. As Syariah Mandar).

Imam Janggoq memegang amanah sebagai imam mesjid Tinambung dua periode. Pertama dari tahun 1936 – 1942, menggantikan ayahandanya yang wafat di tahun 1936, tepat 1 Ramadhan kala memimpin jamaah tarwih (imam) di rakaat terakhir shalat witir.

Jabatan imam dilepaskan ketika terlibat dalam perang kemerdekaan. Alwy muda terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Pambusuang. Hal itu membuatnya jadi buronan Belanda. Lewat campur tangan Imam Lapeo, Alwy diungsikan ke luar Mandar, berpindah dari satu pulau kecil ke pulau kecil lain di Selat Makassar dan Laut Jawa sambil tetap berdakwah.

Sang imam berjuang lewat organisasi Jami’atul Islamiyah dan KRIS Muda Mandar. Sebelumnya pada 1929 mulai aktif politik lewat partainya HOS Cokroaminoto, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia cabang Mandar.

Tahun 1959 bekerja di Kantor Legiun Veteran Cabang Mandar yang berkedudukan di Makassar di bawah pimpinan Riri Amin Daud. Tahun 1962 diutus ke Bandung mempelajari persuteraan alam. Imam Janggoq-lah pionir budidaya ulat sutera di Mandar, yang mana sebelumnya bahan baku benang sutera diimpor dari Cina.

Kembali diminta menjadi imam mesjid Tinambung pada awal Januari 1963. Andi Depu, sang Raja Balanipa, mengutus adiknya Abdul Malik Pattana Endeng ke Pambusuang, menemui K. H. Ahmad Alwy. Jabatan imam terus diembang sampai wafatnya, 19 Maret 1983. Makamnya di dalam "koqba" di Kompleks Makam Koqba, Pambusuang.

Sebagai ulama cum pejuang dan praktisi (sutera), Imam Janggoq aktif berdakwah, mengelola mesjid, dan sosial kemasyarakatan. Perawatan dan pengembangan mesjid Raya yang bertiang 100 buah, pagar-pagar, dan sebagainya, semuanya menjadi tanggung jawab beliau di samping menjaga agar jama’ah mesjid tetap terpelihara. 

Imam Janggoq-lah yang memulai pengadaan lampu listrik di mesjid Tinambung serta penyediaan "kollang" untuk berwudhu. Penting dicatat, masa Imam Janggoq-lah sehingga mesjid di Tinambung memiliki nama. Awalnya hanya disebut Mesjid Jami Tinambung untuk kemudian menjadi Mesjid Al Hurriyyah Tinambung.

Jumat, 22 April 2022

SAMBUTAN KELUARGA BESAR Hj. SITTI MAEMUNAH DJUD PANTJE

 


Assalamu Alaikum Wr. Wb.

 

            Hamdan wa Syukran Ilallah, Shalatan wa Salaman ‘ala Rasulillah. Pertama-tama, atas nama pribadi dan keluarga, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Sulawesi Barat terutama Adinda Muhammad Munir dan semua yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Terima kasih, telah bersedia meluangkan waktunya untuk melacak jejak Hj. Maemunah Djud Pantje yang notabene kakak kami dari pihak ayah, Muhammad Saleh. Kami tentu bahagia, sebab tiba-tiba saja keluarga kami dari Baruga Majene menelpon ke Makassar sekaligus menyambungkan kepada Dinda Muhammad Munir. Hari itu Munir menyampaikan hasil penjejakannya terhadap sosok Maemunah mulai dari kampung kelahirannya sampai ke tempat pemakaman terakhirnya di Pekuburan Dadi Makassar.

 

            Upangipi sala toi, jika kemudian buku ini bisa terbit, sebab selama ini kami tak pernah berfikir membukukan apalagi harus membentuk tim penulis untuk menuliskan jejak Maemunah sebagai sosok pejuang, sebab keluarga kami berjuang adalah pilihan hidup, lain tidak. Jika saja Memunah berfikir sebagai pribadi, ia tentu tetap menjadi guru atau pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, ia bisa menikmati hidup dengan nyaman dan berlimpah materi. Tapi pilihan untuk berjuang bersama rakyat adalah keputusan yang tak mungkin dicegah. Begitupun konsekwensi atas perlawanan yang dilakukannya harus membuatnya menderita, bahkan nyaris seumur hidupnya ia habiskan demi perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Saya sekeluarga ikut merasakan bagaimana rasanya hidup dalam kungkungan penjajahan.Betapa masa-masa pergolakan di Mandar ikut membuat kami harus terusir dari tanah kami dilahirkan.

 

            Sebagai saudara, Maemunah adalah sosok yang akan terus kami banggakan. Tak peduli apakah sebagai pejuang ia diberi penghargaan atau tidak. Sebab harga yang telah dibayarkan Maemunah selama hidupnya tentu tak akan mampu kami takar. Terlebih jika harus menggunakan nama besarnya untuk ajang gagah-gagahan. Maemunah adalah guru , pejuang yang tak kenal kompromi. Bagi kami dan bagi Maemunah sendiri memilih hidup bermanfaat bagi sesama, ia ingin hadir membahagiakan, bukan untuk membahayakan. Itulah makanya, nyaris selama hidupnya ia tetap berjuang guna memberi manfaat pada Mandar dan bangsa Indonesia.

 

            Sebagai keluarga, kami tau dan kami faham. Sejak wafatnya, ia dimakamkan di Pekuburan Dadi Makassar bersama ribuan warga masyarakat Makassar. Tak ada yang istimewa dari makamnya. Tak ada penanda yang mencerminkan sebagai sosok pejuang. Itu kami biarkan, sebab kami bukan type keluarga yang haus dengan penghargaan dan penghormatan. Kami biarkan begitu, sebab bangsa ini sejak lahirnya, slogan Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Pahlawannya kerap didengungkan dalam setiap momentum. Dan ketika Dinda Muhammad Munir berinisiatif menulis buku tentang beliau, praktis kami mendukung sepenuhnya hingga buku ini lahir sebagaimana adanya. Harapan kami tentu saja menginginkan jejak beliau bisa kembali dibaca minimal oleh keluarga besar kami, bersyukur jika kemudian bisa diakomodir sebagai bacaan umum di sekolah-sekolah di Mandar.

 

            Proses lahirnya buku ini juga kami tak ingin terlibat secara penuh selain mendukung, sebab kami sepenuhnya memberikan restu dan kewenangan kepada penulis untuk mengungkap dan menyingkap Sosok Maemunah sesuai data dan fakta yang ada. Kami bahkan tak ingin memberi catatan apresiasi andai penulisnya tidak memohon dengan sangat. Makanya apresiasi ini kami buat kepada pemerintah dan kepada penulis saja, sebab yang anda baca pada buku ini adalah hasil penjejakan murni dan ditulis berdasarkan data yang ada. Andai kata buku ini kemudian menghasilkan rekomendasi bahwa Maemunah adalah sosok yang layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, semua kami serahkan kepada pemerintah dan kepada masyarakat Mandar Sulawesi Barat.

           

            Akhir kata, semoga semua yang terlibat dalam proses lahirnya buku ini diberikan umur yang panjang, sehat dan sukses serta ma’barakka’ diseseta iyanasanna. Amin.

 

Makassar, 30 September 2021

 

 

 

 

ABRAR

 

Sabtu, 21 September 2019

HUSNI DJAMALUDDIN: "Ya, Betul. Dia Panglima. Titik!".

Catatan Muhammad Munir
Foto alm.Husni Djamaluddin saat Megawati Soekarno Putri kunjungan kerja ke Polewali Mandar, 26 Juni 2004

15 Tahun Sulawesi Barat ini, izinkan saya melisan tuliskan sosok Husni Djamaluddin, kendati saya bukan orang orang yang pernah berguru langsung. Bertemu pun tak pernah selain hanya melihatnya beberapa kali dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001 dan terakhir 2004, itupun hanya sekedar melihatnya sepintas.
Pernah suatu ketika saya ditanya siapa yang menjuluki Husni Djamaluddin sebagai Panglima Puisi?. Pertanyaan ini tentu saja membuat saya tersentak sebab pembacaan dan pemahaman saya tentang beliau sebatas pada Trilogi Bacaan: Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal; Adakah Kita Masih Bertanya?; Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku?. Saya yakin pertanyaan ini akan terus muncul dan bisa menjadi bom waktu bagi penggiat literasi ketika tak mampu memberikan jawaban.

Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (3) "Gara-Gara Literasi"

Melacak Jejak Topole di Balitung (3)
"Gara-Gara Literasi"

Pak Mansur dan Danu
  
      Secara geografis Pulau Belitung berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ - 108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur Selat Karimata, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar dan batas Selatan dengan Laut Jawa. Pulau Belitung banyak dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil dengan jumlah sekitar 189 pulau. Luas wilayah Pulau Belitung seluas 34.496 km² terdiri dari 4.800 km² daratan dan 29.606 km² perairan. Daerah ini sekarang terbagi dalam dua wilayah kabupaten, Kabupaten Belitung yang terletak di bagian barat pulai ini beribukota Tanjungpandan dan Kabupaten Belitung Timur yang ibukotanya adalah Manggar. Di Belitung Timur inilah Ahok (Basuki Tjahya Purnama) pernah menorehkan sejarah sebagai Bupati.
          Setelah jadi Bupati, Ahok kemudian mencoba meraih peruntungan ke Senayan dan lolos jadi Anggota DPR RI untuk selanjutnya jadi Wakil Gubernur mendampingi Jokowi. Setelah Jokowi jadi RI 1, Ahok kemudian menempati posisi nomor 1 di DKI. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Ahok disandung perkara Al-Maidah 51 yang terkesan dipolitisasi sehingga harus menjadi pesakitan dan sekarang harus berada di Hotel Prodeo. Gaerah Belitung Timur saat ini dinakhodai oleh saudara Yusril Ihza Mahendra. Adapun Kabupaten Belitung yang ibukotanya Tanjungpandan ini menjadi tujuan utama untuk melacak Jejak I Calo Ammana Wewang. Rupanya disini pula DN. Aidit, tokoh sentral dalam perbincangan dan literatur Komunis Indonesia ini dilahirkan.


          Senja mulai menggoda, gemercik air dari sungai kecil dibelakang Kandang Gapabel ikut menjadi penikmat suasana. Diskusi tentang I Calo Ammana Wewang semakin seru ketika Mansur Mas’ud muncul memenuhi panggilan Bang Yongki. Mansur Daeng Sila adalah sesepuh masyarakat Bugis Belitung yang di internal Gapabel termasuk dituakan. Wajahnya sangat familiar bagiku. Bukan lantaran sebelumnya sudah pernah bertemu, tapi lebih disebabkan oleh kemiripan wajah dan postur tubuhnya dengan A’ba Tammalele. Dalam hatiku, ini mungkin orang Mandar, bukan orang Bugis. Tapi bagaimanapun antara Bugis dan Mandar sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan integral ketika kita mentadabburinya dengan pepesan dari leluhur.
          Kendati Pak Mansur juga barusan mendengar nama I Calo Ammana Wewang, jelas dari mimik dan bahasa tubuhnya cukup meyakinkanku bahwa di Belitung ini, misi utamaku akan sangat terbantu dengan keberadaan Jaringan Pustaka Bergerak. Hal itu terbukti dari banyaknya mereka menghubungi beberapa tokoh di Belitung ini dan menyampaikan informasi kedatangan saya ini ke Belitung. Bahkan saat itu juga ada yang Yanto dkk datang menyapa serta terlibat dalam diskusi awal yang membuatku tak merasakan lelah dari perjalanan panjangku sejak pukul 23.00 kemarin dari Mandar ke Belitung. Pak Rosihan, adalah salah satu tokoh budaya dan sejarawan adalah nama pertama yang direkomendasikan kawan-kawan dari Gapabel, dan saya hanya mengiyakan, kapan saja untuk bisa dipertemukan dengan beliau.
          Setelah berdiskusi lebih 1 jam, mereka kemudian pamit satu-satu. Dita dan Danu serta Bang Jokie telah memberiku spirit untuk tetap semangat. Sesaat setelah mereka pergi, Saya kemudian minta ijin pada Pifin Herianto, pemuda gondrong yang ternyata merupakan Ketua Gapabel. Pifin inilah yang menamniku di Kandang (sebutan untuk Markas atau Sekretariat) untuk menyegarkan tubuh di kamar kecil yang ada disamping kandang. Guyuran pertama air di Belitung begitu segar. Cuaca panas dan seharian tak mandi membuat tubuhku terasa penat. Ti’au pai uwai anna ti’au alaweu” Sebuah bi’jar atau sejenis mantra leluhur yang kerap jadi pesan utama kakekku saat pertama kali mandi di kampung orang. Sesederhana itulah kearifan lokal leluhur Mandar bahwa air dimanapun didunia ini selain menjadi elemen dasar kebutuhan manusia, air juga menjadi kunci pertama untuk menjaga diri (jiwa dan raga) dimanapun.
          Mandar adalah suku yang sejak tak lain konotasi maknanya adalah air atau sungai. Filosofi tentang air yang mengalir menemukan jati dirinya pada titik-titik terendah. Tak sekalipun air mencari kesejatiannya pada titik-titik yang lebih tinggi. Air selalu mengalir pada tempat-tempat yang rendah. Air ketika keluar dari mata air, akan terus mengalir tenang, enggan berhenti. Kendati air dibendung pun ia tetap harus dialirkan agar bendungan tak dibobol. Dalam skala terkecil air disumbat, maka ia akan menghindari obyek yang menghalangi, terus dan terus mencari dimana titik bisa mengalir dengan nyaman. Filosofi ini mengajari setiap generasi Mandar bahwa dalam hal apapun, jangan pernah menjadi manusia yang angkuh dan ingin menjadi yang paling benar atau disanjung. Pun jika ada yang mencoba mengganggu, maka menghindarlah.
Begitulah air. Ia mengalir mencari alur, membuat arus. Pada posisi ia selalu diganggu kenyamannya maka tunggulah, air akan menjadi air bah yang mampu meluluh lantakkan apa saja yang menghalanginya. Air hanya patuh kepada titah tuhan untuk terus mencari alur untuk mengalir. Maka jangan heran jika orang yang betul-betul Mandar hanya akan patuh pada orang yang patut untuk dipatuhi. Selain filosofi, elemen air dan sungai rupanya menjadi simbol yang abadi dalam literatur sejarah Mandar.
Tanah Mandar berarti Tanah dan Air. Maka konsep tanah air itu terbukti bahwa 14 kerajaan di Mandar merupakan kerajaan yang dibangun dengan semangat Sipamandar atau Passemandarang yang maknanya saling mengautkan. Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binaga (Tujuh Kerajaan di muara sungai) adalah konsep Negara Konfederasi yang leluhurnya pun berasal dari konsepsi tomanurung yang kesemuanya identic dengan air (Tobisse di Tallang, Tokombong di Bura, Tomonete di Tarauwe dan Todisesse di Tingalor) bahkan leluhur Pongkapadang dan Torije’ne’ yang dikonsepsikan sebagai manusia pertama peletak dasar peradaban di Mandar ini tak lepas dari air. Pongkapadang yang merupakan simbo air pegunungan dan Torije’ne (istrinya) merupakan symbol air dari pesisir.


Lalu kaitan Mandar dengan Belitung itu dimana? Selain Topole di Balitung yang dibuang Belanda pada Abad-20, sebelumnya leluhur orang Mandar atau Raja Sendana, Tomatindo di Balitung atau Tomottong di Balitung. Ia adalah sosok yang sekitar abad ke-17 Masehi di Kerajaan Sendana lahir sosok “Tomatindo di Balitung” yang di negeri seberang berjuang melawan kebiadaban kolonialisme Belanda. Beliau oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin Farid, SH. menyebutkannya sebagai ”Sijago dari Selat Malaka”. Dalam banyak catatan, Tomatindo di Balitung juga diketahui banyak melahirkan falsafah yang berhubungan dengan etika kepemimpinan di tanah Mandar, termasuk yang memasukkan bibit kayu jati ke Mandar dan Tumarra (Timah) untuk keperluan ladung dan pemberat pada alat tangkap ikan seperti pukat dan tappe (alat tangkap ikan dengan kail dan tasi).
Maka tak salah kemudian jika saya begitu yakin ke Belitung seorang diri, sebab di tanah ini pernah tertanam jazad seorang raja dari Mandar yang tubuhnya itu diurai oleh tanah dan menjadi saripati yang diserap oleh akar tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan subur dan menjadi nutrisi penting dalam proses metabolism tubuh manusia Belitung. Jadi Mandar dan Belitung pernah terjalin hubungan kekerabatan yang begitu kuat, maka hari ini saya menawarkan diri pada personil Gapabel bahwa inilah generasi Mandar yang halal menjadi saudara kalian. Kalian adalah sosok-sosok yang sangat berharga dan oleh karenanya, kalian saya abadikan dalam tulisan saya.
                  
WW. House Belitong, 22 April 2018                                                                        23:40

Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung

Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini, ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya. Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun, ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas. Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan layanan antar dan paket penginapan. "Maaf, saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka. Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni, biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap. Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus (62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec. Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni. Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak. Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah. Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5 mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”. Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan alakadarnya di sore menjelang senja itu.


                                                   Minggu, Rumah Baca Akar, 22 April 2018


Melacak Jejak Topole di Balitung (1) "Iyau Tomandar"

Melacak Jejak Topole di Balitung (1) 
"Iyau Tomandar"


Malam kian beranjak. Gerimis sempat mengintip malu-malu ketika usai makan malam bersama keluarga besar Rumpita di Warung Barokah di sudut kiri simpang tiga Taman Kota Tinambung yang terdapat Patung Andi Depu. Warung Barokah menjadi alternatif bagi keluarga Rumpita untuk jika dalam kondisi emergency. Warung Barokah bersih, makanannya enak dan dikelola oleh orang Jawa. Menu favoritku di warung ini pasti nasi goreng kalau bukan pangsit. Menunya pas dan terkesan murah untuk sekedar memanjakan lidah. 1 porsi nasi goreng maupun pangsitnya hanya dibandrol 10K.
Begitulah, setelah ngopi dan sedikit diskusi dan berwejangan sama anak-anak Rumpita terkait beberapa agenda Wisata Buku, saya akhirnya berkemas untuk bersiap-siap berangkat ke Makassar. Asrar mengambil peran menunggu mobil yang kemudian disusul oleh Kadir, Adhy, Nizar, Ade, Indi dan tentu saja Erna, mamanya Ibnu. Erna, sosok wanita yang dengan setia merangkai do'a untuk saya, kendati harus melupakan kenikmatan do'a untuk dirinya. Tepat pukul 22.30 menit, mobil Bus Sipatuo milik perusahan PIPOSS berhenti tepat di depan Masjid Nurul Amin Kandemeng. Sisa kopiku masih sempat kuseruput untuk selanjutnya saya berjalan menuju ke arah depan dimana mobil dan anak-anak Rumpita menunggu.
Satu persatu kusalami, Aku larut pada lingkup berkah ketika doa kulangitkan diantara pelukan kasih sayang dan ciuman mesra pada kening istri dan anakku sebagai pola pamitan. Terima kasih sayang. Kau masih setia dan merelakan duniamu kugelapi dan kuterangi ! Aku berangkat sayang. I Love You.... Mesin mobil menderu, sedetik kemudian bergerak pelan pada saat saya sudah duduk tenang di Jok kursi nomor tiga dibelakang kondektur dan sopir. Dibilangan 21 April 2018 Pukul 22.40 menit menandai perjalanan panjangku dimulai.
Bertolak dari Kota Para Daeng (Mandar) menuju Kota Daeng (Makassar). Route Tinambung, Polewali, Pinrang, Parepare, Barru, Panggkep, Maros berujung pada gerbang Bandara Internasional Hasanuddin. Dingin AC mobil terasa menyengat sampai keulu hatiku ketika kondektur berteriak Bandara....bandara....Lewat pintu bandara, mobil melaju masuk ke arah pintuk keberangkatan bandara. Disamping jalan kiri kanan sepanjang akses ke termanal bandara, nampak promosi OPPO F5 berjejer laksana serdadu.
Lebih dekat ke terminal OPPO diganti dengan promosi produk Class Mild. Hingga saat jarum jam menunjuk angka 04-50 mobil berhenti tepat dipintu keberangkatan. Saya bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar mobil bagian depan. Pas di trotoar pintu terminal keberangkatan, puluhan anak-anak berhamburan menyerbu ke arah Bus yang saya tumpangi. Bocah-bocah itu ternyata kawanan kuli panggul di bandara. Kendati mungkin keberadaannya tidak resmi, sebab rata-rata mereka adalah anak usia sekolah atau dibawah umur tapi paling tidak ada yang menarik untuk saya catat dari mereka itu. Menunggu bag tour yang semalam saya bagasikan lewat kondektur, belum sempat saya sentuh kopor itu sudah ditadah sama bocah-bocah kecil itu.
Saya berusaha merebutnya tapi dia malah memotong jarak dan melompati pembatas besi tang terdapat di koridor terminal bandara. Hanya satu kata yang terucap dari mulutnya saat saya ikut dibelakangnya, "Saya bantuki pak, ndak usah dibayar". Beberapa saat kemudian bag tourku diletakkan pas dipintu masuk bandara. Kendati ia mengatakan tidak usah bayar, tapi sebagai manusia, tentu saja uang 2.000an bukan masalah, justru lembaran 5.000an yang saya serahkan. Pukul 06.00 pagi, setelah melalui pintu yang terdapat detektor dan pelayanan boarding pas saya langsung menuju ke eskalator sebab panggilan untuk Chek In sudah ada.
Pesawat milik maskapai penerbangan Lion Air ini mengantar penumpang tujuan Jakarta termasuk saya yang transit di Jakarta untuk menuju ke Kota Timah Belitung. Setelah melewati waktu tempuh 2.15 menit, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng tepat pada jam 07.15 menit waktu Jakarta. Tiba diterminal kedatangan. Barisan pekerja jasa travel dan hotel segera menyerbu menawarkan diri untuk layanan antar ke tujuan. Dipintu keluar bandara, segera kuambil arah kiri untuk masuk ke Terminal Keberangkatan 1 sambil menunggu penerbangan ke Belitung.
Didalam area terminal keberangkatan segera kukabarkan pada sanak famili sebab jam 10.00 pesawat tujuan Jakarta Belitung lepas landas. Pagi di lembar 22 April 2016 kurenda di ruang tunggu Gate 4 Bandara Soekarno Hatta. Saat Handphone kuaktifkan, puluhan pesan via WA masuk dari grup keluarga Rumpita. Termasuk pesan dari Yuyun Husni Djamaluddin, yang menanyakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan di Hotel Maleo Mamuju mengenai pengembangan dunia literasi. Belum sempat japriannya kubalas, beliau menelpon langsung. Poin penting dari percakapan kami adalah spirit yang kerap ia ingat dari almarhum ayahnya, "Iyau Tomandar". Bahasa yang singkat, namun penuh makna yang dalam dan panjang untuk dinarasikan. Selain menjadi pengisi waktu menunggu pesawat, rupanya diskusi saya dengan doktor cantik putri Sang Beruang Sulbar atau Panglima Puisi ini ternyata memberi spirit untuk perjalanan saya ke Belitung.
Maka, sepakatlah saya dengan Mbak Yuyun bahwa Diskusi Remapping Sulbar harus mengusung tema Iyau Tomandar. Demikian hasil perbincangan saya dengan dosen Perpolisian Masyarakat yang pada Debat Kandidat Pilgub Sulbar 2017 lalu menjadi Host atau pemandu. Spirit "Iyau Tomandar" dari Yuyun ini sampai ke Belitung menjadi sebuah jawaban bahwa melacak jejak seorang diri dengan obyek Melacak Jejak Topole di Balitung ini merupakan tindakan berani dan nekat. Begitulah teman-teman di Kandang Gapabel mencandaiku. Jawaban singkat saya "Iyau Tomandar" Pesawat akhirnya take off menuju Belitung, Kota Laskar Pelangi tepat jam 10.30 dan tiba di Bandara Belitung jam 11.25 menit.


                                                          Jakarta-Belitung, Minggu 22 April 2018