Senin, 27 Februari 2017

Catatan Kecil dari WISATA SEJARAH MA. NURUL MAARIF PARIANGAN-LUYO (1)


”Mengubah Paradigma Berlayar diujung Badik dengan Berlayar di ujung Pena”  
 (Bagian 1 dari dua tulisan)
 

Catatan : Muhammad Munir

Mengutip pernyataan Juri Lina berkebangsaan Swedia dalam bukunya “Architects of Deception – The Concealed History of Freemansory” menulis bahwa ada tiga cara yang paling dahsyat untuk menjajah dan melemahkan sebuah bangsa. Pertama adalah Kaburkan sejarahnya, Kemudian hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan yang ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakanlah bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Ketiga cara tersebut sangat mungkin diterapkan kepada bangsa dan suku apapun, termasuk di Mandar.

Sejarah di Mandar terlepas dari apakah memang kabur atau dikaburkan, sebuah upaya mesti dilakukan sebagai antisipasi bersama untuk tidak menjadikan generasi kita sebagai generasi yang menggendong lupa. Menggendong lupa adalah salah satu penyakit yang menjangkiti generasi kita dengan mengabaikan peran sejarah dalam perangai, pola dan lakunya. Kecelakaan paling besar adalah ketika generasi hari ini tak lagi ingin menengok sejarahnya.  

Madrasah Aliayah Nurul Ma’arif yang beralamat di Pariangan Desa Pussui Kecamatan Luyo adalah salah satu sekolah yang intens mengadakan kunjungan ke Museum Mandar dan tempat-tempat bersejarah bagi siswa siswinya yang baru masuk sekolah. Hari ini (Minggu, 26 Februari 2017) Madrasah Aliyah Nurul Ma’arif memboyong siswa-siswinya ke Museum Mandar Majene dan Kompleks Makam Raja-Raja Banggae di Ondongan Majene.


40-an siswa siswi MA Nurul Ma’arif dengan didampingi Kepala Sekolah dan dewan gurunya menikmati wisata sejarah dengan mengelilingi ruang pameran benda-benda peninggalan sejarah yang dipajang oleh pihak Museum Mandar. Setelah puas berkeliling, mereka kemudian dikumpul di aula museum untuk diberikan pengantar dan penjelasan singkat tentang sejarah Mandar dan Sejarah Museum Mandar yang dipandu langsung oleh Tammalele dan M. Thamrin.

Museum Mandar adalah peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1908 dan mulai digunakan pada tahun 1910 sebagai Rumah Sakit bagi para prajurit dan aparat pemerintahan Hindia Belanda di Kabupaten Mandar yang ibukotanya ada di Majene. Sepeninggal Belanda, bangunan ini terbengkalai hingga pada tahun 1989, Pemerintah Kabupaten Majene menyerahkan gedung ini kepada Yayasan Museum Mandar untuk dijadikan tempat penyimpanan, perawatan, pemeliharaan, pengamanan dan pamerean benda-benda peninggalan sejarah. Demikian Thamrin menjelaskan keberadaan Museum Mandar Majene. Museum Mandar, masih menurut Tamrin memiliki kurang lebih 1. 400 benda-benda bersejarah yang terbagi dalam berbagai macam koleksi geologika, biologika, ethnografika, historika, numismatika, filologika, keramologika, teknologika dan seni rupa. 


Dalam sesi Pengenalan sejarah terhadap siswa-siswi MA. Nurul Maarif yang di pandu oleh Tammalele ini memunculkan sederet pertanyaan sekitar siapa sosok Andi Depu, Latar belakang panamaan Mandar dan asal usul Tomandar, Puang dan Daeng dan bukti-bukti fisik tinggalan sejarah kerajaan yang pernah ada di Mandar.  Sebagai pemandu Tammalele sangat mengapresiasi minat para siswa-siswi tersebut karena keingin tahuannya terhadap asal-usul dan substansi sejarah Mandar.

Tammalele kemudian memberikan kesempatan penulis untuk memberi tambahan sedikit bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan di Mandar. Penulis mencoba menyentil mereka dengan keberadaan mereka dari Luyo tersebut. Penulis katakan bahwa kalian seharusnya mengambil peran dan mendominasi pemahaman sejarah, sebab periodesasi sejarah yang direkam dalam dokumen tua dan naskah kuno justru menempatkan Luyo sebagai titik sentral berlangsungnya dua babakan sejarah yang menentukan alur perjalanan peradaban di Mandar. Passokkorang adalah kerajaan yang berpusat di Luyo. Ia adalah kerajaan yang yang pernah jaya dan berdaulat sekitar 200 tahun sebelum lahirnya Balanipa. Dan persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu justru dipuasatkan di Luyo yang ditandai dengan monumen Allamungan Batu di Luyo.

“Dalam sejarah jelas dicatat bahwa Allamungan batu di Luyo adalah hasil kesepakatan di Tammajarra dan kesepakatan di Tammajarra adalah hasil kesepakatan di Podang. Ini tentu menjadi acuan bahwa kalian adalah generasi yang harus mengambil peran terhadap alur perjalanan sejarah. Kalian harus mampu merekonstruksi kembali jejak sejarah peradaban yang pernah lahir dan berpusat di Luyo. Demikian penulis memberi semangat kepada para siswa-siswi Nurul Ma’arif.

Sedikit catatan dalam acara ini tentang sosok Tammalele yang menanggapi menamaan gelaran Puang dan Daeng. Ia mengatakan bahwa istilah Puang dan Daeng itu cukup difahami dan dikenal siapa para pemilik dan pelaku sebutan Puang dan Daeng tersebut. Sebab sebagai muslim tentu harus memahami bahwa Islam tidak pernah mendiskriminasi umat manusia dengan kasta-kasta dan strata sosial yang membatasi hubungan hablumminannas tersebut. Islam jelas menganut faham bahwa dihadapan Allah, semua manusia sama derajatnya kecuali yang beriman dan bertakwa. Al-Qur’an juga jelas menegaskan itu. 


Ifrat, tokoh muda dan seniman Majene ini ikut ambil bagian memberi spirit pada siswa-siswi Nurul Maarif ini. Dikatakannya bahwa ia Tomandar itu jelas orangnya dan sifatnyapun sudah cukup tegas untuk menegaskan diri sebagai manusia yang berjatidiri Mandar. Tak lagi bijak membincang Mandar dari sudut pandang dan retorika apapun, sebab ia adalah nilai. Demikian pungkas tokoh seni yang tak asing dalam dunia perteateran ini.

Acara kemudian ditutup oleh Tammalele dalam kalimat singkat yang sangat memukau. “Jika dahulu Mandar kerap dalam stigma yang begitu ekstrim dengan Berlayar dipamor badik, maka maka hari ini kalian harus bisa mengubah paradigma itu menjadi keinginan untuk Berlayar di diujung pena dan IT“. Demikian Tammalele mempersilahkan kepada semua pengunjung untuk berkemas menuju ke Kompleks raja-raja Banggae di Ondongan Majene. (Bersambung)


Sabtu, 25 Februari 2017

APATAR PAMBOANG : Mengurai Senyum dan Berbagi Rasa Merdeka !


Tahun lalu, tepatnya Maret sampai Mei 2016 saya banyak menyusuri jalan-jalan sunyi di pelosok Pamboang dan Adolang. Mulai dari berziarah ke Ku’bur Kaeyyang, bernostalgia sambil membayangkan duduk diskusi diberanda Sapo Kayyang yang beberapa puluh tahun dihanguskan oleh Belanda. Sampai berusaha menaklukkan puncak Buttu Karappuanna Adolang. Menarik memang, pemerintah Majene dengan slogan Majene Mammis-nya, tapi ketika menelusuri jalanan selepas kelurahan Galung, tak ada hal yang terasa mammis. Yang ada bahkan kegetiran, dan amarah yang seketika membuncah: Inikah kondisi yang selalu dibanggakan pemerintah hari ini? Jalanan aspal yang hancur, jalanan cor baru tapi penuh lobang, kerikil tajam diantara jurang dan tebing gunung nyaris tak pernah tersentuh kebijakan. Begitu juga jembatan kayu yang hanya beralaskan belahan bambu untuk bisa tembus dari kampung ke kampung disekitaran gunung Timbogading dan Karappuanna Adolang.

Terlepas dari itu semua, pemerintah sudah saatnya kembali memesrai anak-pedalaman Adolang yang berjalan berkilo-kilo dengan telanjang kaki untuk bisa menyebut mereka sebagai anak sekolahan. Jangan tanya tentang pemukiman dan pola hidup yang mereka lakoni, sebab bagaimana mungkin mereka mampu sejahtera dan hidup bersahaja ditengah miskinnya fasilitas yang bernama pembangunan. Sekolah dari rumahnya harus menempuh perjalanan 1-2 jam untuk sampai kesekolah, jangan tanya dimana mereka menemukan mobil untukmereka tumpangi, sebab motor saja harus dipaksa untuk bisa sampai ke kampung-kampung sekitar . Pun jangan tanya berapa hasil petani dari memanen kebun kacang, bawang, jagung dan sayuran yang mereka hasilkan, sebab biaya transport dari kampungnya ke pasar bisa jadi lebih mahal dari pada barang yang mereka bawa ke pasar.

Ini bukan gugatan, sekedar menggugah pemerintah agar tak hanya asyik maksuk dengan hijau dan bersihnya kota, tapi bagaimana membuat generasi yang masih hijau itu mampu meretas jalan untuk menjadikan mereka sebagai manusia merdeka yang bisa merasakan meratanya konsep pembangunan. Mereka tak harus diajak ke kota untuk karaokean, cukup mereka dibangunkan sekolah, dibuatkan jalan beton, dibukakan akses jaringan baru listrik negara maka disanalah kemerdekaan mereka temukan.


Disepanjang-panjang jalanku, kucoba labuhkan sebuah harapan ketika mendapati sebuah komunitas yang menata dirinya lewat akronim Apatar = Askar Pantai Taraujung, (Rumah Cerdas / Apatar Pustaka). Aku memilih berhenti sejenak sekedar membeberkan pada Apatar yang ternyata telah berdiri sejak 20 Mei 2014. Ada banyak harapan yang coba kupertaruhkan pada semangat anak muda Pamboang. Dan saya tidak harus malu untuk mulai ujur, “ Bantu aku memunguti resah dan gelisah siangku untuk bisa tidur bersama embun dan memcoba menikmati sepoi angin dari bibir-bibir pantai yang rekah.

Melihat dan membaca struktur gemuk APATAR mulai dari Dewan pendiri : Muh Ajyad, S.Hut ; Muh Irhan ; Arfian, S.Or; sampai pada mengenal Direktur : Andi Ahmad Khadafi ; dengan Sekretaris : Wahyu Jalaluddin; Jangan pernah curiga bahwa Bendahara : Andi Dermawan akan memiliki rekening yang juga gendut, sebab Dewan pembina : Camat pamboang ; Lurah lalampanua ; Abdul Watif S.E ; Herni Aswad Dubair ; Nurdin Aco dan Dewan pengawas : Muh Refyal S.pd ; Muh Irdan Mucthtar S.Sos kemungkinan besar juga banyak dipusingkan dengan berbagai urusan pengabdiannya yang tak bisa berkelindan dengan target mereka.

Melalui akun Mursyid Wulandari alias Mursyid Syukri, kucoba merangkul dan melnitipkan sebuah impian pada hijau pegunungan dan birunya lau Pamboang. Status anggota Luar biasanya Apatar ini ternyata mengurai mimpiku dan mengajakku menari bersama ombak di pantai Taraujung. Kucoba meraih tangan Ajyad untuk membagi bara nasib generasi Pamboang. Yah, aku bangga. Ia bahkan tak merasa panas terbakar oleh bara itu. Bara itu justru membakar semangatnya untuk mereview kembali program dan agenda besar yang telah mereka tunaikan. Festival Akustik Taraujung, Gelar buku dipantai Pamboang tiap hari Minggu secara rutin, Pencanangan Kampung Literasi Pemilu kerjasama KPU Kab. Majene cukup memberi spirit betapa indahnya berbagi rasa merdeka.



Lalu tanpa ragu, Ajyad berbisik padaku bahwa masih sederet Rencana Program Kerja yang akan dilaksanakankedepan. Apatar masih harus bertaruh dengan takdirnya untuk bisa mengukir sejarah diajang Kemah wisata, Mengunjungi daerah pedalaman untuk aksi Literasi, Pengembangan Wisata Mangrove, dan Kajian / bedah buku tiap malam sabtu (rutin) yang kerap membuatnya gelisah sebab semua menurutnya harus berjalan bulan depan. Visi untuk pengembangan wisata di Taraujung dan Misi meningkatkan potensi SDA adalah cambuk yang terus melecut jiwanya untuk segera beranjak dari ketertinggalan.

Apatar menurutku mesti terus melangitkan pujian rasa syukur Alhamdulillah, sebab pembelian baju One Person One Book dan kegiatan yang sudah jalan sangat direspon oleh sebagian besar masyarakat yang mendukung gerakan Apatar ini. Meski tentu saja harapan tetap ia bumikan agar kedepannya gerakan literasi ini dapat menyebar kesemua lini, utamanya daerah pedalaman. Pun berharap uluran tangan pihak pemerintah berkonstribusi pada program dan agenda besar Apatar.



Komunitas APATAR kini berpusat di Jl. Ammana Pattolawali, Lingkungan Bulutupang, Kelurahan Lalampanua, Kecamatan Pamboang, Propinsi Sulbar. kode pos 91451. Disinilah mereka membangun asa, mencoba merobohkan dinding lapuk peradaban yang menahun diterlantarkan oleh sistem didaerahnya. Harapan terbesar mereka adalah handphonenya berdering 085342250858 untuk mendengarkan pengakuan yang sama dari penelfon, dan tentunya perhatian dan kerjasama dengan mereka adalah yang terindah.

Saya sekarang merasa lega sebab aku tak lagi sendiri meretas jalan sunyi itu. Aku merasa punya nilai saat mendapati anak-anak dipantai itu riang mengerubuti buku-buku yang sempat kualih tangankan dari Rumpita ke Apatar. Dan sungguh aku begitu sedih ketika mereka menoleh ke kanan dan ke kiri dan mendapati mereka bengong. Ternyata mereka masih ingin lebih banyak lagi pilihan buku bacaan yang mengitari mereka setiap saat. Mereka ingin berteriak... Tapi sayang, teriakannya hanya bisa dilisankan. Dan teriakan mereka kucoba tuliskan, semoga ada yang berkenan memberi mereka rasa bahagia dengan memberi mereka bacaan yang menarik dan berkualitas. Ada yang berminat ?

(Catatan Muhammad Munir)

Jumat, 24 Februari 2017

KOPI SENDANA : MENGUNGGAH SEMANGAT, MENGGUGAH MASYARAKAT DAN MENGGUGAT PEMERINTAH !


Tahun lalu, ketika saya disibukkan dengan beberapa agenda dan rancangan Pesona Cakkuriri I 2016 yang akan digelar di Lapangan Bura’ Sendana Kec. Sendana Majene. Sekumpulan pemuda yang lebih banyak cewek saya terima di ruang Ketua DPRD Majene. Mereka yang kemudian saya kenal namanya Indra Ariana, Enni, Rabinah Yusuf, Husniar, Reski Adam, Sulaiman Muhamad, dan Ibrahim. Mereka langsung memperkenalkan diri dari komunitas KOPI SENDANA, berniat untuk bergabung dalam gerakan literasi berupa pembentukan RUMAH BACA disetiap wilayah kecamatan di Majene dan Polman.

KOPI Sendana sendiri ternyata akronim dari Komunitas Pemuda Literasi yang berasal dari Kecamatan Sendana segera saya setujui untuk memberikan bantuan berupa buku bacaan untuk koleksi yang akan mereka gunakan dalam gelar buku di Sendana. Setelah semua buku diturunkan ke lokasi, launching KOPI Sendana akhirnya dilaksanankan tepat pada pembukaan acara Pesona Cakkuriri I yang dibuka langsung oleh Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh.



Melihat semangat dan kreatifitas mereka, saya tentu banyak berharap bahwa kedepan penguatan literasi di Sendana akan semakin memvirus. Dan ternyata betul. Mereka ternyata adalah komunitas pemuda yang juga concern dalam pengembangan potensi wisata di Sendana. Salah satu dari anggota komunitas KOPI ini ada yang tercatat sebagai member KOMPADANSA MANDAR. Ada semangat yang tercipta ketika melihat mereka ikut serta dalam berbagai kegiatan baik yang dilaksanakan oleh Rumpita maupun yang dirancang khusus sebagai program prioritas KOPI Sendana.

Kegiatannya semakain melebar dan mulai buka lapak untuk ruang membaca. Disamping itu mereka juga lebih sering mengunjungi sekolah-sekolah terutama yang ada diwilayah yang kurang tersentuh akses bacaan. Program buka lapak di bukit Palipi juga digelar setiap sabtu. Bukit Palipi mempunyai keistimewaan tersendiri, disamping sebagai bukit yang berhadapan langsung dengan teluk Mandar dan Pulai Tai manu’ juga menjadi pilihan menarik bagi anak-anak usia dini dan para remaja yang selalu ramai mengunjungi tempat ini.

Melihat semangat mereka, benarlah bahwa mereka adalah pejuang sejati. Mereka memiliki sesuatu yang dapat menolong yang lain dari reruntuhan semangat. Dia membuat mudah bintang bintang haus akan ilmu pengetahuan di malam hari bahkan berani keluar berhadap-hadapan dngan dunia disiang hari.  Salah satu yang menjadi tokoh kunci dari semangat mereka adalah St. Mutmainnah Syamsu yang kerap bolak balik Mandar Jogya demi balance-nya tugas sebagai mahsiswa dan kewajiban mengabdi pada lita pembolongan. Mahasiswi S1 Psikologi di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa Jogya ini kerap saya lihat begitu agresif jika pulang dari Jogya.

Sampai hari ini, KOPI Sendana masih tetap eksist dalam aksi literasi disamping sebagai kelompok yang membangun kesadaran wisata. Pengabdian dalam dunia literasi yang dipadu dengan pengembangan wisata adalah sebuah kesadaran yang jarang terjadi. Tapi dengan Kopi Sendana, mereka adalah generasi Mandar yang terus bersorak untuk terus memesrai Mandarnya. Mereka tentu bukan generasi pengangguran, sebab diantara mereka justru banyak terlibat sebagai pendidik, tenaga medis dan sebagian masih kuliah. Dan waktu-waktu lowong merekapun menjadi ruang untuk terus bisa berbagi pada sesama.

KOPI Sendana telah membuat sebuah langkah dan terobosan baru. Tentu mereka membutuhkan nutrisi dan spirit untuk bisa menumbuhkan geliat kesadaran itu menjadi lebih kolektif. Kolektifnya disini tentu yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dan pemerintah untuk ikut mengambil bagian atau bersinergi dengan mereka. Merka adalah komunitas yang senantiasa ingin berbagi, tentu saja pemerintah harus menunjukkan sikap untuk mencoba mengelaborasi makna dari apa yang mereka lakukan.

Sekedar menjadi renungan bersama. Minat Baca masyarakat Indonesia berdasarkan riset lima tahunan yang dilakukan oleh Progres in International Reading Literacy study (PIRLS) yang melibatkan siswa SD. PIRLS  merilis bahwa Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko dan Afrika Selatan. Tentu saja Majene dan Sulawesi Barat masuk dalam bagian itu.

Dan andaikan pemerintah serius menangani persoalan perpustakaan dan dunia literasi, tentu hal tersebut tak akan terjadi dan menimpa negara kita, sebab data terakhir menyebutkan, terdapat 169.031 SD dan Madrasah di Indonesia. Artinya, jika tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan UU No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, maka terdapat 169.031 perpustakaan di seluruh Indonesia. Jika ini terjadi, maka anak-anak akan memperoleh kemudahan mengakses bahan bacaan. (Agus M. Irkham, 2012: Gempa Literasi, Gol A Gong dan Agus M. Irkham).


Terpulang kepada kita, wabilkhusus pada pemerintah, mau tidak kita beranjak dari stigma buruk literasi kita? Jika iya, maka segeralah berbenah. Jangan dandani penguatan literasi sebagai modus mengeruk uang negara, pun jangan ada yang menjadikan gerakan literasi sebagai ajang gagah-gagahan dan banga-banggaan.

Salam Literasi !

THAMRIN, RUMAH BACA DAN MUSEUM NASKAH I MANGGEWILU BERBAKTI DENGAN BUKTI

Yayasan Rumah Buku dan Manajemen Rumpita Tinambung saat penyerahan bantuan buku dari Penerbit Erlangga ke Rumah Baca dan Museum Naskah I Maggewilu Teppo

Teppo, ia mungkin hanya sebuah nama kampung dalam administrasi pemerintahan Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Lingkungan Teppo tak ada bedanya dengan perkampungan lain di kota Mandar tua ini. Lalu apa yang melatarinya sehingga harus ditulis? Jawabannya tak lain karena di Teppo Rumah Baca dan Museum Naskah I Maggewilu yang intens dalam mengolah Kampung Literasi dengan Book Night atau Malam buku.

Hal lain yang membuat Teppo terasa berbeda sebab dalam komunitas masyarakat itu ada seorang pemuda literat bernama Thamrin (nama akun Fb Thamrin Uwai Randang) kelahiran 1 Januari 1984. Penganggurankah dia? Tidak. Ia bahkan bisa digolongkan sebagai manusia super sibuk. Ia abdi negara di Unsulbar dan tenaga pengajar di perguruan tinggi lain di Kota Pendidikan Majene. Selain itu, ia kerap menjadi pemandu dan peramu wisata sejarah di Museum Mandar Majene. Itulah dunia pengabdian yang diretas pemuda lajang bernama Thamrin ini.

Personil Rumah Bacanya yang terdiri dari Subhan, M. Rijal, Musa, Asbianto, Mukhlis dan Jamidin adalah kelompok pemuda langka yang mesti kita apresiasi. Betapa tidak, dunia penelusuran sejarah, pendataan cagar budaya dan penelitian adalah dunia yang kerap melingkupi kehidupan mereka sekaligus dalam aksi-aksi literasinya. Komunitasnya ini mendapuk nama besar I Manggewilu. I Maggewilu sendiri adalah sosok Towaine Mandar lampau yang ditakdirkan menjadi Istri Daetta Melanto. Dari rahimnyalah lahir manusia luar biasa I Muru Daetta Di Masighi yang mendirikan Masjid Salabose dan Masjid Pambo'borang.



I Muru Daetta Di Masighi lah yang datang membawa Syekh Abdul Mannan. Syekh Abdul Mannan berada di tanah Mandar atas peran beliau dalam pengembaraannya ke Malaka, Gresik, dan beberapa pulau di Nusantara saat itu. Selain Daetta di Masighi, ada Tuan Daeng yang eksist meyebarkan Islam ke daerah Camba, Teppo, Pambo'borang dan sekitarnya. Sementara Syekh Abdul Mannan, lebih konsentrasi di wilayah Salabose, Tande dan sekitarnya.

Latar sejarah itulah yang membuat Thamrin memaket rumah bacanya dengan museum naskah I Manggewilu. Penulis kerap menjadi bagian dalam berbagai kegiatan literasinya yang sejak satu tahun lalu ia bentuk. Hal menarik dari Rumah Baca I Manggewilu ini adalah kerelaan mereka menyambangi berbagai pelosok di wilayah Majene disamping setiap malam minggu dan rabu rumahnya selalu ramai dengan anak-anak dan warga Teppo.

Lalu dengan cara apa kita mengambil peran dalam ikut berkontribusi terhadap upaya penyelamatan generasi Majene kedepan? Tak perlu transferan jika itu tak memungkinkan dalam kas keluarga kita. Tak perlu merogoh kocek negara untuk ikut meringankan beban mereka, sebab 1 buku bacaan bagi mereka lebih bermanfaat ketimbang uang kertas 50-an ribu. 1 buku untuk mereka adalah modal untuk menentukan kemana arah kota pendidikan mau diarahkan.

Jika masyarakat Majene sedikit punya kepedulian untuk mereka dengan menyumbang satu buah buku per rumah tangga, maka tidak saja di Teppo, bahkan Rumah Baca I Manggewilu pasti akan ada disetiap kecamatan. Olehnya, kepada pembaca sekalian, mari kita ringankan hati, fikiran dan tangan kita untuk memesrai mereka lewat buku. Jadilah bagian dari solusi untuk mewujudkan kota Majene sebagai lumbung ilmu pengetahuan.


Jadikan Rumah Baca dan Museum Naskah I Manggewilu sebagai ladang amal buat siapa saja yang punya kepedulian. Salam Literasi !


Sabtu, 18 Februari 2017

REKAPITULASI PORTAL KPU RAMPUNG 100%, ABM-ENNY UNGGUL !

.
Kendati Portal KPU dan Rekapituliasi yang dilakukan sifatnya sementara dan belum final, namun apa yang dilakukan KPU ini adalah sebuah langkah maju untuk menjadikan informasi seputar pilkada ini tidak menjadi sumber polemik yang bisa memicu konflik antar pendukung. 

Perhitungan RC KPU dan QC beberapa Lembaga Survey sebelumnya juga telah merilis hasilnya dengan Kemenangan berada di Kubu Nomor 3, ABM-ENNY ini akan menjadi bahan pembanding dan referensi dalam perhitungan secara manual yang dilakukan oleh pihak Penyelenggara di tingkat PPK, KPU Kabupaten dan KPU Provinsi. 

Sebagaimana yang telh kita saksikan bersama, Rekapitulasi model C1 KPU RI untuk Pilgub Sulbar 2017 telah rampung 100 persen. Suara tertinggi di raih paslon nomor 3 ABM-ENNY dengan kemenangan tipis. ABM vs SDK selisih 4.749 suara atau 0,75 persen.

Rekap perolehan suara hasil entry KPU RI update pukul 13.45 wita, Sabtu 18 Februari 2017, masing-masing :

1. Dr. H. Suhardi Duka, MM dan H. Kalma Katta, S.Sos., MM
: 240.053 suara atau 38.01 %.

2. Mayjen TNI (Purn) Salim S. Mengga dan H. Hasanuddin
Mashud, S.Hut : 146.769 suara atau 23.24 %.

3. Drs. H. Ali Baal, M.Si dan Hj. Enny Anggraeny Anwar :
244.802 suara atau 38.76 persen.


Berikut grafik perolehan suara model C1 KPU RI :




https://www.facebook.com/ Kadir Tanniewa.