Sabtu, 04 Februari 2017

Profil Singkat Drs. H. Tadjuddin Noor, MM., Sang Penerang Yang Menerangi Majene sampai Tappalang (2 Selesai)


Ketika terjadi pergantian Gubernur Sulsel, dari Andi Oddang ke Achmad Amiruddin, terjadi regenerasi pejabat. Saat itu pangkatnya sudah 3 C. Baperjaka Sulsel mengevaluasi, kalau Tadjuddin masuk pengusulan Sekda. Disebutkan Sekda Majene, Sekda Pinrang, Sekda Sidrap, dan Sekda Pangkep.

Keputusan akhir jatuh ke Sekda Majene. Setelah tiga tahun di Majene, dari 1989 hingga 1991, lalu ke Kabupaten Wajo dengan jabatan yang sama. Tahun 1995 kembali ke Majene dengan jabatan baru, Bupati Majene (1995-2001).
Meski kini sebagai bupati, sudah tak asing baginya. Ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan, agar daerah ini menampakkan perubahan. Dilirik jalanan untuk dibenahi, sebab jalanan saat itu belum baik. Bisa dibilang, jalan antara Pinrang-Polewali-Majene-Mamuju masih memprihatinkan. Ia harus berjuang agar jalan di Majene aspal hotmix. Penerangan listrik baru sampai di Rangas, ujung kota Majene. Sementara anggaran terbatas.
Baru dua bulan di tahun pertama jadi bupati, Menteri penerangan Harmoko berkunjung ke Mamuju. Dari Mamuju, giliran Bupati Tadjuddin menjemput Harmoko di Malunda’. Ketika rombongan Menteri dan Bupati Majene beriringan, di pojok jalan di desa Tubo terbentang sebuah spanduk yang bertuliskan “Kami Butuh Listrik”.
Jam 8 malam rombongan singgah sejenak di rumah camat. Selanjutkan perjalanan menuju rumah jabatan Bupati Majene. Kurang beberapa menit menunjukkan jam 11 malam, rombongan tiba. Di Rujab Bupati, Menteri Harmoko bertanya kepada Bupati Tadjuddin, Desa mana tadi yang ada spanduk?”. Bupati jelaskan, sembari terkaget sebab dia pikir mungkin Menteri tak sempat melihat karena dalam kegelapan malam. “Kasihan Ya”, sudah 50 tahun merdeka masih banyak warga Indonesia belum menikmati listrik”. Kata Menteri Harmoko. “Tapi kita akan pikirkan bersama.”
Bulan berikutnya, seluruh bupati di Indonesia berkumpul di Jakarta. Pertemuan itu di adakan di gedung pertemuan PT. Pertamina. Menpen Harmoko juga hadir memberi pengarahan. Di penghujung akhir ucapannya, Menteri Harmoko menyilahkan Bupati Majene dan Bupati Luwu berdiri lalu memberitahu bahwa pemasangan listrik di kabupatennya sudah dikoordinasikan di tingkat pusat.
Rupanya menteri tetap ingat bunyi spanduk di Desa Tubo, Kecamatan Sendana, satu bulan silam. Katanya, silahkan dikoordinasikan di tingkat wilayah. “catat ya.” Pesan Menteri Harmoko.
Tiba di Makassar, Bupati Tadjuddin tak langsung ke Majene. Ia menemui Kepala PLN Wilayah Sulsel, Sumantri. Diberitahukan bahwa dari Jakarta di tugasi mengecek pemasangan sambungan listrik dari Majene ke Mamuju, ia tak bilang Tubo’. Sementara bercakap-cakap dengan Kepala PLN, mesin fax Sumantri mengeluarkan selembar surat. Surat itu dari Jakarta, isinya menugaskan mengeluarkan listrik di Majene dan di Luwu.  Persis apa yang di bacakan keduanya.
Sumantri bilang, kita butuh surat yang ditandatangani Gubernur Sulawesi Selatan untuk dukungan dana. Menit itu pula mereka menemui gubernur. Tak panjang lebar, gubernur menyilahkan Bupati Majene bikin surat nanti di tandatangani. Surat dukungan dana pun selesai di tandatangani Gubernur Sulsel. Sore itu juga kepala PLN, Sumantri ke Jakarta.
Keesokan harinya Sumantri sudah kembali. Dana pemasangan listrik pun siap, dengan syarat tak ada ganti rugi penebangan pohon. Tiba di Majene, Bupati menggalang masyarakatnya, dan tak ada yang menuntut ganti rugi. Yang paling diprioritaskan adalah pemasangan untuk sekolah dan masjid, di sepanjang jalan yang dilalui. Luar biasa, sepanjang 70 km pemasangan baru, hingga ke kecamatan Tappalang Kabupaten Mamuju.
Tak ketinggalan peningkatan SDM aparat, di semua lini. Dibuka kesempatan untuk melanjutkan sekolah, baik penjenjangan maupun strata satu (S1), dan starata dua (S2). Sebab bagaimana SDA bisa dikelola kalau sumber daya manusia tak terampil.
Memang sengaja hilangkan kesan bahwa orang pergi sekolah karena mau dipromosikan, mau diangkat jadi pejabat ini dan itu, atau pergi sekolah karena dibuang. Itu pemikiran tempo dulu. Semua yang berkemampuan diberi kesempatan yang sama. Juga pembangunan sekolah, semua kecamatan sudah ada SMA (SMU) Negeri. Pendidikan memang sangat diutamakan, maka waktu itu dibuka kelas khusus bagi siswa SMA yang berprestasi. Membuka isolasi kawasan-kawasan di pegunungan, di Malunda’, di Limboro. Digalakkan peternakan kambing. Dibangun banyak puskesmas.
Begitulah siklus pemimpin pemerintahan. Mustar Lazim usai memimpin, lalu datang Tadjuddin Noor, dan setelah masanya berakhir, dilanjutkan Muhammad Darwis. Pengembangan pelabuhan Palippis, Majene, yang belum selesai, dan akhir periode lima tahun telah lebih dulu tiba. Ketika ia menjabat kepala Dinas Perhubungan Sulsel tentu bersama bupati yang menggantikannya-melanjutkannya hingga bisa di manfaatkan seperti peruntukannya.
Ia ikut Andil memepercepat perbaikan pelabuhan Mamuju. Membuka kembali penerbangan Makassar-Mamuju. Dan ketika peresmian Sulawesi Barat, bersama satu rombongan dari Makassar terbang dengan pesawat udara yang mendarat di bandara Tampa Padang. Hampir dua tahun di Perhubungan, kemudian pindah sebagai Kepala BKD Provinsi Sulawesi Selatan.
Tugas selanjutnya setelah Bupati Majene adalah Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, tempatnya yang dijabat sejak beberapa tahun silam. Selama di pariwisata, ia banyak melanglang ke kawasan Eropa, Asia, dan Afrika. Sibuk dengan kerja memperkenalkan potensi pariwisata Sulawesi Selatan di pelbagai masyarakat dunia. Ia tahu kalau potensi budaya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat besar. Ini yang mesti dijual. Inilah cara menjadikan kunjungan pariwisata ke daerah kita dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.
Pasar potensial untuk pariwisata kita adalah Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Swiss). Jepang, dan Asia pada umumnya. Di kota Paris, Perancis, Tadjuddin sudah tak asing, sebab ketika masih menjabat Bupati Majene, sempat diundang menghadiri konferensi ternak sedunia.
Pada Oktober 2004 lalu, diundang ke Ravena, Italia, menyaksikan pertunjukan film I Laga Ligo, yang dinobatkan menjadi warisan sastra dunia sekaligus satu-satunya karya sastra terpanjang di dunia. Di Italia, singgah di Vatikan, menyaksikan tempat tempat pertunjukan gladiator.
Pada Juli 2004, ia juga turut di undang hadir di New York, Amerika Serikat untuk menyaksikan pertunjukan spektakuler, I Laga Ligo. Perjalanan sudah bisa dibilang teramat panjang. Tapi bersama tiga anaknya, buah perkawinannya, dengan Nurliah pada 1977 silam, memberi kebahagiaan tersendiri dalam hidup Tadjuddin Noor.
Istrinya, seorang darah bangsawan Mandar, membuatnya tak bisa melupakan kedekatan emosional dengan masyarakat Mandar. Terlebih lagi ia pernah mengbbdi di Majene kurang lebih delapan tahun lamanya. Ia sangat bangga ketika kawasan Mandar (besar) telah menjadi satu provinsi tersendiri. Dan Majene yang paling awal mengeluarkan surat dukungan secara resmi berupa “Rekomendasi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat yang di tandatangani oleh Tadjuddin Noor[1].



[1] Sarman Sahuding, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar