Jumat, 13 Januari 2017

Tentang Kalinda'da' (Bagian 1)




1.    Pengertian Kalinda’da’

Mandar adalah salah satu suku yang mayoritas mendiami wilayah Provinsi Sulawesi Barat. Dalam catatan sejarah, manusia Mandar dikenal memiliki kemampuan merangkai kata dan menghasilkan karya sastra yang membumi dan terus dilestarikan hingga saat ini. Salah satu karya sastra yang cukup dikenal adalah Kalinda’da’.
Kalindada merupakan jenis sastra Mandar yang fungsi dan jangkauannya sangat luas, mampu memotivasi berbagai aspek kehidupan masyarakat sejak dulu hingga kini. Hal tersebut terlihat dari berbagai macam naskah lontar yang merekam keberadaan kalinda’da’ dalam rentang waktu yang begitu panjang.
Seacar bahasa Kalinda’da’ banyak diinterpretasi secara berbeda, namun yang paling populer menurut Idham Khalid Body[1]adalah ‘kali’ atau ‘gali’ dan da’da’ atau ‘dada’. Darmansyah juga mengurai Kalindada terdiri dari dua kata, yakni K(g)ali “gali” sama dengan bahasa Madagaskar kali dan ‘Dada’ yang berarti “dada” (bahasa Indonesia). N yang terdapat di tengah antara kali dan dada adalah fonim labio dental, fungsi fonim n disini ialah menghaluskan/memperlancar ucapan, sebab fonem ‘n’ dan ‘d’ adalah sama daerah artikulasinya[2].
Jadi kalindada terjemahan denotasinya adalah “gali dada” yang maksudnya ialah hasil menggali dada berupa untaian perasaan dan pikiran dari isi dada yang di dalamnya ada hati, jadi perasaan (dan pikiran) dari isi dada/hati. Kalindada berasal dari ungkapan “kalimat indah-indah yang keluar dari lubuk hati (sanubari) yang paling dalam” dengan kata lain kalinda’da  adalah cetusan perasaan dan pikiran yang diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang indah.
Kalindada termasuk dalam kategorisasi puisi lama. Berbeda halnya dengan puisi baru, menurut Sutan Takdir Alisyahbana bahwa perbedaan diantara keduanya sangatlah besar jika dikaitkan dengan kebudayaan yang melatarbelakanginya. Menurut Nyoman (2011:107) ciri khas kelisanan adalah penyebarannya yang dilakukan dari mulut ke mulut. Oleh karna itu dapat dipastikan bahwa sastra lisan tumbuh subur di wilayah-wilayah yang tradisinya tulisnya belum maju. Penyebarannya itu dilakukan pada kegiatan-kegiatan kebudayaan, maupun dalam lingkup keluarga.[3]
Mengenai sastra lisan, oleh Hutomo (1991;3-4) diungkapkan ciri-ciri sebagai berikut:
a)   Sastra lisan hidup dalam masyarakat tradisional,
b)   Dianggap sebagai milik bersama,
c)    Seolah-olah tidak ada pengarangnya, sehingga setiap orang bebas menyalin dan meresepsinya,
d)   Pada umumnya terdiri dari beberapa versi,
e)   Tidak ada batasan antara fakta dan fiksi,
f)     Estestis, dan diucapkan berulang-ulang.
Sampai hari ini Kalindada berkembang di masyarakat Mandar tanpa ada yang mengklaim bahwa dialah yang menggunakan pertama kali. Kalindada ini pada umumnya disampaikan pada kegiatan Mappatamma (khatam Al-Quran) dimana yang khatam Qur’an diarak keliling kampung dengan menggunakan kuda atau sayyang pattu’du’. Kalinda’da juga kerap digunakan saat acara Pettumaeang (melamar), serta kegiatan-kegiatan upacara kebudayaan lainnya.
Kalindaqdaq memilki kedudukan penting dalam kebudayaan dan proses interaksi sosial masyarakat Mandar. Kalindada  digunakan sebagai media untuk menyampaikan isi hati dan pikiran, kalindada juga memiliki fungsi edukatif dan rekreatif serta membentuk kepribadian.
Menurut Sarbin Syam (1997 : 58) Kalindaqdaq dikategorikan dalam beberapa tema diantaranya yaitu,
-       Humor (KalindadaPangino).
-       Satire (KalindadaMattedze)
-       Kritik sosial (KalindaqdaPappakainga).
-       Pendidikan/nasihat (kalindaqdaPipatudzu).
-       Keagamaan (kalindadaMasaalah).
-       Kejantanan/Patriotisme (Kalindaqdaq Pettummoaneang).
-       Percintaan/romantik (kalindadaTosipomonge).[4]
Sebagai salah satu warisan kebudayaan yang ada di Mandar, kalinda’da’ tentu memiliki fungsi dan peranan penting dalam struktur sosialnya. Sehingga beberapa ahli merumuskan beberapa fungsi Kalindada dalam kehidupan masyarakat Mandar sejak dahulu kala hingga saat ini berfungsi sebagai: (1) Sarana pendidikan akhlak, agama, dan budi pekerti. (2) Wahana penyebar luasan informasi adat-istiadat. (3) Pelengkap upacara tradisional. (4) Alat penuturan dalam pelamaran. (5) sebagai hiburan dalam masyarakat.
Jika diamati dari kelima fungsi kalindada tersebut segi pemanfaatan kelihatannya hampir punah, jarang dijumpai ditengah-tengah lapisan masyarakat Mandar, yang tersisa adalah sebagai sarana hiburan yang dikenal dengan Passayang-sayang, pakkacaping, parrawana towaine, itupun penggemarnya sebagian besar dari kalangan orang-orang tua.
Kalindaqdaq yang menyangkut pendidikan akhlak, budi pekerti, dan agama islam, yang lazim dikenal dengan Elonna I Paragai, I Yamu, I Hamil, I Kai dapat dikatakan hampir punah. Padahal menurut penuturan orang tua dalam kampung, konon dahulu kala selalu diadakan upacara yang dihadiri oleh seluruh anggota masyarakat tua-muda dan anak-anak untuk mendengar Elonna I Paragai, termasuk saya sering mendengar elonna I Yamu, I Hamil, I Kaidalam iringan kecapi atau banyak juga disampaikan lewat rebana (parrabana tobaine) yang syair-syairnya bermakna luas-dalam.[5]
(Bersambung)


[1] Idham Khalid Bodi, 2008
[2] Drs. Darmansyah, 2015
[3] Makalah Sri Musdikawati
[4] Makalah Suradi Yasil, 2015
[5]Makalah Suradi Yasil 2015

Tentang Kalinda'da' (Bagian 2)



1.    Kalinda’da’ Sebagai Karya Sastera

Kata Sastra berasal dari bahasa Sangsekerta dengan kata dasar “Sas” yang berarti instruksi atau ajaran. Sedangkan “Tra” berarti alat atau sarana. Secara umum sastra adalah hasil cipta manusia berupa tulisan maupun lisan, bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, mengandung pesan (instruksi) yang bersifat relatif. Sastra dapat direpresentasikan dalam bentuk gambar, melody - music, lukisan ataupun karya lingkungan binaaan (arsitektur). Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “Kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Sastra dalam bahasa Inggiris disebut “Literature”, berasal dari kata “Litera” yang berarti tulisan yang bersifat pribadi. Istilah ini secara umum bermaksud mengidentifikasi makna yang terkandung dalam sebuah teks (tulisan) termasuk prosa, fiksi, drama dan puisi. Sebelumnya telah dikenal sastra lisan; seperti epic, legenda, mitos, balada (bentuk lain puisi lisan) dan cerita rakyat (folktale).

Dalam arti kesusatraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengepresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.
Sastra dapat dibagi menjadi dua, yaitu prosa dan puisi. Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat, misalnya : Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama. Sedangkan puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya sastra puisi yaitu : Puisi, Pantun, dan Syair.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), sastra dijelaskan sebagai berikut :
(1)   Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
(2)   Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya;
(3)   Kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan;
(4)   Pustaka; kitab primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb).
Wellek dan Austin Warren, berpendapat bahwa; Sastra adalah :
(1)   Sebuah ciptaan, kreasi, bukan Cuma imitasi;
(2)   Luapan emosi yang sepontan;
(3)   Bersifat otonom;
(4)   Otonomi sastra bersifat koheren (selaras bentuk dan isi);
(5)   Menghadirkan sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan; (6) Mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.[1]

2.    Bentuk Bentuk Sastra Prosa di Mandar

Selain kalinda’da’, ada berbagai macam karya sastra yang beredar dikalangan masyarakat Mandar, antara lain:
-            Pau-Pau Losong.

Pau-pau losong adalah salah satu bentuk karya sastra. Pomolitang atau dongeng yang dalam bahasa Inggris disebut folklore. Dongeng merupakan suatu cerita fantasi yang kejadian-kejadiannya tidak benar terjadi (Prof. Dr. Stjipto W, 1964:95). Pau-Pau Losong hidup dikalangan rakyat yang disajikan dengan cara bertutur lisan oleh tukang cerita, seperti pelipur lara dan pawang, termasuk jenis prosa fiksi yang tertua. Munculnya hampir bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa.
Pada mulanya dongeng berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang kebudayaan primitif terhadap hal-hal yang supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme, dan lain-lain. Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai hiburan, keprcayaan yang bersifat yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan), dan sumber pengetahuan. Yang terakhir ini dikemukakan oleh Jacob Grimn bahwa dongeng-dongeng menggambarkan peri kehidupan dan kebudayaan nenek moyang bangsa Jerman, serta sumber mempelajari bahasa dan menemukan hukum-hukum bahasa Jerman.

Berdasarkan isinya, dongeng digolongkan atas beberapa jenis, yaitu: mite, legenda, sage, fabel, parabel, dongeng alam, dongeng tentang peri dan hantu (ghots), dan dongeng jenaka. Dongeng-dongeng yang ada pada berbagai kebudayaan bangsa-bangsa di dunia boleh dikatakan bersifat universal, yaitu memiliki banyak persamaan dalam cerita-cerita dongeng itu. Ternyata budaya mendongeng juga lengket dengan kehidupan masyarakat Mandar.
Pada tahun-tahun 60 sampai 80-an. Tradisi mendongeng masih kerap kita saksikan dalam berbagai lapisan masyarakat. Umumnya setiap anak-anak mau tidur pada saat itu, ia selalu diantar dengan cara mendongeng. Materinya bermacam-macam, tapi yang sangat sering dijadikan materi adalah dengan menggambarkan tingkah laku binatang yang baik dan buruk yang dapat dicontohi oleh manusia misalnya dongeng I Puccecang annaq I Pulladoq (Kera dengan Pelanduk), di mana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan sifat yang kurang baik, atau tentang Asu mennaungguru lao di Posa (anjing berguru kekucing), tentang Nene Pakkande ate, dll.

-       Tolo’ (kisah)

Tolo’ adalah kisah yang menggambarkan liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesse di Tingalor (seorang bidadari jatuh dari kayangan dan ditelan oleh seekor ikan Tingalor) dan tentang Ha’dara dari Renggeang. Tolo’ biasanya dinyanyikan oleh seorang pakkacaping saat tampil menghibur.

-       Sila-sila (silsilah)

Sila-sila adalah cerita yang menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun-temurun, misalnya silsilah raja-raja di Balanipa, Tabulahang, Aralle, Pamboang, Tabang, Mambi, Sendana, Bambang, Banggae dsb:

-       Pappasang (pesan-pesan luhur)

Pappasang adalah pesan yang menggambarkan ajaran norma, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami isteri, pesan seorang sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada rakyatnya.[2]
Salah satu contoh pappasang adalah Naiyya Mara’dia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na mandandang mata di mamatanna daung ayu, dimalimbonna rura, dimadinginna litaq, diajarianna banne tau, diatepuanna agama” (Adapun seorang raja, tidak dibenarkan tidur lelap di waktu malam, berdiam diri dan berpangku tangan di waktu siang hari. Ia wajib selalu memperhatikan akan kesuburan tanah dan tanam-tanaman, berlimpah ruahnya hasil tambak dan perikanan, damai dan amannya Negeri/kerajaan, berkembang biaknya manusia/penduduk dan mantap teguhnya agama).

-       Mantra (Paissangang)

Mantra atau Paissangang sesungguhnya adalah salah satu bentuk karya sastra di Mandar. Misalnya “Passanreanging, Ranja’ ringe, Pittommuaneang- Pittowaineang, Panawar dll. Berikut salah satu mantera paissangang yang kerap digunakan oleh masyarakat Mandar :
(1)  Leseo mating anging
Nanaolai mating
Ipanjala-jala lino
Laso diting – Laso dini.
Wahai angin kau menghindarlah
Karena akan kesitu
Penjelajah dunia
Kejantanan (laso) disitu kejantanan (laso)juga disini

(2)      Russu’ a’dona (……….Nama orang)
Russu’ uwe’na
Kepo’ lawena
Matanna upadzipondo.
Bengkok tulangnya (…..Nama orang)
Terlipat pembuluh darahnya
Bibirnya tak lurus
Mata bolanya kusimpan di belakanku.

(3)      O….Matanna allo
Laoa’ alangang nyawana (….Nama orang)
Nyawana uponyawa
Ateu napoate
Atena upoate.
Wahai sinar mentari
Kau jemput nyawahnya/perasaannya (…Nama orang)
Perasaanya kujadikan perasaanku
Hatiku tersimpan di hatinya
Hatinya tersimpan dihatiku.

(4)      Pembolongo’o di pembolongammu
Memango’o di memangammu
Dao lamba-lamba
Siasayangngio luluare’mu.
Kau lebur dipelaburanku
Kau terperangkap diperangkapmu
Kau jangan kemana-mana
Kau saling menyayangi saudaramu. (Bersambung)
 


[1] Drs. Darmansyah, 2015
[2]Makalah Sri Musdikawati