Minggu, 25 Desember 2016

MAULID DALAM IMPERIUM SEJARAH PERADABAN MANUSIA : “ MAULID: DARI AMALIYAH NYATA KE DISKUSI MAYA” (Bagian 1)

Oleh: Muhammad Munir (Rumpita-Tinambung)

Sebuah Pelontar 

Keinginan untuk menulis tentang Maulid ini dilatarbelakangi oleh polemik antara penulis dengan Muhammad Ridwan Alimuddin yang secara spontan menggunakan kata HBD Muhammad SAW ketika ikut memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad Rasulullah disalah satu masjid di Kecamatan Balanipa. Status yang diposting melalui akun pribadinya difacebook tersebut memang tak sehangat kasus penistaan al-Qur’an Surah Al Maidah 51 oleh Ahok yang melahirkan gelembung kebencian yang ditandai oleh gerakan 212. Keterangan Muhammad Ridwan Alimuddin mengatakan bahwa ide penggunaan HBD itu muncul ketika menjawab pertanyaan Nabigh (putranya) yang bertanya, Apa itu maulid? Lalu dijawabnya , “Ini acara ulang tahun, hari lahirnya Nabi Muhammad. "Di namamu ada kata Muhammad kan? Ayah juga." Ditambahkannya, “Sejauh tdk menjurus ke sirik atau yang melanggar agama, penggunaan kata ini, terima atau tidak, dugaan saya karena selera semata”.

Penulis sedikit tergelitik ketika nama Muhammad SAW itu harus disandingkan dengan nama manusia biasa sekelas Muhammad Nabigh dll. Ini murni tentang bagaimana kita membuat tulisan atau ucapan yang berbeda ketika menyebut nama Manusia Pilihan yang kita junjung sebagai orang islam. Dalam tinjauan tata bahasa dan kemajemukan yang masahoro digunakan oleh masyarakat dunia Islam juga,  misalnya Maulid Untuk Nabi Muhammad SAW, Haul bagi Ulama dan Milad bagi masyarakat secara umum. Konteks bahasa dalam sudut pandang pemaknaan bahasa Inggris boleh jadi itu, tapi sebagai orang Islam yang nota bene menjadikan al-Qur’an dan bahasa Arab sebagai rujukan mutlak harus diluruskan. Kendati ini bukan persoalan prinsip bagi masyarakat pada umumnya, namun tetap ini menjadi sebuah obyek yang layak untuk diperdebatkan.

Pro Kontra Seputar Kata Maulid dan HBD Muhammad SAW

Pertentangan penulis dengan Muhammad Ridwan Alimuddin di Facebook itu ternyata melahirkan pro kontra yang mengharuskan penulis harus berdiskusi didunia maya selama 3 hari 3 malam. Pro kontra itu jelas terbaca dari beberapa statemen yang dituliskan teman-teman dalam kolom komentar. Mainunis Amin (Tokoh pemuda, Pimpinan Media Sulbar Politika) misalnya, ia berpandangan bahwa istilah HBD Nabi Muhammad yang menjadi "aneh" di Mandar karena tidak terdapat dalam kamus istilahiyah Mandar berkaitan dengan maulid. Lalu apakah karena aneh di Mandar, lalu lantas mendistorsi peristilahan dunia islam secara umum?. Bahkan lebih dipertegas lagi, bahwa dalam ilmu bahasa Arab, HBD itu adalah makna kontekstual yang disebut al-ma'na al-istilahiyah (arti bahasa yang berkembang dikalangan muslim disuatu tempat tertentu lalu diterima sebagai istilah bersama).

Lagi-lagi persoalan akan kian meruncing ketika HBD ini diinginkan untuk menjadi sebuah istilah yang disepakati dan bersama. Sebab ketika hal tersebut harus disepakati bersama oleh masyarakat Islam, jelas menjadi proses pengebirian secara verbal terhadap tata bahasa yang jamak dipahami dan diyakini oleh umat Islam. Mahmuddin Hakim (Tokoh pendidik dan penceramah) membantah pernyataan itu dengan tulisannya yang menyatakan bahwa,  Maulid itu adalah kata serapan dari bahasa Arab yang khusus dipakai untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad. Untuk penggunaan kepada manusia dan organisasi umumnya menggunakan kata milad yang juga adalah kata serapan yang digunakan untuk memperingati hari lahir individu maupun organisasi. Hal tersebut seudah menjadi hasil kesepakatan oleh para ahli bahasa bahwa maulid adalah kata yang khsus untuk hari lahir Nabi Muhammad. Mahmuddin juga menjelaskan bahwa kata HBD bisa saja dimaknai sebagai Hari lahir tapi tidak untuk nabi Muhammad, sebab dalam konteks tata bahasa kata maulid dan milad itu beda, satu ismu makan dan satu ismu fa’il. HBD mungkin bisa dipadankan dengan kata milad tapi tidak secara umum untuk kata maulid.

Persoalan kian meruncing  sebab Muhammad Ridwan Alimuddin tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya atas pertimbangan arti kata Happy (selamat), Birth (lahir), dan Day (hari). Menurutnya Selamat Hari Lahir Nabi Muhammad SAW. Itu bahasa Indonesianya. Bahasa Arabnya Maulid Nabi Muhammad SAW. Kondisi yang sama terjadi pada kata  Maulid jadi Munuq, Ulama jadi panrita (pendeta). Ia bahkan mengemukakan contoh menarik berupa perbandingan kata yang sudah umum yang tak menuai protes. Contoh menarik yang dijadikan penguat pernyataannya itu adalah ketika Cak Nun dan Kyai Kanjeng mengaransemen lagu pujian kepada Nabi Muhammad yang musiknya diadopsi dari music/lagu yang biasa dinyanyikan di gereja atau oleh kaum Nasrani.  Sampai disini, penulis semakin tergelitik bahwa kondisinya jelas beda ketika penguatan tersebut harus melibatkan Emha Ainun Nadjib dan Kiyai Kanjengnya, sebab diantara situasi itu menurut penulis nyaris tak ada korelasi dan tidak nyambung.

Melihat nama Emha dan Kiyai Kanjeng disebut-sebut, salah satu tokoh Maiyah Abed El Mubarak tak mau diam. Abed bahkan menegaskan bahwa memang kalau dikaji secara bahasa, kata maulid beda dengan milad, kalo milad setahu saya kelahiran biologis sedangkan maulid adalah kelahiran spiritual yang bisa saja terus menerus lahir dalam jiwa kita. Komentar seorang Tokoh dan Ustadz datang dari S. Fadl Al Mahdaly. Beliau menulis Identitas kita dimandar salah satunya adalah manjagai Turang loa kepada siapa saja apalagi kepada seseorang yang dimuliakan. Kita sudah terbiasa begit.. Nah ketika pilihan kata lain yang digunakan dalam menyapa atau menyebut seseorang misalnya (ita’ menjadi i'o) atau HBD nya bang Muhammad Ridwan Alimuddin, pasti kita merasa ngeri-ngeri  sedap. Sebab Orang Mandar itu luar biasa kemampuannya menjaga sikap bertutur. Misalnya, Dalam bahasa Arab,( kamu disebut anta). ArabBahasa Arab ya begitu saja dan tidak ada pilihan kata lain entah itu bicara sama Tuhan atau Rasulullah SAW. Tetappakai kata anta. Nah, Kalau di-Mandar-kan pasti tidak enak dengarnya (i'o puang, i'o Muhammad). Makanya digantilah oleh kita "anta" menjadi "ita". Walaupun peruntukan maknanya tetap sama. Soal akkeada’ pada akhirnya. Demikian komentar pertama S. Fadl yang kemudian lebih dipertajam bahwa penyebutan HBD pada Nabi Muhammad jelasmerupakan tindakan dan pernyataan yang tidak beretika, apalagi kita sebagai orang yang beridentitas Mandar. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar