Sabtu, 21 September 2019

Mandar Writers And Culture Forum 2019



“Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani” Demikian Umar Bin Khattab RA berwasiat. Andai sebagian besar manusia ‘menyukai’ sastra, maka bisa dibayangkan betapa dunia ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia pemberani namun berhati lembut, bak Umar bin Khattab. Sayang sekali, hanya segelintir orang yang tertarik pada dunia sastra.
Di tengah ruwetnya persoalan bangsa, di tengah hancurnya moral bangsa, dari kenakalan, hingga korupsi yang masih saja menggerogoti negara ini,  sastra hadir, diantaranya untuk mengembalikan ruh bangsa yang telah nyaris mati. Maka telah menjadi tugas kita, para pelaku sastra, untuk menyebarluaskan nilai-nilai moral yang tertuang dalam karya-karya sastra dalam beragam bentuk.
Di zaman pra dan awal kemerdekaan, banyak karya-karya fenomenal yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat. Sebutkan beberapa roman, diantaranya Siti Nurbaya. Bahkan sampai saat ini ungkapan ‘ini bukan zaman siti Nurbaya’ masih sering diucapkan sebagai kalimat penolakan atas suatu perjodohan. Pertanyaannya, mampukah kita, dewasa ini, di tengah rendahnya budaya literasi masyarakat, juga menghasilkan karya yang mengisnpirasi?
Sastra bukan sekedar roman picisan yang hanya membuat pembaca berurai air mata atau tersenyum bahagia. Sastra bukan sekedar kisah yang kalau tidak happy ending pasti sad ending. Lebih dari itu, sastra sejatinya berangkat dari keresahan hati akan realitas sosial yang terjadi. Sastra adalah cerminan masyarakat di mana sebuah karya sastra berasal.  
Maka, tidak bisa dipungkiri, sastra memegang peranan penting terhadap pemulihan-pemulihan kondisi sosial yang kita alami sekarang. Karena itulah, membudayakan sastra, mengajak para generasi untuk cinta membaca dan menulis, atau sekedar menikmati sajian-sajian budaya, adalah salah satu yang harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat beradab dan berbudaya.
Untuk tujuan itulah sehingga MANDAR RITER ADN CULTURE FORUM I 2019 digagas dan dihelat untuk wilayah Sulawesi Barat. MWCF I 2019 dilkasanakan bekerjasama dengan beberapa komunitas literasi Kegiatan ini merupakan forum pertemun para penulis dan pekerja-pekerja kreatif di Sulawesi Barat sebagai sebuah perayaan atas karya-karya yang telah dihasilkan. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan setiap tahun. MWFF diharapkan menjadi ruang berkreasi menuangkan imajinasi menjadi sebuah karya yang menginspirasi.


NAMA KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF I) 2019

TEMA KEGIATAN
Putika: Spiritual, Sosiologis dan Masa Depan Mandar

TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan MWCF I 2019 bertujuan :
1.      Memberikan ruang bagi Penulis-penulis di Sulawesi Barat untuk berkreasi.
2.      Memperkenalkan budaya literasi bagi masyarakat Sulawesi Barat.

WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF) I 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 25- 28 Oktober 2019

Kontak Person 
Muhammad Munir : 
WA 082113008787
telp. 085228777027

HUSNI DJAMALUDDIN: "Ya, Betul. Dia Panglima. Titik!".

Catatan Muhammad Munir
Foto alm.Husni Djamaluddin saat Megawati Soekarno Putri kunjungan kerja ke Polewali Mandar, 26 Juni 2004

15 Tahun Sulawesi Barat ini, izinkan saya melisan tuliskan sosok Husni Djamaluddin, kendati saya bukan orang orang yang pernah berguru langsung. Bertemu pun tak pernah selain hanya melihatnya beberapa kali dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001 dan terakhir 2004, itupun hanya sekedar melihatnya sepintas.
Pernah suatu ketika saya ditanya siapa yang menjuluki Husni Djamaluddin sebagai Panglima Puisi?. Pertanyaan ini tentu saja membuat saya tersentak sebab pembacaan dan pemahaman saya tentang beliau sebatas pada Trilogi Bacaan: Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal; Adakah Kita Masih Bertanya?; Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku?. Saya yakin pertanyaan ini akan terus muncul dan bisa menjadi bom waktu bagi penggiat literasi ketika tak mampu memberikan jawaban.

Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (3) "Gara-Gara Literasi"

Melacak Jejak Topole di Balitung (3)
"Gara-Gara Literasi"

Pak Mansur dan Danu
  
      Secara geografis Pulau Belitung berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ - 108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur Selat Karimata, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar dan batas Selatan dengan Laut Jawa. Pulau Belitung banyak dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil dengan jumlah sekitar 189 pulau. Luas wilayah Pulau Belitung seluas 34.496 km² terdiri dari 4.800 km² daratan dan 29.606 km² perairan. Daerah ini sekarang terbagi dalam dua wilayah kabupaten, Kabupaten Belitung yang terletak di bagian barat pulai ini beribukota Tanjungpandan dan Kabupaten Belitung Timur yang ibukotanya adalah Manggar. Di Belitung Timur inilah Ahok (Basuki Tjahya Purnama) pernah menorehkan sejarah sebagai Bupati.
          Setelah jadi Bupati, Ahok kemudian mencoba meraih peruntungan ke Senayan dan lolos jadi Anggota DPR RI untuk selanjutnya jadi Wakil Gubernur mendampingi Jokowi. Setelah Jokowi jadi RI 1, Ahok kemudian menempati posisi nomor 1 di DKI. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Ahok disandung perkara Al-Maidah 51 yang terkesan dipolitisasi sehingga harus menjadi pesakitan dan sekarang harus berada di Hotel Prodeo. Gaerah Belitung Timur saat ini dinakhodai oleh saudara Yusril Ihza Mahendra. Adapun Kabupaten Belitung yang ibukotanya Tanjungpandan ini menjadi tujuan utama untuk melacak Jejak I Calo Ammana Wewang. Rupanya disini pula DN. Aidit, tokoh sentral dalam perbincangan dan literatur Komunis Indonesia ini dilahirkan.


          Senja mulai menggoda, gemercik air dari sungai kecil dibelakang Kandang Gapabel ikut menjadi penikmat suasana. Diskusi tentang I Calo Ammana Wewang semakin seru ketika Mansur Mas’ud muncul memenuhi panggilan Bang Yongki. Mansur Daeng Sila adalah sesepuh masyarakat Bugis Belitung yang di internal Gapabel termasuk dituakan. Wajahnya sangat familiar bagiku. Bukan lantaran sebelumnya sudah pernah bertemu, tapi lebih disebabkan oleh kemiripan wajah dan postur tubuhnya dengan A’ba Tammalele. Dalam hatiku, ini mungkin orang Mandar, bukan orang Bugis. Tapi bagaimanapun antara Bugis dan Mandar sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan integral ketika kita mentadabburinya dengan pepesan dari leluhur.
          Kendati Pak Mansur juga barusan mendengar nama I Calo Ammana Wewang, jelas dari mimik dan bahasa tubuhnya cukup meyakinkanku bahwa di Belitung ini, misi utamaku akan sangat terbantu dengan keberadaan Jaringan Pustaka Bergerak. Hal itu terbukti dari banyaknya mereka menghubungi beberapa tokoh di Belitung ini dan menyampaikan informasi kedatangan saya ini ke Belitung. Bahkan saat itu juga ada yang Yanto dkk datang menyapa serta terlibat dalam diskusi awal yang membuatku tak merasakan lelah dari perjalanan panjangku sejak pukul 23.00 kemarin dari Mandar ke Belitung. Pak Rosihan, adalah salah satu tokoh budaya dan sejarawan adalah nama pertama yang direkomendasikan kawan-kawan dari Gapabel, dan saya hanya mengiyakan, kapan saja untuk bisa dipertemukan dengan beliau.
          Setelah berdiskusi lebih 1 jam, mereka kemudian pamit satu-satu. Dita dan Danu serta Bang Jokie telah memberiku spirit untuk tetap semangat. Sesaat setelah mereka pergi, Saya kemudian minta ijin pada Pifin Herianto, pemuda gondrong yang ternyata merupakan Ketua Gapabel. Pifin inilah yang menamniku di Kandang (sebutan untuk Markas atau Sekretariat) untuk menyegarkan tubuh di kamar kecil yang ada disamping kandang. Guyuran pertama air di Belitung begitu segar. Cuaca panas dan seharian tak mandi membuat tubuhku terasa penat. Ti’au pai uwai anna ti’au alaweu” Sebuah bi’jar atau sejenis mantra leluhur yang kerap jadi pesan utama kakekku saat pertama kali mandi di kampung orang. Sesederhana itulah kearifan lokal leluhur Mandar bahwa air dimanapun didunia ini selain menjadi elemen dasar kebutuhan manusia, air juga menjadi kunci pertama untuk menjaga diri (jiwa dan raga) dimanapun.
          Mandar adalah suku yang sejak tak lain konotasi maknanya adalah air atau sungai. Filosofi tentang air yang mengalir menemukan jati dirinya pada titik-titik terendah. Tak sekalipun air mencari kesejatiannya pada titik-titik yang lebih tinggi. Air selalu mengalir pada tempat-tempat yang rendah. Air ketika keluar dari mata air, akan terus mengalir tenang, enggan berhenti. Kendati air dibendung pun ia tetap harus dialirkan agar bendungan tak dibobol. Dalam skala terkecil air disumbat, maka ia akan menghindari obyek yang menghalangi, terus dan terus mencari dimana titik bisa mengalir dengan nyaman. Filosofi ini mengajari setiap generasi Mandar bahwa dalam hal apapun, jangan pernah menjadi manusia yang angkuh dan ingin menjadi yang paling benar atau disanjung. Pun jika ada yang mencoba mengganggu, maka menghindarlah.
Begitulah air. Ia mengalir mencari alur, membuat arus. Pada posisi ia selalu diganggu kenyamannya maka tunggulah, air akan menjadi air bah yang mampu meluluh lantakkan apa saja yang menghalanginya. Air hanya patuh kepada titah tuhan untuk terus mencari alur untuk mengalir. Maka jangan heran jika orang yang betul-betul Mandar hanya akan patuh pada orang yang patut untuk dipatuhi. Selain filosofi, elemen air dan sungai rupanya menjadi simbol yang abadi dalam literatur sejarah Mandar.
Tanah Mandar berarti Tanah dan Air. Maka konsep tanah air itu terbukti bahwa 14 kerajaan di Mandar merupakan kerajaan yang dibangun dengan semangat Sipamandar atau Passemandarang yang maknanya saling mengautkan. Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binaga (Tujuh Kerajaan di muara sungai) adalah konsep Negara Konfederasi yang leluhurnya pun berasal dari konsepsi tomanurung yang kesemuanya identic dengan air (Tobisse di Tallang, Tokombong di Bura, Tomonete di Tarauwe dan Todisesse di Tingalor) bahkan leluhur Pongkapadang dan Torije’ne’ yang dikonsepsikan sebagai manusia pertama peletak dasar peradaban di Mandar ini tak lepas dari air. Pongkapadang yang merupakan simbo air pegunungan dan Torije’ne (istrinya) merupakan symbol air dari pesisir.


Lalu kaitan Mandar dengan Belitung itu dimana? Selain Topole di Balitung yang dibuang Belanda pada Abad-20, sebelumnya leluhur orang Mandar atau Raja Sendana, Tomatindo di Balitung atau Tomottong di Balitung. Ia adalah sosok yang sekitar abad ke-17 Masehi di Kerajaan Sendana lahir sosok “Tomatindo di Balitung” yang di negeri seberang berjuang melawan kebiadaban kolonialisme Belanda. Beliau oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin Farid, SH. menyebutkannya sebagai ”Sijago dari Selat Malaka”. Dalam banyak catatan, Tomatindo di Balitung juga diketahui banyak melahirkan falsafah yang berhubungan dengan etika kepemimpinan di tanah Mandar, termasuk yang memasukkan bibit kayu jati ke Mandar dan Tumarra (Timah) untuk keperluan ladung dan pemberat pada alat tangkap ikan seperti pukat dan tappe (alat tangkap ikan dengan kail dan tasi).
Maka tak salah kemudian jika saya begitu yakin ke Belitung seorang diri, sebab di tanah ini pernah tertanam jazad seorang raja dari Mandar yang tubuhnya itu diurai oleh tanah dan menjadi saripati yang diserap oleh akar tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan subur dan menjadi nutrisi penting dalam proses metabolism tubuh manusia Belitung. Jadi Mandar dan Belitung pernah terjalin hubungan kekerabatan yang begitu kuat, maka hari ini saya menawarkan diri pada personil Gapabel bahwa inilah generasi Mandar yang halal menjadi saudara kalian. Kalian adalah sosok-sosok yang sangat berharga dan oleh karenanya, kalian saya abadikan dalam tulisan saya.
                  
WW. House Belitong, 22 April 2018                                                                        23:40

Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung

Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini, ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya. Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun, ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas. Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan layanan antar dan paket penginapan. "Maaf, saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka. Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni, biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap. Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus (62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec. Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni. Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak. Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah. Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5 mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”. Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan alakadarnya di sore menjelang senja itu.


                                                   Minggu, Rumah Baca Akar, 22 April 2018


Melacak Jejak Topole di Balitung (1) "Iyau Tomandar"

Melacak Jejak Topole di Balitung (1) 
"Iyau Tomandar"


Malam kian beranjak. Gerimis sempat mengintip malu-malu ketika usai makan malam bersama keluarga besar Rumpita di Warung Barokah di sudut kiri simpang tiga Taman Kota Tinambung yang terdapat Patung Andi Depu. Warung Barokah menjadi alternatif bagi keluarga Rumpita untuk jika dalam kondisi emergency. Warung Barokah bersih, makanannya enak dan dikelola oleh orang Jawa. Menu favoritku di warung ini pasti nasi goreng kalau bukan pangsit. Menunya pas dan terkesan murah untuk sekedar memanjakan lidah. 1 porsi nasi goreng maupun pangsitnya hanya dibandrol 10K.
Begitulah, setelah ngopi dan sedikit diskusi dan berwejangan sama anak-anak Rumpita terkait beberapa agenda Wisata Buku, saya akhirnya berkemas untuk bersiap-siap berangkat ke Makassar. Asrar mengambil peran menunggu mobil yang kemudian disusul oleh Kadir, Adhy, Nizar, Ade, Indi dan tentu saja Erna, mamanya Ibnu. Erna, sosok wanita yang dengan setia merangkai do'a untuk saya, kendati harus melupakan kenikmatan do'a untuk dirinya. Tepat pukul 22.30 menit, mobil Bus Sipatuo milik perusahan PIPOSS berhenti tepat di depan Masjid Nurul Amin Kandemeng. Sisa kopiku masih sempat kuseruput untuk selanjutnya saya berjalan menuju ke arah depan dimana mobil dan anak-anak Rumpita menunggu.
Satu persatu kusalami, Aku larut pada lingkup berkah ketika doa kulangitkan diantara pelukan kasih sayang dan ciuman mesra pada kening istri dan anakku sebagai pola pamitan. Terima kasih sayang. Kau masih setia dan merelakan duniamu kugelapi dan kuterangi ! Aku berangkat sayang. I Love You.... Mesin mobil menderu, sedetik kemudian bergerak pelan pada saat saya sudah duduk tenang di Jok kursi nomor tiga dibelakang kondektur dan sopir. Dibilangan 21 April 2018 Pukul 22.40 menit menandai perjalanan panjangku dimulai.
Bertolak dari Kota Para Daeng (Mandar) menuju Kota Daeng (Makassar). Route Tinambung, Polewali, Pinrang, Parepare, Barru, Panggkep, Maros berujung pada gerbang Bandara Internasional Hasanuddin. Dingin AC mobil terasa menyengat sampai keulu hatiku ketika kondektur berteriak Bandara....bandara....Lewat pintu bandara, mobil melaju masuk ke arah pintuk keberangkatan bandara. Disamping jalan kiri kanan sepanjang akses ke termanal bandara, nampak promosi OPPO F5 berjejer laksana serdadu.
Lebih dekat ke terminal OPPO diganti dengan promosi produk Class Mild. Hingga saat jarum jam menunjuk angka 04-50 mobil berhenti tepat dipintu keberangkatan. Saya bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar mobil bagian depan. Pas di trotoar pintu terminal keberangkatan, puluhan anak-anak berhamburan menyerbu ke arah Bus yang saya tumpangi. Bocah-bocah itu ternyata kawanan kuli panggul di bandara. Kendati mungkin keberadaannya tidak resmi, sebab rata-rata mereka adalah anak usia sekolah atau dibawah umur tapi paling tidak ada yang menarik untuk saya catat dari mereka itu. Menunggu bag tour yang semalam saya bagasikan lewat kondektur, belum sempat saya sentuh kopor itu sudah ditadah sama bocah-bocah kecil itu.
Saya berusaha merebutnya tapi dia malah memotong jarak dan melompati pembatas besi tang terdapat di koridor terminal bandara. Hanya satu kata yang terucap dari mulutnya saat saya ikut dibelakangnya, "Saya bantuki pak, ndak usah dibayar". Beberapa saat kemudian bag tourku diletakkan pas dipintu masuk bandara. Kendati ia mengatakan tidak usah bayar, tapi sebagai manusia, tentu saja uang 2.000an bukan masalah, justru lembaran 5.000an yang saya serahkan. Pukul 06.00 pagi, setelah melalui pintu yang terdapat detektor dan pelayanan boarding pas saya langsung menuju ke eskalator sebab panggilan untuk Chek In sudah ada.
Pesawat milik maskapai penerbangan Lion Air ini mengantar penumpang tujuan Jakarta termasuk saya yang transit di Jakarta untuk menuju ke Kota Timah Belitung. Setelah melewati waktu tempuh 2.15 menit, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng tepat pada jam 07.15 menit waktu Jakarta. Tiba diterminal kedatangan. Barisan pekerja jasa travel dan hotel segera menyerbu menawarkan diri untuk layanan antar ke tujuan. Dipintu keluar bandara, segera kuambil arah kiri untuk masuk ke Terminal Keberangkatan 1 sambil menunggu penerbangan ke Belitung.
Didalam area terminal keberangkatan segera kukabarkan pada sanak famili sebab jam 10.00 pesawat tujuan Jakarta Belitung lepas landas. Pagi di lembar 22 April 2016 kurenda di ruang tunggu Gate 4 Bandara Soekarno Hatta. Saat Handphone kuaktifkan, puluhan pesan via WA masuk dari grup keluarga Rumpita. Termasuk pesan dari Yuyun Husni Djamaluddin, yang menanyakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan di Hotel Maleo Mamuju mengenai pengembangan dunia literasi. Belum sempat japriannya kubalas, beliau menelpon langsung. Poin penting dari percakapan kami adalah spirit yang kerap ia ingat dari almarhum ayahnya, "Iyau Tomandar". Bahasa yang singkat, namun penuh makna yang dalam dan panjang untuk dinarasikan. Selain menjadi pengisi waktu menunggu pesawat, rupanya diskusi saya dengan doktor cantik putri Sang Beruang Sulbar atau Panglima Puisi ini ternyata memberi spirit untuk perjalanan saya ke Belitung.
Maka, sepakatlah saya dengan Mbak Yuyun bahwa Diskusi Remapping Sulbar harus mengusung tema Iyau Tomandar. Demikian hasil perbincangan saya dengan dosen Perpolisian Masyarakat yang pada Debat Kandidat Pilgub Sulbar 2017 lalu menjadi Host atau pemandu. Spirit "Iyau Tomandar" dari Yuyun ini sampai ke Belitung menjadi sebuah jawaban bahwa melacak jejak seorang diri dengan obyek Melacak Jejak Topole di Balitung ini merupakan tindakan berani dan nekat. Begitulah teman-teman di Kandang Gapabel mencandaiku. Jawaban singkat saya "Iyau Tomandar" Pesawat akhirnya take off menuju Belitung, Kota Laskar Pelangi tepat jam 10.30 dan tiba di Bandara Belitung jam 11.25 menit.


                                                          Jakarta-Belitung, Minggu 22 April 2018

Minggu, 06 Agustus 2017

CATATAN KECIL DISKUSI LITERASI BERSAMA WAKIL BUPATI MAJENE





Oleh : Muhammad Munir
 
Ba’da ashar, gerbang depan Stadion Mandar Majene seketika menjadi lautan buku. Masyarakat Majene mulai dari umur balita sampai kepada orang tua menyemut memadati area Lapak Buku pada edisi IV Majene Membaca, tanggal 8 Agustus 2017. Para pengunjung Lapak Baca sontak dikejutkan oleh salah salah seorang pengendara motor yang berhenti pas didepan palang pembatas untuk masuk ke area Lapak Baca. Seorang lelaki turun dari boncengan motor dan berjalan menuju area lapak baca. Sebuah pemandangan yang membuat para pengunjung tersadar bahwa orang yang datang mengahampiri lapak baca itu ternyata bukan pengunjung biasa.
Lelaki itu adalah  Pak Lukman, Wakil Bupati Majene yang singgah di Lapak Buku Rumpita karena tertarik dengan kaos bergambar dan bertuliskan Kacaping. Tak ayal lagi, ia menjadi obyek jepretan kamer saat mulai membuka plastic baju sampai ia membayarnya langsung ke salah satu personil Rumpita. Beliau dating memenuhi undangan para penggiat literasi untuk berdiskusi dan lesehan.


Lukman, S. Pd., M. Pd. Demikian nama lengkap beliau. Saya tentu harus menjabat tangan beliau dan mengucapkan terima kasih kepada beliau atas apresiasinya terhadap gerakan ini. Meliahat beliau, tak ada yang terbersit dalam ingatan saya selain sebuah peristiwa pada tahun 2002 sebelum daerah ini berwujud sebagai provinsi Sulawesi Barat. Entah beliau masih ingat atau tidak, saya bahkan pernah akrab dan menginap dirumah kediamannya. Saat itu, penulis bersama Masruddin (Pegawai Pertanahan Kabupaten Majene) aktif sebagai distributor CNI, salah satu perusahaan multi level marketing terkemuka di Indonesia. Lukman terdafatar sebagai distributor CNI dan Masruddin sebagai up-linenya. CNI pada tahun 2002 itu mencapai ledakan jumlah distributor melalui produk pupuk Plant Catalys. Penulis sebagai distributor memang sangat aktif membantu mitra dalam sosialisasi dan persentasi dilapangan. Penulis bahkan sampai ke Mamuju, Bambaloka, Lariang, Tikke, Pasangkayu dan menyebrang ke wilayah Donggala (Lalombi-Watatu) untuk urusan bisnis MLM ini.
Dari situ sosok dan pribadi beliau kukenal inci demi inci. Lewat bisnis MLM CNI inilah penulis mengenal Lukman. Tepat sauatu malam sempat kami diskusi kecil menetapkan impian masing-masing, sebab perusahaan CNI adalah perusahaan yang aktif mengembangkan usaha dan pengembangan diri distributor. Penulis bahkan sangat ingat kala itu Pak Lukman sabang hari prospek dan menjual pupuk Plant Catalys kepada para petani. Pak Lukman saat itu menetapkan impiannya untuk menjadi Bupati Majene agar bisa membantu lebih banyak petani dan membangun daerahnya, terutama daerah Lombo’na. Kekuatan impiannya itu betul-betul ia bangun hingga hari ini, 15 tahun lalu untuk kedua kalinya saya berjabat tangan ia kini berstatus Wakil Bupati Majene periode 2015-2010. Saya bahkan sangat yakin bahwa dengan impian yang kaut, ia pasti bisa meraih cita-citanya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Majene. Amin.
 
Sang inspirator dan motivator ini lahir di Majene pada tanggal 24 Desember 1967. Ia terlahir sebagai masyarakat biasa tapi mampu menjadi manusia yang luar biasa. Putra pasangan Nurma dan Hj. Cindara ini menyelesaikan pendidikannya di SD 20 Somba pada tahun 1980. Selesai di SLTP 1 Somba tahun 1983, ia kemudian memilih melanyelesaikan pendidikan tingkat atasnya di SMA 1 Majene. Selesai SMA ia tak langsung melanjutkan pendidikannya namun lebih tertarik bekerja sebagai wiraswasta.
Sebelum masuk dalam dunia politik praktis, suami dari Rahmatia ini aktif di organisasi kemasyarakatan. Ia memilih KNPI sebagai organisasinya untuk berbakti pada masyarakat. Dari menjadi sekretaris KNPI Kecamatan Sendana sampai ia dipercaya menjadi Ketua KNPI Kec. Sendana. Suka duka Lukman membangun impiannya, memang sungguh menyakitkan. Ia bahkan pernah dihina dan dicibir dengan pernyataan bahwa Lukman cocoknya hanya sebagai Cleaning Service di kantoran saja. Ternyata semua itu ia dapat bantahkan, sebab pada tahun 2009, ia menjadi Sekretaris Kosgoro Kabupaten Majene sekaligus bergabung menjadi pengurus partai Golongan Karya.
Dari partai Golkar inilah ia mulai meraih mimpi-mimpinya dan berhasil menjadi anggota DPRD Majene. Tahun 2014 kembali terpilih dan dipercaya sebagai Wakil Ketua DPRD Majene. Setahun menjadi Unsur Pimpinan di lembaga ini ia memberanikan diri menerima tawaran Fahmi Massiara sebagai calon wakil bupati pada pilkada serentak tahun 2015 dan takdir mempertemukannya untuk menjadi orang nomor dua di Kabupaten Majene.
Legislator yang kini menjadi Wakil Bupati ini hadir diskusi literasi bersama para penggiat literasi yang diinisiasi oleh teman-teman Pemerhati Pendidikan EDUCARE. Lukman sangat mengapresiasi kegiatan ini. Kedepan, kegiatan seperti ini mesti terus dikembangkan dan ditebarkan disetiap sudut dan ruang di daerah ini. Silahkan jalan, jika dalam kegiatan kalian mendapatkan kendala, sampaikan pada kami. Saya akan siap duduk bersama kalian untuk menyelesaikan semua proplem yang menghambat gerakan kalaia. Demikan Lukman memotivasi para penggerak literasi yang dihadiri banyak warga Majene.
 

           “Saya siap kapan saja ada waktu duntuk berdisikusi terkait Majene Membaca ini. Kedepan, saya membutuhkan para pengiat untuk duduk bersama merumuskan formula dan kiat pengembangan dan penguatan literasi di Majene”. Tegas Lukman.