Rabu, 19 Oktober 2016

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR “LANDASAN YURIDIS PEMETAAN CAGAR BUDAYA” (Bagian 2)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
LANDASAN YURIDIS PEMETAAN CAGAR BUDAYA” (Bagian 2)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Dalam salah satu sidang SEAMEO-SPAFA “Southeast Asian Ministers of Education Organization Project of Archaeology and Fine Art”’sangat jelas terurai “Mengelola sumber daya budaya adalah seperti mengelola sebuah usaha ekonomi layaknya. Pada awalnya harus mempunyai konsep yang jelas. Tanpa konsep yang jelas, kita  tidak dapat menerangkan ruang lingkup pekerjaan. Tanpa proses dan teknik kita tidak dapat mendefinisikan  langkah untuk mencapai tujuan yang berkualitas. Kebudayaan yang tidak berkualitas tidak dapat terlihat arah  perkembangannya. Dan jika pengelolaannya tanpa indikator kita tidak dapat mencapai standar pekerjaan  sehingga keberlanjutannya  (sustainability)  tidak dapat dipertanggungjawabkan”.
UNESCO dalam “Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage” 1987, menjelaskan sebagai “Group of buildings : Group of separate or connected buildings, which because of their architecture, their homogeneity ar their place in landscape, are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science”.
Dan dalam GBHN 1999-2004, aspek pembangunan kebudayaan dijelaskan antara lain (a) “mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa”. Selanjutnya pada point (h) dijelaskan “mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh dan terpadu dengan pendekatan interdisipliner dan partisipatoris, dengan menggunakan criteria ekonomis, teknis, ekonomis, sosial budaya, hemat energy, melestarikan alam dan tidak merusak lingkungan”.
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa landasan yuridis, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berkaitan erat dengan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan dan pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan terhadap benda cagar budaya. Begitu pula dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor5 Tahun 1992, Keputusan Menteri Kepmen Dikbud 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya tahun 1993, tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.
Selain landasan yuridis yang terkait pendaftaran dan penetapan cagar budaya, lahirnya produk Undang-Undang anatar lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara Republik Indinesia Tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422); Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaranb Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168) semakin mengukuhkan betapa peninggalan sejarah dan atau cagar budaya menjadi sesutu yang mendesak untuk dilakukan.
Dasar-dasar itulah yang melatar belakangi Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar sehingga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan kantor Balai Pelestarian Purbakala Makassar wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Tengah melaksanakan Pendataan/Inventarisasi situs peninggalan purbakala di Kabupaten Polewali Mandar. Kegiatan tersebut dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Polewali Mandar, Nomor 219 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Tim Pendaftaran dan Pendataan Cagar Budaya di Kabupaten Polewali Mandar. Dalam rangka pendataan dan pendaftaran benda cagar budaya, maka pada tanggal 04 Oktober 2016, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan Surat Tugas Nomor B-818/Disbudpar/B.Budaya/090/10/2016 untuk kembali melakukan pendataan dan pendaftaran cagara budaya di wilayah kabupaten Polewali Mandar dan penulis menjadi salah satu dari tim pendata tersebut.
Sampai disini jelas menjadi sangat jelas defenisi dan landasan yuridis untuk melakukan pendataan, pendaftaran, pemeliharaan, pelesatarian serta pemetaan sebuah Kawasan Cagar Budaya. Kawasan Cagar Budaya yang dimaksud dapat berupa suatu situs lansekap dengan monumen benda bersejarah tapi juga dapat berupa sekumpulan bangunan. Sekumpulan bangunan ini dapat berupa kompleks dengan fungsi beragam atau sejenis. Kawasan pemugaran dapat berupa juga perumahan maupun kawasan dengan tipologi fungsi lain seperti kawasan perkantoran dan perdagangan, kawasan pergudangan dan kawasan campuran lainnya.

