Minggu, 04 Februari 2024

Membaca Teater Tradisi Lewat Pertunjukan To Manurung dan I Pundakko.

Oleh: Sahabuddin Mahganna. 

Tomanurung dalam kisah Tokombong di wura dan To wisse ri tallang, diperkenalkan ke ruang publik lewat pertunjukan teater tradisi di Taman Budaya dan Museum (TBM) Sulawesi Barat Butut Ciping 1 Desember 2023. Garapan dua seniman Mandar Rifai Husdar dan Dalif berhasil memukau penontonnya, membangkitkan kembali gairah tontonan teater yang telah sekian lama redup di tanah ini, kendati demikian dan tidak juga begitu, sebab masih tetap ada segelintir orang yang punya kepedulian menghidupkan teater-teater meskipun di lorong-lorong, yang tidak menjadi tiba-tiba seniman ketika ada "anu".

Evoria yang disaksikan secara langsung itu, dan betapa sangat saya tertinggal karena lama berteduh di Uwake Cultur Foundation, hujan deras mengalahkan niat mem-bersama-i sejarah dan peristiwa yang baru saja berlangsung, memilih mengikuti arus diskusi, sekadar mengisi kejenuhan. Bersama Rahmat Muchtar asyik mengobrol tanpa arah yang jelas tema pembicaraan, tidak berselang lama, Syuman Saeha, Subaer Sunar, Muliady dan teman lainnya yang juga terjebak hujan itu, telah bergabung. 

Diskusi kemudian lebih mengerucut ke kajian Tomanurung dan tata kelola pertunjukan, nyatanya sangat penting untuk dipahami dengan baik dan diteruskan ke generasi dengan menyorot sudut pandang yang berbeda. 

Pemahaman tentang konsepsi Tomanurung sebagai manusia dewa, manusia pilihan, manusia yang memiliki sematan atau predikat khusus, dijunjung, didengar, serta menjadi contoh, sehingga dia bukan manusia biasa, setiap itemnya musti hati-hati dalam mewakilkan untuk beberapa hal, apalagi sebuah permainan dalam teater. 

Salah satu contoh kecil yang dilontarkan Subaer Sunar, kesaktian arung Palakka jika dibayangkan, meskipun keseharian kita hanya mengenalnya dalam catatan sejarah. 15 generasi ke atas baru dapat tau manurungnge Mallajang ri ase'na tasi' loppoe. punya nama dan makam, dan menghilang di atas lautan (1330 an). Tau Manurung kedua, La Umase Petta Panre Bassie 1423 dan seterusnya termasuk beberapa nama di Mandar. Dalam cerita berbagai suku kelahiran Tomanurung selalu dikaitkan dengan tallang (bambu), yang berarti ada proses lahir, hadir yang berbeda dengan manusia biasa. 

Pentas malam itu dalam penokohan lahirnya menjadi "manusia" biasa dengan proses biologis, tanpa sedikit menelaah bagaimana proses sesungguhnya. "Tomanurung, tidak satupun yang pernah menyaksikan secara langsung  kejadiannya", konon predikat itu tersematkan pada sesuatu (manusia). Tomanurung bukan pribadi biasa, lahir bukan atau tidak diketahui Bapak dan ibu seperti Isa  AS. Tomanurung sebagai pribadi yang ditempati Nur (biologis pasti bersentuhan dengan Nur, dengan kata lain bukan persentuhan jantan dan betina.  Karena alasan inilah sehingga jenis kelaminnya pun, ada yang menyatakan tak tunggal. Khusus perdebatan tentang jenis kelamin, dalam perspektif Bugis, ada contoh BISSU. Bissu bukan bencong, tapi tidak lelaki, tidak perempuan. 

Untuk lebih memudahkan barangkali kata "to manurung" harusnya terjadi pemenggalan antara to dan manurung itu sendiri. Manurung adalah predikat tidak terlihat oleh kasat mata, dan menjadi nampak jika dia tersematkan pada obyek (to), itupun orang-orang khusus yang sanggup memahaminya. Itulah sebabnya, kemungkinan pendahulu kita lebih memilih menamai sesuatu dengan bahasa yang berbeda, ini untuk menghindari beberapa kejadian yang akan menimpa dirinya. Wallahu Alam Bisssawab. 

Meski tidak mengapresiasi secara utuh, produksi pentas dan pemanggungan terlihat berjarak dengan publikasi dengan tulisan tradisi, kata tradisional dalam pentas mungkin masih agak kaku. Teater tradisi menurut pakemnya yakni teater tradisi rakyat dan istana, cirinya umum menggunakan bahasa daerah, dilakukan secara improvisasi, ada unsur nyanyian dan tarian, diiringi tetabuhan (musik daerah), diwarnai dengan dagelan/banyolan, ada keakraban antara pemain dan penonton, serta suasananya santai. Syuman Saeha mengatakan kalau kita merujuk ke Mandar, di sini sangat sedikit yang dapat dijadikan sebagai literatur, paling hanya Koayang, dan Kacaping dari unsur pertunjukannya saja, juga Lake (meski malu malu kucing) sedikit mendekati. Mengangkat cerita rakyat ke atas panggung teater, tidak serta merta dapat disebut sebagai teater tradisi, karena garapan tersebut hanya mengambil satu unsur dari sekian unsur yang mengusung teater tradisi. 

