Jumat, 10 Februari 2017
Rabu, 08 Februari 2017
Selamat Jalan Pak Edward Lamberthus Poelinggomang !
Rabu, 08 Februari 2017, Ketika sedang diskusi bersama Darmansyah,
di ruang Paripurna DPRD Majene. Tiba-tiba saja beliau mengucap innalillahi
wainna ilaihi rajiun sembari memperlihatkan layar handponenya kepada saya.
Edward Poelinggomang meninggal dunia. Yah, Edward Lamberthus Poelinggomang,
meninggal dunia di RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Rabu (8/2/2017) sekitar
pukul 10.30 wita.
Kepergiannya tentu saja menyisakan sebuah kehilangan yang sangat
dalam. Mulai dari dunia pendidikan sampai kalangan sejarawan ikut merasa
kehilangan akan sosok Sejarawan Sulsel yang begitu dikenal dalam dunia pustaka
di Mandar Sulawesi Barat. Sosok Edward selain menulis tentang Makassar tempo
dulu, ia juga intens meneliti dan menulis tentang Mandar. Salah satu bukunya
yang berjudul Sejarah Mandar (Masa Kerajaan hingga Sulawesi Barat) yang
diterbitkan oleh Zadahaniva pada tahun 2015. Buku yang di editori oleh Idham
Khalid Bodi ini merupakan warisan berharga yang beliau tinggalkan untuk Mandar.
Saya bertemu terakhir dengan Sejarawan dan Dosen Unhas ini di Jakarta
pada acara Kongres Nasional Sejarah X 7-10 November 2016. Bahkan beberapa
agenda beliau ke Sulawesi Barat sudah tersusun rapih pada triwulan kedua 2017
ini. Namun tuhan ternyata punya rencana lain sehingga hari ini segala tentang
belaiu hanya menjadi kenangan untuk selamanya.
Penulis buku “Makassar Abad XIX” yang pernah menjadi ketua jurusan
ilmu sejarah di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) dan dosen di
Pascasarjana Unhas dan Universitas Negeri Makassar (UNM) ini memperoleh gelar
doktor di Vrije Universitet Amsterdam, Belanda, pada 1991 dan setelah
sebelumnya menyelesaikan S2 di Universitas Indonesia (1984). Tahun 1998, ia
diundang sebagai profesor tamu di Center for S Edward L
Tokoh sejarawan yang lahir di Kabir, Nusa Tenggara Timur (NTT), 21
Oktober 1948 ini telah tiada. Semoga keluarga yang ditinggalkannya diberikan
kesabaran dan kelapangan jiwa.
Selamat Jalan Pak Edward Lamberthus Poelinggomang
Doa kami menyertaimu !
Selasa, 07 Februari 2017
Dra. Andi Ruskati Ali Baal : Inspirasi Bagi Semua Towaine Mandar !
Wanita
adalah makhluk indah
ciptaan Allah yang tidak akan habis pembahasanya sejak masih di dunia fana ataupun dikehidupan setelahnya. Sejak jaman Nabi Adam AS hingga jaman Nabi Muhammad SAW
wanita sering di elukan sebagai makhluk yang amat besar peranannya dalam kehidupan. Dia disebut juga sebagai
tiangnya Negara karna
pengaruh dahsyatnya terhadap lingkungan yang membuat kemajuan ataupun kerusakan bangsanya. Berbagai
gambaran keindahan pun tertahta untuk dirinya dari diibaratkan seperti bunga, rembulan, mutiara, permata, bahkan sampai ada yang menyamakanya layaknya kaca. Allah menciptakannyadengan
segala sifat kelembutan, meninggikan derajatnya di dalam Al Qur’an. Karena itulah, surah An-
Nisa’
menjadi satu-satunya
surah dari 114 surah dalam Al Qur’an. Tak pernah kita menemukan ada
surah
Ar-Rijal.
Dra. Andi Ruskati Ali Baal hanyalah sosok wanita biasa dalam pandangan segelintir orang. Tapi kemudian menjadi sosok wanita yang luar biasa ketika ia mampu menjadi spirit bagi ABM dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya sebagai Bupati Polman dua periode. Terlebih ketika ia terpilih menjadi anggota DPR-RI periode 2014-2019 dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
mewakili dapil Sulawesi Barat. Wanita cantik ini menjadi populer setelah setelah berhasil memperoleh 55,014 suara dan mengantarnya duduk di Senayan. Andi Ruskati
adalah istri dari mantan Bupati Polewali Mandar, Ali
Baal Masdar (2004-2014) dan kakak ipar dari Bupati Polewali Mandar, Andi Ibrahim Masdarr (2014-2019) itu biasa. Tapi saat ia kemudian menjadi anggota DPR RI pada periode
2014-2019 dan duduk di Komisi VIII yang membidangi sosial,
pemberdayaan perempuan dan agama ini menjadi sebuah capaian yang tak semua wanita bisa mencapainya.
Bau Atti, demikian ia karab disapa. Wanita bangsawan dari Majene ini lahir dan bersekolah di SLTA, SMA Negeri 1 Majene (1976). Selesai SMA, ia memilih S1, Ilmu
Sosial dan Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar (1984). Dan pilihan ini ternyata bukan sebuah pilihan yang salah, sebab kini ilmu itu biasa ia faktualkan dalam menjalani hari-harinya sebagai Anggota DPR RI.
Perjalanan politik:
Mendampingi
suaminya, Andi Ruskati
aktif memimpin organisasi Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
Kabupaten PolewaliMandar sebagai Ketua (2004-2013) dan forum Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD) Kabupaten PolewaliMandar juga sebagai Ketua (2004-2013).
Pada 2013
Andi Ruskati bergabung menjadi kader Gerindra. Dari sekian banyak aktifitasnya bersama ABM semakin memudahkan ia melenggang ke Senayan pada pileg 2014. Mencalonkan
diri sebagai calon legislatif tentu bukan sebuah pilihan yang asal-asalan, sebab wanita berdarah biru ini memang punya banyak keluarga besar di 6 Kabupaten di Sulbar, selain itu investasi sosial yang dia lakukan patut dicungi jempol. Andi Ruskati terpilih menjadi anggota DPR
RI periode 2014-2019 dan duduk di komisi VIII.
Kini, ia dipercaya menjadi Ketua Gerindra Sulbar. dan sebagai wakil rakyat ia tetap menjadi bagian dari proses pembangunan dengan mengawal beberapa program nasional ke Sulbar. Salah satu program yang ia kawal adalah PKH yang akhir-akhir ini santer disoroti sebagai obyek jualan politik, adahal memang sudah menjadi kewajiban bagi seorang wakil rakyat untuk turut membantu dan memfasilitasi masyarakat dengan program-program yang pro rakyat kecil.
Dekat Dengan Ulama
Andi Ruskati
sebelum diperistri oleh ABM, dirinya tinggal bersama orang tuanya di
lingkungan Saleppa Kabupaten Majene. Orang tuanya kala itu, hanya berjarak
sekian meter dari kediaman mursyid besar tarekat Qadiriah Sulawesi Barat yakni
Annangguru Haji (AGH) KH. Muhammad Shaleh, atau popular dengan nama Annangguru
Shaleh.
Andi Ruskati
dikenal bersahabat dengan Nasmah puteri dari Annangguru Shaleh. Keduanya
menjalani masa kanak-kanak hingga remaja di lingkungan Saleppa. Sehingga
acapkali Andi Ruskati bersama kedua orang tuanya mengikuti pengajian kitab
kuning pada malam Jumat yang digelar dikediaman Annangguru Shaleh yang dihadiri
sejumlah jama’ah tarekat Qadiriah.
Selain
mengikuti pengajian, Andi Ruskati dan orang tuanya setiap tahun mengikuti
prosesi “Salat Bukku” yang dilaksanakan jama’ah tarekat Qadiriah. Biasanya
pelaksanaan “salat Bukku” ini dipadati ribuan jamaah yang tersebar di berbagai
daerah di Sulbar hingga ke Kalimantan.
Tradisi
tahunan setiap malam 27 Ramadhan ini dipimpin langsung AGH KH Muhammad Shaleh
dan muridnya Prof Dr. KH. Sahabuddin pendiri kampus Universitas Al-Asy’ariah
Mandar (Unasman). Karena terbiasa dididik dalam lingkungan agama sejak
kanak-kanak hingga dewasa, sehingga kebiasaan itulah yang dilakukannya saat
resmi menjadi istri ABM.
Saat
suaminya menjadi Bupati Polman dua periode, dirinya aktif membina majelis
taklim. Menurut Andi Ruskati, bersama ibu-ibu majelis taklim di Polman
terbentuk 466 majelis taklim yang masih dia bina sampai sekarang.
Dekat dengan sejumlah Ulama Perempuan
Di Polman
sendiri Andi Ruskati Ali Baal dikenal dekat dengan sejumlah ulama perempuan,
diantaranya AGH Alwiyah (Puang Lawwi’), puteri Ulama besar Mandar yang dikenal
dengan karomahnya yaitu AGH KH Muhammad Thahir (Imam Lapeo) yakni AGH Sitti
Marhumah (Annangguru Kuma), serta AGH Puang Sunu’.
“Saya sering mengunjungi sejumlah
ulama perempuan dan belejar kepada mereka, seperti Annangguru Puang Lawwi’,
Annangguru Kuma, dan Annangguru Puang Sunu’. Beliau-beliau ini biasa
mengajarkan saya do’a-do’a dan amalan-amalan, “ cerita
Andi Ruskati.
Minggu, 05 Februari 2017
DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “Menenun Sureq Malaqbiq di Rumah Budaya Husni Djamluddin” (Bagian Ketiga)
Oleh
Muhammad Munir
Launching
Rumah Budaya Husni Djamluddin yang digagas oleh putri sulungnya Yuyun Yundini
mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dari tokoh-tokoh dan pejabat yang hadir.
Aksan Djalaluddin misalnya. Rekror Unsulbar ini bahkan siap mensinergikan
progran UKM di Unsulbar dengan Program Rumah Budaya Husni Djamaluddin. Tentu
saja ini akan menjadi sangat menunjang segala kegiatan yang nantinya terpusat
di Rumah Budaya ini. Hal sama juga dilakukan oleh Darmansyah. Ketua DPRD Majene
dan Ketua MSI Cabang Sulbar ini sangat mendukung rencana ini. Meski ia adalah
warga Sendana Majene tapi baginya, Husni Djamaluddin adalah sosok yang bukan
saja milik Tinambung Polman, tapi milik Mandar, Sulbar bahkan milik Indonesia.
Husni
Djamaluddin memang sosok yang begitu dicintai oleh keluarga dan sahabatnya,
baik waktu beliau masih hidup maupun saat beliau telah tiada. Inilah karomah
yang dimiliki oleh sosok Husni. Ia mungkin bukan sosok Tosalama’ sekelas Imam
Lapeo, tapi melihar rekam jejak dan warisannya buat Mandar, penulis bahkan
melihat maqam Husni Djamaluddin tak jauh beda dengan derajat yang dimiliki oleh
Imam Lapeo. Sejak beliau hidup sampai 12 tahun meninggalnya, Husni masih terus
dibincang dan ditulis. Dan hari ini, Rumah Budayanya justru akan membuatnya
akan lebih abadi, seabadi dengan nama Tosalama Imam Lapeo.
Forum yang
membincang Husni Djamaluddin yang berlangsung sampai adzan magrib ini sekana
tak terasa. Acara yang maksyuk semaksuk puisi Husni yang dibacakan oleh Bakri
Latief. Bakri Latief yang terkenal dengan puisi “Puaji” dan “Tokke”nya ini meminta kepada forum untuk
membaca dua buah puisi Husni Djamaluddin. Puisi pertama yang dibacakan oleh
Bakri Latief adalah Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku ? dilanjutkan dengan
puisi Kemerdekaan Yang Kurindukan. Puisi yang menghentak dan mengasah
keindonesiaan kita untuk lebih dalam lagi menyelami Indonesia dalam diri Husni
Djamaluddin.
Husni memang
tak salah jika kemudian Malaqbiq terus kita lisankan, sebab mendiang Husni
Djamaluddin memang tidak mengusung siri’
anna lokko’ menjadi ikon provinsi yang diperjuangkan disisa-sisa umurnya
yang mulai senja. Sulbar bahkan menjadi ajang wisuda pada tingkat paling tinggi
dalam jenjang pencariannya. Malaqbiq ia jadikan nisan sejarah bagi hidupnya,
hingga tak berlebihan jika malaqbiq itu diusung sesungguhnya adalah sebuah
rahasia Tuhan bahwa malaqbiq sesungguhnya adalah ketika mampu mengedifikasi nilai-nilai
yang diajarkan Husni pada generasi berikutnya.
Jika
kemudian Aksan Djalaluddin berkeluh kesah tentang terkikisnya nilai-nilai
malaqbiq itu dalam keseharian kita hari ini, tidak lantas harus menjadikan kita
pesimis. Bahwa kenyataan hari ini pemerintah, DPRD dan rakyat kita belum bisa
malaqbiq juga tidak harus menjadikan mereka sebagai pihak yang terhukumi sebagai
tau-tau, aluppas tau, tau asu, asu tau, sebagaimana yang dituturkan Abdul
Muttalib (Ketua Flamboyant), sebab nilai atauan tentu masih ada dan akan terus
ada dalam lembar sejarah peradaban kita. Mungkin iya, baqgo dan sandeq telah
terserabut dari akar sejarah dan budaya kita, mungkin juga kita kalah sebab butta panrita lopi justru bersemayam di
Bulukumba. Sangat boleh jadi kita tergerus dan tergilas zaman sebab pantai
menolak lautnya dengan keberadaan tanggul. Tapi ada hal yang lebih penting
untuk kita benahi, yaitu membangun kultur, bukan mengukuhkan struktur.
Dan hari
ini, Rumah Budaya Husni Djamaluddin itu telah terbuka, pintu dan segala
ruangnya terbuka untuk menjadi wadah menyusun jaring laba-laba peradaban yang
sasarnnya tentu harus melahirkan kembali generasi-generasi bertagline Husni The Next !. Keberadaan Yundini dan
Ketua DPRD Majene adalah aktualisasi diri bahwa kedepan, kesempatan untuk
berbenah masih terbuka. Tak ada yang harus kita urai panang kali lebar, sebab
nilai-nilai malaqbiq tak akan mampu
kita urai dalam meteran-meteran fisik. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana
mengeja kembali bahasa Husni Djamaluddin yang mengatakan Apa itu Mandar? Iyau Tomandar !. (Bersambung)
MUHAMMAD RAHMAT MUCHTAR : Seniman Literat Yang Inspiratif
Muhammad Rahmat Muchtar, demikian nama lengkap yang ia sandang.
Kak Rahmat atau Mat Panggung adalah panggilan kekerabatan yang disematkan oleh
teman-teman dan anak-anak didiknya di Uwake’ Cultuur Fondation.
Lelaki yang lahir di Tinambung, 10 Juli 1974 ini termasuk salah
satu sosok yang multi talenta. Disamping ia jago melukis, juga piawai bermain
musik tradisional, lihai menulis dan lincah di panggung baik berteater,
berpuisi maupun menampilkan kacaping luar pagarnya. Pokoknya, Pria yang menjadi
suami dari Sri Wahyuni, S.Sn ini adalah aset Mandar yang sulit dicari tandingannya.
Uwake’ Culture Foundation adalah sebuah lembaga nirlaba yang ia
dirikan sejak tahun 2010, dan diakta notariskan pada tahun 2012. Melalui Lembaga
Uwake’ inilah ia mencoba melakukan penguatan kehidupan serta program-program
pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, pelestarian melalui
perspektif seni budaya baik yang berasal dari pemerintah, swasta dan
masyarakat.
Hal tersebut tergambar jelas dalam visi lembaganya,
yaitu“mendorong perkembangan pola pikir pembaharuan didalam masyarakat yang di elaborasi
oleh muatan tradisi, modern, dan kontemporer lewat seni budaya”.
Visi yang dirumuskan tersebut kemudian ia faktualkan dalam beberapa
poin misi lembaganya, yakni: mengadakan pendidikan alternatif dengan pendekatan
seni budaya dan dari berbagai sudut pandang keilmuan; memberdayakan potensi
seni dan budaya baik tradisi, modern, kontemporer sebagai kesatuan bentuk
dialektika serta sebagai media; melakukan kajian seni budaya implementasi:
-
Menyelenggarakan program workshop, study
tour, residensi, diskusi, seminar, ceramah dan berbagai bentuk pendidikan
alternatif;
- Membangun daya hidup seni dan budaya serta
pariwisata melalui jaringan kerjasama intstansi pemerintah, non pemerintah,
lembaga sekolah dan lembaga seni budaya;
-
menyediakan informasi berupa buku seni,
artikel, koran, majalah, catalog visual, brosur dan fhoto;
- Mengadakan
pameran, pentas serta pagelaran di lingkungan sendiri, lintas kabupaten,
provinsi dan mancanegara.
Uwake’ yang punya sekretariat di Jalan Sultan Hasanuddin No. 68 Tinggas-Tinggas,
Tinambung, saat ini manjadi salah satu diantara banyaknya komunitas seni yang
kerap tampil mewarnai berbagai pertunjukan dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Termasuk menjadi inisiator Bendi Pustaka ‘’paissangang’’.
Bendi Pustaka adalah salah satu upaya menggiatkan literasi yang masih sangat memprihatinkan.
Di Polewali Mandar ini, meski sudah mempunyai perpustakaan daerah dan
telah mengelola mobil perpustakaan keliling, serta beberapa desa yang mempunyai
perpustakaan. Namun kenyataannya tidak membuahkan hasil yang sesuai cita-cita
dan target.
Terlebih sarana internet yang menjadi trend saat ini sangat
menjamur dan memudahkan masyarakat mengakses guna mencari informasi dan ilmu
pengetahuan, maka buku-buku bacaan
semakin ditinggalkan yang membuat perpustakaan sekolah, desa dan daerah sepi.
Kondisi itulah yang membuatnya resah dan mencoba berupaya menularkan virus
literasi kepada generasi. Maka muncullah gagasan pengembangan literasi dengan
moda Bendi Pustaka. Bendi sebagai salah satu transportasi tadisional yang sudah
mulai banyak ditinggalkan dijadikannya sebagai perpustakaan keliling yang dapat
mendatangi kota dan desa-desa sekitarnya.
Tanggal 1 Juni 2015 adalah hari peluncuran bendi
bustaka yang bersamaan dengan perahu pustaka di kampung Ba’ba Toa, Lapeo, Kec. Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kandang Bendi Pustaka memang ada di
Tinambung tapi lounchingnya di Campalagian karena Perahu Pustaka di buat
disana.
Bendi Pustaka adalah wadah untuk
mendorong terciptanya dan terselenggaranya media penghubung literasi yang akif
sebagai suatu perpustakaan dinamis disamping perpustakaan tetap; mewujudkan
masyarakat yang berbudi pekerti dan berpengetahuan melalui sugesti gemar
membaca untuk meraup dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Sasaran bendi pustaka
adalah tiap desa-desa yang terjangkau serta lembaga sekolah yang ada di Kecamatan
Tinambung, Limboro dan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Pembacanya mayoritas adalah anak-anak yakni TK – SD.
Sabtu, 04 Februari 2017
Profil Singkat Drs. H. Tadjuddin Noor, MM., Sang Penerang Yang Menerangi Majene sampai Tappalang (2 Selesai)
Ketika terjadi pergantian Gubernur Sulsel, dari Andi Oddang ke Achmad Amiruddin, terjadi regenerasi
pejabat. Saat itu pangkatnya sudah 3 C. Baperjaka Sulsel mengevaluasi, kalau Tadjuddin
masuk pengusulan Sekda. Disebutkan Sekda Majene, Sekda Pinrang, Sekda Sidrap, dan Sekda Pangkep.
Keputusan akhir jatuh ke Sekda Majene.
Setelah tiga tahun di Majene, dari 1989 hingga 1991, lalu ke Kabupaten Wajo dengan jabatan yang sama. Tahun 1995 kembali ke
Majene dengan jabatan baru, Bupati Majene (1995-2001).
Meski kini sebagai bupati, sudah tak asing baginya. Ia sudah tahu
apa yang akan ia lakukan, agar daerah ini menampakkan perubahan. Dilirik
jalanan untuk dibenahi, sebab jalanan saat itu belum baik. Bisa dibilang, jalan
antara Pinrang-Polewali-Majene-Mamuju masih memprihatinkan. Ia harus berjuang agar jalan di Majene aspal hotmix. Penerangan
listrik baru sampai di Rangas, ujung kota Majene.
Sementara anggaran terbatas.
Baru dua bulan di tahun pertama jadi bupati, Menteri penerangan Harmoko berkunjung ke Mamuju. Dari
Mamuju, giliran Bupati Tadjuddin menjemput Harmoko di Malunda’. Ketika rombongan Menteri dan Bupati Majene beriringan,
di pojok jalan di desa Tubo terbentang sebuah spanduk
yang bertuliskan “Kami Butuh Listrik”.
Jam 8 malam rombongan singgah sejenak di rumah camat. Selanjutkan
perjalanan menuju rumah jabatan Bupati Majene. Kurang beberapa menit
menunjukkan jam 11 malam, rombongan tiba. Di Rujab Bupati, Menteri Harmoko bertanya kepada Bupati Tadjuddin, “Desa mana
tadi yang ada spanduk?”. Bupati
jelaskan, sembari terkaget sebab dia pikir mungkin Menteri tak sempat melihat karena dalam kegelapan malam. “Kasihan Ya”, sudah 50 tahun merdeka masih banyak warga
Indonesia belum menikmati listrik”. Kata Menteri Harmoko. “Tapi kita akan pikirkan bersama.”
Bulan berikutnya, seluruh bupati di Indonesia berkumpul di Jakarta. Pertemuan itu di adakan di gedung pertemuan PT. Pertamina. Menpen Harmoko juga hadir memberi pengarahan. Di penghujung akhir
ucapannya, Menteri Harmoko
menyilahkan Bupati Majene dan Bupati Luwu berdiri lalu memberitahu bahwa pemasangan listrik di kabupatennya sudah
dikoordinasikan di tingkat pusat.
Rupanya menteri tetap ingat bunyi spanduk di Desa Tubo, Kecamatan Sendana, satu bulan silam. Katanya,
silahkan dikoordinasikan di tingkat wilayah. “catat ya.”
Pesan Menteri Harmoko.
Tiba di Makassar, Bupati Tadjuddin tak langsung ke Majene. Ia menemui Kepala PLN Wilayah Sulsel, Sumantri. Diberitahukan bahwa dari
Jakarta di tugasi mengecek pemasangan sambungan listrik dari Majene ke Mamuju,
ia tak bilang Tubo’. Sementara bercakap-cakap dengan Kepala PLN, mesin fax Sumantri mengeluarkan selembar surat. Surat itu dari Jakarta,
isinya menugaskan mengeluarkan listrik di Majene dan di Luwu. Persis apa yang di bacakan keduanya.
Sumantri bilang, kita butuh surat yang ditandatangani Gubernur Sulawesi Selatan untuk dukungan dana. Menit itu pula
mereka menemui gubernur. Tak panjang lebar, gubernur menyilahkan Bupati Majene bikin surat nanti di tandatangani. Surat dukungan dana pun selesai di tandatangani Gubernur Sulsel. Sore itu juga kepala PLN, Sumantri ke Jakarta.
Keesokan harinya Sumantri sudah kembali. Dana
pemasangan listrik pun siap, dengan syarat tak ada ganti rugi penebangan pohon.
Tiba di Majene, Bupati menggalang masyarakatnya, dan tak ada yang menuntut ganti rugi. Yang paling
diprioritaskan adalah pemasangan untuk sekolah dan masjid, di sepanjang
jalan yang dilalui. Luar biasa, sepanjang 70 km pemasangan baru, hingga ke
kecamatan Tappalang Kabupaten
Mamuju.
Tak ketinggalan peningkatan SDM aparat, di semua lini. Dibuka
kesempatan untuk melanjutkan sekolah, baik penjenjangan maupun strata satu
(S1), dan starata dua (S2). Sebab bagaimana SDA bisa dikelola kalau sumber daya
manusia tak terampil.
Memang sengaja hilangkan kesan bahwa orang pergi sekolah karena
mau dipromosikan, mau diangkat jadi pejabat ini dan itu, atau pergi sekolah
karena dibuang. Itu pemikiran tempo dulu. Semua yang
berkemampuan diberi kesempatan yang sama. Juga pembangunan sekolah, semua
kecamatan sudah ada SMA (SMU) Negeri. Pendidikan memang sangat diutamakan, maka waktu itu dibuka
kelas khusus bagi siswa SMA yang berprestasi. Membuka isolasi kawasan-kawasan
di pegunungan, di Malunda’, di Limboro. Digalakkan peternakan kambing. Dibangun banyak puskesmas.
Begitulah siklus pemimpin pemerintahan. Mustar
Lazim usai memimpin, lalu datang Tadjuddin Noor, dan setelah masanya berakhir, dilanjutkan Muhammad Darwis. Pengembangan pelabuhan Palippis, Majene, yang belum selesai, dan
akhir periode lima tahun telah lebih dulu tiba. Ketika ia menjabat kepala Dinas Perhubungan Sulsel tentu bersama bupati yang menggantikannya-melanjutkannya
hingga bisa di manfaatkan seperti peruntukannya.
Ia ikut Andil memepercepat perbaikan pelabuhan Mamuju. Membuka
kembali penerbangan Makassar-Mamuju. Dan ketika peresmian Sulawesi Barat,
bersama satu rombongan dari Makassar terbang dengan pesawat udara yang mendarat
di bandara Tampa Padang. Hampir dua tahun di Perhubungan, kemudian pindah sebagai Kepala BKD Provinsi Sulawesi Selatan.
Tugas selanjutnya setelah Bupati Majene
adalah Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, tempatnya yang dijabat sejak beberapa
tahun silam. Selama di pariwisata, ia banyak melanglang
ke kawasan Eropa, Asia, dan Afrika. Sibuk dengan kerja memperkenalkan potensi pariwisata
Sulawesi Selatan di pelbagai masyarakat dunia. Ia tahu kalau potensi budaya
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat besar. Ini yang mesti dijual. Inilah cara
menjadikan kunjungan pariwisata ke daerah kita dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya.
Pasar potensial untuk pariwisata kita adalah Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Swiss). Jepang, dan Asia pada
umumnya. Di kota Paris, Perancis, Tadjuddin sudah tak asing, sebab
ketika masih menjabat Bupati Majene, sempat diundang menghadiri konferensi
ternak sedunia.
Pada Oktober 2004 lalu, diundang ke Ravena, Italia, menyaksikan pertunjukan film I Laga Ligo, yang dinobatkan menjadi warisan sastra dunia sekaligus satu-satunya karya sastra terpanjang di dunia. Di Italia, singgah di Vatikan, menyaksikan tempat tempat
pertunjukan gladiator.
Pada Juli 2004, ia juga turut di
undang hadir di New York, Amerika Serikat untuk menyaksikan
pertunjukan spektakuler, I Laga Ligo. Perjalanan sudah bisa dibilang teramat panjang. Tapi bersama
tiga anaknya, buah perkawinannya, dengan Nurliah pada
1977 silam, memberi kebahagiaan tersendiri dalam hidup Tadjuddin Noor.
Istrinya, seorang darah bangsawan Mandar,
membuatnya tak bisa melupakan kedekatan emosional dengan masyarakat Mandar.
Terlebih lagi ia pernah mengbbdi di Majene kurang lebih delapan tahun lamanya.
Ia sangat bangga ketika kawasan Mandar (besar) telah menjadi satu provinsi
tersendiri. Dan Majene yang paling awal mengeluarkan surat dukungan secara resmi
berupa “Rekomendasi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat yang di tandatangani oleh Tadjuddin Noor[1].
Langganan:
Postingan (Atom)