Dengan demikian pelestarian cagar budaya adalah sebuah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya (Lihat: Undang-Undang RI No.11 2010).Ini sekaligus menjadi upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.(Bersambung)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR “Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Beberapa hari terakhir ini masyarakat kita di Mandar seakan dilanda gempa peradaban, tidak hanya di media sosial, Koran harian bahkan para pejabat dan masyarakat awam pun ikut berkomentar. Trending topic itu berputar pada kata “Cagar Budaya” yang dipicu oleh pembongkaran situs masjid tertua di Mandar, Masjid Haqqul Yakin (berubah menjadi Masjid Abadan) Desa Lambanan Kec. Balanipa. Masjid yang selama ini dijadikan petanda dan penanda peradaban islam abad ke-16 kini rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing berserakan dan kubah masjid yang tergolek diantara 4 buah tiang penyanggah bangunan masjid.
Penulis yang kebetulan ikut bersama rombongan BPCB Makassar dan Tim Disbudpar Polewali Mandar memang sempat terkejut ketika tiba di lokasi Masjid dan mendapati bangunan masjid yang tinggal rangka berupa 4 buah tiang. Masjid yang dahulu berbentuk bujur sangkar yang dikelilingi batu padas berlapis kapur itu tak lagi bisa ditemui di lokasi berukuran 30 X 30 meter itu. Atap masjid berbentuk limasan bertingkat tiga itu tak ada lagi. Hanya puing-puing berserakan dan makam-makam kuno di sebelah barat yang menjadi penyaksi sejarah betapa tangan-tangan manusia begitu kekar mencakar cagar tinggalan sejarah dititik koordinat S3 29 15.7 E119 04 28.7 itu.
Haerullah, Kepala Desa Lambanan yang penulis temui untuk klarifikasipun tak mampu menolong dan menyelamatkan situasi dan kondisi yang menimpah situs penanda kejayaan islam pada masa pemerintahan Kanne Cunang, Mara’dia Pallis dan Arajang Balanipa ke-4 yang kesohor dengan gelar Daetta Tommuane ini. Daetta Tommuane atau Tandibella Kakanna I Pattang dan Abdurrachim Kamaluddin adalah sosok yang begitu lekat dalam pembacaan kita pada situs, pada ritus dan pada setiap manuskrip dan lontaraq pattodioloang.    
Ada sejumput perih dan leleran duka yang mengalir dalam benak penulis. Rasa dongkol dan marah menyeruak dan membuncah. Tapi untuk apa? Untuk siapa? Sebab kemudian rimba dunia maya yang terselip dikantongku hanya berdetak bordering bersama derai semak amarah, belantara cibiran dari pelampiasan kekecewaan atas peristiwa ini begitu jelas terbaca digenggaman tanganku. Postingan Zulfihadilewat status “Situs tua, masjid pertama di Mandar telah dibantai oleh politisi yang katanya intelek”. Belum lagi Muhammad Ridwan Alimuddin dengan lugas menulis di blog pribadinya dengan opening judul “ Bencana Nasional…..”. Like dislike bertaburan, komentar demi komentar ikut berserakan seakan menjadi copy-an gambar di lokasi Masjid Abadan Desa Lambanan.
Tak berhenti sampai disitu, nama politisi muda Sulbar, Muhammad Asri Anas ikut terseret sebagai biangnya. Anggaran 1,2 M yang siap diluncurkan untuk membangun ulang Masjid Abadan ini ditengarai menjadi alasan utama mengapa Kepala Desa dan warga Lambanan ikut menjadi bagian dalam proyek tega-tegaan itu. Dilokasi masjid tersebut setelah dibangun akan menjadi pusat tahfidz Qur’an dan pusat pengajian tradisional mambaca kittaq, mattaleq kitta dan mukim patappulo di Mandar. Alasan-alasan itu menjadi jawaban pamungkas untuk membuat siapapun akan bungkam dan berhenti menulis.
Sesungguhnya letak masalahnya bukan pada siapa melakukan apa, tapi terletak pada persoalan kata yang bernama “Cagar Budaya”. Masjid Abadan Lambanan telah didaftar sebagai salah satu bangunan cagar tinggalan sejarah purbakala di Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar sejak tahun lalu. Cagar budaya adalah salah satu yang menjadi prioritas pembangunan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, adalah pembangunan kebudayaan. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 32 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. 
Sampai disini kita mesti sadar bahwa Masalah Lambanan bukan masalah biasa, bukan persoalan politik kepentingan, bukan ajang klaim mengklaim tapi sebuah proses kesadaran istilah Cagar Budaya, Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Tulisan ini tidak dalam posisi menyalahkan siap-siapa, sebab akan sangat susah untuk menentukan siapa yang salah.  Yang terpenting adalah membangun kesadaran terhadap pentingnya menjaga peninggalan sejarah, lalu kita bangun kesepakatan dan kespahaman untuk menata dan memetakan cagar budaya dan peninggalan sejarah di di daerah ini. (Bersambung)

Kamis, 29 September 2016

Mengenal Ibu ENNY ANGRAENI ANWAR

ENNY ANGRAENI ANWAR

Di kota kelahiran Presiden RI yang ke-tiga, tangis pertama keluar dari bayi perempuan yang memecah kesunyian malam. Di tengah haru bahagia keluarga yang menanti beraduk rasa gelisah namun berujung kegembiraan dengan lahirnya seorang bayi perempuan yang kelak menjadi tokoh perempuan. Dialah yang kemudian oleh ayahnya seorang panglima TNI memberinya nama “Enny Anggraeni”.

Tak pernah terduga sebelumnya, di detak-detik awal kisah hidupnya dimulai, ternyata Tuhan mempunyai rencana yang luar biasa. Berselang waktu kemudian hingga masa ideal menikah, rupanya rencana Tuhan itu adalah sosok Enny kelak menjadi pendamping setia seorang Gubernur Sulawesi Barat yang tidak saja sebagai gubernur pertama, namun juga gubernur yang sebagai tokoh visioner dan bapak pembangunan H. Anwar Adnan Saleh.

Tak terhapus masa, dialah Hj. Enny Anggraeni Anwar seorang ibu yang lahir di Pare-pare, saat almanak waktu menunjukkan angka 9 April 1956. Dedikasinya tak hanya menjadi seorang istri, tetapi mendampingi Anwar dalam meniti perjuangan pembentukan Sulawesi Barat hingga pada proses membangunnya. Dedikasi ini pun tak hanya di rumah tangga dan seabrek tugas kedinasan dalam mendampingi seorang gubernur, tetapi dia pun mengambil peran publik sebagai Anggota Komis IX DPR-RI Periode 2014-2019 dari Partai Golongan Karya mewakili Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Barat.

Jika berbicara rentetan karirnya, sangatlah sederhana. Memimpin beberapa organ-organ komoditi dan kemasyarakatan adalah kiprah dari sosok Enny Anggraeni Anwar, sebut saja Direktur PT Bina Karya Persada, Direktur Keuangan Persada Group dan kini sebagai Anggota DPR RI (2014-Sekarang).

Kepiawaian Enny sudah tidak diragukan lagi, tak cukup hanya sekedar menghitung banyaknya aktivitas sosial yang bergerak membantu masyarakat, diantaranya Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Sulawesi Barat periode 2013-2018, Ketua Dewan Kesenian Nasional Daerah (Dekranasda) tahun 2011-2016, Ketua Tim Penggerak Pembinaan Keluarga Sejahtera (TP PKK) tahun 2006-2016 yang diganjar dengan mendapatkan penghargaan di Bidang Kesehatan dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia Prof. Dr. Nila F. Moeloek SP.M (K) pada tahun 2015 di Jakarta.

Bukan tanpa alasan, Bunda Enny, sapaan akrabnya, sosoknya sebagai istri dari Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh yang telah dikarunia dua orang anak yaitu Deti Damayanti Anwar dan Raditya Adimas Anwar. Sebagai seorang ibu, dia senantiasa membumikan petuah Mandar menjadi motivasi gagasan dan nilai-nilai akhlak terhadap semua orang, termasuk petuah yang mengatakan bahwa “Innai-inna mandundu uwainna To Mandar, Mandar mi tu’u”(Maka Mandarlah).

Meskipun dirinya tak lahir di Mandar, namun dia melakoni peran dan tanggung jawab istri terhadap suami dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Mandar dalam bersikap dan bertindak sebagai seorang perempuan Mandar Malaqbiq sehingga dia disegani oleh setiap orang dan rekan-rekannya.
Sebagai seorang istri yang taat dan patuh, Bunda Enny selalu setia mendampingi sang suami dalam setiap proses perjuangannya dalam mengabdikan diri di masyarakat termasuk ketika ikut serta bersama suami dalam memperjuangkan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.

Perlu dipahami secara mendalam, sedikit banyaknya ibu dalam keluarga yang memikul sejuta peran penting yang tidak dapat dianggap remeh. Dengan penuh cinta yang digenggamnya, sederet pekerjaan rumah tangga/peran domestic dan peran public dalam mendampingi suami menjadikannya sebagai sosok perempuan tangguh. Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, seorang ibu mengemban tugas sebagai manajer, guru, perawat, akuntan, desain interior, chef dan lain-lain. Dengan demikian, ibu mempunyai multi peran yang mengintegrasikan berbagai karakter dalam keluarga untuk membentuk keutuhan keluarga yang sakinah.

Ibu sebagai pendidik dalam keluarga, mengajarkan hal-hal rumit dengan cara kesederhanaan, melatih, membimbing, dan memberikan teladan yang akan membentuk karakter anak-anaknya. Tentu saja konsep Siwali Parriq di tanah Mandar tak akan lengkap tanpa seorang ibu. Artinya bahwa, bukan lagi sebuah rahasia, sosok Enny telah mampu memapah tanggung jawabnya itu. Bunda Enny adalah sosok perempuan hebat di belakang sang suami yang turut memberikan semangat, saran dan motivasi dari manis pahitnya perjuangan seorang Anwar.

Hingga, rasanya memang tidak berlebihan jika pepatah bijak mendendangkan bahwa dibalik kesuksesan Anwar Adnan Saleh dalam memimpin Sulawesi Barat, terdapat sosok Enny Anggraeni di belakangnya. Bahkan tak segan, BJ. Habibie mengatakan “Di balik kesuksesan seorang tokoh, selalu tersembunyi peran dua perempuan, yaitu ibu dan istri”. Para ulama bahkan memberi khias bahwa “kesuksesan seorang suami karena ada seorang istri yang membantunya menapaki jalan kesuksesan itu”. Majunya pembangunan Provinsi Sulawesi Barat saat ini tentunya tidak lepas dari motivasi Enny terhadap suaminya (Anwar) dalam upaya membangun kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat.


Hal itu terbukti atas keberhasilan suaminya menjabat Gubernur Sulawesi Barat hingga dua periode. Enny begitu paham bagaimana manis pahitnya perjuangan Anwar, hingga perjuangannya kemudian tak cukup sampai di sini, perjuangan itu harus dilanjutkan, cita-cita luhur pembentukan Sulawesi Barat sewajarnya diteruskan oleh sosok yang memahami dan berperan serta dalam proses-proses pembentukan provinsi ini. Sumber: www.sulbar.com/news-563-segenggam-cinta-dari-ibu-mengenal-lebih-dekat-enny-an...

Rabu, 28 September 2016

Darmansyah: Siap Meletakkan Jabatan, Jika Sport Center di Paksakan


Rencana Pemda Majene untuk membangun Fasilitas Olahraga Gedung Sport Center dengan menggunakan dana pinjaman senilai 50 miliar terus bergulir. Pro kontra atas sikap penolakan Ketua DPRD semakin mengemuka di media sosial. Banyak yang setuju dan mendukung sikap Ketua DPRD Majene tersebut, tapi tak sedikit yang juga menentang dan menyesalkan keputusan tersebut. Menanggapi itu, Darmansyah saat dikonfirmasi kembali menegaskan bahwa dirinya bahkan rela dan ikhlas meletakkan jabatan selaku ketua DPRD bila dipaksakan menandatangani persetujuan pinjaman daerah sebesar 50 Miliar untuk digunakan pembangunan gedung spot center" Demikian Darmansyah menegaskan kepada media ini.

Pernyataan keras itu bukan tanpa alasan, Sebagaimana yang sering beliau sampaikan baik melalui rapat di kantor DPRD maupun melalui diskusi menyatakan bahwa kondisi keuangan daerah tidak memungkinkan, terlebih setiap tahun Majene mengalami deficit anggaran. PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Majene juga sangat rendah, tidak mencapai 50 M. Bilamana PAD dinaikkan, temtu akan berimbas kepada buruknya perekonomian pedagang kecil. Alasan lain ia kemukakan bahwa dirinya menolak berutang sebab utang yang ada di lingkup Pemda Majene saja semisal 'uang lauk pauk PNS 2 tahun terahir belum jelas sumber pembayarannya, terus mau tambah lagi utang lagi. Logikanya dimana. Seandainya pinjaman untuk digunakan pada pembangunan pertumbuhan ekonomi masyarakat, mungkin bisa dipertimbangkan untuk disetujui.

Terkait Pekan Olahraga Provinsi yang rencananya akan dipusatkan di Majene, beliau tetap mendukung itu, tapi tidak harus memaksakan untuk membangun sarana/prasarana olahraga seperti Sport Center. Sebab sarana dan prasarana yang ada di Majene masih bisa digunakan dan hanya butuh rehabilitasi gedung olahraga yang ada. Untuk Sport Center beliau menyarankan sebaiknya bermohon ke pusat atau di provinsi dengan melalui APBN/APBD.
Terakhir kepada media ini, ketua DPRD yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar ini kembali mengaskan bahwa keputusannya sudah final menolak pinjaman untuk pembangunan sport center, jika tetap dipaksakan maka beliau tidak akan mau bertanda tangan. (Muhammad Munir)



Senin, 26 September 2016

Mengenal MAYJEN TNI (PURN) SALIM S. MENGGA, Calon Gubernur Sulbar 2017-2022


JSM atau Jendral SALIM MENGGA, demikian ia kerap dipanggil. Lahir di Pambusuang, 24 Agustus 1951, Kampung Para Ulama dan Tokoh Nasional, seperti ulama tersohor KH. Muhammad Saleh dan KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo, dan juga Prof. DR. Baharuddin Lopa, SH.
Salim S. Mengga adalah anak dari Kolonel Purnawirawan S. Mengga, yang merupakan Tokoh Militer dan Tokoh Pejuang di Tanah Mandar dan ibunya bernama Hj. Nyilang., putra kedua dari tiga bersaudara, yaitu: Syarifah Asia S. Mengga (Almarhumah Istri Prof. DR. Umar Shihab, MA); Ir. Aladin S. Mengga (Wakil Gubernur Sulawesi Barat).
Salim S. Mengga mempunyai 3 (tiga) orang anak dari hasil pernikahannya dengan Hj. Fatmawaty, sosok wanita yang sederhana dan murah senyum merupakan cucu tokoh terpandang dari daerah Bone Soppeng H. Beddu Solo. Yaitu:
Mega Kamila
, Erfan Kamil, Amira Kamila.

Keluarga Salim S. Mengga Al-Attas

Darah pejuang yang mengalir deras diurat nadinya, berasal dari Kolonel S. Mengga, Tokoh Militer dan Tokoh Pejuang di Tanah Mandar ini serta “THE FOUNDING FATHER IN POLMAS, Peletak Dasar Pembangunan di Polmas” dan Peraih PRASAMYA PURNA KARYA NUGRAHA.
Ketaatan beragama, kewibawaan sikap mandiri dan merakyat, adalah perpaduan dari garis keturunan sang kakek (Bapak dan Ibu S. Mengga), bernama Sayyid Muhsin Al-Attas dan neneknya Hj. Cilla, seorang bangsawan Mandar dari keturunan Arajang Balanipa ke-12 Pammarica. Sehingga Salim S. Mengga begitu fasih melantunkan ayat-ayat Al-Quran dan taat menjalankan ibadah shalat lima waktu, dibanyak tempat sering memberikan cerama-ceramah agama.

Khutbah Shalat IED di Simpang Lima SemarangTahun 2005
Sikap merakyat dan rendah hati, itulah yang menonjol dalam sikap keseharian Salim S, Mengga, senantiasa mendengarkan keluh kesah para anak buah, serta bergaul danbermasyarakat dimanapun dia bertugas.Maka tidak heran disaat akan meninggalkan pos jabatannya di tempat tertentu (baik sebagai DanYot Kavaleri Ambarawa, Dandim Demak dll) sangat dielu-elukan dan di iringi oleh isak tangis para bawahan yang beliau tinggalkan.

Memimpin Latihan bersama Kavaleri se-Asia
Bahkan ketika Salim S. Mengga menjabat Kasdam IVDiponegoro, para Ulama se-Jawa Tengah menghadapPanglima, meminta beliau untuk menduduki jabatan Pangdam IV Diponegoro, hal itu membuktikan bahwa Mayor Jenderal Salim S . Mengga sangat disenangi oleh masyarakat Jawa Tengah khususnya para Kyai disana, karena beliau orang yang dianggap JUJUR DAN MERAKYAT.

Riwayat Pendidikan
SD: Tahun 1964, SMP: Tahun 1967, SMA: Tahun 1970.

Riwayat Pendidikan Militer
AKABRI: Tahun 1974, SUSSAARCAB KAVALERI: Tahun 1975, SUSSPAHARSAT: tahun 1977, TARDANKI: Tahun 1979, TARKORBANTEM: Tahun 1981, SUSLAPA KAVALERI: Tahun 1984, SUSGUKIL : Tahun 1985, SESKOAD: Tahun 1990, SUSGATI SUSPOL: Tahun 1995, LEMHANAS: Tahun 2001

Riwayat Kepangkatan
Letnan Dua ; 01 12 1974 ; KEP/152/ABRI/1974 Letnan Satu ; 01 04 1977 ; SKEP/398/IV/1977
Kapten ; 01 10 1980 ; SKEP/649/X/1980
Mayor ; 01 04 1985 ; SKEP/420/V/1985
Letnan Kolonel ; 01 04 1991 ; SKEP/116/III/1991
Kolonel ; 01 04 1996 ; KEPRES NO.17/ABRI/1996
Brigadir Jenderal ; 15 03 2001 ; KEPRES RI NO.18/TNI/2001
Mayor Jendral ; 24 10 2003 ; SKEP Pang. TNI NO.SKEP/342/X/2003

Riwayat Jabatan
Dantor Denkaves DAM XIV Hasanuddin 01-07 1975 SKEP/546/VII/1975
Dantor IKI 101 Yonkav 10 DAM XIV Hasanuddin 01-10978 SKEP/183/X/1978
Dankima Yonkav 10 DAM XIV Hasanuddin 01-01 1981 SKEP/OL/I/1981
Kasi 4 Log Yonkav 10 DAM XIV Hasanuddin 01-06 1983 SKEP/232/VI/1983
Gumil Gol IV Pusdikkav 01-05 1984 SKEP/216/IV/1984
Kasi Trakor Dirbinsen Pussenkav 01-09 1985 SPIRIN/711/X/1985
Wadan Yonkav 2 Serbu DAM IV Diponegoro 01-01 1986 SKEP/199/III/1986
Kasdim 0711/REM/ 071 DAM IV Diponegoro 01-02 1984 SKEP/216/IV/1989
Gumil Gol V Pusdikkav 01-06 1990 SKEP/203/V/1990
Dan Yonkav 2 Serbu DAM IV Diponegoro 01-08 1991 SKEP/320/VIII/1991
Dandim 0716 Demak REM 073 DAM IV Diponegoro 12-06 1993 SPRIN/811/VI/1993
WAAS Sospol Kodam IV Diponegoro 01-10 1994 SKEP/390/X/1994
Assospol Kodam IV Diponegoro 06-12 1995 SKEP/462/XII/1995
Danrem 141/Toddopuli DAM VII Wirabuana 15-08 1997 SKEP/459/VII/1997
DAN Pussenkev 15-02 2001 SKEP/99/II/2001
Kasdam IV Diponegoro 01-02 2003 SKEP/30/II/2003
Wadan Kodiklat TNI AD 30-10 2003 SPRIN/1669/X/2003
Pangdam XVI Pattimura

Tanda Penghargaan
Satya Lencana Kesetiaan VIII TH
Satya Lencana Kesetiaan XVI TH
Satya Lencana Kesetiaan XXIV TH
Bintang Kartika Eka Paksi Nararya
Satya Lencana Dwidya Sistha
Bintang Yudha Dharma Nararya
Sekarang beliau adalah Ketua Umum Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB) dan Anggota DPR-RI (mewakili daerah pemilihan Sulawesi Barat).[1]





[1]Dari Blog Aniesh Mahdi Sahl)


Pinjaman Dana Untuk Pembangunan Sport Center ditolak Ketua DPRD Majene

Ada yang seru dalam sidang di DPRD Majene siang tadi (Senin, 26 September 2016). Sidang yang dipimpin oleh Drs Darmansyah selaku ketua DPRD ini membuka sidang dengan sebuah pernyataan tegas yang intinya:
" Jika yang dibahas adalah pinjaman 50 miliar untuk membangun fasilitas Gedung Olahraga Sport Centre Majene, maka selaku pimpinan saya akan meninggalkan ruangan ini, dan silahkan lanjutkan sidang dengan menunjuk pimpinan sidang yang lain" Kata Darmansyah.


Hal menarik yang perlu disikapi dari persoalan ini, bahwa Majene sebagai kota pendidikan belum saatnya mempunyai fasilitas olahraga mewah apalagi jika harus dibangun dengan mengandalkan pinjaman. Darmansyah menambahkan pinjaman 50 M ini akan membebani APBD Majene sebab bunga pinjaman saja harus dibayar 10 M pertahun. Pemda mau pake apa membayar bunga pinjaman sebesar itu, sementara gedung yang dibangun tak menjanjikan prospek yang cerah terhadap peningkatan PAD Majene.


Sidang pembahasan yang sempat deadlock ini menjadi tema diskusi menarik tentang gedung Sport Centre yang tentu saja seperti diungkapkan oleh Drs. Marzuki, saat diskusi di ruang ketua usai sidang, ia mengatakan bahwa keputusan "Pak Ketua sudah benar, mesti ada ketegasan dalam menghadapi rencana seperti ini" ungkapnya.


Darmansyah juga menambahkan bahwa rencana pembangunan sport centre ini sarat dengan resiko yang tidak saja membebani APBD tapi sekaligus berpotensi menjadi sebuah keputusan yang 5 sampai 10 tahun kedepan bisa menjeratnya dalam jeruji besi.


Meski ia pribadi sebagai ketua DPRD menolak keras rencana PEMDA tersebut, tapi jika tetap dipertahankan untuk bisa menjadikan rencana itu terwujud, ia menyarankan supaya dirinya diusulkan untuk tidak ketua DPRD Majene, atau membentuk Pansus terkait rencana itu.
"Sepanjang saya masih ketua DPRD, sampai dimanapun saya tidak pernah menyetujui program ini berjalan di majene". Tegas Ketua MSI Sulbar ini.

Terkait rencana pembangunan gedung Sport Center bisa dibaca disini:
www.kilassulbar.com › > › MAJENE
www.fokusmetrosulbar.com/2016/09/pembangunan-sport-center-terancam-gagal.html
fajaronline.com/2016/09/.../bangun-sport-center-pemkab-majene-pinjam-rp50-miliar/
rakyatsulbar.co › MAJENE


Mengenal Lebih Dekat ANDI ALI BAAL MASDAR (ABM)


Andi Ali Baal Masdar adalah putra HM. Masdar Pasmar, salah satu pejabat kepala badan pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang tinggal di bilangan Jl. Cendrawasih, Makassar. HM. Masdar kerap dipindah tugaskan ke Polmas untuk menjabat Camat Campalagian, Camat Polewali.  HM. Masdar tinggal di rumah dinas pemda di kawasan kompleks Pekkabata.

Ketika Ali masih kecil, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar (SD) bertingkat dua di Pekkabata, tapi hanya sampai kelas empat saja karena mulai kelas 5 sampai selesai ia tempuh di SD Lantora dekat rumah kediaman pribadi keluarga HM. Masdar Pasmar.

Jika dilihat dari tempat dimana ia tinggal, mulai dari Pekkabata dan Lantora,  ali pasti adalah sosok yang hidup ekslusif tapi ternyata tidak. Ia bahkan bergaul umum dengan anak kecil dilingkungannya. Ia ikut bermain kelereng, main bola. Tak ada gambaran hidup mewah-mewahan apalagi membatasi diri dalam pergaulan.
Di sekolah ia diberi kepercayaan oleh guru dan teman-temannya sebagai pemimpin. Setiap kali ada masalah yang menimpa temannya, maka Ali lah yang menjadi pihak menengahi persoalan tersebut. 

Ali melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Polewali. Meski termasuk siswa yang rata-rata dalam hal pelajaran di sekolah, tapi dari segi olahraga ia termasuk jago, terutama dibidang olahraga renang dan polo air. Khusus olahraga ini, ia tak hanya jago kandang tapi ditingkat provinsi ia pernah mendapat penghargaan pada tahun 1976 sebagai perenang dengan spesifikasi jarak jauh dalam pelbagai gaya renang, mulai dari gaya bebas, gaya kupu-kupu sampai gaya punggung ia kuasai. Selain olahraga, ia juga aktif di pramuka. Dari kegiatan pramukalah Ali ditempa mengenai kedisiplinan.
               
Pendidikan ditingkat atas ia tempuh di SMA Polewali. Dari segi pelajaran, yang menonjol dari Ali adalah bidang ilmu biologi. Selain ilmu ini, ia hanya bisa menyelesaikan sebatas pekerjaan rumah. Mungkin karena itulah sehingga ia tidak lulus pada saat mendaftar di perguruan Negeri. Namun demikian, ia bisa masuk di Fakultas Ekonomi UMI Makassar.
               
Suatu ketika, H. Baharuddin Lopa bertandan kerumah ayahnya HM. Masdar Pasmar yang memang masih punya kekerabatan. Saat itu Barlop menawarkan pada Ali untuk kuliah di Jakarta. Ia tak pikir panjang langsung setuju dan berkemas untuk berangkat ke Jakarta. Tiba di Jakarta, ia mencoba mendaftar di ITB dan UNPAD Bandung, namun lagi-lagi tidak lulus.
                Kondisi tersebut tak membuatnya putus asa, sebab di Jakarta banyak pilihan untuk bisa kuliah terutama di perguruan tinggi swasta yang juga tak kalah favoritnya. Ali memiilih masuk ke Universitas 17 Agustus Jakarta. Hanya tiga semester yang ia ikuti sebab lebih tertarik mengambil mata kuliah jurusan ilmu politik di Universitas Nasional yang kampusnya di bilangan pasar minggu Jakarta Selatan.

                Hidup dan kuliah di Jakarta ternyata membuatnya tidak betah. Kerinduan akan kampung halaman kerap menghantuinya. Rasa rindu itu begitu kuat menderanya sehingga pada tahun 1985 ia memutuskan untuk pulang kampung dan memilih masuk Pegawai Negeri Sipil. Menjadi PNS bagi dia memang tak begitu sulit sebab ayahnya adalah salah satu dari tokoh dan pejabat teras.
                Pada tahun 1989, Ali menikahi Andi Ruskati, seorang putri bangsawan Majene. Setelah menikah itulah, Ali konsentrasi mengelola harta kekayaan orang tuanya disamping sebagai PNS. Bersama istri tercinta, ia terjun langsung ke tambaknya untuk mengisi waktu luang sepulang kantor. Dari mengelola tambak itu, ia bisa mempekerjakan banyak orang, termasuk memotivasi adik-adiknya untuk giat berusaha.

                Setelah dirasa cukup penghasilan dari PNS dan tambak, ia kemudian menyelesaikan studi. Bukan hanya S1-nya yang ia selesaikan, tapi sekaligus menempuh S2-nya di UNHAS Makassar. Dua tahun ia di Makassar menyelesaikan kuliahnya. Setelah itu ia kembali ke kampung dan langsung bertugas di Tapango, kampung leluhur ayahnya. Di Tapango, ia diberi amanah untuk menjadi Kepala Pemerintahan Persiapan Kecamatan Tapango.

                Ali Baal termasuk sukses menjadi kepala pemerintahan di Tapango, sehingga pada dinaikkan menjadi Sekretaris Bappedalda Kabupaten Polmas. Menjadi Sekretaris Bappedalda memang  tidak lama sebab kemudian Ali Baal menuju tangga puncak yang mungkin tak pernah dibayangkan akan semudah dan semuda itu menjadi bupati. Tahun 2003 melalui pemilihan di DPRD Polmas, Ali Baal terpilih menjadi bupati termuda di Polmas saat itu.

                Cerita tentang Ali Baal menuju kursi bupati berawal dari tawaran Fraksi PDI-P untuk menjadi bupati dengan menawarkan kadernya sebagai wakil bupati, namun tak ada kespakatan yang terbangun sebab fraksi Golkar juga mengusung ayahnya HM. Masdar yang menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar. Hal yang tak mungkin bisa dilakukan oleh Ali Baal, sebab akan bertarung dengan ayahnya sendiri.

                Kondisi kesehatan ayahnya cenderung memburuk saat itu  membuat konstelasi politik diinternal Golkar mulai menggadang-gadang untuk mengusung Ali Baal sebagai bupati dukungan fraksi Golkar. Setelah melalui proses negisisasi akhirnya disepakati Ali Baal berpasangan dengan M. Yusuf Tuali. Pasangan ini resmi setelah syarat Ali Baal diterima oleh Fraksi Golkar.

                Persyaratan yang diminta oleh Ali Baal adalah: pertama, ia tak ingin diintervensi oleh partai yang mengusungnya, termasuk intervensi dari pihak keluarga. Kedua, ia tak mau ada keluarga yang sombong lantaran ia menjadi bupati. Dan yang ketiga ia tak ingin dijadikan mesin pencari uang oleh partai yang mencalonkannya. Partai Golkar ternyata siap dan sepakat dengan persyaratan dari Ali Baal.

Pada saat menjelang pemilihan, HM. Masdar dipanggil yang kuasa. Dalam keadaan berduka yang dalam itu, proses pemilihan bupati membuatnya jadi pemenang dan resmi menjadi Bupati Polmas periode 2003-2008.

Saat menjadi Bupati Polmas, ia mengkampanyekan untuk menjalin kebersamaan. Tak hanya dikalangan birokrasi, tapi juga dengan masyarakat. Dan itu dibuktikan diusia kepemimpinannya yang 6 bulan hampir seluruh wilayah kecamatannya ia sambangi. Kesempatan berkunjung ke masyarakatnya itu menjadi wahana untuk menggali keinginan dan harapan-harapan masyarakat pada pemimpinnya. Masyarakat memang bergairah dengan kepemimpinannya.

Ali Baal dalam kepemimpinannya ia menggenjot PAD yang hanya 5 miliar menjadi 11 miliar saat memimpin ditahun pertama. Manajemen birokrasi ia benahi. SDM dibangun dengan cara menyekolahkan pegawainya yang berprestasi demi menunjang tugas-tugasnya. Dari segi stereotip keunggulan daerah, Polmas memiliki keunggulan dari segi potensi pertanian sehungan SDM untuk mengelola potensi pertanian juga ia genjot habis-habisan.

Semua ia genjot hingga merubah tampilan Polmas menjadi lebih baik dan membanggakan. Sektor ekonomi, SDM, SDA, agama, seni dan budaya tak ketinggalan ia sentuh dengan sangat profesional sehingga tak heran ketika periode kedua melalui pemilihan langsung pun ia tetap mampu menjadi pemenang ditengah gempuran lawan-lawan politiknya.

Yang menarik dari periode kepemimpinannya terletak ketika periode pertama masih Polewali Mamasa tapi periode keduanya telah berubah menjadi Polewali Mandar. Termasuk sistem pemilihan pada peride pertam ia dipilih oleh Anggota DPRD Polmas, tapi pada periode keduanya dipilih secara langsung oleh seluruh rakyat Polewali Mandar. Dan pada periode keduanya juga melekat sebuah inisial yang begitu populer yaitu ABM.


ABM kian populer ketika tampil menjadi kandidat 01 di pilgub Sulbar 2011. Meski kemudian pilgub dimenangi oleh AAS (Anwar Adnan Saleh) tapi ABM tetap menjadi tokoh sentral yang layak diperhitungkan untuk memimpin banua malaqbiq yang bernama  Sulawesi Barat. (diramu dari buku “Dalam Sejarah Akan Dikenang” Sarman Sahuding, 2006)