Ruang dan waktu yang dibangun lewat digital, mengindikasi jalur lain dari pakemnya atau boleh jadi sudah menjadi bagian dari pengembangan. Jika demikian, problemnya berarti standar penilaian tentang tradisi yang dimaksud TBM beda dengan pemahaman mayoritas publik. Sebagai fasilitator, ini bagian tanggung jawab bersama dengan para senimannya, paling tidak berdasar pada telaah dan riset . Taman budaya, selain menghibur, harus mencerdaskan dan menjadi ruang eksperimen serta menciptakan ruang pertumbuhan pemikiran kesenian.

Pementasan teater To Manurung dan I Pundakko, dalam catatan ini tidak sedang membahas kekeliruan, hanya saja keramaian atau banyaknya penonton bukan satu satunya ukuran keberhasilan sebuah pertunjukan, bukan pula dipahami adalah suatu kebenaran yang mutlak, sebab generasi yang akan datang khususnya para pemain yang polos itu, memungkinkan bisa salah kaprah dikemudian hari. 

Dengan ini, selamat untuk para yang terlibat, kepada para penonton, terkhusus buat pemerintah, dalam hal ini UPTD Taman Budaya dan Museum Sulawesi Barat yang sudah memberi ruang untuk para seniman.

FOOTNOTE HISTORIS: BAGAI PAGAR MAKAN TANAMAN

 Oleh: Prof. Dr. Ahmad M. Sewang 

Beberapa dekade lalu, saya ketemu almarhun Bapak Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH di rumahnya sepupu H. Hilaluddin bin Ismail di Jiyad, Mekah al-Mukarramah. Pertanyaan pertama yang saya ajukan bahwa saya dengar di tanah air bahwa dalam penyusun kabinet Presiden Soeharto bahwa "Bapak disebut-sebut masuk dalam kabinet untuk mengisi fortofolio kejaksaan". Beliau spontan menjawab, "Untung saya tidak terpilih masuk kabinet, andai saya terpilih, orang pertama saya tangkap adalah Pak Harto". Saya begitu kaget bercampur khawatir mendengar jawaban itu, sehingga saya tidak pernah membocorkan pada siapa pun kecuali saya tulis hari ini, karena keduanya sudah dipanggil Allh swt. Jadi saya sudah merasa aman. Selanjutnya, saya hanya ingin mendengar alasan Beliau berpandangan demikian. Beliau beralasan bahwa seharusnya Pak Harto sebagai kepala negara menjadi contoh teladan di tengah masyarakatnya yang masih susah tetapi dia mencontohkan yang buruk dengan mempraktekkan KKN

Kisah kedua. Biasanya selesai Jumatan, saya masih duduk beberapa menit selesai salat sunat menungguh jamaah, siapa tahu ada masalah kemasjidan yang ingin diadukan sebagai Ketum DPP IMMIM. Benar saja ada seorang jaksa dari Majene yang singgah berjamaah di masjid jalan Macan mengisahkan bukan kemasjidan, tetapi pengalamannya selama bertugas. Menurutnya, suatu saat ketika Prof. Baharuddin Lopa jadi Kalanwil Kejaksaan di Sulawesi Selatan ia menerima tamu. Setelah tamu itu  pulang dan kantor pun mulai di tutup. Barlop singkatan dari Baharuddin Lopa sudah siap-siap pulang. Barlop memanggil sopir dan memberitahunya "tadi saya lihat mobil kekurangan bensin karena itu kita singgah di pompa bensin dahulu mengisinya", tapi sopir bilang "sudah diisi, Pak!". Barlop bertanya kaget, "Siapa yang mengisinya"?. Sang sopir menjawabnya, "Itu tamunya tadi yang baru pulang." Barlop bereaksi, "Tetapi kita tetap ke pompa bensin!" Sambil memeritahkan untuk  mengeluarkan dahulu bensin yang diisi tadi, lalu isi ulang bensin mobil ini." Demikian kebersihan hati Barlop yang tidak ingin dikotori dengan korupsi sekecil apa pun. 

Kenyataan sekarang bahwa dua kisah di atas dianggap kisah kayangan seakan hanya terjadi di dunia khayal. Seakan kisah para bidadari yang turun lewat pelangi dari Pulau kayangan di hari mendung untuk mandi, tetapi seorang calon pangeran mengintipnya kemudian menyembunyikan pakaiannya, menyebabkan salah seorang bidadari itu tidak bisa lagi kembali ke peraduannya di Pulau Kayangan. 

Dua kisah di atas adakah kisah nyata yang sungguh terjadi dalam kenyataan dan merupakan reaksi keras Barlop melihat kondisi negaranya yang seharusnya gemah ripah loh jinawi, tetapi ulah penyelenggara negara  yang tidak jujur membuat tujuan bernegara tambah jauh.

Banyak penguasa sekarang yang punya wewenang menegakkan aturan justru merekalah melanggar aturan itu sendiri. Ini yang disindir. Nenek moyang kita pada judul artikel ini, "Bagai pagar makan tanaman," sebagai contoh:
1. Satpol PP yang seharusnya memberi contoh, bersikap netral dalam pemilu, justru ramai-ramai terang-terangan memihak,
2. Jalanan pusat kota di Medan, Sumarera Utara, yang tidak boleh dipasangi peragaan alat kampanye, justru yang tahu aturan, merekalah  yang melanggarnya.
3. Gus Miftah  sebagai ulama di Pamekasan, Madura. Seharusnya tidak money politics karena dilarang, justru terang-terangan 
membagi-bagikan  uang secara terbuka sambil menyebut nama paslon yang didukungnya.
4. Mendatangkan aparat desa di istanah yang membawa kecurigaan yang seharusnya bisa dihindari, apa lagi dekat pemilu.
5. Cap Pree Day seharusnya tidak digunakan kampanye tetapi digunakan kampanye bagi-bagi susu.
6. Alangkah legowonya jika Presiden sendiri secara tebuka memberi teladan dan berkata, "Saya berbesar hati menerima apa pun hasil pemilu. Saya sama dengan presiden sebelumnya tidak akan cawe-cawe."
7. Pelanggaran ini masih panjang jika ingin ditulis semua. Orang sekarang nampaknya lebih suka melanggar daripada ikut aturan. Ini mungkin disebut orang, Qiamat semakin dekat. Di sinilah kita memerlukan orang yang jujur, sederhana, dan berhati bersih. Kita perlu 10 orang semacam 0Barlop baru untuk memperbaiki negara ini.

Sekali lagi laksanakan pemilu  dengan penuh jurdil agar bisa meninggalkan legecy positif. Kalau tidak, akan kena sindiran nenek moyang, "Bagai Pagar Makan Tanaman." "Jangan terpengaruh apa yang ditulis orang sekarang, tetapi ingatlah apa yang ditulis sejarawan yang akan datang."

Wasalam,
Kompleks GPM, 8 Januari 2024

Sabtu, 03 Februari 2024

Bukan Menggugat Tapi Menggugah !

Eja mengeja telah kau baca
Tulis menulis telah tuntas
Pun cerita lisan sukses kau taklukkan dalam tulisan
Dengan itukah kau lupa nisan?
Pernahkah kau tulis ritus kematian?
Jika tidak, jangan beri aku status apapun
Sebab dimataku kau tak ubahnya situs
Yah, situs 
Situs yang tak mampu kau tulis, selain mitos tentang perruqdusang lalu kau mengajakku adu jotos.
Ah, pantas kau hidup dalam siklus yang tak menemukan klimaks
Jangan bersenggama dengan kegamangan sebab itu hanya akan mencumbui fikirmu dengan birahi
Dan itu hanya membuat buas 

Hari ini aku ingin bertanya 
Apa kau telah puas ?
Jangan jawab iya, sebab keangkuhanmu hanya akan menuntunku untuk menonton parade kebodohan
Yah, kau memang bisa, bisa apa saja
Tapi kau bias
Sebab hari ini kau terlalu terobsesi mengajariku abjad dari A sampai Z.
Ah, tidak. Aku tak seberani itu memanggilmu guru
Maaf !

Jika hasratmu menjadikanku berguru
Jangan ajari aku B, C sampai Z
Sebab aku tak ingin diburu
Cukup ajari aku A
Maka akan kupanggil kau guru
Jelaskan padaku tentang A
Beri tahu aku tentang garis-garisnya
Tuntun aku menemukan tekanan pada bagian tengah yang memotong bagian yang memanjang kearah luar
Dan lalu antar aku pada puncak dimana garis itu dipertemukan
Tunjukkan padaku tiga garis saling bertemu di tengah titik
Kenapa garis itu panjangnya sama?

Setelah A, kutemukan sifatnya
Aku akan takluk dan memanggilmu guru
Dan menemukan B, C dan Z disetiap inci demi inci tubuhmu
Juga pada semua yang bertubuh
Maupun dari semua makhluk yang lahir dari proses bersetubuh
Jadilah guru buatku jangan bisu
Agar aku tak jadi insan ambigu
Jadilah guru buatku
Agar aku tak menulismu dungu
Sebab kata memaksaku begitu lugu
Dan kau harus tahu itu
Jika tidak
Apa artinya fir'aun diselamatkan Tuhan ?
Maafkan aku !

Kandemeng, 03 September 2015

SERIGALA BERTOPENG NABI (4)


Tiba-tiba saja kau hadir dengan lusuh diwajahmu
Guratan diwajahmu nampak penuh beban 
Kusambut setiap salam yang kau ucap dibibirmu
Dan ikut memunguti pilu yang digoreskan pemilu 
Lalu kusiapkan air untuk membasuh kusam di wajahmu 
Dan tak pernah aku menghitung berapa jumlah sujud
Serta doa-doa apa saja yang mengiringi zikirmu diatas sajadahku
Semua kuhalalkan sebab tak mungkin do’a-do’amu lahirkan dosa

Tiba-tiba saja hadirmu membuatku punya nyali
Dari diam dan sugiging ditempat menjadi auman lalu mencakar
Aku bahkan mengorbankan kenikmatanku untuk sirondo-rondoi
Dan tak secuilpun dihatiku mampu kulakukan untuk melukaimu
Aku bahkan masih tertawa ketika kau mengusik tidurku
Bahkan tak tidurpun kulakukan demi sebuah obsesi yang kau dapuk
Karna begitulah aku menerjemahkan kebersamaan yang sulit kau dapati
Semua kuhibahkan sebab kuyakin dosa-dosaku terkikis karnamu

iba-tiba saja hadirmu membuatku resah
Sebab segala tentangku kuurai karna uraian mengajakmu mengurai
Kau rela melerai seteru dihidupku yang tak mungkin bisa kuurai
Wajar saja aku resah, sebab kau hadir menjagaku meski aku terjaga
Terlebih ketika aku lelap dan lalai, kau masih saja enggan berlalu
Hingga kutemukan dirimu membeli resahku dengan menghinaku
Betapa tidak, kau dengan enjoy bersama laba-laba menyusun jaring
Aku tahu itu, tapi sekali lagi aku abai dengan lakumu

Kini hadirmu hampir semusim
Tiba-tiba saja kau beranjak dan aku kau injak
Wajahmu tak lagi lusuh, tapi berbinar ketika aku enggan menindak
Kau bahkan mampu menginjak-injak sajadah tempat sujudku
Karena akik dan batu mulia biasa kau jejer di jemarimu
Dengan semua itu, kau menyangka memiliki kehormatan
Lalu apakah dengan kehormatan itu kau jadi orang terhormat ?
Dan apakah menginjak kehormatan itu adalah kemuliaan ?
Mungkin saja semua kau aminkan karna fasihmu melafal dzikir
Tapi kau lupa, bahwa sujud dan dzikir itu bukan sekedar pelebur dosa
Bahwa batu mulia itu bukan sekedar mulia untuk gagah-gagahan
Semua itu adalah pertanda yang menandai kita sebagai manusia
Jika manusia abai dengan kemanusiaan
Maka sujud, dzikir, akik dan batu mulia adalah sia-sia
Kini, hadirmu dan hadirku adalah keadaan
Dan keberadaan kita tak harus berada jika tak bisa beradab
Sebab jika kau tak bisa menjaga adab, 
Jangan sesalkan jika aku menjadi biadab !

@BOTTO, Dua Sembilan Januari 2015

BUKU IMAM LAPEO


IMAM LAPEO: Wali dari Mandar Sulawesi Barat

Penulis: Zuhriah
Penerbit: Gading

Harga: 65.000

Buku ini membahas tentang kehidupan seorang yang dianggap wali di Mandar, Sulawesi Barat, KH. Muhammad Thahir, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Lapeo. Buku ini berisi biografi, yang mencakup silsilah, pendidikan (tempat belajar), dan dakwah Imam Lapeo. Kemudian, konstruksi kewalian Imam Lapeo yang terungkap dalam beberapa hal; sakralisasi kewalian tercermin dari silsilah, dianggap punya keunggulan pengetahuan luar biasa, dianggap dapat berperan sebagai perantara dengan Tuhan, mempunyai kemampuan luar biasa, yaitu karamah dalam mitologi, mempunyai "power" luar biasa untuk memobilisasi (membentuk tarekat), mempunyai kelebihan dan kebajikan dalam karakter, dan punya pengaruh melampaui masanya.
Hari ini, tempat ziarah; rumah Imam Lapeo (Boyang kayyang), masjid Imam Lapeo (Masigi), dan makam Imam Lapeo (Ko'bah) menjadi tempat yang penting untuk diziarahi, tempat spiritual journey. Terakhir tentang Islam tradisional di Lapeo. Kajian ini terkait dengan analisis peranan Imam Lapeo dalam masyarakat Mandar. Bagaimana wali dipandang dalam dunia sosio-kultural (peziarah), terutama oleh Islam tradisional juga termasuk pembahasan seputar fenomena ziarah itu sendiri dan bagaimana penerapan pribumisasi Islam di Lapeo (Mandar), Sulawesi Barat.

CURIGA DALAM BUDAYA (Berpijak Pada Budaya “Ekspresi” Bunyi dan Melodi)


Oleh: Sahabuddin Mahganna

Di Sulawesi, terkhusus untuk Mandar yang umumnya mengandung makna dan simbolik. Klaim ketika menemukan pernyataan Timothy Rice (1994) “simbol-simbol yang mewakili banyak dunia” hampir seluruhnya selalu beragam jenis, sering ambigu dan sangat mungkin bertentangan. 

Pemahaman tradisi pada bunyi dan melodi Mandar didekap dari sisi nilai, merupakan perwujudan mendasar yang harus ditaati walau sifatnya absur, kendati demikian penguatannya selalu bertaruh pada keyakinan akan pentingnya memposisikan suatu benda maupun bukan, dan tidak jarang menjadi kunci dalam memutuskan setiap permasalahan atau perlakuan. Bunyi dan melodi Mandar kemungkinan akan bertentangan dengan paham lain atau tak mungkin sama dalam pemaknaan. 

Setiap simbol di Mandar oleh pelaku dan masyarakatnya jelas memiliki makna, meski tidak terlihat atau tak punya bukti sekalipun. Rasakan jika bunyi-bunyi sesuai dengan letak geografisnya di Mandar, juga akan mempengaruhi bagaimana alunan itu akan muncul. (Mis. Bunyi ombak yang ada didataran rendah Mandar, menandai dan seakan alunannya melow serta sangat berpotensi menemukan melodi dibandingkan ritmis. Berbeda yang dipegunungan, maka unsur yang paling menonjol adalah hentakan, namun seperti yang diakui banyak peneliti lainnya bahwa ini hanya mempunyai nilai penting saja. Dan masalahnya, estetika bunyi dan melodi yang sama-sama tak terlihat, menjadi fokus dan bimbang dalam memandang atau menilainya.

Tidak jarang, laku skeptis di Mandar ditemukan, dan itu kemungkinan akan berdampak pada pengetahuan yang berakibat dalam perkembangan atau pun keberadaan budaya yang sifatnya menghambat pelestarian, karena disadari atau tidak budaya ekspresi akan berjalan dinamis, kemudian di lain sisi, juga tetap diinginkan untuk terhindar dari kepunahan. Sebagaimana R. Anderson Sutton mengkaji bahwa penafsiran seni dan makna simboliknya sebagai sesuatu yang dibentuk, dilipatgandakan, dan cair, maka penting memandang budaya, identitas etnis, berserta tradisinya bukan sebagai kebenaran yang tak berbantah atas eksistensi manusia, sebab aspek-aspek ini pun merupakan hasil bentukan dan negosiasi aktor-aktor manusia. 

Kemunculan makna-simbolik dari adat, tradisi dan budaya disetiap tempat, memang sebagai primordialisme bentukan, lalu murni dikaji atas nama representasi, atau berpotensi diluruskan serta pula dibantah. Para pengkaji pun sebelumnya banyak mengadopsi dari hasil representasi itu, ternyata menghadapi satu tantangan dalam upayanya membawa kerana keilmuan, kendati pun ini sudah disederhanakan dirks (1990) bahwa “kontenstasi dalam sebuah kajian antropologi yang terlibat dalam mengulang-ulang dan menaturalisasikan tradisi dan adat merupakan sebuah usaha yang kompleks”. 

Benarkah, jika tradisi dan budaya kita saat ini mampu bertahan? Atau bisakah kita curiga dalam tradisi dan budaya?. Sedang kita mungkin tahu, bahwa lahirnya kebudayaan boleh jadi bukan atas dasar primordialisme bentukan, namun atas hasil tiruan dari pelaku yang munculkan sesuatu secara alami.

Jumat, 02 Februari 2024

SERIGALA BERTOPENG NABI (5)

Suatu hari 
Aku merelokasi semua bacaan jadi mantra
lalu mantra itu kerapal di setiap bilik suara
Aku lupa bahwa aku bukan politisi
sebab politisi ternyata jidatnya jadi lautan arang 
dan doa-doanya makbul oleh material yang kadang lupa dicuci oleh warga.

Suatu hari 
Aku dengan sangat patuh dan menganggap semua politisi adalah makhluk yang layak dipatuhi
Tanpa sadar aku jadi pengikut sebab partai lupa mengkader
Aku akhirnya tersadar bahwa kepatutatan harusnya pada orang yang patut dipatuhi. 
Orang itu tentu bukan politisi, sebab aku bukan caleg

Hari ini
atribut dan kebanggaan politisi itu telah kutanggalkan
tapi belum kutinggalkan
sebab aku masih melihat harapan terbit dari sorot mata para petani yang ke pasar menjual hasil kebun tapi ternyata harus menggadaikan jam tangannya untuk bisa kembali ke rumah

Hari ini
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang namanya berderet di surat suara
Bukan mereka yang fotonya jadi gambar mata uang 
Akulah politisi itu
Bukan mereka yang tanpa sadar mengeja Tuhan 
Bahkan memaksa Tuhan meladeni keinginannya
Lalu ketika Tuhan enggan melayani
Tuhanpun dipenjara pada dinding masjid 
"ini karpetmu Tuhan
ini tegel dan marmermu Tuhan
Jika Tuhan butuh aku, panggillah pake TOA
ini deposito buat membangun rumahmu bagi anak-anak
Tinggallah di rumahmu
sebab di rumah rakyat, kadang Tuhan rewel jika ikut ke ruang paripurna"
Kata mereka

Dan......saat ini
Label dan sematan politisi itu benar-benar kutinggalkan
sebab ternyata menjadi rakyat jauh lebih politis.....
Bahkan tak jarang jadi puitis ketika menemukan politisi di ujung jalan. 

Muhammad Munir
Katitting, Desa Tandung, Januari 2019

BUKU JARINGAN MARITIM MANDAR


SAMBUTAN
Susanto Zuhdi
Profesor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya 
Universitas Indonesia

Dengan suka cita, saya menyambut baik atas penerbitan buku karya Dr. Abd. Rahman Hamid. Buku ini berasal dari disertasi yang dipertahankannya dalam ujian promosi di Universitas Indonesia pada 18 Januari 2019. Hamid adalah salah satu mahasiswa terbaik, yang pernah saya promosikan sebagai doktor Ilmu Sejarah. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) nyaris 4 (empat),  sebetulnya ia memenuhi syarat untuk memperoleh pujian (cum laude) dalam yudisium promosi tersebut. Oleh karena masa studi yang berlebih, maka hal itu tidak berhasil diraihnya. Akan tetapi itu tidak terlalu penting, sebab jauh lebih bermakna ketika disertasi itu diterbitkan sehingga dapat dibaca khalayak lebih luas. Banyak disertasi doktor di Indonesia atau yang dibawa dari luar negeri, tidak diketahui apalagi dibaca publik, karena hanya tersimpan di rak buku pribadi atau perpustakaan saja. Hal itu patut disayangkan karena masyarakat Indonesia masih memerlukan banyak bacaan sejarah bermutu guna mendukung gerakan literasi nasional. 

Pilihan pada tema sejarah maritim dan fokus pada suatu kawasan serta suku bangsa Mandar, yang terabaikan dalam historiografi Indonesia, merupakan kontribusi penting penulis buku ini untuk dicatat. Seperti ingin memenuhi anjuran Nakhoda Sejarah Maritim Indonesia, Adrian B. Lapian (1929—2011), Hamid telah mengisi rumpang studi sejarah maritim di Selat Makassar, dengan fokus pada dua pelabuhan “kembar”, Pambauwang dan Majene. Dengan memilih periode panjang antara 1900—1980, Hamid pun hendak meneruskan model kajian Lapian mengenai kawasan Laut Sulawesi dalam Abad XIX. Jika Lapian berhasil membuat kategorisasi orang laut raja laut bajak laut, Hamid berjaya dalam membuat model pelabuhan “kembar” yang komplementatif  peranannya  dalam jaringan maritim yang bertolak dari Selat Makassar. Hamid juga berhasil membuat empat pola pelayaran yang disumbangkan Mandar dalam peta pemahaman pelayaran Nusantara yakni pelayaran pantai, pelayaran selat, pelayaran lintas selat, dan pelayaran lintas laut lepas. 

Jangkauan jaringan maritim yang digerakkan orang Mandar melalui pelayaran dan perdagangan, seperti digambarkan Hamid, tidak sebatas di Selat Makassar. Dalam masa kejayaan khususnya dalam periode 1900—1940, pelayaran Mandar ke timur hingga  Ambon maka dikenal lah era ini sebagai ’Masa Ambon’. Sedangkan jangkauan pelayaran Mandar ke barat sampai ke Singapura sehingga periode ini masih diingat sebagai ‘Masa Singapura’. Periode 1940—1951 dicatat sebagai masa surut, namun pelaut Mandar masih bertahan. Alhasil pelayaran orang Mandar seperti dipaparkan dalam buku ini, telah merajut pulau-pulau hampir ke seluruh bagian Nusantara: ke barat hingga pantai barat Sumatera di Samudera Hindia, dan Singapura hingga Selat Malaka, ke timur sampai pantai  barat Papua, dan Ternate. Sedangkan ke utara mencapai Tawao ke selatan hingga Flores dan Timor.  

Dalam periode terakhir (1952—1980) pelukisan Hamid mengenai jaringan pelayaran Mandar dari pelabuhan berlangsung hanya dari Pambauwang ke Majene. Dalam masa ini, pemerintah  mengeluarkan peraturan untuk memberantas penyelundupan dan perompakan, karena gangguan keamanan di Selat Makassar, yang dipicu pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pelabuhan Majene dan Pambauwang menjadi rebutan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan DI/TII. Faktor itulah sebagai penanda berakhirnya kejayaan pelayaran Mandar yang menyebabkan runtuhnya pelabuhan Pambauwang. Sejak itu banyak orang Mandar keluar berdiaspora ke pulau-pulau kecil di Kalimantan Selatan dan membangun jaringan di pantai barat Sulawesi.

Capaian tidak kalah penting dari karya Hamid adalah dalam pendekatan struktural yang ia gunakan. Kajian sejarah dengan pendekatan ini tidak selalu menghasilkan kisah yang datar membosankan atau sejarah tanpa manusia, tanpa agensi. Dalam dekade 1950—1960 ketika masa surut justru menampakkan jaringan Majene yang menghasilkan pengusaha sukses seperti Pua Abu dan Haji Sakir. Struktur tidak selalu menjadi kendala tetapi sebagai peluang bagi agensi yang mampu memanfaatkannya. Dualitas struktur seperti dikemukakan Anthony Giddens, coba diuji oleh Hamid sehingga akan terbuka kajian lebih luas dan mendalam dari aspek ini. 

Kini telah bertambah lagi deretan karya sejarah maritim dari tangan sejarawan Indonesia, yang masih dalam hitungan jari. Apalagi dengan telah berpulangnya dua sejarawan maritim dari Universitas Hasanuddin dalam satu-tiga tahun belakangan, tempat Hamid kini mengajar sebagai staf dosen tidak tetap. Dengan penyampaian kalimat yang lugas, buku ini mudah dicerna.   

Selamat membaca

Depok, April 2020.

MUAZ ABDULLAH ||Mengubah Tantangan Jadi Peluang


Muaz Abdullah adalah putra Mandar kelahiran R. Soeparman Wonomulyo yang dalam tubuhnya juga mengalir darah Pattae, Pattinjo dan Batak (marga Matondang). Ia lahir dari rahim Hj. Sania setelah dipersunting oleh seorang perwira polisi bernama Abdullah. Abdullah Matondang mentahbiskan hidupnya jadi pengayom masyarakat Mandar pada era 70an sampai 90an. Ia bahkan pernah menjabat sebagai Kapolsek Sumarorong dan beberapa daerah lain menjadi jejaknya dalam mengabdi pada negara lewat lembaga Polri. 

Muaz tercatat sebagai Caleg DPRD Sulbar di Partai Golkar punya kisah yang tergolong rumit hingga akhirnya bertengger diantara deretan  No. 7 dapil Polman A atau Sulbar 3. Keputusan Muaz beranjak dari dunia bisnis dan terjun ke dunia politik tentu bukan keputusan biasa, melainkan sebuah pilihan yang harus siap ditampar oleh resiko. Sebab hari ini, dunia perpolitikan kita telah tercerabut dari akar sejarahnya. Politisi yang bertarung di beberapa Pemilu pada dua dekade terakhir ini sungguh harus membuat kita ikut resah dan prihatin. Mereka tanpa malu menjadikan uang sebagai tameng untuk mempedaya rakyat demi sebuah ambisi kekuasaan yang ambigu. Ketidak mampuan mereka bertarung secara demokratis memaksa mereka berlogika uang. Anehnya, rakyat yang menjadi konstituen mereka ikut gembira meski hanya ketemu uang recehan setiap 5 tahun. 

Inilah fakta hari ini, politisi tak berintegritas dan rakyat tanpa karakter telah menguasai negeri ini. Kenyataan ini tentu tak harus dibiarkan, sebab jika demokrasi dan rakyat telah terbeli oleh para pemilik uang, maka negara ini berada diambang kehancuran. Ini salah satu aksi bunuh diri negara jika kita tak memiliki kesadaran kolektif untuk menghentikan nyanyian dan goyangan asyik politisi kotor. 

Maka tidak salah jika kemudian Muaz, Entrepreneur yang sempat sukses di Bumi Vovasanggayu ini membuat keputusan yang terkesan berani. Meninggalkan area Pasangkayu berarti menanggalkan ratusan bahkan miliaran pundi rupiah untuk masa depannya. Tapi bukan Muaz jika tak berani mengambil resiko. Muaz adalah sosok yang menjadikan uang sebatas telapak tangannya saja. Uang dan kekayaan tak pernah merajai hatinya. Itulah Muaz. Maka kemudian ketika lahir keputusan menjadi politisi ia dengan gampang mengucap Bismilllah.... Kita berjuang untuk rakyat, menang bersama rakyat dan harus senang bersama rakyat pada setiap kontestasi Pemilu lima tahunan.

Keputusan itu lahir 3 tahun lalu dan mulai berdialektika dengan warga yang terkesan abai padanya, karena dianggap tak pantas jadi wakil rakyat. Penilaian itu tentu saja tidak salah, sebab mereka kebanyakan memahami politisi adalah mereka yang berjubel, berdasi, bergaya dan harus tampak gagah karena bermodal. Muaz tak memiliki itu. Muaz tak punya sejumlah rekening gendut selain harapan untuk mengabdi. Apakah politik bisa diraih hanya dengan harapan? Tentu saja tidak. Apakah menjadi anggota DPR mutlak harus dengan uang? Tentu saja tidak. Sebab selain uang, jabatan politik bisa diperoleh dari soliditas keluarga. Keluarga yang komitmen membangun solidaritas dengan keluarga yang lain. Keluarga yang berani tampil beda sebagai mitra utama mengubah peluang jadi tantangan. Menjadi kelompok keluarga yang pada akhirnya meretas kemustahilan menjadi kemungkinan yang MUNGKIN. 

Mungkin ini berat, mungkin ini tak mudah, mungkin juga tidak mungkin. Tapi jika kita yakin dan berfikir kolektif untuk menang. Maka mulai hari ini mari tularkan keyakinan kita bersama Muaz dengan cara rebut semua suara keluarga. Minta sebanyak-banyaknya doa rakyat agar pada Pemilu 14 Februari 2014, suara Muaz di setiap TPS jadi Pantastis. Amin. Mari Menjadi Keluarga MUAZ ABDULLAH, SE. 
Selamat Berjuang. 

Minggu, 17 Desember 2023

KOA-KOAYANG

 

KOA-KOAYANG berasal dari nama koa', sejenis burung yang sudah jarang ditemukan dan hampir punah. Burung koa’ ini mempunyai ciri berbadan besar, terbang tinggi sekuat tenaga. Menurut Nurdin Hamma (budayawan Balanipa), selain 'koa' burung ini dahulu dijuluki 'kali arung' (kali artinya kadhi atau hakim dan arung adalah yang dituakan atau pemimpin) . Burung kali arung ini diberi kesempatan oleh tuhan meluruhkan seluruh bulunya dan mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arasy.
Dahulu kala, koa-koayang dikenal dengan nama 'pammanu-manu', ini menjadi ritual pada acara pernikahan di Mandar. Pammanu-manu ini dilaksanakan pada malam setelah proses akad nikah disiang harinya. Mempelai wanita dipakaikan kostum dari sarung yang tak dikenal oleh mempelai laki-laki. Sehingga lelaki harus mencari dan mengejar wanitanya sampai ia dapatkan. Ini menjadi sebuah ritual pernikahan yang mengandung hiburan.
Perjalanan selanjutnya kemudian dieksflorasi menjadi seni pertunjukan seni tradisi parrawana tommuane yang kemudian dinamai pakkoa-koayang. Pada fase ini pakkoa-koayang menjadi sebuah seni pertunjukan yang berlangsung puluhan tahun dan tampil kadang dibuatkan panggung. Untuk saat ini, kelompok parrawana tommuane yang masih melestarikan tradisi ini adalah kelompok rebana yang ada di Lamase Kec. Tinambung.
Pakkoa-Koayang pertama kali diangkat dalam seni teater oleh kelompok Teater Flamboyant (TF) yang diberi judul Koa-Koayang. Sutradara Teater Koa-Koayang awalnya Amru Sa'dong sekaligus penulis naskahnya tahun 1997, lalu adaptasi naskah Koa-koayang yang ditulis Rahman Baas pada pentas teater di TMII Jakarta tahun 2010 yang di sutradarai oleh Ramli Rusli beberapa kali. Kemudian pentas trater koa-koayang 2014 kembali di Jakarta disutradarai oleh Candrawali, kemudian teater koa-koayang 2015 di Mamuju kembali sutradarai oleh Ramli Rusli.
Tahun 1997 itu menjadi momentum paling bersejarah karena lewat penampilan dipentas seni teater di IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta ini, melahirkan sebuah konsep cerdas mengenai pembacaan kondisi bangsa Indonesia dibawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Lewat bangsa koa-koayang dari Mandar ini sampai pada simpulan bahwa Indonesia selama ini berada di selangkangan elit yang tak serius dan kesalahan paling besar terletak pada ketidak seriusannya dalam pengertian tidak boleh berfikir normal dalam situasi tidak normal.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku