Catatan Muhammad Mnir
Jika kita kebetulan jalan-jalan ke Kompleks Museum Mandar di
Jalan Raden Suradi Kabupaten Majene, maka berjalan lurus kebelakang
kompleks Museum Mandar akan
kita temukan banner yang terpasang di depan
sebuah ruangan yang masih bagian dari bangunan Museum Mandar.
Banner tersebut bertuliskan Lembaga Kajian Mahasiswa Majene atau disingkat
LKMM. Disanalah seorang pemuda yang bernama Muhammad Naim, sosok anak muda yang
kesehariannya bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Majene mengelaborasi bentuk pengabdiannya pada
tanah leluhurnya, Banggae Majene.
Naim, demikian ia akrab disapa bersama Asdar, Wahyuddin,
Muhammad Ikhram, Muh. Gilang, Megawati, Nurhidayah, Humairah, Wasilah dan
lainnya menata diri dalam LKMM yang intens melakukan kajian kemahasiswaan.
Kajiannya bermacam-macam tema dan secara umum lembaga ini mengafirmasi diri
sejauh mana peran dan fungsi mahasiswa dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengawal proses pembangunan di majene sebagai Kota Pendidikan. Dari
ruang kecil itulah lahir berbagai ide untuk mencoba mempola gerakannya
membaktikan diri dan berbagi kepada masyarakat.
Dari ruangan itu pula saya mendapat Chat di medsos tentang
keinginan mereka iut ambil bagian dalam proses penyebaran virus literasi di
Mandar. Tanggal 28 Oktober 2016 tepatnya ketika RUMPITA menggelar WISATA BUKU
di Depan SMK Negeri 2 Majene menjadi awal bagi mereka mengenal tradisi literasi
yang digagas oleh RUMPITA. Program pemebentukan RUMAH BACA RUMPITA diberbagai
daerah di Polewali Mandar dan Kabupaten Majene yang belakangan sudah merambah
sampai ke Kabupaten mamuju Utara. RUMPITA Mamuju Utara dikelola oleh salah satu
pemuda yang bernama Mardin Guevara (nama akun facebook).
Sebagaimana tradisi RUMPITA jika ada komunitas atau organisasi
yang ingin mengambil peluang dalam penguatan dunia keaksaraan ditanah Mandar
syaratnya hanya menyediakan ruangan dan rak buku. Selebihnya Buku akan disuplai
dari pusat RUMPITA di Tinambung. Persyaratan lainnya adalah kesiapan untuk ikut
membuka akses bacaan kepada masyarakat yang kurang tersentuh dengan bacaan
terutama daerah-daerah dipinggiran dan pelosok Kabupaten Majene. Muhammad Naim
dkk segera menyanggupinya dan pada acar WISATA BUKU RUMPITA I itu juga
diserahkan ratusan buku untuk koleksi awal buat RUMAH BACA RUMPITA di Lembaga
LKMM.
Sejak saat itulah, program LKMM tidak saja bergerak
diwilayah-wilayah kampus dan ruang diskusi tapi sekaligus menjadi mitra kerja
RUMPITA untuk menggelar buku secara rutin di pusat kota Majene (Tugu Posasi)
dan juga berkeliling dari Salabose sampai ke Pambo’borang dan Rusung Majene.
RUMAH MACA LKMM Majene kini eksist dalam aksi literasi. Donasi buku juga sudah mulai berdatangan dari
masyarakat yang peduli dengan gerakan anak-anak muda ini.
Kendati kehadiran pemerintah dalam ikut menguatkan gerakan
anak-anak muda ini nyaris dikatakan tak ada, tapi mereka terus saja memberi
yang terbaik buat generasi masa depan Majene, terutama pembinaan minat baca
kepada anak-anak usia dini di Majene. LKMM dalam beroperasi membagi wilayah
jangkauannya dengan RUMAH BACA yang dikelola oleh Thamrin di Teppo, sehingga
dalam berkegiatan sekali jalan mereka berbagi zona dengan tujuan persebaran
virus literasi ini semakain menjangkau banyak titik di Kabupaten Majene.
Menemukan sosok pemuda
yang peduli dengan kegiatan pengembangan potensi SDM Majene seperti ini memang
teramat susah, terlebih dalam berkegiatan mereka tak ditopang oleh operasional
yang memadai. Merka bergerak murni swadaya dan inisiatif sendiri dalam
menyiasati biaya operasional yang kadang membuat kocek mereka kosong. Tapi
itulah nilai dari sebuah gerakan. Gerakan literasi tepatnya, bukan program
literasi, sebab program adalah istilah yang lebih pas dengan kegiatan yang
dananya disuplai oleh negara atau bersumber dari APBD. Pemda Majene memang
punya program kepustakaan dalam bentuk pengadaan mobil pintar, PKBM dan
perpustakaan sekolah dan desa. Tapi gerakan yang dilakukan oleh penggerak
literasi ini justru lebih terasa perannya dimasyarakat ketimbang mereka yang
disuplai anggaran.
Pemerintah dengan berbagai model programnya memang secara
administrasi dan atraksi gerak memiliki kinerja yang pantastis, tapi dari segi
penguatan secara akar rumput yang menyentuh lapisan terbawa dari masyarakat ini
nyaris tak terbaca. Metode dalam gerakan literasi juga sangatlah beda. Gerakan
literasi yang digalakkan oleh para penggerak literasi cenderung memberi
kenyamanan pada anak-anak dengan membawa mereka membaca diruang terbuka seperti
taman kota, dibawah pohon rindang atau dibibir-bibir pantai. Mereka cenderung
pada methode belajar sambil bermain. Methode ini lebih dekat pada proses
mengembalikan methode pendidikan KI Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya. Dan
sejatinya memang, anak-anak di usia TK dan kelas 1-3 SD diberi ruang untuk
belajar sambil bermain agar mereka menerima transfer ilmu dengan nyaman.
Itulah nilai pembeda antara program dan gerakan yang dilakukan
oleh penggerak literasi dan pemerintah. Selain keunggulan metodenya perbedaan
sumber pemdapatan dalam melaksanakan segala program kegiatannya juga bagaikan
bumi dan langit. Tapi itulah dinamika. Gerakan literasi ini mesti hadir sebagai
pembeda sekaligus sebagai ruang gugaha dab gugatan terhadap kinerja pemerintah
terkait dunia literasi dan keaksaraan. Literasi juga bukan alat untuk menjadi
gerakan untuk merogoh kocek pemerintah dari saku anggaran. Tapi bagaimana
membangun sinergi dan kesadaran kolektif agar pemerintah bisa faham substaansi
dan orientasi dari proses mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Itulah yang
kerap disampaikan oleh Punggawa Rumah Baca LKMM, Muhammad Naim kepada seluruh
member LKMM dalam setiap kesempatan.
Untuk anda yang ingin berbagi buku bacaan atau ikut dalam kajian kemahasiswaan, silahkan langsung mengunjungi Sekretariat LKMM di Kompleks Museum Mandar Majene. Muhammad Naim juga bisa dihubungi lewat akun Muhammad Naim di Facbook.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar