Senin, 27 Februari 2017

Catatan Kecil dari WISATA SEJARAH MA. NURUL MAARIF PARIANGAN-LUYO (1)


”Mengubah Paradigma Berlayar diujung Badik dengan Berlayar di ujung Pena”  
 (Bagian 1 dari dua tulisan)
 

Catatan : Muhammad Munir

Mengutip pernyataan Juri Lina berkebangsaan Swedia dalam bukunya “Architects of Deception – The Concealed History of Freemansory” menulis bahwa ada tiga cara yang paling dahsyat untuk menjajah dan melemahkan sebuah bangsa. Pertama adalah Kaburkan sejarahnya, Kemudian hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan yang ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakanlah bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Ketiga cara tersebut sangat mungkin diterapkan kepada bangsa dan suku apapun, termasuk di Mandar.

Sejarah di Mandar terlepas dari apakah memang kabur atau dikaburkan, sebuah upaya mesti dilakukan sebagai antisipasi bersama untuk tidak menjadikan generasi kita sebagai generasi yang menggendong lupa. Menggendong lupa adalah salah satu penyakit yang menjangkiti generasi kita dengan mengabaikan peran sejarah dalam perangai, pola dan lakunya. Kecelakaan paling besar adalah ketika generasi hari ini tak lagi ingin menengok sejarahnya.  

Madrasah Aliayah Nurul Ma’arif yang beralamat di Pariangan Desa Pussui Kecamatan Luyo adalah salah satu sekolah yang intens mengadakan kunjungan ke Museum Mandar dan tempat-tempat bersejarah bagi siswa siswinya yang baru masuk sekolah. Hari ini (Minggu, 26 Februari 2017) Madrasah Aliyah Nurul Ma’arif memboyong siswa-siswinya ke Museum Mandar Majene dan Kompleks Makam Raja-Raja Banggae di Ondongan Majene.


40-an siswa siswi MA Nurul Ma’arif dengan didampingi Kepala Sekolah dan dewan gurunya menikmati wisata sejarah dengan mengelilingi ruang pameran benda-benda peninggalan sejarah yang dipajang oleh pihak Museum Mandar. Setelah puas berkeliling, mereka kemudian dikumpul di aula museum untuk diberikan pengantar dan penjelasan singkat tentang sejarah Mandar dan Sejarah Museum Mandar yang dipandu langsung oleh Tammalele dan M. Thamrin.

Museum Mandar adalah peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1908 dan mulai digunakan pada tahun 1910 sebagai Rumah Sakit bagi para prajurit dan aparat pemerintahan Hindia Belanda di Kabupaten Mandar yang ibukotanya ada di Majene. Sepeninggal Belanda, bangunan ini terbengkalai hingga pada tahun 1989, Pemerintah Kabupaten Majene menyerahkan gedung ini kepada Yayasan Museum Mandar untuk dijadikan tempat penyimpanan, perawatan, pemeliharaan, pengamanan dan pamerean benda-benda peninggalan sejarah. Demikian Thamrin menjelaskan keberadaan Museum Mandar Majene. Museum Mandar, masih menurut Tamrin memiliki kurang lebih 1. 400 benda-benda bersejarah yang terbagi dalam berbagai macam koleksi geologika, biologika, ethnografika, historika, numismatika, filologika, keramologika, teknologika dan seni rupa. 


Dalam sesi Pengenalan sejarah terhadap siswa-siswi MA. Nurul Maarif yang di pandu oleh Tammalele ini memunculkan sederet pertanyaan sekitar siapa sosok Andi Depu, Latar belakang panamaan Mandar dan asal usul Tomandar, Puang dan Daeng dan bukti-bukti fisik tinggalan sejarah kerajaan yang pernah ada di Mandar.  Sebagai pemandu Tammalele sangat mengapresiasi minat para siswa-siswi tersebut karena keingin tahuannya terhadap asal-usul dan substansi sejarah Mandar.

Tammalele kemudian memberikan kesempatan penulis untuk memberi tambahan sedikit bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan di Mandar. Penulis mencoba menyentil mereka dengan keberadaan mereka dari Luyo tersebut. Penulis katakan bahwa kalian seharusnya mengambil peran dan mendominasi pemahaman sejarah, sebab periodesasi sejarah yang direkam dalam dokumen tua dan naskah kuno justru menempatkan Luyo sebagai titik sentral berlangsungnya dua babakan sejarah yang menentukan alur perjalanan peradaban di Mandar. Passokkorang adalah kerajaan yang berpusat di Luyo. Ia adalah kerajaan yang yang pernah jaya dan berdaulat sekitar 200 tahun sebelum lahirnya Balanipa. Dan persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu justru dipuasatkan di Luyo yang ditandai dengan monumen Allamungan Batu di Luyo.

“Dalam sejarah jelas dicatat bahwa Allamungan batu di Luyo adalah hasil kesepakatan di Tammajarra dan kesepakatan di Tammajarra adalah hasil kesepakatan di Podang. Ini tentu menjadi acuan bahwa kalian adalah generasi yang harus mengambil peran terhadap alur perjalanan sejarah. Kalian harus mampu merekonstruksi kembali jejak sejarah peradaban yang pernah lahir dan berpusat di Luyo. Demikian penulis memberi semangat kepada para siswa-siswi Nurul Ma’arif.

Sedikit catatan dalam acara ini tentang sosok Tammalele yang menanggapi menamaan gelaran Puang dan Daeng. Ia mengatakan bahwa istilah Puang dan Daeng itu cukup difahami dan dikenal siapa para pemilik dan pelaku sebutan Puang dan Daeng tersebut. Sebab sebagai muslim tentu harus memahami bahwa Islam tidak pernah mendiskriminasi umat manusia dengan kasta-kasta dan strata sosial yang membatasi hubungan hablumminannas tersebut. Islam jelas menganut faham bahwa dihadapan Allah, semua manusia sama derajatnya kecuali yang beriman dan bertakwa. Al-Qur’an juga jelas menegaskan itu. 


Ifrat, tokoh muda dan seniman Majene ini ikut ambil bagian memberi spirit pada siswa-siswi Nurul Maarif ini. Dikatakannya bahwa ia Tomandar itu jelas orangnya dan sifatnyapun sudah cukup tegas untuk menegaskan diri sebagai manusia yang berjatidiri Mandar. Tak lagi bijak membincang Mandar dari sudut pandang dan retorika apapun, sebab ia adalah nilai. Demikian pungkas tokoh seni yang tak asing dalam dunia perteateran ini.

Acara kemudian ditutup oleh Tammalele dalam kalimat singkat yang sangat memukau. “Jika dahulu Mandar kerap dalam stigma yang begitu ekstrim dengan Berlayar dipamor badik, maka maka hari ini kalian harus bisa mengubah paradigma itu menjadi keinginan untuk Berlayar di diujung pena dan IT“. Demikian Tammalele mempersilahkan kepada semua pengunjung untuk berkemas menuju ke Kompleks raja-raja Banggae di Ondongan Majene. (Bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar