Minggu, 05 Maret 2017

PINDANG MATOA DARI SENDANA : JEJAK PERADABAN MANDAR TAHUN 1380-1480



Pindang Matoa Sendana adalah salah satu penemuan dari program penelusuran sejarah MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Sulbar di kaki bukit buttu Suso Sa’Adawang Sendana. Horst H. Liebner ketika benda ini diperlihatkan mengatakan bahwa ini adalah keramik Sukothai, dibuat akhir abad ke-14 (artinya, 1380 ...) sampai awal abad ke-15 (1400+).
            Horst membuktikan hasil percakapannya itu di fanpage fb yang ia kelola sendiri.
Many thanks for your efforts, clearly dating the piece into, let’s call it, early 15th century. I forwarded the information to the person in charge, and will see him, I suppose, next week in Mandar. However, due to another assignment I will only be able to follow up on this and other finds in the area end May, I fear.
For the time being, people interested in our present pre-survey may have a look at https://www.facebook.com/situs2mandar/?fref=ts, where a number of young enthusiasts began to collect data on their region’s pre-Islamic history. (It’s in Bahasa Indonesia, but there are photos and coordinates for those who ….)
The clear classification of the Sukhothai bowl underlines that there is much more to Mandar history then allowed for in the recognised local historiographies which, except for scattered and rather foggy apostilles on earlier players, commence only with the establishment of the ‘kingdom’ of Balanipa and the Mandar confederation in the late 16th century. 

Again, thanks a lot,

Horst Liebner

From: Southeast Asian Ceramic Archaeologists list [mail to: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU] On Behalf Of Cort, Louise
Sent: Tuesday, 12 April, 2016 02:11
To: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU
Subject: Re: [SEACERAMARCH] imported ceramic in w-sulawesi

To confirm Don’s dating of the Sukhothai vessel to C14-15, Roxanna Brown’s study of shipwreck materials indicates that this sort of Sukhothai vessel, with underglaze-black fish and floral motifs, appears on wrecks datable to “about the end of the 14th century until about 1480.” (Brown 2009:51).

Brown, Roxanna Maude. 2009. The Ming Gap and Shipwreck Ceramics in Southeast Asia; Towards a Chronology of Thai Trade Ware. Bangkok: Siam Society. 

From: Southeast Asian Ceramic Archaeologists list [mailto:SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU] On Behalf Of Don Hein
Sent: Sunday, April 10, 2016 9:41 PM
To: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU
Subject: Re: imported ceramic in w-sulawesi

I agree with John Miksic of a Sukhothai – Thai attribution, made certain by the exposed fabric of the base which clearly shows large quartz inclusions typical of Sukhothai (absent from Vietnamese ware). Such ware were widely traded throughout the Southeast Asian archipelago.
Production site evidence (including up to three sequential kilns) suggests a manufacturing term of about 100 years. However (compared to Sawankhalok) very little study study/excavation has been conducted at Sukhothai (although Kun Prachote Sangkhanukij is presently undertaking such a program). Dating is fuzzy, but a best guess may be C14-C15.
Don Hein.

From: Minh Tri [mailto:tri_vnceramics@yahoo.com] 
Sent: Friday, 8 April, 2016 17:15
To: Horst Liebner <khmail@INDOSAT.NET.ID>
Subject: Re: imported ceramic in w-sulawesi

This dish from Thailand and date late 14th early 15th century.

Đã gửi từ iPhone của tôi 

From: Miksic John N
Sent: Saturday, 9 April, 2016 03:03
To: Horst Liebner <khmail@INDOSAT.NET.ID>
Subject: RE: imported ceramic in w-sulawesi

This looks very Sukhothai to me. it could be late 14th century, but it could have been imported or disposed of by burial at a later period, say first half of the 15th century.[1]


[1]https://www.facebook.com/situs2mandar/photos/a.742022265931858.1073741828.742011879266230/779203188880432/?type=3&theater

YAKOBUS MAYONG PADANG DI MATA HAMZAH ISMAIL



Dari Kiri ke Kanan: Muhammad Munir, Muhammad Rahmat Muchtar, Zulfihadi dan Hamzah Ismail dalam acara Launching Lontaraq Digital 2015 di RUMPITA
Catatan kecil tentang Bang Kobu (Yakobus Mayong Padang)
BELAJAR PADA PERILAKU SAHAJA: JANGAN REMEHKAN HAL SEPELE
 


Catatan Hamzah Ismail


Siang ini saya menemukan dua sosok manusia yang mulia. Bang Kobu bersama istrinya. Manusia jujur. Berawal dari kejadian saat beliau menikahkan putranya tiga tahun lalu. Ketika bang Kobu bersama istri hendak menggelar pesta pernikahan anaknya dalam nuansa adat Mandar. Hitung-hitung sekaligus sebagai ajang promosi produk budaya Mandar di Jakarta, menurut Bang Kobu. Tidak tanggung-tanggung, Istri Bang Kobu memesan 100 lembar sarung sutra Mandar. Kebetulan tempatnya memesan adanya di Tinambung, tokonya bersebelahan dengan rumahku.

Sementara aku asyik membaca-baca online essay tentang puisi, tiba-tiba dua mobil hitam berhenti tepat di depan rumah saya. Dari mobil pertama turun Syamsuddin Idris, dan setelahnya turun pula Adil Tambono. Lalu kemudian aku perhatikan mobil kedua. Darinya turun Bang Kobu, lalu istrinya, yang segera bergegas ke toko sutra samping rumahku. Ternyata ia singgah, hendak membayar hutangnya. "Sarung yang dikirim ke Jakarta tiga tahun lalu, itu lebih dari seratus." Berapa lebihnya pak? Tanyaku ke Bang Kobu. "Tidak tahu," jawabnya.

Saat istri bang Kobu menyatakan hendak membayar hutang, si penjual heran, hutang apa? Si penjual tidak merasa, pernah memberi piutang. Alhasil transaksi antara istri bang Kobu dengan si penjual tetap saja berlanjut, yang luput dari pengamatan kami. Aku, Syamsuddin, Adil Tambono dan beberapa orang lainnya lebih memilih terlibat dalam diskusi kecil perihal perkara hutang tidak jelas yang diklaim sepihak oleh Bang Kobu dan istrinya itu, berangkat dari peristiwa tiga tahun lalu saat bang Kobu dan istri membeli seratus lembar sarung sutra Mandar, digunakan dalam perhelatan pernikahan anaknya.

Penuh perhatian pada hal sepele.

Kelihatannya sepele, tetapi menjadi perhatian yang berlebih dari Bang Kobu dan istrinya. Menurut Bang Kobu, yang kemudian bergabung ke lingkaran diskusi kami, istrinya sudah beberapa kali mencari toko tempat ia membeli sarung sutra. Bahkan pernah 'nyasar' ke Majene dan tidak menemukannya di sana. Baru hari ini ia menemukan toko itu secara tepat karena kebetulan ia satu rombongan dengan Syamsuddin. Syamsuddinlah yang menjemput sarung itu. Menurut saya, jika memang lebih, satu dua lembar, pasti itu adalah bonus dari penjual. Sebab tidak sekali pun si penjual yang adalah tetanggaku menceritakan hal kelebihan itu. Pun, jika dihitung-hitung harga sarung sutra yang berkualitas di pasaran mentoknya di harga 300-400ribuan. Jika hanya 2-3 lembar, paling banyaklah nilainya 900ribuan. Itu kalau (seratus lembar) yang dikirimkan, semuanya sarung sutra yang berkualitas. Imbang posisinya. Si penjual sudah menikmati untung banyak.

Ketika rombongan Bang Kobu berlalu, diikuti Syamsuddin dan teman-teman, aku sempat merenung. Dan harus memaksa-maksakan diri untuk menuliskan peristiwa itu. Sebuah peristiwa kecil, sarat makna dan sangat jarang terjadi. Pertama terbetik dalam benakku: rasa syukur, bahwa untuk kali pertama, saya bisa menyalami beliau. Nama beliau sudah lama mengendap di hatiku. Telah sekian lama, ia menjadi 'idola'. Sudah lama pula aku mendengar kisah-kisah hidup beliau yang amat sangat humanis, dari Syamsuddin. Mungkin karena itu, saya jadi tidak sadar, bahwa pada pertemuan pertama itu aku lancang memeluknya. Merapatkan pipi kananku ke pipi kirinya, cipika-cipiki, kata orang. Seakan-akan aku kawan karib beliau yang untuk sekian lama terpisah jauh dan baru saat itu bertemu. Bukankah cipika-cipiki biasanya dilakukan oleh dua orang yang sudah lama saling mengenal dan sering bertatap muka? Aku tidak sekali pun pernah bertatap muka dengan bang Kobu.

Ah, aku manusia udik hanya mampu membaui dan merasai kehalusan budi seseorang melalui getar-getar hati. Demikian pula aku terhadap bang Kobu, sampai saat catatan ini selesai dibuat, 'keharumannya' masih membekas mendalam memenuhi atmosfir di jiwaku.

Hari ini, peristiwa kecil Bang Kobu dan istrinya, menjadi pelajaran penting dan amat berharga. Untuk menjadi manusia sejati dan paripurna, sekecil apa pun kebaikan haruslah dilaksanakan dan sesedikit apa pun hutang, haruslah ditunaikan. Bukan persoalan hutang semata pokok masalahnya, tapi sesungguhnya yang terpenting dibangunkan, adalah 'hidupnya' saling percaya satu dengan lainnya. Tabeq Bang Kobu.

Tinambung, 5/3/2017
15.00 wita.

Jumat, 03 Maret 2017

FSM-4 Tahun 2017 : Membangun Kesadaran Kolektif !



Catatan Muhammad Munir 
 
Sungai adalah salah satu makhluk tuhan yang memiliki peran penting dalam sejarah kemanusiaan. Sejarah mencatat mulai dari zaman purbakala sungai tak pernah beranjak dari takdirnya sebagai media berlangsungnya ekosistem sekaligus menjadi sumber kehidupan masyarakat yang berada di sekitar DAS (daerah aliran sungai). Pun sejarah juga membeberkannya pada kita bagaimana dinamika kehidupan manusia yang tak pernah ingin menjauh dari keberadaan sungai.
 
Namun ada sebuah ironi dari kehidupan masyarakat kita hari ini. Entah karena dalih kemajuan atau memang pemahamannya yang dangkal sebab justru keberadaan sungai di jaman modern tetap mempunyai arti penting, baik secara fisik, sosial maupun kultur. Dan kenyataan yang kita dapati, semakin minimnya lembaga atau instansi yang fokus menjaga sungai. Sungai bahkan dianggap sebagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir) paling canggih bagi ribuan ton sampah. Pun tak jarang dianggap sebagai ruang paling aman untuk limbah industri.

Keberadaan sungai di Sulawesi Barat khususnya sungai Mandar juga tak luput dari perlakuan diskrimintif masyarakat sekitar yang tinggal tak jauh dari sungai. Kenyataan sungai Mandar yang mengalir dari Ulumandaq ke Tinambung saat ini jika dibandingkan dengan jaman penjajahan. justru lebih terjaga kebersihannya dibanding hari ini. Dalam beberapa cerita tutur orang tua yang sempat menjalani kehidupan dizaman itu, justru tak jarang ditemukan warga yang terkena hukuman dari tentara Belanda akibat kedapatan membuang sampah ataupun membuang hajat ke sungai. Sebangsat itukah bangsa kita hari ini dibanding para penjajah? Sebuah pertanyaan yang tak butuh didebati sebab tujuan tulisan ini adalah menjadi renungan bersama.

Beruntunglah, disekitaran DAS Mandar Polewali Mandar, ada sebuah lembaga yang intens memperlakukan sungai layaknya sebagai makhluk hidup yang butuh sahabat, cinta dan sentuhan. Uwake’ Cultuur Fondation yang dipunggawai oleh Muhammad Rahmat Muchtar adalah satu-satunya yang intens membuat gerakan dan rekomendasi kepada pemerintah Polewali Mandar untuk tidak memunggungi sungai. Tahun ini adalah tahun keempat event Festival Sungai Mandar digelar. Sejak tahun 2014 lalu sudah 3 kali event FSM berlalu dan berlangsung diarea perkotaan Tinambung tak jauh dari muara sungai.

Sejak FSM I sampai ke FSM III Isu-isu tematik seputar bagaimana kita mencintai sungai dari segala pencemaran yang berdampak buruk bagi kehidupan. Berbagai pihak termasuk komunitas seni yang menampilkan kritik dan keprihatinannya terhadap sungai yang dijadiakan pembuangan sampah, perlahan telah menjadi kerinduan yang selalu ditunggu. Respon pemerintah juga masih sebatas sumbangsih MOBIL TRUK SAMPAH dari pemda serta perluasan kerja Bentor (pengangkut sampah) ke wilayah lingkungan yang masih terbatas.

Pahlawan Sampah yang membangun tempat pengelolaan sampah (sebagai percontohan tingkat lingkungan). Meski masih banyak yang perlu didorong diwilayah kawasan hilir, seperti TPA yang belum jelas secara profesional, perhatian ke muara Sungai (Ga’de & Kampung Para’), daya guna tanggul sungai sebagai public wisata dan yang lainnya masih jauh dari harapan kita.

Tahun 2017 ini FSM akan dihelat pada tanggal 20 -27 Maret di tiga titik lokasi di DAS Mandar yaitu Alu (20-21 Maret 2017), Palece (23-24 Maret 2017) dan Lekopa’dis (26-27 Maret 2017). Penyelenggara FSM tahun ini sengaja meninggalkan wilayah kota sebagi upaya memperluas rasa peduli sungai dimana Sungai Mandar mengalir di Hulu (Ulumanda’) sampai ke Hilir (Tinambung). Penguatan rasa memiliki, mencintai dan berbuat secara kolektif dengan pemerintah dan masyarakat. Menurut Rahmat Muchtar, dari tiga titik itu nantinya bisa saling memberi info, memperingati, menjaga serta menkonservasi Sungai & DAS yang didalamnya terdapat kerja2 edukasi, ekologi, perhatian pada mata air yang mulai mengering, penanaman pohon serta pada ekowisata.

Tepatlah kiranya jika tema pessungo pota’ pettamao randang mulai ditinggalkan untuk lebih spesifik mengusung tema yang lebih mengglobal, Balance (keseimbangan). Dan pesertanya juga memungkin kan dari pemuda, pelajar serta perangkat desa yang ada didesa masing2 sebagai pendukung kedaulatan Sungai untuk turut bekerjasama dalam mengelola permasalahan yang ada diwilayah aliran Sungai Mandar.

Sungai Mapilli

Selain sungai Mandar, terdapat sungai yang juga tergolong besar dan panjang. Jika sungai Mandar mengalir dari hulu Ulumanda Kabupaten Majene maka Sungai Mapilli justru mengalir dari Masunni Kecamatan Bulo/Matangnga ke Desa Buku Kec. Mapilli Kabupaten Polewali Mandar. Masunni sendiri hanya sebatas titik pertemuan antara sungai atau Lembang Mapi yang hulunya dari lereng gunung Aralle, Tabulahan dan Mambi dengan aliran sungai Lili yang merupakan aliran dari dari Sumarorong dan Tondok Kalua dan lereng gunung dipelosok Tapango Anreapi. Hal ini pula yang melatari sehingga dinamakan Maloso Mapilli yang tak lain adalah gabungan Mapi dengan Lilli sehungga disebut Mapilli.

Sungai Mapilli atau Maloso Mapilli ini juga mempunyai fungsi yang amat strategis karena Daerah Aliran Sungai (DAS) ini cukup luas dan panjang. Disamping itu, pasokan airnya menjadi sumber pengairan bagi ratusan ribu areal pesawahan di Kabupaten Polewali Mandar. Bendungan Sekka-Sekka adalah satu-satunya bendungan terbesar di Sulbar yang air nya dikonsentrasi ke Maloso kiri dan Maloso Kanan.

Kondisi sungai Mapilli dengan sungai Mandar secara kualitas air masih cenderung sama. Yang berbeda adalah masalah penanganannya. Jika sungai Mandar punya masalah sampah yang indikator tingkat pencemaran air termasuk tinggi akibat akumulasi limbah yang berasal dari hulu maupun tingkat intensitas aktivitas perkotaan. Aktivitas masyarakat yang tidak memperhatikan faktor lingkungan menjadi masalah bagi sungai Mandar. Sementara di sungai Mapilli, penurunan kualitas air tidak terlalu memprihatinkan, termasuk masalah sampah juga bukan masalah serius di sungai Mapilli. Masalah seriusnya adalah keamanan sungai Mapilli dari masyarakat yang berdiam di DAS Mapilli ini.

Sungai Mapilli hari ini jauh berbeda dengan kondisi pada tahun sebelum 80-90-an, sebab terhitung tahun 2000-an, keberadaan buaya jenis buaya Cekdam menjadi persoalan besar bagi masyarakat sekitar. Buaya Cekdam ini adalah bekas peliharaan di sebuah penangkaran buaya di Tenggelang Luyo pada tahun 85-90-an yang banyak lepas ke alam bebas karena tak mendapat perhatian dari pihak pengelola. Tahun 1997-2001 ternyata buaya-buaya ini berkembang biak di sungai Mapilli. Hal tersebut dibuktikan dari adanya dua korban anak manusia disamping hewan peliharaan warga yang juga ikut menjadi korban buaya dari sungai Mapilli ini.

Sejak tahun 2001 sampai hari ini korban jiwa termakan buaya ada 2 orang, hewan peliharaan warga tak terhitung dari jenis kambing, ayam bahkan sapi. Semua penyebabnya adalah buaya. Ini tentu akan sangat berimbas pada prospek jika sungai Mapilli mau dikelola sebagai kawasan ekowista dan peningkatan potensi sungai. Selain buaya, tambang pasir yang tak mempunyai izin lingkungan jjuga marak di sekitaran DAS Mapilli ini.  

Melihat perbandingan dua sungai di Polewali Mandar tersebut, tentunya membuat kita esimis terhadap prosepekpengembangan potensi sungai dan wisata sungainya, sebab jika melihat apa yang dilakukan oleh warga di sekitar sungai Brisbane Australia, yang menjadikan sungai itu sebagai ikon daerah Brisbane.Dari beberapa informasi di media dikatakan bahwa Sungai Brisbane semula sangat tercemar. Pemukiman di sekitarnya juga kumuh. Pembenahan pendekatan teknologi, seperti membangun IPAL dan melakukan pembersihan serta penjernihan air sungai, hasilnya masih kurang memuaskan. Baru setelah dilakukan pendekatan sosial budaya, dengan memperhatikan budaya masyarakat lokal hanya dalam kurun waktu empat tahun telrihat kemajuan yang amat berarti.

Ternyata pendekatan sosial budaya justru lebih cepat dari pendekatan teknologi. Lalu mapukah kita sebagai masyarakat atau sebagai pemerintah untuk menata pemukiman di sekitar sungai, industri-industri dipindahkan ke wilayah yang memadai dan bantaran sungai dijadikan arena aktivitas sosial dan budaya yang di dukung oleh masyarakat di sekitarnya. Hasilnya sungai ini menjadi ikon kota dan masyarakat di sekitar sungai tentu akan lebih nyaman dan aman.

Dalam hal ini mengelola Sungai, perlu sinergitas antara masyarakat lokal, pemerintah daerah dan swasta, dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat melalui peningkatan pengetahuan masyarakat dalam hal pengelolaan sungai. pendekatan melalui institusi pemerintah dan pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang sangat strategis dalam mengembalikan fungsi sosial sungai.

Semoga penyelenggaraan FSM 4 kali ini mampu memberi perubahan mendasar bagi masyarakat disekitaran sungai, termasuk pemerintah juga bisa lebih serius untuk sedikit demi sedikit mengadopsi cara masyarakat dan pemerintah di Brisbane Australia adalam pengelolaan sungai.

Selamat dan Sukses FSM 4 Tahun 2017.


BINTEK PENGELOLA MUSEUM: Evaluasi Kinerja Mutlak Dilakukan !


Catatan Muhammad Munir

Untuk kesekian kalinya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat melalui UPTD Museum mengadakan Bimbingan teknik pengelola Museum Tingkat Dasar dan Lanjutan. Meski UPTD Museum Sulbar juga belum memiliki gedung Museum tapi program-program penegmbangan dunia permuseuman terus ditingkatkan.  Bintek tersebut digelar di di Hotel Berkah Mamuju selama 3 hari mulai 1-3 Maret 2017.

Dalam laporannya, Ketua Panitia, Hj. Nurcahyani, SE mengatakan bahwa Bintek tahun ini diikuti oleh peserta utusan dari6 kabupaten yang terdiri dari pengelola museum dan tim pendata cagar budaya kabupaten. Sementara Kepala UPTD Museum, Jamal Abdullah, S.Sos dalam sambutannya berharap pelatihan  kali ini memberi konstribusi besar kepada setiap kabupaten yang sudah mempunyai museum dan bagi kabupaten yang belum mempunyai museum juga diharapkan menjadi spirit untuk lebih maksimal mendorong lahirnya sebuah kebijakan untuk membangun museum, baik dari unsur masyarakat maupun dari pemerintah kabupaten.

Bintek tahun ini mengahdiran pemateri dari Balai Pelestaruan Cagar Budaya Makassar, Muhammad Natsir Sitonda. Ia adalah salah satu pakar dan ahli tentang permuseuman dan cagar budaya.   Apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat melalui UPTD Museum ini patut diapresiasi, sebab keterlibatan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas pengelola museum memang sangat diharapkan, disamping mempunyai kemampuan anggaran, sarana dan prasarana, ia juga memiliki kekuatan eksekusi pada poin yang dianggap lebih mendesak untuk dilakukan.

Namun, hal yang perlu dipertimbangkan oleh pihak Dinas atau pemerintah provinsi, agar dalam menyelenggarkan kegiatan semacam pelatihan, workshop, bintek dan sejenisnya, kesiapan dan persiapan mesti maksimal. Jangan terkesan dipaksakan dan apa adanya, sebab keikut sertaan peserta dari daerah sesungguhnya adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan sebanyak-banyaknya dari sebuah program yang menggunakan anggaran puluhan juta.

Penulis menganggap, Bintek tahun ini kurang bermutu dan terkesan dipaksakan, sebab waktu yang digunakan selama 3 hari dengan hanya menghadirkan 2 pembicara termasuk perbuatan yang mubazzir dan dipaksakan. Kegiatan ini sebenarnya bisa dilakukan hanya dengan 1 hari. Jika tetap dipertahankan harus selama 3 hari, maka paling tidak, pihak penyelenggara minimal menghadirkan enam orang pembicara ahli dibidangnya. Ini penting, agar anggaran yang digelontorkan berbanding lurus dengan manfaat kegiatan, baik bagi dinas terlebih lagi bagi peserta.  Yang tak kalah penting adalah, usulan para peserta dari 6 kabupaten tersebut mesti diserap secara utuh sekaligus bisa mengevaluasi kinerja dan program yang akan datang.

Sekedar diketahui bahwa utusan dari Polewali Mandar diikuti oleh Nurdin, Muhammad Basith, Dalif, Zulfihadi, termasuk penulis juga ikut menjadi peserta dalam kegiatan tersebut.