Senin, 16 Januari 2017

Andai Bukan HAPATI HASAN Mamuju Tak Akan Pernah Maju !




       
          H. Hapati Hasan, BA[1] adalah merupakan sosok peletak dasar pembangunan di Kabupaten Mamuju. Ayahnya berasal dari Tapangkang (Tapalang Barat). Hapati sebenarnya adalah nama ibunya yang dilekatkan pada namanya. Ibunya adalah warga Baturoro Desa Tubo. Sejak kecil hingga dewasa Hapati Hasan menetap di Baturoro. Pada saat umurnya beranjak remaja, Ia sangat piawai memainkan kecapi (kacaping).

            Dalam beberapa hasil penelusuran dan keterangan didapatkan bahwa sosok Hapati Hasan muda adalah seorang remaja yang nakal dan pemberani. Ia kerap mengencingi teman-temannya yang lagi asik kumpul-kumpul disebuah tempat. Biasanya ia mengambil tempat yang agak diatas dan kencing kebawah, sehingga teman-temannya tersiram air kencingnya.

            Dimasa mudanya, ia mulai berpetualang ke daerah Kalimantan dengan mengendarai perahu layar. Dalam pelayarannya itu ia bertindak sebagai juru batu perahu yang berdiri didepan perahu untuk meneropong kedepan dan mengarahkan perahu kemana akan diarahkan. Sejak muda, ia sudah berpengalaman mengarungi lautan Majene, Mamuju, Kalimantan bahkan sebagian pulau Jawa sudah ia jelajahi. Hal tersebut juga ditunjang oleh ayahnya yang terkkenal memiliki banyak pohon kelapa. Inilah yang mendorongnya untuk kemudian menjadi pelaut dan pedagang kopra. Dalam berdagang pun ia sangat cermat soal hitung-menghitung sehingga ia dijadikan juru tulis.

            Hapati Hasan muda juga salah satu yang menjadi anggita kelasykaran atau Kris Muda, wadah pejuang Mandar yang dipimpin oleh Andi Depu. Selain itu, ia jjuga aktif di perkumpulan Nahdhatul Ulama (NU), terlebih ibunya juga tercatat sebagai salah satu pengurus fatayat NU. Hapati Hasan juga aktif dikegiatan olahraga, ia jago main takrow dan berkuda. Jarak antara Tubo dan Tapalang baginya sangat dekat sebab ia bisa memacu kudanya dengan kencang tanpa pernah istirahat.

            Pengembaraan Hapati Hasan sebagai pemuda berandal di Mandar ternyata bisa juga mengecap pendidikan. Setamat SR, ia melanjutkan SMP di Majene. Ia merantau ke sebuah daerah yang tak jauh. Tahun 1950 di Makassar ia mendaftar jadi tentara dan lulus. Setelah itu ia ikut pendidikan kemiliteran di Pakkatto’. Usai pendidikan, ia ditempatkan sebagai anggota batalion.
            Pada saat bertugas di Batalion itulah ia ketemu dengan seorang dara pendamping hidupnya: seorang dara Jeneponto yang juga sedang menunaikan tugas sebagai guru SD Negeri di Bantaeng. Mereka akhirnya sepakat untuk menikah.

            Dari Bantaeng ia dipindahkan ke Bone dengan pangkat Kapten. Ia dipercaya sebagai Pemegang Kas Militer (PKM). Usai tugas di Bone ia dipindahkan ke Makassar, ditarik ke Kodam 14 Makassar. Saat itu, situasi dan kondisi Makassar sedang genting, bukan hanya Makassar tapi Negara pun dalam keadaan genting sebab PKI akan melancarkan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.  Kondisi tersebut membuat Hapati Hasan bekerja keras dan mulai membina pemuda di Makassar, termasuk di Bontorannu Kec. Mariso tempat ia tinggal dibentuk semacam pamswakarsa yang dijadikan kekuatan untuk melawan PKI di Makassar.
           
          Rakyat dan tentara menyatu melawan PKI dan Hapati Hasan dipercaya membinan teriotorial yang ada di Mariso. Hal ini sejalan dg tugasnya membina pemuda bersama dengan tokoh agama yang bernama Musri Hamdan. Jika kudeta PKI berhasil maka yang pertama akan dibunuh adalah Musri Hamdan dan kedua adalah Hapati Hasan.
             
Menjadi Bupati Mamuju
           
            Pada penghujung tahun 1960-an, Mamuju masih sangat rawan. Ketika itu, baru saja usai pertikaian. Bupati Mamuju yang barus saja ditetapkan melalui SK Mendagri, Wahab Azasi dibunuh di daerah pergolakan. Untuk mengisi kekosongan pemerintahan haruslah menunjuk orang yang lebih tepat. Saat itu, masyarakat dan pemuda menginginkan Hapati Hasan untuk menduduki jabatan bupati. Hipermaju, adalah wadah berhimpunnya mahsiswa Mamuju di Makassar dipimpin oleh Gaus Bastari. Gaus Bastari memimpin sebuah delegasi untuk menghadap Gubernur Sulsel untuk menyampaikan pernyataan sikap mendukung Hapati Hasan sebagai Buapti Mamuju.

              Tahun 1969 H. Hapati Hasan BA resmi dilantik sebagai Bupati Mamuju. Hapati Hasan memerintah dengan kondisi Mamuju yang masih sangat tertinggal, penduduknya masih bisa dihitung jari termasuk rumah-rumah belum seberapa. Mamuju sebagi ibukota belumlah layak disebut kota, ia tampak sebagai gugusan perkampungan kumuh. Sarana transportasi lebih-lebih. Bahkan ketika Hapati Hasan dilantik saat itu, rombongan hanya bisa sampai di Majene, sebab kendaraan tak bisa tembus ke Mamuju. Rombongan kemudian mengalihkan perjalanan melalui laut.

              Program pertama Hapati Hasan sebagai bupati adalah mengajak warga yang tinggal dipegunungan untuk mengungsi ke daerah pegunungan yang lebih aman. Namun warga Mamuju salah paham, mereka masih trauma dengan pergolakan-pergolakan yang terjadi sebelumnya. Mereka juga khawatir kedatangan tentara tujuh sepuluh di Mamuju. Dan kedatangan Hapati Hasan di  anggap bukan sebagai sosok yang diinginkan sebab mereka masih trauma dengan tentara, apalagi Hapati Hasan juga datang dengan latar belakang sebagai tentara.

         Kondisi itu tidak membuat Hapati Hasan berkecil hati. Ia terus berupaya untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga membuat warga menjadi tertarik untuk kembali ke komunitas mereka yang tersebar di Mamuju. Inilah keberhasilan Hapati Hasan yang pertama setelah menjadi Bupati Mamuju.

          Program kedua yang dilakukan oleh Hapati Hasan adalah pengembangan fisik bersinergi dengan pembangunan sumberdaya. Awal 1970-an, pembangunan sudah mulai Nampak. Kantor DPRD Mamuju mulai terbangun, bangunan tanggul yang ada di kota Mamuju, bahkan perintisan Bandara Tampa Padang sebagai tempat berpacunya pesawat terbang merupakan bangunan yang dirintis oleh Hapati Hasan pada tahun 1970-an.

            Model kepemimpinan Hapati Hasan juga menggunakan sistim kekeluargaan, sehingga rumah jabatan bupati dijadikan sebagai rumah rakyat. Tak ada jarak anatara bupati dengan warganya. Pemandangan di rujab ini membuat orang yang datang tak bisa membedakan mana anak bupati dan anak kebanyakan. Mereka kadang makan bersama dalam jumlah yang banyak. Bahkan tak jarang masyarakat yang kebetulan lewat diajak untuk singgah dan makan bersama. Kadang rumah jabatan bak dapur umum. Itulah yang dilakukan oleh Hapati Hasan dengan warga yang dipimpinnya. Ia berbaur begitu rupa, tak ada jarak, tak ada sekat yang membatasi.

             Hamzah Hapati Hasan yang saat ini menjadi unsur pimpinan di DPRD Sulawesi Barat adalah anak ketujuh yang ikut berbaur dengan anak kebanyakan. Ia sangat dekat dengan ayahnya dan termasuk paling banyak menemani ayahnya tidur. Hamzah adalah sosok yang paling banyak merekam jejak ayahnya semasa memerintah sebagai bupati. Bisa dibayangkan ketika harus mengunjungi wilayah Pasangkayu dan Kalumpang saat itu. Tentu hal itu adalah salah satu kunjungan kerja yang paling mengerikan sebab wilayah tersebut adalah wilayah baru terbuka dan sangat kental dengan kejadian misterius yang kerap ia temukan dijalan.

             Pada tahun 1976, Hapati Hasan bersama Hamzah ke Jakarta mengurus dana proyek untuk infrastruktur pembangunan Kabupaten Mamuju. Di Jakrta ia menginap di Hotel Indonesia, hotel paling mewah dan ternama di Jakarta saat itu. Urusan tersebut berjalan mulus dan sukses mengantongi anggaran sebesar 600 juta diantar langsung ke Mamuju. Dan infrastruktur yang dibangun dari anggaran tersebut adalah kota Mamuju yang ada sekarang (2006-ed.).

             Hapati Hasan tidak saja mendorong pembangunan fisik. Pengembangan SDM juga ia benahi dengan mencetak kader pemuda potensial. Salah satu kadernya adalah Almalik Pababari yang waktu itu tengah bersekolah di APDN. Gaus Bastari juga merupakan kader muda yang ia persiapkan dan termasuk sangat dekat dengan Hapati Hasan. Atas ajakan Hapati Hasanlah, Gaus Bastari memilih Golkar sebagai kendaraan politiknya. Tentu saja masih banyak kader terbaiknya yang kini memegang jabatan penting di pemerintahan.

          Kalau Hapati Hasan ke Makassar, ia kerap mengunjungi HIPERMAJU (Himpunan Pelajar Mamuju) dan berdiskusi dengan kaum pelajar dan mahasiswa asal Mamuju. Ia juga kerap menyambangi PERSUKMA (organisasi masyarakat Mamuju di Makassar). Ia banyak menginspirasi generasi muda Mamuju untuk bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan.
            
          Ada hal yang paling berkesan dalam jejak kehidupan seorang Hapati Hasan. Pada Pemilu tahun 1971 (Pemilu pertama Orde Baru), GOLKAR memperoleh suara 99,9 persen dari jumlah pemilih yang ada. Ini menjadikan Hapati Hasan menjadi kader terbaik yang menjadikan Kabupaten Mamuju sebagai peraih suara terbanyak bersama Kabupaten Wajo. Hasil tersebut melahirkan sejumlah protes salah satu partai yang menganggap Hapati Hasan tak membuka ruang gerak kepada partai-partai selain Golkar untuk berkembang di Mamuju.

             Protes tersebut menjadi laporan yang sampai ke Makassar, di meja petinggi militer di Sulawesi Selatan. Hapati Hasan pun dipanggil oleh Litsus Kodam untuk klarifikasi. Dihadapan Litsus, Hapati Hasan menjelaskan bahwa ia tak pernah memasung demokrasi di Mamuju. Perolehan Golkar di Mamuju adalah murni hasil kerja nyata dari partai Golkar, sebab partai lain, jangankan aktifitasnya kantor sekretariatnya saja tak ada. Litsus Kodam pun mafhum dan menganggap bahwa perolehan suara Golkar di Mamuju adalah murni, bukan rekayasa.     

           Komitmen Hapati Hasan datang ke mamuju adalah untuk membangun. Itu terbukti dengan pembangunan pasar sentral pertama di Mamuju. Kolaborasi antara rakyat pemerintah terjadi. Rakyat yang mengangkut pasir dan batu, sementara pemerintah yang menyiapkan bahan-bahan bangunan lainnya termasuk pembiayaan pasar tersebut. Hapati Hasan tampil sebagai pendorong gerak maju pembangunan di tengah-tengah warganya. Pengabdiannya adalah membangun. Saat pertama dilantik, ia membawa satu tim inti dari Makassar yang disebutnya sebagai gerbong pembangunan, menemaninya merancang konsep-konsep pembangunan Kabupaten Mamuju.

              Ayah Wilianto (pengusaha sukses yang saat ini menjadi pemilik PT. Passokkorang dan d’Maleo Hotel), juga seorang penguasaha sukses di Mamuju, ia seorang keturunan China adalah sosok yang kerap membantu Hapati Hasan saat menemui kendala keuangan dalam pemerintahannya. Ia kerap membantu bupati dalam membayarkan gaji guru-guru dan staf di kantor kabupaten. Dialah partner bupati dalam membangun.       
            
              Akses perdagangan untuk meningkatkan laju perekonomian ia buka ke Kalimantan dan Makassar, bahkan ke pulau Jawa. Mamuju adalah daerah penghasil kelapa (kopra) yang menjadi andalan perdagangan regional, meski sesungguhnya Mamuju memiliki banyak sumber daya alam, tapi belum terkelola dengan baik. Hasil hutan berupa rotan dan kayu hutan mulai dibukakan akses dan ini sangat diminati oleh pengusaha-pengusaha dari tanah Jawa.
            
            Hubungan dengan petinggi-petinggi di daerah sekitar wilayah Mandar juga sangat dekat. Jika dalam perjalanan dari Mamuju ke Makassar, maka ia akan singgah dan bermalam di Majene sehingga dikenal dengan sebuatan daerah transit.
           Perkembangan Kota Mamuju pada periode pertamanya memang belum terlalu signifikan peningkatannya, tapi tata kota sudah mulai terlihat. Pada periode keduanya, Mamuju sudah mulai berubah. Kantor Buapti yang dahulu berdinding papan diganti menjadi lebih permanen (sekarang jadi kantor Panwaslu Kabupaten Mamuju). Jalan Mamuju-Majene sudah terbuka. Rumah makan yang tadinya sangat susah ditemukan sudah mulai menjamur. Tak hanya kota yang dibangun, Tarailu yang jaraknya ratusan kilo bahkan jadi prioritas pembangunan. Ia memperkenalkan transmigrasi local (translokal). Warga Bugis pun berbondong-bondong datang ke Tarailu dan menjadi komunitas yang padat.
          Adat dan kearifan-kearifan local juga dibangkitkan lewat cara memposisikan Andi Maksum Dai, salah seorang pemangku adat Mamuju menjadi Ketua DPRD Mamuju. Begitupun Gaus Bastari juga pernah jadi Ketua DPRD Mamuju ketika ia menjadi Bupati. Gaus Bastari bahkan dinobatkan sebagai Ketua DPRD kabupaten termuda di Indonesia. Itu artinya bahwa Hapati Hasan member ruang gerak kepada pemuda-pemuda potensi berkembang, bersama-sama membangun kabupaten Mamuju.       

                Periode kedua sebagai Bupati Mamuju hanya ia jalani selama 3 tahun sebab di tahun keempat (1978) ia mengalami sakit serius. Kondisi fisiknya menurun.Ia lalu berkesimpulan untuk mengundurkan diri menjadi bupati sebab membangun sebuah daerah tak hanya butuh semangat, tapi juga dibutuhkan fisik yang prima. Lagi-lagi Hapati Hasan membuat sebuah keputusan bijak yang mungkin hanyan segelintir orang yang mampu untuk melakukannya.
             
              Hapati Hasan betul-betul menjadi bupati yang tak kenal lelah, ia terus berjuang untuk mengubah Mamuju menjadi sebuah daerah yang maju. Kondisi fisiknya sesungguhnya sudah mulai pulih pada tahun 1982, sehingga terdengar rumor bahwa ia digadang-gadang akan di angkat menjadi Bupati Majene, tapi kemudian ia tolak dan memilih untuk istirahat saja. Ketika suatu saat penyakitnya kambuh kembali, rupanya maut sudah menjemput dan membawanya menghadap Tuhan-Nya untuk selama-lamanya.[2]       



[1] Bupati ke-4 Kabupaten Mamuju
[2] Sarman Sahuding, 2006

Sabtu, 14 Januari 2017

CATATAN WAKTU LUANG : KATA, KOTA & KAMPUNG


Catatan : Muhammad Rahmat Muchtar

Kota dan kampung atau desa masing-masing memiliki pengaruh kuat bagi para pencipta karya sebagai sumber inspirasi yang kaya, unik serta istimewa dalam melahirkan karyanya lewat sastra, seni rupa, teater, tari, musik dll.
Bagi yang pernah mengalami pengembaraan berkarya didua wilayah (suasana kota & desa), magma pengalaman kreatifitas yang terkandung dan sudah bercampur tentu mempunyai ragam pijak melahirkan karya yang tergantung pada dimensi pengalaman apa karya itu terlahir. Pengalaman spiritual, memori serta gesekan sosial yang dalam disuatu tempat akan sangat berpengaruh untuk melahirkan suatu kata misal : pematang, savana dari latar desa, atau urban, gedung dari latar kota. Betulkah?
Dalam arena sastra, saya teringat Mas Imam Budi Santoso saat diskusi sastra lingkaran kecil di Omah Panggung Nitiprayan , Jogja 2005 lalu. beliau mengkurasi puisi-puisi saya dengan tajam bahwa, mestinya Rahmat lebih kuat menggali ikon-ikon laut dan Sulawesi terutama Mandar sebagai kekuatan kearifan lokal dan latar belakang yang membayangi proses pra Jogja. Itu berarti bahwa saya belum menemukan kondisi puisi yang matang terhadap penyerapan ruang sewajarnya dari pandangan latar tolakan berkarya dimaksud mas Imam..?
Pendalaman proses selanjutnya, saya merasa tidak bisa terpaksa untuk terlibat total merayakan cuaca kampung halaman, desa, etnisitas kedalam nafas karya, meskipun selama ini tidak sepenuhnya meninggalkan aikonik tersebut. Baik dalam lukisan maupun puisi. Bisa jadi karena nurani dan ladang kejujuran terhadap suatu kesan dan problem didalam diri berkarya sulit dibohongi & terasa ada yang malu dikedalaman jiwa kita bila hanya sekedar seolah-olah. tempaan waktu akan memboboti & menggiringnya.
Dulu saya masih keras batu akan upaya pengerucutan warna identitas pada sebuah karya (terlebih pada pemilihan symbol, majas & kata pada kondisi wilayah). Meski beberapa kenyataan telah naik daun diarena nasional seperti penyair D. Zawawi Imron sebagai salah satu penyair yang menetap didesa batang-batang, Madura. Majas dan ikonnya sangat kental bernuansa desa dan suasana dikampungnya. Seperti kata dan kalimat dalam puisinya : Nyiur, Madura Akulah Darahmu, Bantalku Ombak Selimutku Angin, Nyanyian Kampung Halaman dlsb.
Demikian karya “Abad yang Berlari” dengan suasana urban kota oleh “Afrizal Malna” yang meski berdarah Minang tapi lahir diJakarta.
Kata teman-teman lainnya, gimana nuansanya kita membuat puisi dengan memilih kata “SALJU” padahal kita sendiri tak pernah menikmatinya. Yaaah… itulah karya puisi dengan rasa, pandangan & pembelaannya masing-masing.
By. Mat, Januari 2017

ABDULLAH RASYID : Anak Kampung Yang Tak Kampungan (Bagian 2 Selesai)

         


         Abdullah Rasyid menjadi PNS sesungguhnya hanya menyiapkan berkas berupa bahan dasar saja tapi tidak pernah ikut tes. Ia lulus atas pertimbangan supaya ia tak lagi merongrong kewibawaan Orde Baru. Rafiuddin Hamarung, pejabat penting di provinsi saat itu punya peran penting dalam menaklukkan Abdullah Rasyid dengan cara di PNS-kan. Ia ditugaskan di lingkup Pemda Provinsi Sulsel satu atap dengan Rafiuddin Hamarung.
            Tahun 1982, umurnya belum genap 30 tahun, tapi pemerintah Kabupaten Pinrang begitu mempercayakan sebuah tanggung jawab yang sangat strategis dalam pemerintahan kabupaten. Semua yang namanya pengelolaan proyek harus melalui Abdullah Rasyid, termasuk ia jjuga yang menangani proyek-proyek inpres pembangunan jalan, bahkan dalam banyak urusan yang berkaitan dengan proyek-proyek besar dia yang ditugaskan bupati untuk loby ke Jakarta. Padahal dalam perjenjangan kepangkatan Abdullah saat itu baru 2B, belum sarjana lengkap.
            Lompatan karier Abdullah Rasyid tak bisa dipisahkan dengan pengembaraan gerakannya dan ketajaman intelektualnya sewaktu masih kuliah dulu. Tahun 1985-1990 ia menjabat sebagai Ketua AMPI Kab. Pinrang sekaligus terpilih sebagai Ketua KNPI Kab. Pinrang dan dijabatnya selama dua periode.
            Pada tahun 1990 ia di diangkat sebagai Kepala Dinas Peternakan Kab. Pinrang dalam usia belum mencapai 30 tahun. Setahun kemudian ia dipercayakan oleh Pemprov. Sulsel untuk ditugaskan sebagai Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Mamuju, dilantik pada tanggal 27 September 1991.    
Tiga hari setelah dilantik, keluar radiogram dari Mendagri di Jakarta meminta Abdullah Rasyid kembali ke Makassar untuk memperkuat kemenangan Golkar pada Pemilu 1992. Ia hanya cuti jadi Kepala Dinas untuk menjalankan tugasnya sebagai coordinator Bapilu Golkar Kab. Pinrang. Usai Pemulu, ia kemudian kembali ke Mamuju untuk bertugas sebagai Kepala Dinas Peternakan. Ia menjalankan tugas sebagai Kepala Dinas dengan kondisi betul-betul dari nol. Disebuah ruang kecil, hanya ada dua meja dan kursi, dibantu oleh 4 orang staf dan belum ada kantor tersendiri.
            Abdullah Rasyid menjabat Kepala Dinas Kab. Mamuju lebih sepuluh tahun. Ia membangun jaringan ke Jakarta dan hasilnya bisa dilihat pada bangunan Kantor Peternakan Kab. Mamuju yang merupakan kantor dinas  terbesar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Ia banyak mendatangkan proyek-proyek luar negeri: bantuan Bank Dunia dan proyek-proyek dari Badan PBB, termasuk bantuan APBN sering didatangkan dari Jakarta ke Mamuju dengan menggabungkan beberapa kantor unit kerja, perkebunan, pertanian, peternakan menjadi Dinas Pertanian dan lagi-lagi ia dipercaya menjadi Kepala Dinas Pertanian. Ia menjabat di Peternakan dan Pertanian selama 12 tahun 4 bulan.
            Berkat upaya-upaya itu, ia kemudian berkesempatan mengenal tanah Eropa, Spanyol, Balanda dan sempat beribadah di tanah suci, Menunaikan ibadah umrah. Ia juga banyak mendorong para investor masuk ke Kabupaten Mamuju.
            Pada tahun ketiga ia menjabat Kepala Dinas pertanian, 1999, wacana pembentukan Kabupaten Utara mulai menggelinding kencang. Hal tersebut terus berkembang, hingga masyarakat kian memasifkan aspirasi politiknya menuntut perpisahan secara politik dan pemerintahan dengan Induknya Kabupaten Mamuju.
Pada tahun 2000, Agus Ambo jiwa, Jamil Barambangi, Marigun Rasyid, Musawir Azis Isham serta komponen pemuda lainnya dan tokoh-tokoh masyarakat ternama di Mamuju sudah mulai membentuk sebuah wadah politik penuntutan pembentukan Kabupaten Mamujju Utara. Agus Ambo Jiwa dipercaya sebagai Ketua Komite Pembentukan Kab. Mamuju Utara disokong juga dengan keberadaan tim percepatan dan lobi yang dikoordinir oleh Musawir Azis yang terus menerus menyuarakan dan mendorong lahirnya undang-undang pembentukan Kabupaten Mamuju Utara.
Pada tahun 2003, perjuangan tersebut akhirnya menemukan hasil ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mamuju Utara  dan Kabupaten Luwu Timur. Keberhasilan tersebut berkat peran dan upaya Abdullah Rasyid dalam mewujudkan wilayah seluas 3450 kmmenjadi sebuah kabupaten.
Para gerbong muda perjuangan tersebut berharap untuk membalas jasa Abdullah Rasyid menjadi pejabat sementara sebagai Bupati dalam mengantar dan mempersiapkan seluruh instrument pokok sebuah kabupaten. Namun apa yang terjadi, ketika isu menggelinding siapa bakal menjadi pejabat Bupati di daerah ini. Al Malik Pababari, selaku Bupati Mamuju pada saat itu bahkan tak pernah menyebut nama Abdullah Rasyid dalam rekomendasi suratnya kepada Meneteri Dalam Negeri. Orang yang paling berjasa justeru tidak direkomendasi oleh Bupati induk menjadi sebuah keresahan tersendiri sekaligus mengundang polemic dari berbagai kalangan.
 Abdullah Rasyid tak merasa resah, sebab pada saat itu justru HZB Palguna, Gubernur Sulawesi Selatan ketika itu sudah mempersiapak jabatan sebagai Kepala Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan. Gerbong Muda yang dimotori oleh Agus Ambo Djiwa menemui senior dan Aras Tammauni, tokoh Mamuju yang juga punya hubungan dengan Buapti Mamuju Al Malik Pababari. Dari gerbong muda dan Aras ini mengubah rekomendasi Al Malik Pababari dengan merekomendasikan nama Ir. Abdullah Rasyid, MM. sebagai pejabat Bupati Mamuju Utara. Alhasil Mendagri pada saat itu, Hari Sabarno menerbitkan SK kepada Abdullah Rasyid sebagai Pajabat Bupati Mamuju Utara sampai dua tahun sebelum tiba masa pilkada.
Abdullah Rasyid menjalankan amanah Undang-Undang dengan sangat baik sampai menjelang Pilkada yang kali ini menggunakan system pemilihan langsung. Dalam pilkada langsung ini, Abdullah Rasyid harus mundur dari jabatan pejabat bupati sebab akan maju bertarung dalam Pilkada Mamuju Utara pada tahun 2005. Dengan menggandeng Agus Ambo Jiwa ia resmi diusung oleh PDI-Perjuangan, partai yang dipimpin oleh Agus Ambo Jiwa untuk bertarung pada Pilkada Matra pada 27 Agustus 2005. Dan hasilnya adalah pada tanggal 5 Oktober 2005 pasangan Abdullah Rasyid dan Agus Ambo Jiwa ini resmi menjadi Bupati Mamuju Utara periode 2005-2010.
Sebagai Buapti, ia berusaha mempersatukan kekuatan dan membangun komunikasi dengan lawan-lawan politinya. Lobi-lobi anggaran ke pusat semakin gencar ia lakukan untuk membangun infrastruktur Mamuju Utara. Hasilnya sangat mencengangkan. Mamuju Utara yang sebelumnya memperoleh DAU 55 miliar kini menjadi 146,3miliar. Begitu juga DAK dari 11 miliar sebelumnya menjadi 25 miliar rupiah. 
            Salah satu komitmen dasar Abdullah Rasyid pada 5 tahun periodenya sebagai bupati adalah menjadikan Mamuju Utara setara dengan kabupaten lain di Sulawesi Barat. Untuk itu, 40 M segera digelontorkan untuk pembangunan Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Rumah Jabatan. Proyek ini dilaksanakan dengansistim full financial, uang diserahkan pada saat bangunan jadi. Dalam kota Pasangkayu, ibukota Mamuju Utara jalanannya diaspal hotmix  termasuk sarana vital public lainnya masuk dalam garis kebijakan seperti penerangan jalan, PLN dan air bersih yang sebelumnya sudah dianggarkan.
       Pemerintahan Abdullah Rasyid dan Agus Ambo Jiwa mengusung visi menciptakan Kabupaten mamuju Utara sebagai Kota Agropolitan. Untuk mencapainya itu misi yang diemban adalah membangun sector pertanian dengan konsep yang mantap, irigasi harus tersedia untuk menambah luasan persawahan dua kali lipat. Dalam program ekstensif memang sangat tergantung pada musim hujan, sehingga bangunan irigasi mutlak menjadi prioritas utama. Dan itu dibuktikan dengan dibangunnya waduk dengan desain saluran-saluran air bisa mengairi persawahan hingga 1700 ha.
            Mamuju Utara juga dijadikan sebagai daerah penghasil jeruk manis terkemuka di bagian barat pulau Sulawesi dengan luas lahan 10.000ha dan sudah berproduksi sekitar 2500 ha dan masing-masing bisa berproduksi 40 ton perhektar. Selain jeruk, tanaman unggulan lain yang dikembangkan adalah sawit dan kakao.
            Sektor kesehatan juga begitu diperhatikan dengan mebangun rumah sakit besar di pusat kota serta menyediakan puskesmas di empat kecamatan untuk memudahkan bagi masyarakat yang tinggal di lereng gunung menikmati pelayanan kesehatan. Fasilitas rawat inap dan penyediaan mobil ambulance disetiap puskesmas. Target itu telah selesai semua di tahun ketiga.
            Membangun SDM juga tak tanggung-tanggung. Pendidikan diinternal birokrasi dilakukan dengan menyekolahkan birokrasinya untuk peningkatan kapasitas pelayanan kepada masyarakat. Membangun kerjasama dengan perguruan tinggi bonafide di Makassar adalah agenda mendesak agar di Pasangkayu terdapat fasilitas perguruan tinggi sebagai instrument penting dalam mencetak sumber daya manusia yang handal dan siap pake.
           Capaian-capaian itu membuktikan bahwa Abdullah Rasyid tidak hanya berhasil mengayuh hidupnya dari sejak kecil hingga dewasa.  Himpitan kesulitan yang menderanya pada dekade 80-an berhasil ia lalui dengan cara menikmati kesulitan itu. Pertemuannya dengan Hj. Bulaeng dalam sebuah akad menjadikan hidupnya praktis mengalami perubahan dan menuai kebahagian sampai pada puncaknya, yaitu menjadi Buapti mamuju Utara yang pertama. Pernikahannya denga Hj. Bulaeng ini dikaruniai 4 orang anak, seorang putrid dan 3 orang putra.
            Abdullah Rasyid hanya bisa memerintah sebagai bupati defenitif selama satu periode, sebab pada periode keduanya, Agus Ambo Jiwa ternyata mengambil peluang untuk bisa bertarung di pilkada kedua sebagai Calon Bupati dengan menggandeng M. Saal sebagai wakilnya. Betapapun Abdullah Rasyid juga berusaha melawan, namun akhirnya takdir mempertemukannya untuk kembali menerima kenyataan mengakui Agus Ambo Jiwa sebagai pemenang.
            Agus Ambo Jiwa sebagai Bupati Mamuju Utara yang sampai pada periode keduanya, tak mampu terkalahkan. Dalam pilkada serentak pada 2015 kemarin, Abdullah Rasyid kembali melawan dan menjadi rival dari Agus. Tapi lagi-lagi, Abdullah Rasyid untuk kedua kalinya tak mampu mengungguli Agus Ambo Jiwa. [1]



[1] Diolah dari tulisan Sarman Sahuding, 2006.

ABDULLAH RASYID : Anak Kampung yang Tak Kampungan (Bagian 1)

Abdullah Rasyid


Sejauh 19 kilometer bukanlah penghalang bagi Abdullah Rasyid. Di masa silam ia harus rela berjalan kaki untuk sampai di kota Pinrang karena satu hasrat: melanjutkan sekolah. Hanya berbekal beberapa liter beras yang kerap dibawanya dari kampung tiap akhir pekan mudik, toh niatnya tak pernah urung untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Dari dasar “universitas kesulitan” dimasa kecil inilah yang mengantarnya gemilang di pendidikan, hingga bisa sarjana dengan predikat Cumlaud. Dulu, begitu terjal jalan hidupnya. Tapi tekad untuk maju selalu menafasi langkahnya. Dan sang anak desa itu telah mengitari tanah Eropa dan lalu menemukan takdirnya sebagai Bupati Mamuju Utara yang pertama bersama Ir. Agus Ambo Djiwa yang mendampinginya sebagai Wakil Bupati. Keduanya di nobatkan menjadi Bupati dan Wakil Bupati Mamuju Utara yang pertama pada tahun 2005-2010.
Di sebuah desa yang jauh dari kota Pinrang, Kabupaten Pinrang, lahirlah seorang bocah yang bernama Abdullah Rasyid. Disuatu sore menjelang malam, tepat pada hari jumat, 15 Juli 1959. Terlahir dari seorang petani yang bernama H. Abdul Rasyid yang dipercaya oleh masyarakat sekitarnya sebagai Imam Masjid di desanya. Ia menjadi imam lebih dari 20 tahun. Ayahnya berasal dari keluarga besar di Pinrang bagian barat. Sedangkan ibunya berasal dari rumpun keluarga Pinrang bagian utara, bahkan sampai Kabupatn Polewali Mandar dan Majene.
Dimasa kecil Abdullah, ia memang senang berkelompok. Ia kerap mempengaruhi teman-teman sebayanya untuk aktif bermain olahraga dan mengingatkan mereka agar membantu orang tua masing-masing di sawah atau pun di kebun. Semasa kecil ia sangat ingin tahu segala hal, dan kemndiriannya sudah mulai Nampak. Inilah yang menandakan bahwa dalam diri Abdullah Rasyid telah tertanam jiwa dan talenta kepemimpinan.
Abdullah adalah anak tertua dari 8 orang bersaudara. Ketika ia menginjak kelas 3 Sekolah Rakyat (SR), ayahnya harus berpindah rumah ke kota karena mempersunting lagi seorang dara Pinrang. Sementara ibunya, selain sedih karena tak siap dimadu, ia juga dipusing memikirkan siapa yang akan bekerja menghidupi keluarga besarnya. Kondisi inilah yang memaksa Abdullah selain menjadi kakak bagi adik-adiknya ia juga sekaligus menggantikan peran ayahnya mencari nafkah sehari-hari dalam keluarga. Inilah cara Abdullah untuk membuat ibunya kembali bersemangat mengarungi kehidupannya.
Masa-masa sulit dan kelabu itu bertepatan dengan pasukan 710 mengadakan piutang pengadaan militer. Dan Pasukan 721 ada disitu. Ketika 710 kalah, Abdullah sempat mendapat sepucuk senjata namun ia buang karena takut mendapat masalah. Terlebih saat itu, ia mendengar kabar bahwa anak laki-laki yang genap berusia 10 tahun akan ditembak mati oleh 710. Ayah Abdullah Rasyid dikenal sebagai tokoh yang jika ada orang yang mau ditembak oleh 710, selalu member saran kepada 710 agar orang tersebut lebih baik disuruh bekerja kebun untuk kepentingan 710.
Ayah Abdullah Rasyid juga sangat memperhatikan pendidikan anaknya, sehingga Abdullah Rasyid disuruh sekolah ke kota sebab pada saat itu, sekolah rakyat di desanya masih dakam bentuk kelas jauh. Untuk ke kota, Abdullah Rasyid harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki sejauh 10 km, itupun baru sampai di jalan raya. Abdullah kemudian melanjutkan lagi perjalanan sepanjang 3 km untuk sampai di tempat yang dituju. Dengan modal surat pindah sekolahnya di desa, ia diterima sekolah di SD Negeri Pinrang.
Abdullah Rasyid memulai kehidupan barunya di kota untuk bersekolah. Setiaphari sabtu ia harus pulang ke kampung untuk mengambil bekal, beras dll. Sebuah rutinitas yang sungguh sangat melelahkan, belum lagi di perjalanan harus memburu waktu agar tiba dibawah jam 19.00 malam, sebab kadang muncul pasukan gerombolan yang juga mengancam jiwanya. Kondisi itu harus membuatnya berlari untuk bisa kejar waktu tidak sampai kemalaman tiba di kampungnya. Rupanya kebiasaannya berlari saat pulang kampung setiap sabtu ini membuatnya menjadi seorang yang jago dalam lomba lari. 
Ia tamat SD pada tahun 1966 bertepatan dengan masa-masa gentingnya Negara akibat pemberontakan G.30 S/PKI. Kembali ia mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat SMP. Meski tak direstui oleh orang tuanya dengan alasan ekonomi. Abdullah Rasyid tidak perduli, ia tetap ngotot untuk bisa lanjut sekolah. SMP Negeri 1 Pinrang kembali menjadi saksi atas sejarah seorang Abdullah Rasyid yang penuh semangat dan optimisme meraih masa depannya. Berjalan dan berlari masih menjadi rutinitasnya, belum lagi ia harus terbiasa dengan kekurangan bahan makanan, sebab tidak sama pada saat di SD, ia bisa setiap sabtu mengambil beras di kampungnya. Sekarang sudah tidak bisa lagi sebab gerombolan semakin merajalela dan bisa mengancam jiwanya jika kepergok dengan kawanan tersebut.
Kelas dua SMP, ayahnya berusaha membelikan sepeda untuknya. Ia memang anak yang piawai dan cerdas . Selain menjadi ketua kelas, ia bahkan menjadi ketua ikatan pelajar NU Kabupaten Pinrang. Memimpin rapat adalah kebiasaan bagi Abdullah Rasyid. Kelas 3 SMP, ia semakin menguatkan tekadnya untuk mulai menetapkan impian dan cita-citanya menjadi sarjana hukum. Pilihanya jadi sarjana hukum adalah agar  bisa membela orang kecil. Terlebih ia kerap menyaksikan ayahnya dan masyarakat sekampungnya dianiaya oleh gerombolan bersenjata. Abdullah bahkan sudh mengenal dunia demonstrasi melaui wadah OSIS dan Ikatan Pelajar NU yang dipimpinnya. Rumah yang ia tempati di kota sering dipenuhi oleh teman-temannya. Ia pun tak lagi bergantung seratus persen pada orang tuanya.
Usai SMP, ia lagi-lagi tak menyerah pada keadaan. SMA Negeri 1 Pinrang harus menjadi bagian dari hari-harinya dalam proses pengembangan diri Abdullah Rasyid. Meski sekolah ini masih berstatus 710, karena jam 7 pagi masuk belajar, jam 10 sudah pulang. Ini terjadi karena terbatasnya guru yang bisa mengajar. Abdullah Rasyid terpilih lagi menjadi ketua kelas dan sekretaris OSIS. Ia bahkan terpilih menjadi siswa teladan di tingkat kabupaten Pinrang dan mewakili Pinrang ke tingkat provinsi Sulawesi Selatan. Keunggulannya dilahat dari pelajaran dan aktifitasnya di sekolah.
Pada saat kelas 2 SMA, ia terpilih menjadi wakil Paskibraka Kabupaten Pinrang dan di Makassar ia bergabung dengan 23 orang perwakilan dari kabupaten lain. Dalam barisan itu, ia tergabung dalam pasukan delapan pada posisi penarik bendera Merah Putih saat upacara peringatan 17 Agustus 1945 yang diperingati setiap tahun. Yang memegang bendera saat itu adalah Baharuddin Baso (kelak menjadi Bupati Jeneponto). Sehabis mengikiuti kegiatan Paskibraka ini, Abdullah Rasyid terlecut jiwanya untuk bisa merambah kota besar dan berkeinginan untuk bisa lanjut SMA kelas 3 di Makassar.
Tekad dan juga nekad ia tempuh, sebab pindah ke Makassar tanpa member tahu orang tuanya di kampung. Tapi demi mengejar cita-citanya, Abdullah Rasyid menikmati semua itu. Di Makassar ia menumpang tinggal di rumah seorang tentara. Esoknya ia mengayuh sepedanya menuju SMA 1 Negeri Makassar, tapi disana tak lagi menerima siswa pindahan. Ia lanjut ke SMA 2, disana juga sudah tak menerima. Akhirnya ia diterima di SMA Negeri 3 Makassar dengan persyaratan ia harus rela memotong rambutnya yang gonrong saat itu.
Awal mengikuti pelajaran di sekolah, ia amat canggung dan minder. Hal ini disebabkan ia tak terlalu lancer berbahasa Indonesia, sebab ketika di SD sampai SMP di Pinrang jarang ada siswa yang menggunakan bahasa Indonesia. Ia kemudian menyesuaikan diri dan kembali dipercaya menjadi ketua kelas. Pada saat aktif belajar, orang tuanya di kampung baru tahu kalau ia tak lagi tinggal di Pinrang. Ayah ibunya hanya bisa kirim beras ke Makassar, sebab saat itu uang adalah benda yang sangat sulit bagi masyarakat kampung. Abdullah Rasyid menyiasati hidup dan biaya sekolahnya dengan memanfaatkan waktu malamnya di pasar terong Makassar. Di sana ia kerap menjadi kuli panggul untuk membongkar muatan mobil truk sampai selesai.
Saat tamat SMA, sebetulnya ia ingin lanjut sekolah di AKABRI sebab ia sangat akrab dengan Kamaruddin Patimbang (Mantan Kapolres Pinrang yang saat itu menjabat Kadapol (kini Kapolda) Sulawesi Selatan Tenggara. Kebetulan anak dari Kamaruddin ini pernah mewakili Kabupaten Pinrang saat menjadi siswa teladan mewakili siswi/perempuan.
Kadapol Sulselra ini megajak Abdullah Rasyid untuk mendaftar di AKABRI Kepolisisan dan dijamin lulus. Tapi ia lebih memilih AKABRI Angkatan Udara meski tak ada jaminan untuk lulus. Ia tetap mendaftar di AKABRI Angkatan Udara meski kemudian ia harus gagal karena ada salah satu giginya yang berlubang dan ia cabut, padahal gigi berlubang itu cukup ditempel saja. Tapi bukan Abdullah Rasyid namanya kalau tak punya plan lain dalam merancang masa depannya. Gagal di AKABRI, ia mendaftar di perguruan tinggi. Ia mendaftar di Universitas Hasanuddin dan lulus di Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian. 
Memasuki dunia kampus adalah tahapan aktif yang begitu berarti bagi Abdullah Rasyid. Ia tak hanya diperkenalkan pada pelajaran ilmiah yang kian meningkat, nalarnyapun sudah mulai tajam. Ia sudah mengenal logika komunikasi berfikir tingkat atas. Ia semakin menemukan kreatifitas retorika dan banyak menemukan kawan-kawan muda yang menonjol dengan pelbagai latar belakang hidup. Ia jjuga sudah mulai memperkenalkan diri dan mengenal seluk beluk organisasi pada level yanh sesungguhnya. Sudah memahami arah sebuah gerakan yang terorganisir. Disinilah dubut awal organisasi Abdullah Rasyid mulai dituliskan.
HMI adalah pilihannya sebab UNHAS pada waktu itu adalah salah satu kampiun HMI. HMI adalah wadah kemahasiswaan yang bernuansa Islam, yang pada tahun 1960-an dan 1970-an menjadi tempat pengkaderan awal tumbuhnya pemimpin-pemimpin bangsa, setelah satu atau dua-bahkan tiga dekade berikutnya. Abdullah Rasyid benar-benar mengikuti dan menikmati proses. Di tingkat II ia tercatat dalam jajaran pengurus inti senat mahasiswa, bahkan pernah menjabat Sekretaris Jendral Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, UNHAS. Pada tingkat III sudah masuk dalam pengurus inti Dewan Mahasiswa (DEMA), ia juga pernah menjabat sebagai ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) fakultas, semacam lembaga legislative mahasiswa.
Untuk kian mematangkan pemikirannya, ia mengikuti LK-2 (intermedit) HMI yang diadakan di Bontolempangang, Sekretariat HMI Cabang Ujungpandang yang saat itu HM. Daeng Patompo menjabat sebagai Walikota Ujungpandang. Dalam pengembangan kelembagaan internal kampus, ia tercatat sebagai salah satu peserta LKM (Latihan Kepemimpinan Mahasiswa) se-universitas angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa UNHAS. Nama-nama lain seperti, Marwah Daud Ibrahim, Andi Mattalatta, Tadjuddin N. Said juga tercatat dalam pelatihan ini.
Ketika Pemilu pertama Orde baru, 1971 lahir Golkar bentukan penguasa Orde baru. Pentolan-pentolan kampus sangat diminati oleh Golkar untuk menjadi penyokong kemenangan  dalam pemilu. Tapi Abdullah Rasyid justru memilih dan tertarik pada wadah yang merupakan afiliasi dari partai-partai tertentu selain Golkar. Ia bergabung dalam pergerakan Pemuda Anshor dan masuk IPNU Makassar. Abdullah Rasyid kian dikenal publik. Sepedanya mulai berganti dengan motor. Kegiatannya semakin bertumpuk dan tentu sudah bisa ia jalani semuanya. Ia juga sudah bisa menyambangi semua teman-temannya yang tersebar di kota Makassar.
            Perubahan demi perubahan terus terlakonkan dan didalamnya ada Abdullah Rasyid, sosok muda yang tunduk pada hokum alam yang melingkupinya. Setelah beberapa tahun kuliah, tibalah masanya Kuliah Kerja Nyata (KKN), salah satu prasyarat penting sebelum seorang mahasiswa mengakhiri sebuah perkuliahan secara formal, lulus sebagai sarjana.
            Saat itu, 1979 Abdullah Rasyid ditempatkan di Kabupaten Bone dan disana ia dipercaya sebagai Korcam. Pengalaman dalam KKNnya itu sangat berkesan karena banyaknya problem yang dihadapi oleh pemerintah di Kabupaten Bone. Pembangunan yang semrawut, bahkan tuntutan harus jalan sementara pengendali pembangunan kurang begitu siap dengan realitas. Yang ada. Abdullah Rasyid dkk harus terlibat langsung merancang pembangunan. Mereka dengan begitu sigap membantu pemerintah daerah melakukan apa saja demi pembangunan masyarakat kabupaten itu. Intinya, banyak hal yang mereka kerjakan.
            Usai KKN di Bone rupanya bertepatan dengan penerimaan pegawai negeri sipil. Hal ini sejalan dengan keluarnya Keppres Nomor 4 Tahun 1980 yang salah satu itemnya adalah akan dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan yang akan diadakan di daerah kabupaten/kota. Dengan begitu, tentu pemerintah membutuhkan pegawai yang tak sedikit termasuk di Sulawesi Selatan. Abdullah Rasyid termasuk salah satu yang lulus dan ditempatkan di kantor Gubernur Sulawesi Selatan. (Bersambung)