”Mengubah Paradigma Berlayar diujung Badik dengan Berlayar di ujung Pena”
(Bagian 1 dari dua tulisan)
Catatan : Muhammad Munir
Mengutip pernyataan Juri Lina berkebangsaan Swedia dalam bukunya
“Architects of Deception – The Concealed
History of Freemansory” menulis bahwa ada tiga cara yang paling dahsyat
untuk menjajah dan melemahkan sebuah bangsa. Pertama adalah Kaburkan sejarahnya,
Kemudian hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan
kebenarannya, dan yang ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakanlah
bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Ketiga cara tersebut sangat mungkin
diterapkan kepada bangsa dan suku apapun, termasuk di Mandar.
Sejarah di Mandar terlepas dari apakah memang kabur atau
dikaburkan, sebuah upaya mesti dilakukan sebagai antisipasi bersama untuk tidak
menjadikan generasi kita sebagai generasi yang menggendong lupa. Menggendong
lupa adalah salah satu penyakit yang menjangkiti generasi kita dengan
mengabaikan peran sejarah dalam perangai, pola dan lakunya. Kecelakaan paling
besar adalah ketika generasi hari ini tak lagi ingin menengok sejarahnya.
Madrasah Aliayah Nurul Ma’arif yang beralamat di Pariangan
Desa Pussui Kecamatan Luyo adalah salah satu sekolah yang intens mengadakan
kunjungan ke Museum Mandar dan tempat-tempat bersejarah bagi siswa siswinya
yang baru masuk sekolah. Hari ini (Minggu, 26 Februari 2017) Madrasah Aliyah
Nurul Ma’arif memboyong siswa-siswinya ke Museum Mandar Majene dan Kompleks
Makam Raja-Raja Banggae di Ondongan Majene.
40-an siswa siswi MA Nurul Ma’arif dengan didampingi Kepala
Sekolah dan dewan gurunya menikmati wisata sejarah dengan mengelilingi ruang
pameran benda-benda peninggalan sejarah yang dipajang oleh pihak Museum Mandar.
Setelah puas berkeliling, mereka kemudian dikumpul di aula museum untuk
diberikan pengantar dan penjelasan singkat tentang sejarah Mandar dan Sejarah
Museum Mandar yang dipandu langsung oleh Tammalele dan M. Thamrin.
Museum Mandar adalah peninggalan Belanda yang dibangun pada
tahun 1908 dan mulai digunakan pada tahun 1910 sebagai Rumah Sakit bagi para
prajurit dan aparat pemerintahan Hindia Belanda di Kabupaten Mandar yang
ibukotanya ada di Majene. Sepeninggal Belanda, bangunan ini terbengkalai hingga
pada tahun 1989, Pemerintah Kabupaten Majene menyerahkan gedung ini kepada
Yayasan Museum Mandar untuk dijadikan tempat penyimpanan, perawatan,
pemeliharaan, pengamanan dan pamerean benda-benda peninggalan sejarah. Demikian
Thamrin menjelaskan keberadaan Museum Mandar Majene. Museum Mandar, masih
menurut Tamrin memiliki kurang lebih 1. 400 benda-benda bersejarah yang terbagi
dalam berbagai macam koleksi geologika, biologika, ethnografika, historika,
numismatika, filologika, keramologika, teknologika dan seni rupa.
Dalam sesi Pengenalan sejarah terhadap siswa-siswi MA. Nurul
Maarif yang di pandu oleh Tammalele ini memunculkan sederet pertanyaan sekitar
siapa sosok Andi Depu, Latar belakang panamaan Mandar dan asal usul Tomandar,
Puang dan Daeng dan bukti-bukti fisik tinggalan sejarah kerajaan yang pernah
ada di Mandar. Sebagai pemandu Tammalele
sangat mengapresiasi minat para siswa-siswi tersebut karena keingin tahuannya
terhadap asal-usul dan substansi sejarah Mandar.
Tammalele kemudian memberikan kesempatan penulis untuk memberi
tambahan sedikit bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan di Mandar. Penulis mencoba
menyentil mereka dengan keberadaan mereka dari Luyo tersebut. Penulis katakan
bahwa kalian seharusnya mengambil peran dan mendominasi pemahaman sejarah,
sebab periodesasi sejarah yang direkam dalam dokumen tua dan naskah kuno justru
menempatkan Luyo sebagai titik sentral berlangsungnya dua babakan sejarah
yang menentukan alur perjalanan peradaban di Mandar.
Passokkorang adalah kerajaan yang berpusat di Luyo. Ia adalah kerajaan yang
yang pernah jaya dan berdaulat sekitar 200 tahun sebelum lahirnya Balanipa. Dan
persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna
Salu justru dipuasatkan di Luyo yang
ditandai dengan monumen Allamungan Batu di
Luyo.
“Dalam sejarah jelas
dicatat bahwa Allamungan batu di Luyo adalah hasil kesepakatan di Tammajarra
dan kesepakatan di Tammajarra adalah hasil kesepakatan di Podang. Ini tentu
menjadi acuan bahwa kalian adalah generasi yang harus mengambil peran terhadap
alur perjalanan sejarah. Kalian harus mampu merekonstruksi kembali jejak
sejarah peradaban yang pernah lahir dan berpusat di Luyo”. Demikian penulis memberi
semangat kepada para siswa-siswi Nurul Ma’arif.
Sedikit catatan dalam acara ini tentang sosok Tammalele yang
menanggapi menamaan gelaran
Puang dan Daeng. Ia
mengatakan bahwa istilah Puang dan Daeng itu cukup difahami dan dikenal
siapa para pemilik dan pelaku sebutan Puang
dan Daeng tersebut. Sebab sebagai
muslim tentu harus memahami bahwa Islam tidak pernah mendiskriminasi umat
manusia dengan kasta-kasta dan strata sosial yang membatasi hubungan hablumminannas tersebut. Islam jelas
menganut faham bahwa dihadapan Allah, semua manusia sama derajatnya
kecuali yang beriman dan bertakwa. Al-Qur’an juga jelas menegaskan itu.
Ifrat, tokoh muda dan seniman Majene ini ikut ambil bagian
memberi spirit pada siswa-siswi Nurul Maarif ini. Dikatakannya
bahwa ia Tomandar itu jelas orangnya dan sifatnyapun sudah cukup tegas untuk
menegaskan diri sebagai manusia yang berjatidiri Mandar. Tak lagi bijak
membincang Mandar dari sudut pandang dan retorika apapun, sebab ia adalah
nilai. Demikian pungkas tokoh seni yang tak asing dalam dunia perteateran ini.
Acara kemudian ditutup oleh Tammalele dalam kalimat singkat
yang sangat memukau. “Jika dahulu Mandar
kerap dalam stigma yang begitu ekstrim dengan Berlayar dipamor badik, maka maka
hari ini kalian harus bisa mengubah paradigma itu menjadi keinginan untuk Berlayar
di diujung pena dan IT“. Demikian Tammalele mempersilahkan kepada semua
pengunjung untuk berkemas menuju ke Kompleks raja-raja Banggae di Ondongan
Majene. (Bersambung)