Jumat, 24 Februari 2017

THAMRIN, RUMAH BACA DAN MUSEUM NASKAH I MANGGEWILU BERBAKTI DENGAN BUKTI

Yayasan Rumah Buku dan Manajemen Rumpita Tinambung saat penyerahan bantuan buku dari Penerbit Erlangga ke Rumah Baca dan Museum Naskah I Maggewilu Teppo

Teppo, ia mungkin hanya sebuah nama kampung dalam administrasi pemerintahan Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Lingkungan Teppo tak ada bedanya dengan perkampungan lain di kota Mandar tua ini. Lalu apa yang melatarinya sehingga harus ditulis? Jawabannya tak lain karena di Teppo Rumah Baca dan Museum Naskah I Maggewilu yang intens dalam mengolah Kampung Literasi dengan Book Night atau Malam buku.

Hal lain yang membuat Teppo terasa berbeda sebab dalam komunitas masyarakat itu ada seorang pemuda literat bernama Thamrin (nama akun Fb Thamrin Uwai Randang) kelahiran 1 Januari 1984. Penganggurankah dia? Tidak. Ia bahkan bisa digolongkan sebagai manusia super sibuk. Ia abdi negara di Unsulbar dan tenaga pengajar di perguruan tinggi lain di Kota Pendidikan Majene. Selain itu, ia kerap menjadi pemandu dan peramu wisata sejarah di Museum Mandar Majene. Itulah dunia pengabdian yang diretas pemuda lajang bernama Thamrin ini.

Personil Rumah Bacanya yang terdiri dari Subhan, M. Rijal, Musa, Asbianto, Mukhlis dan Jamidin adalah kelompok pemuda langka yang mesti kita apresiasi. Betapa tidak, dunia penelusuran sejarah, pendataan cagar budaya dan penelitian adalah dunia yang kerap melingkupi kehidupan mereka sekaligus dalam aksi-aksi literasinya. Komunitasnya ini mendapuk nama besar I Manggewilu. I Maggewilu sendiri adalah sosok Towaine Mandar lampau yang ditakdirkan menjadi Istri Daetta Melanto. Dari rahimnyalah lahir manusia luar biasa I Muru Daetta Di Masighi yang mendirikan Masjid Salabose dan Masjid Pambo'borang.



I Muru Daetta Di Masighi lah yang datang membawa Syekh Abdul Mannan. Syekh Abdul Mannan berada di tanah Mandar atas peran beliau dalam pengembaraannya ke Malaka, Gresik, dan beberapa pulau di Nusantara saat itu. Selain Daetta di Masighi, ada Tuan Daeng yang eksist meyebarkan Islam ke daerah Camba, Teppo, Pambo'borang dan sekitarnya. Sementara Syekh Abdul Mannan, lebih konsentrasi di wilayah Salabose, Tande dan sekitarnya.

Latar sejarah itulah yang membuat Thamrin memaket rumah bacanya dengan museum naskah I Manggewilu. Penulis kerap menjadi bagian dalam berbagai kegiatan literasinya yang sejak satu tahun lalu ia bentuk. Hal menarik dari Rumah Baca I Manggewilu ini adalah kerelaan mereka menyambangi berbagai pelosok di wilayah Majene disamping setiap malam minggu dan rabu rumahnya selalu ramai dengan anak-anak dan warga Teppo.

Lalu dengan cara apa kita mengambil peran dalam ikut berkontribusi terhadap upaya penyelamatan generasi Majene kedepan? Tak perlu transferan jika itu tak memungkinkan dalam kas keluarga kita. Tak perlu merogoh kocek negara untuk ikut meringankan beban mereka, sebab 1 buku bacaan bagi mereka lebih bermanfaat ketimbang uang kertas 50-an ribu. 1 buku untuk mereka adalah modal untuk menentukan kemana arah kota pendidikan mau diarahkan.

Jika masyarakat Majene sedikit punya kepedulian untuk mereka dengan menyumbang satu buah buku per rumah tangga, maka tidak saja di Teppo, bahkan Rumah Baca I Manggewilu pasti akan ada disetiap kecamatan. Olehnya, kepada pembaca sekalian, mari kita ringankan hati, fikiran dan tangan kita untuk memesrai mereka lewat buku. Jadilah bagian dari solusi untuk mewujudkan kota Majene sebagai lumbung ilmu pengetahuan.


Jadikan Rumah Baca dan Museum Naskah I Manggewilu sebagai ladang amal buat siapa saja yang punya kepedulian. Salam Literasi !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar