Selasa, 14 Juni 2016

Mengenang Kolonel Abdul Rauf, Mantan Bupati Majene 1965-1967


Desa Samasundu adalah sebuah perkampungan tua yang dulu masuk dalam wilayah adat pemerintah kerajaan Balanipa, yaitu Appeq Banua Kayyang. Disana tinggal sepasang suami istri yang kukuh mempertahankan cintanya dalam ikatan rumah tangga. Namanya H. Tanggo Daengna I Saniasa dengan Sinna yang melahirkan enam orang anak, salah satunya adalah Abdul Rauf yang lahir bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 Agustus 1923.
Sinna, ibu dari Abdul Rauf masih tercatat sebagai keturunan langsung pappuangan. Meski begitu, gaya hidupnya tak pernah menampakkan sifat-sifat feodal. Demikian juga ayahnya, H. Tanggo Daengna I Saniasa, juga dari keturunan adat Banua Samasundu-Napo dan keturunan adat kerajaan Pambauang. Jadi dalam darah ayahnya, mengalir cera’ puang yaitu Balanipa dan Pamboang.
Dari pasangan inilah tumbuh dan berkembang seorang anak yang bernama Abdul Rauf. Rauf menempuh pendidikan sekolah dasarnya dengan berjalan kaki dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Pendidikan sekolah dasarnya ia jalani di HIS selama enam tahun. HIS saat itu hanya ada di Majene, Ibukota Afdeling Mandar. Bisa dibayangkan jarak tempuh  antara Samasundu dan Majene sejauh 15 kilometer.
Tapi bukan Rauf kalau tak bisa menyiasati kasulitan dalam perjalanan ke sekolah ini. Pada awalnya ia menempuh dengan jalan kaki mulai dari rumahnya hingga sejauh 5 kilometer hingga tiba Tinambung. Di Tinambung lalu dilanjutkan naik bendi-kendaraan tradisional Mandar- yang ditarik seekor kuda di Majene. Sitti Alawiah termasuk yang berjasa menunggunya dalam perjalanan sejauh 10 kilometer. Rutinitas ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut. Pada tahun kelima dan keenam di HIS, strategi perjalanan pun berubah dan ini akan menjadi sebuah kisah yang tak pernah dilupakan oleh Abdul Rauf semasa hidupnya.
Begitu dalam kumpulan naskah ‘’Kenanganku’’ yang disusun sendiri oleh Abdul Rauf, di akhir tulisan tertanggal 26 Mei 1984, sebagai kado ulang tahun perkawinannya yang ke 37. Ceritanya begini. Seorang teman kelasnya bernama
Sitti Alwiah, Seorang anak dari jalur Pappuangan Biring Lembang. Sitti Alawiah tinggal di kampung Tangnga-tangnga, samping masjid kerajaan Balanipa, 10 kilometer dari Majene. Jadi ketika Abdul Rauf usai menempuh jalan kaki 5 kilometer, maka tibalah di tempat Sitti
Perempuan ini memiliki sebuah sepeda hasil pemberian kakaknya, Muhammad Taufik. Tapi sayang Sitti Alawiah tak bisa mengayuh sepeda. Untungnya Abdul Rauf lincah naik sepeda tapi ia tak punya sepeda. Nah dua kesulitan ini pun berkumpul menjadi satu. Seseorang punya sepeda dan yang satu tak punya sepeda, tapi terampil besepeda.
Melanjutkan perjalanan ke sekolah HIS di Majene, mereka pun bersepakat berboncengan, Abdul Rauf di depan mengayuh pedal  dan Sitti Alawiah duduk dibangku boncengan. Untungnya bagi Abdul Rauf, ketika pulang sekolah, saat Sitti Alawiah sudah tiba di rumahnya sepeda pun dilanjutkan ke rumah Abdul Rauf, hingga malam. Begitulah seterusnya.
Rupanya masih ada kesepakatan dari keduanya mengenai sepeda. Dan hal ini tak boleh dilanggar. Kalau kelak ban sepeda rusak di bagian depan maka Abdul Rauflah yang akan menanggungnya. Dan kalau ban belakang yang rusak maka Sitti Alawiah pulahlah yang menanggungnya.
 Di masa kanak-kanaknya itu, Abdul Rauf kerap bermain-main mattaru, ma’gasing, siseppa, silanja, dan mallayang. Di bidang seni ia gemar memainkan kecapi, gambus, rebana, dan permainan pencat silat.
Untuk pertama kalinya Abdul Rauf ke Makassar, tepatnya 26 Juni 1937. Bila saja ia lulus masuk di Normal School maka nasibnya menjadi guru akan tercapai. Tapi ia tak beruntung. Seiring saat itu pula pecah perang Asia Timur Raya, dan Abdul Rauf pun dengan tujuan melamar di sekolah Putsu Cu Gakko, tapi itu pun belum bisa masuk dikarenakan ia tiba ketika penerimaan siswa sudah ditutup.
Meski begitu Abdul Rauf tak pulang kampung, ia harus sabar menunggu penerimaan tahun depan di sekolah yang sama.  Alhasil, ditahun berikutnya ia diterima di Putsu Cu Gakko. Sekolah di Makassar tak lama sebab ketika tentara sekutu mengadakan serangan balik terhadap pendudukan Jepang, kota Makassar pun porak-poranda terpaksa proses belajar mengajar di sekolah Abdul Rauf di pindahkan ke Sinjai.
Disamping ia menimbah ilmu ilmiah, juga mulai diperkenalkan perjuangan untuk merdeka: semangat, disiplin dan latihan militer. Pada tahun 1945 pihak pimpinan sekolah meliburkan siswanya, dan Abdul Rauf memilih pulang kampung yaitu Tinambung. Ia menunggu kabar dibukanya kembali hari sekolah, ternyata yang datang adalah menyerahnya Jepang terhadap sekutu. Ambang kemerdekaan Indonesia pun tinggal menghitung hari untuk tiba.
Di Mandar. Dibawah komando Andi Depu atas restu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo) mengorganisir pemuda-pemuda pejuang untuk bersama-sama mempertahankan kemerdekaan republik yang telah di proklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Dengan berhimpunnya pemuda-pemuda pejuang itu, maka dibentuklah sebuah wadah perjuangan yang disebut Kris Muda Mandar. Keterlibatan Abdul Rauf juga sangat berarti, terutama ketika sekutu hendak menjajah kembali. Begitu banyak  hal yang ia  lakukan untuk perjuangan perlawan tersebut.
Suatu ketika, dari banyak momen keaktifan sebelumnya di tanun 1946, Abdul Rauf menemani pimpinan perjuangan Mandar, H. Abdul Malik ke daerah Matangnga. Tujuannya untuk menyampaikan pesan bahwa kelak ketika pasukan NICA hendak menangkap H. Abdul Malik, maka pasukan perlawanan akan bergerak dan berkonsentrasi di daerah Matangnga. Kalau-kalau NICA lebih jauh bisa menduduki Majene dan Polewali.
Tapi rupanya NICA licik sekali, dan telah menyiapkan hari-hari naas bagi H. Abdul Malik, Abdul Rauf dkk. Abdul Rauf tak punya pilihan selain mengantisipasi kelicikan Belanda dengan menghindar. Keputusan untuk ke daerah seberang adalah satu-satunya pilihan untuk menghindari maut dan perang yang tak imbang. Pilihan sulit itu terasa meradang, sebab itu berarti tokoh pejuang Mandar ini harus berpisah dengan kampung yang amat dicintainya, termasuk sekian banyak rakyat yang mendukungnya harus ia tinggalkan dalam waktu yang agak lama.
Pada jumat, 12 April 1946 sekitar pukul 12 malam, H. Abdul Malik, Abdul Rauf dengan perlahan beranjak dari rumah dengan tujuan ke Jawa. Di malam yang gelap, di tengah ramainya bunyi jangkrik dan gulita malam. Mereka melangkah perlahan agar tak membuat rakyat panik sebab kalau rakyat tahu betapa sedihnya mereka bila ditinggal pergi oleh pimpinanannya. Tak cukup selusin orang yang menyaksikan kepergian itu: dan hanya do’a dan air mata mengiringnya pergi.
Sekitar pukul dua dinihari, sebuah perahu sampan mengantar mereka menuju Balikpapan, Kalimantan Timur. Untuk bisa sampai di Balikpapan mereka membutuhkan waktu tak kurang dua minggu berlayar dilaut lepas. Di Makassar, rupanya NICA mengetahui kalau pimpinan perjuangan rakyat Mandar, H. Abdul Malik dkk. tengah dalam perjalanan menuju pulau Jawa.
Lewat siaran radio NICA, penguasa Belanda di tanah Mandar diinstruksikan untuk menangkap mereka. Kalau ada yang berhasil menangkap Mara’dia dan rombongan maka akan diberi hadiah Rp 5000. Tapi H. Abdul Malik dkk. punya strategi dalam perjalanan untuk mengantisipasi instruksi Belanda itu, sehingga rintangan cukup pelik dalam perjalanan mampu mengantarnya sampai di tempat tujuan, Pulau Jawa.
Tepat 9 Juli 1946, rombongan Abdul Malik dan Abdul Rauf tiba di Jepara. Untuk pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di pulau Jawa. Mereka terus berpindah-pindah sampai pada akhir Juli 1946 mereka tiba di Yogyakarta, ibukota pemerintahan Republik Indonesia. Di Jogya mereka berjumpa B. Ratulangi, ketua Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (Kris). Berkat pertemuan inilah H. Abdul Malik dan Abdul Rauf dimasukkan dalam Asrama Republik Indonesia (ASRI), kemudian diberangkatkan ke Solo untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Di sinilah mereka mulai terdaftar sebagai bagian dari militer Indonesia.
Pada November 1946, lewat sebuah kereta api, tibalah ia di kota Cirebon. H. Abdul Malik sudah Kapten dan menjabat wakil kepala inspektorat BPD 31. Sementara Abdul Rauf sudah Letnan Muda.
Ketika di Cirebon, Abdul Rauf menemukan tambatan hatinya. Roro Suharti, Seorang perempuan Jawa keturunan bangsawan yang hendak diperjodohkan. Ia berkirim surat untuk saling kenal dan yakin akan hidup bersama seumur hidupnya.
Kamis 26 Mei 1947 di rumah Raden Kadio Singohadimulyo, Abdul Rauf resmi resmi mengucapkan ijab Kabul untuk mempersunting Roro Suharti. Abdul Rauf sebagai pihak laki-laki di dampingi oleh H. Abdul Malik.
Tahun 1947 terjadi pergeseran dilingkungan inspektorat perjuangan daerah 31. Kapten H. Abdul Malik menjadi kepala inspektorat perjuangan Kabupaten Majalengka, dan Letnan Muda Abdul Rauf  menjabat kepala keuangan insp. BPD 31, atau menggantikan posisi Kapten Abdul  Malik.
Dalam menjalankan tugas, duka menyapa pasangan muda ini. Ketika tentara Belanda menduduki Jogyakarta, Abdul Rauf harus berpisah dengan istrinya, Roro Suharti. Selama perpisahan itu, Abdul Rauf berkeliling di banyak tempat dan kadang masuk hutan. Bahkan beredar kabar kalau suaminya sudah meninggal, tapi sang istri selalu yakin kalau suaminya masih hidup.
Ternyata Suharti benar, sebab setahun kemudian mereka bertemu kembali setelah perpisahan dimulai 29 Juli 1947 berpisah di Cirebon, tepat pukul tiga sore sampai jumat 30 Juli 1948  tepat pukul 7.30 malam bertemu di Yogyakarta.
Dalam catatan selanjutnya, Abdul Rauf menulis. Pada sabtu, 18 Sebtember 1948 PKI dibawah pimpinan MUSO mengadakan pemberontakan di kota Madium. Muso dibantu dukungan Letkol Adam-TNI B 29 berhasil mengusai kota Madium  dan sekitarnya.
Atas perampasan kekuasaan dan pemerintahan yang digerakkan oleh PKI, Presiden RI Soekarno melalui RRI, mengumumkan bahwa semua anggota TNI yang turut terlibat menjadi kaki tangan Muso dipecat. Berkat kerja sama pasukan Siliwangi dengan pasukan Jawa Timur, pada jumat 15 0ktober 1948 Kota Madium kembali di rebut oleh TNI.  Pengejaran dilakukan terhadap Muso dan akhirnya berhasil ditembak mati.
Januari 1950, Abdul Rauf mendapat tugas mengantar surat ke Makassar. Pada 20 Februari 1950 kapal yang ditumpanginya merapat dipelabuhan Makassar. Saat itulah Abdul Rauf bertemu kembali kawan-kawannya:  M. R. Amin Daud, Abdul Rahman Tamma, Lappasbali, Andi Parenrengi.
Sekembali Rauf ke Yogyakarta. Ia hanya tinggal sebentar saja, sebab pada 22 Mei 1950, bersama keluarganya meniggalkan Yogyakarta menuju Makassar untuk tugas dan pengabdian di Sulawesi.
Sebelum kapalnya merapat ke pelabuhan Makassar, Abdul Rauf bertemu dengan Mayor M. Saleh Lahade.  Lahade menawarkan agar Rauf tak usah terus ke Mandar dan bergabung di staf teritorial Kodam 14 Hasanudin, Makassar. Tapi di Makassar tak lama, sebab pada 1 januari 1950, Abdul Rauf dan keluarga berangkat ke Mandar untuk tugas baru di tengah-tengah keluarga dan kawan-kawan sepejuangannya di Tinambung.
Tahun 1965, Abdul Rauf di angkat menjadi Bupati Majene menggantikan  Abdul Rachman Tamma. Menjadi bupati pada saat itu bukanlah perkara mudah. Selain karena waktu  itu terjadi G.30 S PKI yang di mulai dijantung Ibukota Jakarta.  Di Mandar juga gerombolan pemberontak masih merajalela. Kondisi inilah yang akan membuat hari-hari Abdul Rauf tak akan tenang dalam memimpin Kabupaten Majene.
Hanya dua tahun lebih memimpin Kabupaten Majene. Dalam ukuran masa jabatan formal seorang Bupati dimasa kini memang tidaklah lama. Tapi sungguh sebuah proses yang luar biasa, dalam suasana republik yang masih transisi oleh pecahnya pemberontakan PKI tahun 1965. Di Majene juga ada beberapa oknum tentara dan kepolisian yang membelok masuk mendukung gerakan PKI, belum lagi aksi gerombolan dari sisa-sisa pasukan DI /TII juga kerap mamanfaatkan keadaan.
Dalam suasana seperti itu, sebagai bupati, Abdul Rauf tetap bisa mengendalikan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten yang ia pimpin. Pembangunan dalam tanda petik pembangunan fisik yang mercusuar, sebab selain karena situasi keamanan yang sangat tak konduktif juga dana pembangunan masih sangat minim sekali, terlebih saat itu belum dikenal dengan pembangunan Renacana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Meski minim dana, pembangunan masih tetap bisa dimaksimalkan oleh Abdul Rauf. Bahkan seandainya semua unsur yang tergabung dalam pasca tunggal (sekarang muspida) bisa kompak, arah dan konsep pembangunan pasti bisa  dijalankan. Namun yang terjadi, justeru  unsur pasca tunggal masing-masing jalan sendiri. Bahkan ada segelintir petinggi di Kabupaten Majene yang hendak memonopoli perdagangan kopra.
Sebagai bupati, Abdul Rauf tentu tidak sepakat dengan cara seperti itu. Ia mau perdagangan terus berjalan normal, tanpa ada monopoli segelintir pihak. Sebab monopoli adalah cara buruk dalam perputaran ekonomi di daerah.
 Sebagai tentara, Abdul Rauf tentu sangat menyadari bahwa menjadi bupati adalah proses pengabdian pada bangsa dan negara, bukan mengabdian kepada segelintir tokoh. Dan semangat itulah yang kokoh ia perjuangkan dan diperlihatkan pada masyarakat Majene.
Komitmen dan prinsipnya yang teguh itu memunculkan ketidaksukaan segelintir elit di Majene atas kepemimpinan Abdul Rauf. Ia dianggap terlalu disiplin dalam tugas dan tak mau neko-neko. Kondisi itu tak membuat Abdul Rauf goyah. Ia tak bergeming dengan sikapnya, sebab ia harus tunduk pada komitmennya ketika ia diserahi jabatan sebagai Bupati Majene. Ia pantang menyalahgunakan jabatan hanya karena desakan segelintir pihak untuk berbuat serong.
Suatu waktu di awal tahun 1967 beberapa tokoh yang tak sependapat dengan bupati Abdul Rauf memprovokasi warga. Mobilisasi sejumlah warga ini berkedok kerja bakti. Warga diperintahkan membawa parang. Hal Ini sesungguhnya lebih nampak demonstrasi kepada bupati.
Bupati Abdul Rauf pun sadar bahwa kolega koleganya, bahkan ada juga kerabatnya yang sekian lama bermain bisnis di rumah jabatan pun tampil mendemonya. Di benak Abdul Rauf, hal ini adalah wajar. Baginya, kalau memang ada tokoh-tokoh yang tak suka lagi padanya, itu bukan masalah. Pada akhirnya, rakyat akan  sadar sendiri bahwa kita hanyalah korban dari egoisme segelintir elit di Kabupaten Majene ini. Dengan berbagai pertimbangan atas kondisi yang ada, berakhirlah masa kepemimpinan Abdul Rauf sebagai Bupati Majene.
Meski tak lagi menjabat sebagai bupati Majene, tapi sebagai seorang perwira menengah di Angkatan Darat, Abdul Rauf tak sepi dari jabatan. Usai jabatan bupati, ia langsung diposisikan di Makassar. Dan ketika usai Pemilu 1971, pemilu pertama di masa orde baru, Abdul Rauf diangkat sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Banyak kenangan ketika menjadi anggota dewan. Masa aktifnya di TNI juga telah berakhir dengan penghargaan khusus: Kolonel (Purn.) Abdul Rauf.
Biduk rumah tangga yang dibangun dengan kesetian bersama Roro Suharti ini dikaruniai 13 anak, 7 perempuan dan 6 laki-laki. Selama hidup Abdul Rauf tampil sangat sederhana. Jujur dan tak pernah tertarik yang disebut KKN. Padahal bila diukur dari jabatan yang pernah ia pegang terutama ketika menjadi Bupati Majene dan Anggota DPRD SulSel peluang itu terbentang luas.
Integritas dan pendirian yang teguh itulah yang selalu ia pertahankan, sehingga dalam perjalanan hidupnya tak memiliki rekening gendut selain hanya memiliki rumah seadanya di jalan Sawerigading 14 Makassar, itupun nanti setelah dekat dekat pensiun baru disertifikatkan. Kalau pun Abdul Rauf memiliki sebuah mobil Datsun, itu berkat hadiah dari seorang Tokoh Mandar yang diserahkan kepada Abdul Rauf masyarakat Mandar.
Cerita Suharti, istrinya, tanah dan rumah itu disertifikatkan karena berkat dorongan istrinya. Ketika Abdul Rauf masih menjadi anggota DPRD SulSel, suatu waktu ia akan menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saat itulah istrinya berpesan, “Pak kalau balik ke Makassar tak usah di belikan ole-ole, kalau ada uang uruskanlah sertifikat tanah dan rumah ini, biar kalau bapak meninggal ada kenang-kenangan buat aku dan anak-anak kita, “. Kenang Roro Suharti.
Dirumah kenangan yang sederhana itulah, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun sering datang dan menginap di situ. Emha sudah menganggap Abdul Rauf sebagai guru sekaligus orang tuanya.
Bahkan Baharuddin Lopa ketika masih di Makassar kerap menemui Abdul Rauf. Disitu ia mengobrol hingga larut malam. Di masa tuanya, atau ketika Abdul Rauf sudah benar-benar tak lagi berkecimpung di segala aktifitas, datanglah suatu momen yang sangat penuh arti. Saat itu Andi Lantara meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar. Di pemakaman itu hadir pula kawannya, Andi Tau.
Ketika acara pemakaman usai, dan seluruh pengantar hendak pulang, Abdul Rauf membisikan sepotong kalimat di dekat telinga Adi Tau, “Nanti saya yang menutup pintu tempat pemakaman ini.” kata Abdul Rauf.
Rupanya pesan lewat kalimat ini punya arti yang amat dalam. Tak lama setelah momen itu, Abdul Rauf menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat tahun 1994. Ia pun diantar oleh iringan sanak Famili dan kawan kawannya di taman makam pahlawan, tak jauh dari sisi Andi Lantara.

Umur Abdul Rauf genap 71 tahun. Dan Suharti, sejak saat itu, telah kehilangan kekasih dan orang dekat selama empat puluh tujuh tahun. Suharti beruntung, sebab mempunyai seorang anak yang hampir lengkap mewarisi karakter ayahnya. Selain itu hanya dia yang mengikuti jejak ayahnya sebagai tentara: Kolonel Satria Putra Rauf puskopol AD Kodam VII Wirabuana, anaknya yang ketujuh. (Sumber: Disari dari buku "Dalam Sejarah Akan Dikenang" Sarman Sahuding. 2005).

SEDIKIT TENTANG ADMIN BLOG RUMPITA galerikopicoqboq.blogspot.com

Dari sebuah ruang yang pengap dan sempit, ketika malam makin jauh, seperti larinya kuda jantan di malam hari. Terlukis kecemasan, ketakutan dan kebahagiaan yang menyatu dalam diri seorang ibu yang sedang berjuang meregang nyawa, menikmati rasa sakitnya dalam dekapan seorang lelaki yang masih tampak gagah dari garis-garis wajahnya. Dengan sisa-sisa tenaga sang ibu yang berhasil memenangkan pertarungan itulah yang mengantarku merasakan udara dingin dirembang malam yang merupakan detik, menit dan hari pertama dunia mengenalku dan menyematkan identitas padaku sebagai penduduk bumi.

Alam sepi dan sunyi seketika rancu oleh suara tangis bayi yang sedang dalam penanganan seorang wanita tua yang akrab di panggil “Kanne Sando” alias “dukung beranak” yang dengan cekatan “Marrattas belarang” (memotong tali pusar) lalu kemudian mempersilahkan seorang lelaki muda dan gagah itu membisikkan bait-bait kalimat sakral (Adzan ditelinga kanan dan iqamat ditelinga kiri) yang ternyata kalimat itulah yang menjadikanku sebagai seorang hamba Allah yang hidup dalam naungan panji-panji keislaman.

Wanita yang sukses dalam pertarungannya itu adalah ibu (Amma’)nya yang bernama HARMI anak seorang kepala kampung yang bernama HASAN atau Ka’Pinda. Dan lelaki yang mengumandangkan kalimat suci itu adalah bapak (Pua’) nya yang bernama NURDIN atau ALIMUDDIN yang bapaknya bernama Razak. Mereka memberi pada putra keduanya dengan nama asli ”MUHAMMAD” yang kemudian pada saat megenal tulisan dia memperkenalkan nama pena “MUNIR” akronim dari MUHAMMAD BIN NURDIN IBNU RAZAK.

Seiring berjalannya waktu ia bertumbuh dan mengenali lingkungannya yang kumuh, kuno dan hanya bisa menikmati kasih sayang dari pasangan suami istri yang miskin (harta, ilmu dan pengalaman). Dengan kaki telanjang ia lalui hari-harinya dengan menggembala sapi (Ma’ambiq saping) sambil bersekolah. Masa kecil yang sulit ia nikmati dengan sebuah harapan yang penting bisa makan saja. Paceklik dan kemarau panjang dari tahun 1985 sampai 1987 yang cukup menyiksa sangat lengket dalam memori fikirannya betapa untuk makan dari beras sangat sulit, dan harus rela mengganti makanan pokok itu dengan pisang, sagu dan jagung.

Akhir tahun 1987 musim berganti, dari kemarau panjang ke musim hujan. Curah hujan diatas normal menjadikan air sungai meluap hingga akhirnya banjir besar melanda. Semua menjadi korban, mulai sapi, tanaman, sampai rumah dan perkampungan di dusun kelahirannya separuhnya terseret arus. Kesulitan makin meradang, kemiskinan semakin menyiksa. Hanya keajaiban dan pertolongan Tuhan jualah yang membuat dia dan masyarakat mampu bertahan hidup dan mempunyai peluang untuk menyelesaikan pendidikannya. Meski untuk itu, ia harus mengorbankan kenikmatannya dan berharap menikmati pengorbannya itu esok dan nanti. Lelaki ini ditakdirkan lahir berdarah Mandar di Botto, Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar pada tanggal 15 Februari 1979.
Sosok pria berkulit hitam manis khas masyarakat pesisir ini, di usianya yang masih terbilang muda, ia cukup bahagia dalam karirnya yang aktif disalah satu parpol dan belakangan aktif dalam aktifitas yang berkaitan dengan budaya dan lingkungan hidup sebagai salah satu core person dalam Komunitas Appeq Jannangang. Kesuksesan publikasi aplikasi android Lontaraq Digital tidak lepas dari partisipasi aktifnya dalam berpromosi diberbagai media dan kesempatan.

Meskipun ia lahir di wilayah Mandar pesisir, namun pengetahuannya tentang seluk beluk Mandar pegunungan layak diacungi jempol. Selain ranah budaya dan lingkungan hidup, lelaki Mandar yang satu ini juga aktif dalam bidang literasi. Pendiri Komunitas RumahPustakaRumpita (Rumah Kopi dan Perpustakaan) ini getol menyumbangkan tulisan-tulisannya diharian Radar Sulbar dan media-media lain seperti Surat Kabar Plat Merah, Media online Seputar Sulawesi Barat, Kandora, Suryatop News, dengan berbagai tema.
Selain menulis, suami dari Hernawati Usman ini juga dikenal sebagai seorang penelusur. Nyaris seluruh wilayah Mandar ini ia telusuri, mulai dari Paku-Soremana, dari Polewali ke Mamasa, Mamasa ke Mambi-Aralle Tabulahan, Banehau. Bonehau ke Kalumpang dan dari Kalumpang kembali ke Bonehau, Keang, Kalukku Tasiu-Mamuju.
Demikian juga dari Tinambung, Alu, Pumbijagi, Poda, Padang Mawalle, Lullung, Ro'boang, Patulang, Ambo Padang, Batupanga, Luyo sampai ke Mapilli. Jalur Lampa-Kanusuang, Pulliwa Bulo ke Matangnga, Mehalaan, Keppe dan Mambi. Jalur dari Matangnga, ke Passembu, Kondo, Lenggo, Kalo, Ratte Kallang, Tubbi, Besoangin, Tibung tembus ke Pelattoang Majene sudah ia lalui.

Dengan kegemarannya ini kemudian membuatnya dilirik oleh Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar untuk menjadi Pengurus dan sering di undang sebagai pembicara di seminar sejarah dan kebudayaan serta acara diskusi di Majene, Balanipa dan Polewali. Selain buku Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar ini, ia telahmenyelesaikan naskah bukunya Mengeja Mandar Lewat BalanipaDemokrasi Benu Base. Buku yang lain yaitu Novel Bamba Sangiq anna Cawa, Kolekserium Puisi Serigala Bertopeng Nabi. Maka sangat patutlah ia menjadi teman berdiskusi dan belajar tentang sejarah dan kebudayaan Mandar Lampau.

Lelaki yang akrab disapa MUNIR ini bisa dihubungi di: 0821 1300 8787 atau e-mailgalerikopicoqboq@gmail.com
Akun Fecebook: Muhammad Munir
Fanpage: RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan), Website: jurnalbalanipa.comdan blog: galerikopicoqboq.blogspot.com

Profil Tokoh: ABDUL HAFID IMRAN, Ketua DPRD Majene 1987-1992


Dari Dosen menjadi legislator. Itulah sekelumit perjalanan panjang Drs. Hafid Imran, Ketua DPRD Kabupaten Majene masa bakti 1987-1992.
Hafid Imran dilahirkan di Majene pada tanggal 16 Juni 1928 dari pasangan Imran dan Hj Aminah. Dari pernikahannya dengan Hj. St. Zainab Fatani, tokoh Muhammadaiyah Majene ini dikarunia delapan orang anak, yaitu: Drs. Aminullah, Ir. Mahyuddin, Ir. Nasrullah, Drs. Darmawan, Dra. Marhama, Irfan ST, Zaenal Abidin SE, dan Erwin, Lc, M.Ag, M,Ed.
Hafid mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Majene dan melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Majene. Pilihan MTs. mungkin sudah menggambarkan karakter hidupnya yang banyak bertawadhu kepada pencippta-Nya. Di zamannya, anak anak seusianya lebih gandrung melanjutkan sekoalah ke jenjang umum. Sekolah agama terkadang dianngap sebelah mata.
Dalam memilih jalur pendidikan, Hafid konsisten dengan jalur sekolah agama. Hal itu nampak pada pilihan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Majene. Tiga tahun di PGA, Hafid melanjutkan pendidikan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Aluaddin Ujung Pandang. IAIN adalah salah satu kampus agama terbaik di Indodenesia Timur kala itu.
Setelah memperoleh gelar sarjana lengkap IAIN pada tahu 1974, Hafid terpilih menjadi dosen di kampusnya.
Menjadi dosen tentunya menjadi harapan semua mahasiswa tetapi menggapainya tidaklah mudah sebab dosen hanyalah mereka yang memiliki prestasi akademis di kampus kala menjadi mahasiswa.
Prestasi itulah yang mengantarkan Hafid lolos menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Ujung Pandang. Tak hanya dosen semata, peraih penghargaan pengabdian dasawarsa dosen IAIN Alauddin Ujungpandang ini juga pernah tercatat sebagai sekretaris fakultas syariah di kampus yang sama.
Menjelang pensiun, Hafid pindah ke Majene, kampung halamannya. Di Majene, Pimpinan Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Majene  ini kembali diserahi tugas untuk menjadi dekan fakultas syariah filial Majene yang merupakan cabang IAIN Alauddin Ujung Pandang.
Bukan hanya dekan Fakultas Tarbiyah Filial IAIN, Hafid juga diminta oleh kalangan akademisi Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah (STIT) Majene sebagai ketua untuk turut membesarkan kampus agama ini.
Hafid Imran juga sempat tercatat sebagai Ketua DPRD Majene pada tahun 1987-1992. Hafid Imran memparipurnakan pengabdiannya dengan menghadap sang khalik dalam usia 76 tahun pada tahun 2004. Sebagai orang yang banyak berjasa pada daerah, bangsa dan negara.
Hafid Imran tetaplah sosok pejuang sejati yang rendah diri tak banyak menuntut jasa atas pengabdiannya. Peraih penghargaan ex komponen pejuang 45 ini diminta oleh pemerintah untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Majene, tapi berdasarkan wasiatnya, ia kemudian di makamkan di pemakaman tugu 45 Baruga. Sebuah contoh yang baik untuk kita teladani. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah 2015)

Profil Tokoh: ABD. WAHAB ANAS (Ketua DPRD Majene 1966-1971)



Jika dalam sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, nama Fatmawati Soekarno tercatat sebagai penjahit Sang Saka Merah Putih, maka di Majene, Abd. Wahab Anas adalah salah satu dari tiga pemuda yang pertama kali mengibarkan Sang Saka Merah Putih di ibukota Afedeling Mandar, Majene. 
Peristiwa monumental ini terjadi tak lama setelah berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta sampai ke Mandar. Pada sekitaran September 1945, lewat siaran sebuah radio Australia, segenap kalangan pejuang di Mandar gegap gempita menyambut berita dibacakannya proklamasi kemerdekaan RI.
Sambutan masyarakat Majene atas peristiwa bersejarah ini membahana memenuhi setiap sudut dan ruang-ruang yang ada. Pekik merdeka menjadi kata yang paling sering dikumandangkan. Puncaknya adalah Pengibaran perdana bendera Sang Saka Merah Putih di tengah-tengah Kota Majene. Tepat jam tiga dinihari, Abd. Wahab Anas, A. Halim A.E dan Muhsin Ali menjadi pelakonnya.
Atas peristiwa ini, pihak kepolisianpun memanggil dan menginterogasi Abd. Wahab Anas dan menanyakan alasan pengibaran bendera Merah Putih.
“Merah putih adalah bendera resmi RI yang berpusat di Tanah Jawa”, Itulah jawaban Wahab Anas atas pertanyaan tersebut.
Setelah kejadian tersebut, Wahab Anas kemudian menginisiasi pembentukan organisasi perjuangan di Majene. Berawal dari diskusi di rumah Wahab Anas di Saleppa, pada tanggal 16 September 1945, diadakanlah rapat umum merah putih di gedung sekolah rakyat putri Tanjung Batu Majene. Dari rapat ini, lahirlah organisasi perjuangan kemerdekaan yang bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI) di bawah pimpinan Andi Tonra. Abd. Wahab Anas sendiri menjadi salah satu pengurusnya.
Bermula dari PRI inilah Wahab Anas aktif dalam pergerakan mengawal dan mempertahankan kemerdekaan di Majene. Di awal tahun 1946, Abd. Wahab Anas pernah tercatat sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Majene sektor barat. PNI sendiri adalah partai pergerakan nasional yang didirikan oleh Soekarno, dan menjadi salah satu sarana perjuangan dalam meraih kemerdekaan.
Aktifitasnya di PRI dan PNI, menjadi alasan Belanda untuk menangkap Wahab dan aktivis PRI setelah peristiwa pembantaian Westerling di Galung Lombok pada 11 Desember 1946. Wahab Anas dan aktivis PRI lainnnya ditahan di tangsi KNIL Belanda Majene. Dalam penjara, Wahab Anas banyak mengalami siksaan fisik. Ia digantung dengan kepala terjungkal kebawah, dipukul hingga pingsan kemudian di siram dengan air. Wahab Anas selanjutnya di tahan di penjara Makassar.
Selepas dari penjara, tahun 1948, ia bersama A. Halim AE kembali ke Majene dan mempelopori pendirian sebuah partai perjuangan baru. Pada tanggal 29 Februari 1948, bertempat di rumah H. Abd. Halim, salah seorang tokoh Muhammadiyah Majene, secara resmi berdiri Partai Kebaktian Rakyat.
Dalam rapat umum pembentukan partai ini, Wahab Anas tampil membawakan materi yang bertemakan perkembangan politik terakhir tanah air.
Kehadiran Partai Kebaktian Rakyat ini mengundang banyak diskusi dan terkait ketidak setujuan peserta sebab di dalam anggaran dasar partai hanya termuat kata-kata menuntut kemerdekaan Republik Indonesia 100 % dan tidak tegas menyatakan Negara berbentuk kesatuan. Perdebatan bermutu ini mengingatkan kita pada sejarah perjuangan Tan Malaka, salah seorang tokoh kemerdekaan nasional seangkatan Soekarno yang telah melanglang buana ke seluruh dunia menyuarakan anti imperilalisme dan kolonialisme. Merdeka 100 % adalah tuntutan Tan Malaka pada penjajah kolonialis Belanda. Partai Kebaktian Rakyat ini sendiri kemudian ketuai oleh Aco Arif.
Partai ini banyak melakukan kegiatan pendidikan politik rakyat. Dengan di pandu Abd. Wahab Anas dan A. Halim AE, diadakanlah kursus-kursus dan diskusi membahas berbagai problem kenegaraan. Diskusi politik ini sangat berarti dalam meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Bahkan kepala pemerintahan Majene saat itu yang berkebangsaan Belanda Totok. H.J. Ubbink beberapa kali mengunjungi forum diskusi ini, karena dianggap bagus dan bermutu.
Usia Partai Kebaktian Rakyat tidak berlangsung lama. Sebagai partai lokal, partai ini segera dilebur ke dalam partai-partai berbasis nasional yang kemudian masuk di Majene. Para aktivis partai kemudian bergabung dalam Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan PKR. Abd. Wahab Anas sendiri kemudian terpilih memimpin PKR Cabang Majene.
Untuk lebih mengefektifkan koordinasi PKR dan PSII Majene, pada tanggal 17 Agustus 1948, dibentuklah sebuah badan baru yang bernama BAPNA (Badan Permufakatan Nasional). Badan ini mengkoordinasi seluruh elemen-elemen perjuangan di Majene. Lewat BAPNA, Abd. Wahab Anas pernah diutus ke Yogyakarta untuk menghadiri konfrensi pendidikan antar Indonesia yang dilaksanakan pada bulan Agustus 1949.
Resolusi bersejarah yang pernah diusulkan BAPNA adalah mendorong pembentukan Dewan Mandar (semacam DPRD) secara demokratis serta menuntut pembatalan hukuman mati Wolter Monginsidi.
Setelah penyerahan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda, Abd. Wahab Anas tetap memegang peranan penting dalam percaturan politik di Afdeling Mandar. Dan saat Kabupaten Dati II Majene terbentuk pada tahun 1959, Abd. Wahab Anas terpilih menjadi Ketua DPRD Kabupaten Majene. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah. 2015)
Seusai menjadi legislator, Wahab Anas berkecimpung di dunia birokrasi. Ia mengabdi dan akhirnya pensiun di dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi Selatan.

Abd. Wahab Anas menutup usianya pada tahun (1982) di Majene. Atas jasa-jasanya pemerintah daerah meminta kepada keluarga yang ditinggalkan untuk dapat di makamkan di Taman Makam Pahlawan Majene. Tapi atas wasiat yang ditinggalkan, Wahab Anas lebih memilih dimakamkan di pemakaman umum.  Abd Wahab Anas tenang dan damai menghadap Ilahi Rabb di peristirahatan terakhirnya di pekuburan Pettuanginan Saleppa.