Minggu, 05 Maret 2017

YAKOBUS MAYONG PADANG DI MATA HAMZAH ISMAIL



Dari Kiri ke Kanan: Muhammad Munir, Muhammad Rahmat Muchtar, Zulfihadi dan Hamzah Ismail dalam acara Launching Lontaraq Digital 2015 di RUMPITA
Catatan kecil tentang Bang Kobu (Yakobus Mayong Padang)
BELAJAR PADA PERILAKU SAHAJA: JANGAN REMEHKAN HAL SEPELE
 


Catatan Hamzah Ismail


Siang ini saya menemukan dua sosok manusia yang mulia. Bang Kobu bersama istrinya. Manusia jujur. Berawal dari kejadian saat beliau menikahkan putranya tiga tahun lalu. Ketika bang Kobu bersama istri hendak menggelar pesta pernikahan anaknya dalam nuansa adat Mandar. Hitung-hitung sekaligus sebagai ajang promosi produk budaya Mandar di Jakarta, menurut Bang Kobu. Tidak tanggung-tanggung, Istri Bang Kobu memesan 100 lembar sarung sutra Mandar. Kebetulan tempatnya memesan adanya di Tinambung, tokonya bersebelahan dengan rumahku.

Sementara aku asyik membaca-baca online essay tentang puisi, tiba-tiba dua mobil hitam berhenti tepat di depan rumah saya. Dari mobil pertama turun Syamsuddin Idris, dan setelahnya turun pula Adil Tambono. Lalu kemudian aku perhatikan mobil kedua. Darinya turun Bang Kobu, lalu istrinya, yang segera bergegas ke toko sutra samping rumahku. Ternyata ia singgah, hendak membayar hutangnya. "Sarung yang dikirim ke Jakarta tiga tahun lalu, itu lebih dari seratus." Berapa lebihnya pak? Tanyaku ke Bang Kobu. "Tidak tahu," jawabnya.

Saat istri bang Kobu menyatakan hendak membayar hutang, si penjual heran, hutang apa? Si penjual tidak merasa, pernah memberi piutang. Alhasil transaksi antara istri bang Kobu dengan si penjual tetap saja berlanjut, yang luput dari pengamatan kami. Aku, Syamsuddin, Adil Tambono dan beberapa orang lainnya lebih memilih terlibat dalam diskusi kecil perihal perkara hutang tidak jelas yang diklaim sepihak oleh Bang Kobu dan istrinya itu, berangkat dari peristiwa tiga tahun lalu saat bang Kobu dan istri membeli seratus lembar sarung sutra Mandar, digunakan dalam perhelatan pernikahan anaknya.

Penuh perhatian pada hal sepele.

Kelihatannya sepele, tetapi menjadi perhatian yang berlebih dari Bang Kobu dan istrinya. Menurut Bang Kobu, yang kemudian bergabung ke lingkaran diskusi kami, istrinya sudah beberapa kali mencari toko tempat ia membeli sarung sutra. Bahkan pernah 'nyasar' ke Majene dan tidak menemukannya di sana. Baru hari ini ia menemukan toko itu secara tepat karena kebetulan ia satu rombongan dengan Syamsuddin. Syamsuddinlah yang menjemput sarung itu. Menurut saya, jika memang lebih, satu dua lembar, pasti itu adalah bonus dari penjual. Sebab tidak sekali pun si penjual yang adalah tetanggaku menceritakan hal kelebihan itu. Pun, jika dihitung-hitung harga sarung sutra yang berkualitas di pasaran mentoknya di harga 300-400ribuan. Jika hanya 2-3 lembar, paling banyaklah nilainya 900ribuan. Itu kalau (seratus lembar) yang dikirimkan, semuanya sarung sutra yang berkualitas. Imbang posisinya. Si penjual sudah menikmati untung banyak.

Ketika rombongan Bang Kobu berlalu, diikuti Syamsuddin dan teman-teman, aku sempat merenung. Dan harus memaksa-maksakan diri untuk menuliskan peristiwa itu. Sebuah peristiwa kecil, sarat makna dan sangat jarang terjadi. Pertama terbetik dalam benakku: rasa syukur, bahwa untuk kali pertama, saya bisa menyalami beliau. Nama beliau sudah lama mengendap di hatiku. Telah sekian lama, ia menjadi 'idola'. Sudah lama pula aku mendengar kisah-kisah hidup beliau yang amat sangat humanis, dari Syamsuddin. Mungkin karena itu, saya jadi tidak sadar, bahwa pada pertemuan pertama itu aku lancang memeluknya. Merapatkan pipi kananku ke pipi kirinya, cipika-cipiki, kata orang. Seakan-akan aku kawan karib beliau yang untuk sekian lama terpisah jauh dan baru saat itu bertemu. Bukankah cipika-cipiki biasanya dilakukan oleh dua orang yang sudah lama saling mengenal dan sering bertatap muka? Aku tidak sekali pun pernah bertatap muka dengan bang Kobu.

Ah, aku manusia udik hanya mampu membaui dan merasai kehalusan budi seseorang melalui getar-getar hati. Demikian pula aku terhadap bang Kobu, sampai saat catatan ini selesai dibuat, 'keharumannya' masih membekas mendalam memenuhi atmosfir di jiwaku.

Hari ini, peristiwa kecil Bang Kobu dan istrinya, menjadi pelajaran penting dan amat berharga. Untuk menjadi manusia sejati dan paripurna, sekecil apa pun kebaikan haruslah dilaksanakan dan sesedikit apa pun hutang, haruslah ditunaikan. Bukan persoalan hutang semata pokok masalahnya, tapi sesungguhnya yang terpenting dibangunkan, adalah 'hidupnya' saling percaya satu dengan lainnya. Tabeq Bang Kobu.

Tinambung, 5/3/2017
15.00 wita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar