Rabu, 08 Februari 2017

Selamat Jalan Pak Edward Lamberthus Poelinggomang !



Rabu, 08 Februari 2017, Ketika sedang diskusi bersama Darmansyah, di ruang Paripurna DPRD Majene. Tiba-tiba saja beliau mengucap innalillahi wainna ilaihi rajiun sembari memperlihatkan layar handponenya kepada saya. Edward Poelinggomang meninggal dunia. Yah, Edward Lamberthus Poelinggomang, meninggal dunia di RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Rabu (8/2/2017) sekitar pukul 10.30 wita.

Kepergiannya tentu saja menyisakan sebuah kehilangan yang sangat dalam. Mulai dari dunia pendidikan sampai kalangan sejarawan ikut merasa kehilangan akan sosok Sejarawan Sulsel yang begitu dikenal dalam dunia pustaka di Mandar Sulawesi Barat. Sosok Edward selain menulis tentang Makassar tempo dulu, ia juga intens meneliti dan menulis tentang Mandar. Salah satu bukunya yang berjudul Sejarah Mandar (Masa Kerajaan hingga Sulawesi Barat) yang diterbitkan oleh Zadahaniva pada tahun 2015. Buku yang di editori oleh Idham Khalid Bodi ini merupakan warisan berharga yang beliau tinggalkan untuk Mandar.

Saya bertemu terakhir dengan Sejarawan dan Dosen Unhas ini di Jakarta pada acara Kongres Nasional Sejarah X 7-10 November 2016. Bahkan beberapa agenda beliau ke Sulawesi Barat sudah tersusun rapih pada triwulan kedua 2017 ini. Namun tuhan ternyata punya rencana lain sehingga hari ini segala tentang belaiu hanya menjadi kenangan untuk selamanya.

Penulis buku “Makassar Abad XIX” yang pernah menjadi ketua jurusan ilmu sejarah di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) dan dosen di Pascasarjana Unhas dan Universitas Negeri Makassar (UNM) ini memperoleh gelar doktor di Vrije Universitet Amsterdam, Belanda, pada 1991 dan setelah sebelumnya menyelesaikan S2 di Universitas Indonesia (1984). Tahun 1998, ia diundang sebagai profesor tamu di Center for S Edward L

Tokoh sejarawan yang lahir di Kabir, Nusa Tenggara Timur (NTT), 21 Oktober 1948 ini telah tiada. Semoga keluarga yang ditinggalkannya diberikan kesabaran dan kelapangan jiwa.

Selamat Jalan Pak Edward Lamberthus Poelinggomang
Doa kami menyertaimu !


(Muhammad Munir) 

Selasa, 07 Februari 2017

Dra. Andi Ruskati Ali Baal : Inspirasi Bagi Semua Towaine Mandar !

         


          Wanita adalah makhluk indah ciptaan Allah yang tidak akan habis pembahasanya sejak masih di dunia fana ataupun dikehidupan setelahnya. Sejak jaman Nabi Adam AS hingga jaman Nabi Muhammad SAW wanita sering di elukan sebagai makhluk yang amat besar peranannya dalam kehidupan. Dia disebut juga sebagai tiangnya Negara karna pengaruh dahsyatnya terhadap lingkungan yang membuat kemajuan ataupun kerusakan bangsanya. Berbagai gambaran keindahan pun tertahta untuk dirinya dari diibaratkan seperti bunga, rembulan, mutiara, permata, bahkan sampai ada yang menyamakanya layaknya kaca. Allah menciptakannyadengan segala sifat kelembutan, meninggikan derajatnya di dalam Al Qur’an. Karena itulah, surah An- Nisa menjadi satu-satunya surah dari 114 surah dalam Al Qur’an. Tak pernah kita menemukan ada surah Ar-Rijal. 

Dra. Andi Ruskati Ali Baal hanyalah sosok wanita biasa dalam pandangan segelintir orang. Tapi kemudian menjadi sosok wanita yang luar biasa ketika ia mampu menjadi spirit bagi ABM dalam menjalankan tugas dan pengabdiannya sebagai Bupati Polman dua periode. Terlebih ketika ia terpilih menjadi anggota DPR-RI periode 2014-2019 dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mewakili dapil Sulawesi Barat. Wanita cantik ini menjadi populer setelah setelah berhasil memperoleh 55,014 suara dan mengantarnya duduk di Senayan. Andi Ruskati adalah istri dari mantan Bupati Polewali Mandar, Ali Baal Masdar (2004-2014) dan kakak ipar dari Bupati Polewali Mandar, Andi Ibrahim Masdarr (2014-2019) itu biasa. Tapi saat ia kemudian menjadi anggota DPR RI pada periode 2014-2019 dan duduk di Komisi VIII yang membidangi sosial, pemberdayaan perempuan dan agama ini menjadi sebuah capaian yang tak semua wanita bisa mencapainya.

              Bau Atti, demikian ia karab disapa. Wanita bangsawan dari Majene ini lahir dan bersekolah di SLTA, SMA Negeri 1 Majene (1976). Selesai SMA, ia memilih S1, Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Hasanuddin, Makassar (1984). Dan pilihan ini ternyata bukan sebuah pilihan yang salah, sebab kini ilmu itu biasa ia faktualkan dalam menjalani hari-harinya sebagai Anggota DPR RI.

Perjalanan politik:

Mendampingi suaminya,  Andi Ruskati aktif memimpin organisasi Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kabupaten PolewaliMandar sebagai Ketua (2004-2013) dan forum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kabupaten PolewaliMandar juga sebagai Ketua (2004-2013).

Pada 2013 Andi Ruskati bergabung menjadi kader Gerindra. Dari sekian banyak aktifitasnya bersama ABM semakin memudahkan ia melenggang ke Senayan pada pileg 2014. Mencalonkan diri sebagai calon legislatif tentu bukan sebuah pilihan yang asal-asalan, sebab wanita berdarah biru ini memang punya banyak keluarga besar di 6 Kabupaten di Sulbar, selain itu investasi sosial yang dia lakukan patut dicungi jempol.  Andi Ruskati terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019 dan duduk di komisi VIII.

Kini, ia dipercaya menjadi Ketua Gerindra Sulbar. dan sebagai wakil rakyat ia tetap menjadi bagian dari proses pembangunan dengan mengawal beberapa program nasional ke Sulbar. Salah satu program yang ia kawal adalah PKH yang akhir-akhir ini santer disoroti sebagai obyek jualan politik, adahal memang sudah menjadi kewajiban bagi seorang wakil rakyat untuk turut membantu dan memfasilitasi masyarakat dengan program-program yang pro rakyat kecil. 

Dekat Dengan Ulama

Andi Ruskati sebelum diperistri  oleh ABM, dirinya tinggal bersama orang tuanya di lingkungan Saleppa Kabupaten Majene. Orang tuanya kala itu, hanya berjarak sekian meter dari kediaman mursyid besar tarekat Qadiriah Sulawesi Barat yakni Annangguru Haji (AGH) KH. Muhammad Shaleh, atau popular dengan nama Annangguru Shaleh. 

Andi Ruskati dikenal bersahabat dengan Nasmah puteri dari Annangguru Shaleh. Keduanya menjalani masa kanak-kanak hingga remaja di lingkungan Saleppa. Sehingga acapkali Andi Ruskati bersama kedua orang tuanya mengikuti pengajian kitab kuning pada malam Jumat yang digelar dikediaman Annangguru Shaleh yang dihadiri sejumlah jama’ah tarekat Qadiriah.

Selain mengikuti pengajian, Andi Ruskati dan orang tuanya setiap tahun mengikuti prosesi “Salat Bukku” yang dilaksanakan jama’ah tarekat Qadiriah. Biasanya pelaksanaan “salat Bukku” ini dipadati ribuan jamaah yang tersebar di berbagai daerah di Sulbar hingga ke Kalimantan.

Tradisi tahunan setiap malam 27 Ramadhan ini dipimpin langsung AGH KH Muhammad Shaleh dan muridnya Prof Dr. KH. Sahabuddin pendiri kampus Universitas Al-Asy’ariah Mandar (Unasman). Karena terbiasa dididik dalam lingkungan agama sejak kanak-kanak hingga dewasa, sehingga kebiasaan itulah yang dilakukannya saat resmi menjadi istri ABM.

Saat suaminya menjadi Bupati Polman dua periode, dirinya aktif membina majelis taklim. Menurut Andi Ruskati, bersama ibu-ibu majelis taklim di Polman terbentuk 466 majelis taklim yang masih dia bina sampai sekarang.

Dekat dengan sejumlah Ulama Perempuan

Di Polman sendiri Andi Ruskati Ali Baal dikenal dekat dengan sejumlah ulama perempuan, diantaranya AGH Alwiyah (Puang Lawwi’), puteri Ulama besar Mandar yang dikenal dengan karomahnya yaitu AGH KH Muhammad Thahir (Imam Lapeo) yakni AGH Sitti Marhumah (Annangguru Kuma), serta AGH Puang Sunu’.

“Saya sering mengunjungi sejumlah ulama perempuan dan belejar kepada mereka, seperti Annangguru Puang Lawwi’, Annangguru Kuma, dan Annangguru Puang Sunu’. Beliau-beliau ini biasa mengajarkan saya do’a-do’a dan amalan-amalan, “ cerita Andi Ruskati.

Sampai saat ini pun bersama suami tetap menjalin hubungan dengan para ulama. Terakhir baru-baru ini kediamannya di Baruga Todilaling Matakali, dikunjungi ulama kharismatik Sulsel yang juga Kiai besar di organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yaitu AGH KH. Sanusi Baco. Ulama besar Sulsel tersebut menyambangi kediaman ABM setelah menghadiri acara keagamaan di Kampus Unasman dan Kampus Institut Darud Da’wah Wal irsyad (DDI) Polewali.[1]


[1] http://seputarsulawesi.com/berita-andi-ruskati-sejak-kecil-saya-dekat-dengan-ulama.html

Minggu, 05 Februari 2017

DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “Menenun Sureq Malaqbiq di Rumah Budaya Husni Djamluddin” (Bagian Ketiga)



Oleh Muhammad Munir
  
Launching Rumah Budaya Husni Djamluddin yang digagas oleh putri sulungnya Yuyun Yundini mendapat apresiasi yang sangat luar biasa dari tokoh-tokoh dan pejabat yang hadir. Aksan Djalaluddin misalnya. Rekror Unsulbar ini bahkan siap mensinergikan progran UKM di Unsulbar dengan Program Rumah Budaya Husni Djamaluddin. Tentu saja ini akan menjadi sangat menunjang segala kegiatan yang nantinya terpusat di Rumah Budaya ini. Hal sama juga dilakukan oleh Darmansyah. Ketua DPRD Majene dan Ketua MSI Cabang Sulbar ini sangat mendukung rencana ini. Meski ia adalah warga Sendana Majene tapi baginya, Husni Djamaluddin adalah sosok yang bukan saja milik Tinambung Polman, tapi milik Mandar, Sulbar bahkan milik Indonesia.

Husni Djamaluddin memang sosok yang begitu dicintai oleh keluarga dan sahabatnya, baik waktu beliau masih hidup maupun saat beliau telah tiada. Inilah karomah yang dimiliki oleh sosok Husni. Ia mungkin bukan sosok Tosalama’ sekelas Imam Lapeo, tapi melihar rekam jejak dan warisannya buat Mandar, penulis bahkan melihat maqam Husni Djamaluddin tak jauh beda dengan derajat yang dimiliki oleh Imam Lapeo. Sejak beliau hidup sampai 12 tahun meninggalnya, Husni masih terus dibincang dan ditulis. Dan hari ini, Rumah Budayanya justru akan membuatnya akan lebih abadi, seabadi dengan nama Tosalama Imam Lapeo.
    
Forum yang membincang Husni Djamaluddin yang berlangsung sampai adzan magrib ini sekana tak terasa. Acara yang maksyuk semaksuk puisi Husni yang dibacakan oleh Bakri Latief. Bakri Latief yang terkenal dengan puisi “Puaji” dan  “Tokke”nya ini meminta kepada forum untuk membaca dua buah puisi Husni Djamaluddin. Puisi pertama yang dibacakan oleh Bakri Latief adalah Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku ? dilanjutkan dengan puisi Kemerdekaan Yang Kurindukan. Puisi yang menghentak dan mengasah keindonesiaan kita untuk lebih dalam lagi menyelami Indonesia dalam diri Husni Djamaluddin.

Husni memang tak salah jika kemudian Malaqbiq terus kita lisankan, sebab mendiang Husni Djamaluddin memang tidak mengusung siri’ anna lokko’ menjadi ikon provinsi yang diperjuangkan disisa-sisa umurnya yang mulai senja. Sulbar bahkan menjadi ajang wisuda pada tingkat paling tinggi dalam jenjang pencariannya. Malaqbiq ia jadikan nisan sejarah bagi hidupnya, hingga tak berlebihan jika malaqbiq itu diusung sesungguhnya adalah sebuah rahasia Tuhan bahwa malaqbiq sesungguhnya adalah ketika mampu mengedifikasi nilai-nilai yang diajarkan Husni pada generasi berikutnya.

Jika kemudian Aksan Djalaluddin berkeluh kesah tentang terkikisnya nilai-nilai malaqbiq itu dalam keseharian kita hari ini, tidak lantas harus menjadikan kita pesimis. Bahwa kenyataan hari ini pemerintah, DPRD dan rakyat kita belum bisa malaqbiq juga tidak harus menjadikan mereka sebagai pihak yang terhukumi sebagai tau-tau, aluppas tau, tau asu, asu tau, sebagaimana yang dituturkan Abdul Muttalib (Ketua Flamboyant), sebab nilai atauan tentu masih ada dan akan terus ada dalam lembar sejarah peradaban kita. Mungkin iya, baqgo dan sandeq telah terserabut dari akar sejarah dan budaya kita, mungkin juga kita kalah sebab butta panrita lopi justru bersemayam di Bulukumba. Sangat boleh jadi kita tergerus dan tergilas zaman sebab pantai menolak lautnya dengan keberadaan tanggul. Tapi ada hal yang lebih penting untuk kita benahi, yaitu membangun kultur, bukan mengukuhkan struktur.


Dan hari ini, Rumah Budaya Husni Djamaluddin itu telah terbuka, pintu dan segala ruangnya terbuka untuk menjadi wadah menyusun jaring laba-laba peradaban yang sasarnnya tentu harus melahirkan kembali generasi-generasi bertagline Husni The Next !. Keberadaan Yundini dan Ketua DPRD Majene adalah aktualisasi diri bahwa kedepan, kesempatan untuk berbenah masih terbuka. Tak ada yang harus kita urai panang kali lebar, sebab nilai-nilai malaqbiq tak akan mampu kita urai dalam meteran-meteran fisik. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengeja kembali bahasa Husni Djamaluddin yang mengatakan Apa itu Mandar? Iyau Tomandar !. (Bersambung)

MUHAMMAD RAHMAT MUCHTAR : Seniman Literat Yang Inspiratif



Muhammad Rahmat Muchtar, demikian nama lengkap yang ia sandang. Kak Rahmat atau Mat Panggung adalah panggilan kekerabatan yang disematkan oleh teman-teman dan anak-anak didiknya di Uwake’ Cultuur Fondation.
Lelaki yang lahir di Tinambung, 10 Juli 1974 ini termasuk salah satu sosok yang multi talenta. Disamping ia jago melukis, juga piawai bermain musik tradisional, lihai menulis dan lincah di panggung baik berteater, berpuisi maupun menampilkan kacaping luar pagarnya. Pokoknya, Pria yang menjadi suami dari Sri Wahyuni, S.Sn ini adalah aset Mandar yang sulit dicari tandingannya.
Uwake’ Culture Foundation adalah sebuah lembaga nirlaba yang ia dirikan sejak tahun 2010, dan diakta notariskan pada tahun 2012. Melalui Lembaga Uwake’ inilah ia mencoba melakukan penguatan kehidupan serta program-program pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan, pelestarian melalui perspektif seni budaya baik yang berasal dari pemerintah, swasta dan masyarakat.
Hal tersebut tergambar jelas dalam visi lembaganya, yaitu“mendorong perkembangan pola pikir pembaharuan didalam masyarakat yang di elaborasi oleh muatan tradisi, modern, dan kontemporer lewat seni budaya”.
Visi yang dirumuskan tersebut kemudian ia faktualkan dalam beberapa poin misi lembaganya, yakni: mengadakan pendidikan alternatif dengan pendekatan seni budaya dan dari berbagai sudut pandang keilmuan; memberdayakan potensi seni dan budaya baik tradisi, modern, kontemporer sebagai kesatuan bentuk dialektika serta sebagai media; melakukan kajian seni budaya implementasi:
-       Menyelenggarakan program workshop, study tour, residensi, diskusi, seminar, ceramah dan berbagai bentuk pendidikan alternatif;
-   Membangun daya hidup seni dan budaya serta pariwisata melalui jaringan kerjasama intstansi pemerintah, non pemerintah, lembaga sekolah dan lembaga seni budaya;
-       menyediakan informasi berupa buku seni, artikel, koran, majalah, catalog visual, brosur dan fhoto; 
- Mengadakan pameran, pentas serta pagelaran di lingkungan sendiri, lintas kabupaten, provinsi dan mancanegara.
Uwake’ yang punya sekretariat di Jalan Sultan Hasanuddin No. 68 Tinggas-Tinggas, Tinambung, saat ini manjadi salah satu diantara banyaknya komunitas seni yang kerap tampil mewarnai berbagai pertunjukan dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Termasuk menjadi inisiator Bendi Pustaka ‘’paissangang’’. Bendi Pustaka adalah salah satu upaya menggiatkan literasi yang masih sangat memprihatinkan. Di Polewali Mandar ini, meski sudah mempunyai perpustakaan daerah dan telah mengelola mobil perpustakaan keliling, serta beberapa desa yang mempunyai perpustakaan. Namun kenyataannya tidak membuahkan hasil yang sesuai cita-cita dan target.
Terlebih sarana internet yang menjadi trend saat ini sangat menjamur dan memudahkan masyarakat mengakses guna mencari informasi dan ilmu pengetahuan, maka  buku-buku bacaan semakin ditinggalkan yang membuat perpustakaan sekolah, desa dan daerah sepi. Kondisi itulah yang membuatnya resah dan mencoba berupaya menularkan virus literasi kepada generasi. Maka muncullah gagasan pengembangan literasi dengan moda Bendi Pustaka. Bendi sebagai salah satu transportasi tadisional yang sudah mulai banyak ditinggalkan dijadikannya sebagai perpustakaan keliling yang dapat mendatangi kota dan desa-desa sekitarnya. 
Tanggal 1 Juni 2015 adalah hari peluncuran bendi bustaka yang bersamaan dengan perahu pustaka di kampung Baba Toa, Lapeo, Kec. Campalagian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kandang Bendi Pustaka memang ada di Tinambung tapi lounchingnya di Campalagian karena Perahu Pustaka di buat disana.

Bendi Pustaka adalah wadah untuk mendorong terciptanya dan terselenggaranya media penghubung literasi yang akif sebagai suatu perpustakaan dinamis disamping perpustakaan tetap; mewujudkan masyarakat yang berbudi pekerti dan berpengetahuan melalui sugesti gemar membaca untuk meraup dan mengamalkan ilmu pengetahuan. Sasaran bendi pustaka adalah tiap desa-desa yang terjangkau serta lembaga sekolah yang ada di Kecamatan Tinambung, Limboro dan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar. Pembacanya mayoritas adalah anak-anak yakni TK – SD.

Testimoni : Apresiasi Untuk Gerakan Literasi RUMPITA


                                         Siswi SMA Negeri 1 Tapalang Kabupaten Mamuju.

Sabtu, 04 Februari 2017

Profil Singkat Drs. H. Tadjuddin Noor, MM., Sang Penerang Yang Menerangi Majene sampai Tappalang (2 Selesai)


Ketika terjadi pergantian Gubernur Sulsel, dari Andi Oddang ke Achmad Amiruddin, terjadi regenerasi pejabat. Saat itu pangkatnya sudah 3 C. Baperjaka Sulsel mengevaluasi, kalau Tadjuddin masuk pengusulan Sekda. Disebutkan Sekda Majene, Sekda Pinrang, Sekda Sidrap, dan Sekda Pangkep.

Keputusan akhir jatuh ke Sekda Majene. Setelah tiga tahun di Majene, dari 1989 hingga 1991, lalu ke Kabupaten Wajo dengan jabatan yang sama. Tahun 1995 kembali ke Majene dengan jabatan baru, Bupati Majene (1995-2001).
Meski kini sebagai bupati, sudah tak asing baginya. Ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan, agar daerah ini menampakkan perubahan. Dilirik jalanan untuk dibenahi, sebab jalanan saat itu belum baik. Bisa dibilang, jalan antara Pinrang-Polewali-Majene-Mamuju masih memprihatinkan. Ia harus berjuang agar jalan di Majene aspal hotmix. Penerangan listrik baru sampai di Rangas, ujung kota Majene. Sementara anggaran terbatas.
Baru dua bulan di tahun pertama jadi bupati, Menteri penerangan Harmoko berkunjung ke Mamuju. Dari Mamuju, giliran Bupati Tadjuddin menjemput Harmoko di Malunda’. Ketika rombongan Menteri dan Bupati Majene beriringan, di pojok jalan di desa Tubo terbentang sebuah spanduk yang bertuliskan “Kami Butuh Listrik”.
Jam 8 malam rombongan singgah sejenak di rumah camat. Selanjutkan perjalanan menuju rumah jabatan Bupati Majene. Kurang beberapa menit menunjukkan jam 11 malam, rombongan tiba. Di Rujab Bupati, Menteri Harmoko bertanya kepada Bupati Tadjuddin, Desa mana tadi yang ada spanduk?”. Bupati jelaskan, sembari terkaget sebab dia pikir mungkin Menteri tak sempat melihat karena dalam kegelapan malam. “Kasihan Ya”, sudah 50 tahun merdeka masih banyak warga Indonesia belum menikmati listrik”. Kata Menteri Harmoko. “Tapi kita akan pikirkan bersama.”
Bulan berikutnya, seluruh bupati di Indonesia berkumpul di Jakarta. Pertemuan itu di adakan di gedung pertemuan PT. Pertamina. Menpen Harmoko juga hadir memberi pengarahan. Di penghujung akhir ucapannya, Menteri Harmoko menyilahkan Bupati Majene dan Bupati Luwu berdiri lalu memberitahu bahwa pemasangan listrik di kabupatennya sudah dikoordinasikan di tingkat pusat.
Rupanya menteri tetap ingat bunyi spanduk di Desa Tubo, Kecamatan Sendana, satu bulan silam. Katanya, silahkan dikoordinasikan di tingkat wilayah. “catat ya.” Pesan Menteri Harmoko.
Tiba di Makassar, Bupati Tadjuddin tak langsung ke Majene. Ia menemui Kepala PLN Wilayah Sulsel, Sumantri. Diberitahukan bahwa dari Jakarta di tugasi mengecek pemasangan sambungan listrik dari Majene ke Mamuju, ia tak bilang Tubo’. Sementara bercakap-cakap dengan Kepala PLN, mesin fax Sumantri mengeluarkan selembar surat. Surat itu dari Jakarta, isinya menugaskan mengeluarkan listrik di Majene dan di Luwu.  Persis apa yang di bacakan keduanya.
Sumantri bilang, kita butuh surat yang ditandatangani Gubernur Sulawesi Selatan untuk dukungan dana. Menit itu pula mereka menemui gubernur. Tak panjang lebar, gubernur menyilahkan Bupati Majene bikin surat nanti di tandatangani. Surat dukungan dana pun selesai di tandatangani Gubernur Sulsel. Sore itu juga kepala PLN, Sumantri ke Jakarta.
Keesokan harinya Sumantri sudah kembali. Dana pemasangan listrik pun siap, dengan syarat tak ada ganti rugi penebangan pohon. Tiba di Majene, Bupati menggalang masyarakatnya, dan tak ada yang menuntut ganti rugi. Yang paling diprioritaskan adalah pemasangan untuk sekolah dan masjid, di sepanjang jalan yang dilalui. Luar biasa, sepanjang 70 km pemasangan baru, hingga ke kecamatan Tappalang Kabupaten Mamuju.
Tak ketinggalan peningkatan SDM aparat, di semua lini. Dibuka kesempatan untuk melanjutkan sekolah, baik penjenjangan maupun strata satu (S1), dan starata dua (S2). Sebab bagaimana SDA bisa dikelola kalau sumber daya manusia tak terampil.
Memang sengaja hilangkan kesan bahwa orang pergi sekolah karena mau dipromosikan, mau diangkat jadi pejabat ini dan itu, atau pergi sekolah karena dibuang. Itu pemikiran tempo dulu. Semua yang berkemampuan diberi kesempatan yang sama. Juga pembangunan sekolah, semua kecamatan sudah ada SMA (SMU) Negeri. Pendidikan memang sangat diutamakan, maka waktu itu dibuka kelas khusus bagi siswa SMA yang berprestasi. Membuka isolasi kawasan-kawasan di pegunungan, di Malunda’, di Limboro. Digalakkan peternakan kambing. Dibangun banyak puskesmas.
Begitulah siklus pemimpin pemerintahan. Mustar Lazim usai memimpin, lalu datang Tadjuddin Noor, dan setelah masanya berakhir, dilanjutkan Muhammad Darwis. Pengembangan pelabuhan Palippis, Majene, yang belum selesai, dan akhir periode lima tahun telah lebih dulu tiba. Ketika ia menjabat kepala Dinas Perhubungan Sulsel tentu bersama bupati yang menggantikannya-melanjutkannya hingga bisa di manfaatkan seperti peruntukannya.
Ia ikut Andil memepercepat perbaikan pelabuhan Mamuju. Membuka kembali penerbangan Makassar-Mamuju. Dan ketika peresmian Sulawesi Barat, bersama satu rombongan dari Makassar terbang dengan pesawat udara yang mendarat di bandara Tampa Padang. Hampir dua tahun di Perhubungan, kemudian pindah sebagai Kepala BKD Provinsi Sulawesi Selatan.
Tugas selanjutnya setelah Bupati Majene adalah Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, tempatnya yang dijabat sejak beberapa tahun silam. Selama di pariwisata, ia banyak melanglang ke kawasan Eropa, Asia, dan Afrika. Sibuk dengan kerja memperkenalkan potensi pariwisata Sulawesi Selatan di pelbagai masyarakat dunia. Ia tahu kalau potensi budaya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat besar. Ini yang mesti dijual. Inilah cara menjadikan kunjungan pariwisata ke daerah kita dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.
Pasar potensial untuk pariwisata kita adalah Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Swiss). Jepang, dan Asia pada umumnya. Di kota Paris, Perancis, Tadjuddin sudah tak asing, sebab ketika masih menjabat Bupati Majene, sempat diundang menghadiri konferensi ternak sedunia.
Pada Oktober 2004 lalu, diundang ke Ravena, Italia, menyaksikan pertunjukan film I Laga Ligo, yang dinobatkan menjadi warisan sastra dunia sekaligus satu-satunya karya sastra terpanjang di dunia. Di Italia, singgah di Vatikan, menyaksikan tempat tempat pertunjukan gladiator.
Pada Juli 2004, ia juga turut di undang hadir di New York, Amerika Serikat untuk menyaksikan pertunjukan spektakuler, I Laga Ligo. Perjalanan sudah bisa dibilang teramat panjang. Tapi bersama tiga anaknya, buah perkawinannya, dengan Nurliah pada 1977 silam, memberi kebahagiaan tersendiri dalam hidup Tadjuddin Noor.
Istrinya, seorang darah bangsawan Mandar, membuatnya tak bisa melupakan kedekatan emosional dengan masyarakat Mandar. Terlebih lagi ia pernah mengbbdi di Majene kurang lebih delapan tahun lamanya. Ia sangat bangga ketika kawasan Mandar (besar) telah menjadi satu provinsi tersendiri. Dan Majene yang paling awal mengeluarkan surat dukungan secara resmi berupa “Rekomendasi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat yang di tandatangani oleh Tadjuddin Noor[1].



[1] Sarman Sahuding, 2006