Senin, 27 Februari 2017

RUMAH BACA LKMM : Gerakan Bukan Alat, Tapi Wadah Untuk Berbagi !



Catatan Muhammad Mnir
 
Jika kita kebetulan jalan-jalan ke Kompleks Museum Mandar di Jalan Raden Suradi Kabupaten Majene, maka berjalan lurus kebelakang kompleks Museum Mandar akan kita temukan banner yang terpasang di depan sebuah ruangan yang masih bagian dari bangunan Museum Mandar. Banner tersebut bertuliskan Lembaga Kajian Mahasiswa Majene atau disingkat LKMM. Disanalah seorang pemuda yang bernama Muhammad Naim, sosok anak muda yang kesehariannya bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Majene mengelaborasi bentuk pengabdiannya pada tanah leluhurnya, Banggae Majene.

Naim, demikian ia akrab disapa bersama Asdar, Wahyuddin, Muhammad Ikhram, Muh. Gilang, Megawati, Nurhidayah, Humairah, Wasilah dan lainnya menata diri dalam LKMM yang intens melakukan kajian kemahasiswaan. Kajiannya bermacam-macam tema dan secara umum lembaga ini mengafirmasi diri sejauh mana peran dan fungsi mahasiswa dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengawal proses pembangunan di majene sebagai Kota Pendidikan. Dari ruang kecil itulah lahir berbagai ide untuk mencoba mempola gerakannya membaktikan diri dan berbagi kepada masyarakat.

Dari ruangan itu pula saya mendapat Chat di medsos tentang keinginan mereka iut ambil bagian dalam proses penyebaran virus literasi di Mandar. Tanggal 28 Oktober 2016 tepatnya ketika RUMPITA menggelar WISATA BUKU di Depan SMK Negeri 2 Majene menjadi awal bagi mereka mengenal tradisi literasi yang digagas oleh RUMPITA. Program pemebentukan RUMAH BACA RUMPITA diberbagai daerah di Polewali Mandar dan Kabupaten Majene yang belakangan sudah merambah sampai ke Kabupaten mamuju Utara. RUMPITA Mamuju Utara dikelola oleh salah satu pemuda yang bernama Mardin Guevara (nama akun facebook).



Sebagaimana tradisi RUMPITA jika ada komunitas atau organisasi yang ingin mengambil peluang dalam penguatan dunia keaksaraan ditanah Mandar syaratnya hanya menyediakan ruangan dan rak buku. Selebihnya Buku akan disuplai dari pusat RUMPITA di Tinambung. Persyaratan lainnya adalah kesiapan untuk ikut membuka akses bacaan kepada masyarakat yang kurang tersentuh dengan bacaan terutama daerah-daerah dipinggiran dan pelosok Kabupaten Majene. Muhammad Naim dkk segera menyanggupinya dan pada acar WISATA BUKU RUMPITA I itu juga diserahkan ratusan buku untuk koleksi awal buat RUMAH BACA RUMPITA di Lembaga LKMM.

Sejak saat itulah, program LKMM tidak saja bergerak diwilayah-wilayah kampus dan ruang diskusi tapi sekaligus menjadi mitra kerja RUMPITA untuk menggelar buku secara rutin di pusat kota Majene (Tugu Posasi) dan juga berkeliling dari Salabose sampai ke Pambo’borang dan Rusung Majene. RUMAH MACA LKMM Majene kini eksist dalam aksi literasi.  Donasi buku juga sudah mulai berdatangan dari masyarakat yang peduli dengan gerakan anak-anak muda ini.

Kendati kehadiran pemerintah dalam ikut menguatkan gerakan anak-anak muda ini nyaris dikatakan tak ada, tapi mereka terus saja memberi yang terbaik buat generasi masa depan Majene, terutama pembinaan minat baca kepada anak-anak usia dini di Majene. LKMM dalam beroperasi membagi wilayah jangkauannya dengan RUMAH BACA yang dikelola oleh Thamrin di Teppo, sehingga dalam berkegiatan sekali jalan mereka berbagi zona dengan tujuan persebaran virus literasi ini semakain menjangkau banyak titik di Kabupaten Majene.


Menemukan sosok pemuda yang peduli dengan kegiatan pengembangan potensi SDM Majene seperti ini memang teramat susah, terlebih dalam berkegiatan mereka tak ditopang oleh operasional yang memadai. Merka bergerak murni swadaya dan inisiatif sendiri dalam menyiasati biaya operasional yang kadang membuat kocek mereka kosong. Tapi itulah nilai dari sebuah gerakan. Gerakan literasi tepatnya, bukan program literasi, sebab program adalah istilah yang lebih pas dengan kegiatan yang dananya disuplai oleh negara atau bersumber dari APBD. Pemda Majene memang punya program kepustakaan dalam bentuk pengadaan mobil pintar, PKBM dan perpustakaan sekolah dan desa. Tapi gerakan yang dilakukan oleh penggerak literasi ini justru lebih terasa perannya dimasyarakat ketimbang mereka yang disuplai anggaran.

Pemerintah dengan berbagai model programnya memang secara administrasi dan atraksi gerak memiliki kinerja yang pantastis, tapi dari segi penguatan secara akar rumput yang menyentuh lapisan terbawa dari masyarakat ini nyaris tak terbaca. Metode dalam gerakan literasi juga sangatlah beda. Gerakan literasi yang digalakkan oleh para penggerak literasi cenderung memberi kenyamanan pada anak-anak dengan membawa mereka membaca diruang terbuka seperti taman kota, dibawah pohon rindang atau dibibir-bibir pantai. Mereka cenderung pada methode belajar sambil bermain. Methode ini lebih dekat pada proses mengembalikan methode pendidikan KI Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya. Dan sejatinya memang, anak-anak di usia TK dan kelas 1-3 SD diberi ruang untuk belajar sambil bermain agar mereka menerima transfer ilmu dengan nyaman. 


Itulah nilai pembeda antara program dan gerakan yang dilakukan oleh penggerak literasi dan pemerintah. Selain keunggulan metodenya perbedaan sumber pemdapatan dalam melaksanakan segala program kegiatannya juga bagaikan bumi dan langit. Tapi itulah dinamika. Gerakan literasi ini mesti hadir sebagai pembeda sekaligus sebagai ruang gugaha dab gugatan terhadap kinerja pemerintah terkait dunia literasi dan keaksaraan. Literasi juga bukan alat untuk menjadi gerakan untuk merogoh kocek pemerintah dari saku anggaran. Tapi bagaimana membangun sinergi dan kesadaran kolektif agar pemerintah bisa faham substaansi dan orientasi dari proses mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Itulah yang kerap disampaikan oleh Punggawa Rumah Baca LKMM, Muhammad Naim kepada seluruh member LKMM dalam setiap kesempatan.  

Untuk anda yang ingin berbagi buku bacaan atau ikut dalam kajian kemahasiswaan, silahkan langsung mengunjungi Sekretariat LKMM di Kompleks Museum Mandar Majene. Muhammad Naim juga bisa dihubungi lewat akun Muhammad Naim di Facbook.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar