Rabu, 18 Mei 2016

Pakkottau Meriahkan Pembukaan Teluk Mandar Art Festival 2016

Acara Pembukaan Teluk Mandar Art Festival yang berlangsung sore tadi (18 Mei 2016) dimeriahkan dengan atraksi seni bela diri Pakkottau. Olahraga seni beladiri ini memukau penonton untuk tidak beranjak dari tempat duduknya. Termasuk Wakil Bupati Majene, Fahmi Massiara dan Ketua DPRD Majene, Darmansyah ikut larut dalam hentakan kaki dan gerakan tangan sang Pakkottau.


Pakkottau atau Kottau adalah seni bela diri yang berasal dari daerah Mandar
Sulawesi Barat. Diduga berkembang dan berhubungan dengan “kung tao” atau “kun tao” salah satu aliran bela diri yang berasal dari daratan Cina. Kuntao adalah salah satu dari jenis seni gaya bela diri yang ditemukan di Indonesia, Malaysia, pesisir Thailand dan bagian barat Filipina.
Kuntao ini dibedakan dengan jenis Kungfu serta Wushu (istilah yang biasa digunakan pada jenis bela diri di Cina).

Kuntao yang berkembang di Indonesia khususnya telah mengalami perkembangan dan lebih mengedepankan seni dalam penyajiannya, ia kemudian menyimpang dengan perbedaan yang kontras dari asalnya di Cina. Istilah Kuntao sendiri merupakan konsep yang masih diperdebatkan, namun  seni bela diri ini digambarkan sebagai suatu seni pertahanan diri yang ditemukan di sebagian besar Asia tenggara dan berasal dari Cina. Istilah ini berasal dari Cina Fujian (Hokkian) dengan asal kata “Kun” yang berarti “Tinju” dan “Tao” yang berarti “Cara” atau “Metode”.
Pendapat yang cukup berbeda juga disampaikan oleh Liem Yoe Kiong (1960:215), dalam bukunya “Ilmu Silat” Kuntao bukanlah merupakan suatu bentuk bela diri. Hal ini mungkin akan terdengar aneh, namun Kuntao memiliki beberapa arti jika diambil secara harfiah. Kuntao jika diterjemahkan dalam bahasa resmi Cina atau Kou Yu menjadi Djuen Tho yang berarti “pukulan”. Namun karena masyarakat Tionghoa banyak menggunakan dialek Hokkian dan dominan berasal dari Cina selatan maka istilah Kuntao di identikkan dengan bela diri dan mulai disinonimkan dengan silat.
 

Selasa, 17 Mei 2016

Hari Buku Nasional: Rumpita Tinambung launching Bilik Baca Rumpita Unsulbar di Lembang-Majene



Selamat Hari Buku Nasional!
17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Meski bukan menjadi peringatan yang masif, momen Hari Buku Nasional selalu menarik dibahas, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan buku dan minat baca. Moment Hari Buku Nasional inilah yang menjadi saksi lahirnya sebuah komunitas dari Mahasiswa Hukum Unsulbar. Launching Bilik Baca Rumpita Unsulbar hari ini, semoga menjadi awal yang baik untuk sebuah tugas mulia. Bilik Baca Rumpita diharapkan menjadi ruang baca, diskusi dan semangat literasi. Bilik Baca Rumpita Majene akan mengambil peran mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.
Pada era digital saat ini, perpustakaan toko buku perlahan semakin ditinggalkan. Buku semakin tercampakkan. Semua sudah serba online, begitu juga dalam hal membaca. Kebanyakan masyarakat lebih memilih mencari informasi melalui gadget dibanding dari buku konvensional. Meskipun bagi pecinta buku, keberadaan buku konvensional tidak akan tergantikan. Budaya membaca buku mutlak diperlukan. Gerakan literasi mesti menjadi tugas kolektif dalam menata bangsa ini. Hal inilah yang memotivasi Bilik Baca Rumpita ini hadir di Kota Pendidikan Majene.
Membaca, baik melalui buku digital maupun buku konvensional sejatinya sama saja. Kedua cara tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan sendiri. Misalnya, membaca buku digital lebih praktis dan ekonomis, namun membuat pembaca cepat jenuh lantaran terlalu lama menatap layar. Sedangkan membaca buku konvensional lebih leluasa, tetapi cukup banyak merogoh kocek atau harus menyempatkan diri pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku. Bilik Baca Rumpita menyediakan buku untuk dibaca secara gratis.
Rumah Kopi dan Perpustakaan (Rumpita) Tinambung melebarkan sayap dngan bermitra dengan komunitas mahsiswa hukum Unsulbar hari ini. Sekitar dua bulan lalu Rumpita ikut mensupport dengan menyuplai buku-buku ke Komunitas Mahasiswa Kehutanan Unsulbar. Ini tentu diharapkan menjadi pionir dan pelopor dalam penguatan literasi dan menebar virus ke masyarakat. Kegiatan Reading Day's Mahasiswa Kehutanan membuka lapak "perpustakaan jalanan" di kampus Unsulbar sebagai bentuk tangung jawab moral dan sosial dalam membangun insan akademis.


Senin, 16 Mei 2016

SEJARAH DAN PEMERINTAHAN KERAJAAN SENDANA 1


Oleh: Drs. Darmansyah 
(Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Caban Sulawesi-Barat)

A.   Pendahuluan

“ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya “, Demikian ungkapan Bung Karno. Kalimat ini menurut penulis terinspirasi dari kitab suci dan naskah-naskah kuno yang pernah dikaji oleh pendiri bangsa ini. Dalam Al-Qur’an misalnya ditegaskan Lakad kana fi qasasihim ‘ibratul li ‘ulil albab makana hadisan yuftara walakin tasdiqallazi baina yadaihi watafsila kulli saiy-in, wa hudan wa rahmatan liqaumin yu’minun (Sungguh pada saejarah itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal, Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat melainkan membenarkan yang sebelumnya (sejarah) dan menjelaskan segala sesuatunya dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman (QS : Yusuf : 111). Diayat lain Allah Swt. jelaskan Faqsusil qasasa la ‘allahum yata fakkarun : Maka ceritakanlah kisah-kisah (sejarah) itu agar mereka berfikir (QS : Al-A’raf : 176).Dalam sejarah telah dikisahkan jatuh - bangunya peradaban ummat manusia. Kejayaan Mesir kuno, Sriwijaya, Majapahit dan lain sebagainya hendaknya dijadikan pembelajaran dalam membangun daerah dan bangsa.

Jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar didunia, termasuk di Nusantara  dapat kita ketahui dari naskah-naskah kuno. Banyak peradaban ummat manusia yang perna tampil dimuka bumi ini tapi sudah tidak dikenali lagi karena tidak ada catatan yang dibuat oleh pelakunya. Tapi oleh Tuhan ingin menjadikan sebagian masa silam yang perna ada itu sebagai pembalajaran bagi manusia berikutnya – maka Allah memberitakan melalui kitab sucinya. Peristiwa jatuh-bangunnya peradaban Kaum Ad, Kota Iram, kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Saba, kisah Nabi dan Rasul, Fir-aun, Haman, Ashabul Kahfi, kisah Dzulkarnain (Alexander The Great), dan beberapa peradaban ummat manusia dibelahan bumi ini, semuanya hanya ditemukan dalam pemberitaan kitab suci baik itu Al-Qur’an maupun dalam kitab Taurat. Dari informasi kitab suci itulah para sejarawan dan arkeolog diabad modren melakukan penelitian dan telah menemukan beberapa artefak, bukti fisik bahwa peradaban masa silam itu, benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


Kejadian masa lalu ibarat perak (masalakai) bila hanya dituturkan secara lisan kepada generasinya, tapi ia akan menjadi emas (mabulawangi) jika ia ditulis(dikitabkan). Saya berpendapat bahwa “ Proses peradaban ummat manusia yang dituturkan secara lisan – akan menguap lalu lenyap, Tapi bila ia ditulis – akan membumi, berakar dan menjalar “.

Proses peradaban ummat manusia yang mendiami jazirah Mandar yang mala’bi ini,sangat jarang kita jumpai dalam bentuk tulisan sehingga oleh pemerhati sejarah (sejarawan) kurang referensi dalam mengangkat peristiwa itu. Yang ada adalah tuturan dari mulut – kemulut yang keapsahannya diragukan - mungkin ada yang luput diceritakan atau justru banyak ditamba-tambai. Begitu juga dimasyarakat Mandar masih ada yang menyimpan naskah-naskah kuno berupa lontar belum dipublikasikan dan diterjemahkan kedalam tulisan dan bahasa yang mudah dipahami.Semua itu - generasi Mandar segera sadar, bangun dari tidur, matahari belum terbenam – ambil penah lalu goreskan.

Inilah yang mendorong penulis membuat tulisan sederhana ini sebagai salahsatu upaya menjawab tantangan bahwa jika sejarah keberadaan kerajaan-kerajaan di Mandar ingin dikenal dan dijadikan mata pelajaran di dunia pendidikan sebagaimana kerajaan – kerajaan lain seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, Singosari dan lain sebagainya maka pilihannya harus ditulis dan seterusnya - dan seterusnya.

Berikut penulis kisahkan sejarah dan pemerintahan kerajaan Sendana sebagai salahsatu kerajaan yang ada di Mandar. WilayahSa’adzawang (Sendana) semula ditemukan oleh Daeng Tumana’, Tomakaka’ Tabulahan dari Pitu Ulunna Salu. Konon suatu ketika Tomakaka’ Tabulahan bersama beberapa pengikutnya turun kedaerah pantai untuk mencari kebutuhan hidup – terutama garam, ikan dan lain sebagainya. Kawasan Sa’adzawang yang panorama alamnya sangat indah, sehingga Sang Tomakaka’ tergiur untuk menjadikan tempat peristirahatan bagi orang-orang Tabulahan bila turun kepantai dan lambat laun lokasi ini dijadikan tempat bermukim secara tetap.

Wilayah Sa’adzawang berada dipuncak gunung Putta’da’ yang mengarah ke pantai bagian barat. Karena pemandangannya yang memukau, sehingga orang-orang Tabulahan menjaganya dengan harapan tidak ada pihak lain yang mendiaminya. Kepemimpinan awal yang bermukim di Sa’adzawang bergelar “Bawa Tau” yang dipimpin langsung Daeng Tumana, Tomakaka’ Tabulahan.

Beberapa dekade kemudian, Datanglah Daeng Palullung bersama istirinya, yang istirinya bergelar Tomesaraung Bulawang, Dan kepemimpinan bawa tau  yang diperankan oleh Tomakaka’ dilanjutkan oleh Daeng Palullung dengan model kepemimpinan Tomemmara-mara’dia.Berdasarkan sumber lontar Pattappingang- menyebutkan bahwa Daeng Palullung adalah putra dari Datu ri Luwuk (Palopo). Dalam lontar dikisahkan sebagai berikut : Inilah asal-usul Puang di Luwuk, Idaeng Sirua, namanya. Ia meninggalkan Luwuk menuju Timpuru – Donggala. Dari Timpuru/Donggala ia menuju ke Labuang Rano. Setibanya di labuang Rano – ia memerintahkan pengikutnya naik kedaratan untuk mengambil kayu api, setibanya didarat ia dikejar sepotong bara api - karena ia takut maka segeralah kembali keperahu dan menyampaikan kepada tuannya kejadian yang dialaminya. Kata Daeng Sirua kembalilah kedarat dan ambil bara itu. Sang budak pun segera kedarat tanpa rasa takut menangkap bara  dan membawa kehadapan tuannya. Daeng Sirua mengambil bara dan seketika itu ia menjelma menjadi pusaka/keris dan diberi nama Ijarra’.




ARTI PENTING SEJARAH DAN PERADABAN



Oleh: Drs. Darmansyah
Pernahkah kita berpikir, betapa banyak kejayaan dan peradaban suatu bangsa telah terkubur tanpa ada catatan mengenainya. Akibatnya, timbul banyak sepekulasi yang dikaitkan dengan mitos budaya setempat. Persoalan bangsa yang hilang bukan sekedar mitos yang dikembangkan dari sejarah yang nyata. Ada banyak bangsa yang modern yang akhirnya mengalami hal yang naas akibat berbagai alasan. Beberapa bangsa yang hilang diakibatkan beberapa alasan, diantaranya faktor pertikaian (perang), bencana alam, atau faktor ekonomi, dan lain sebagainya. Demikian halnya beberapa kerajaan besar di tanah Mandar, misalnya Kerajaan Passokkorang dan Kerajaan Baras di Mamuju Utara yang sejarahnya hampir hilang dari kalangan masyarakat Mandar itu sendiri, dan tidak menutup kemungkinan beberapa peradaban di kerajaan baik di Pitu Ba’bana Binanga maupun di Pitu Ulu Salu akan mengalami nasib yang sama.

Dalam kisah yang diberitakan oleh kitab suci maupun penelitian para arkeolog telah menemukan beberapa fakta adanya kota/bangsa yang pernah mengalami kejayaan dimasanya yang sekarang tinggal kepingan dan posil. Selama berabad-abad, peradaban manusia selalu berganti. Ada yang masih bertahan dan yang lain terkubur tanpa ada catatan yang pasti. Begitu halnya di tanah Mandar yang kita diami saat ini, kita tak pernah mau tahu apa yang pernah terjadi. Jangan-jangan itu adalah bagian dari sebuah kisah besar yang terkubur seiring dengan perjalanan waktu. Sungguh banyak maanfaat yang bisa kita gali dari peradaban masa lalu itu sekalipun ia berupa mitos.

Sejarah dan kebudayaan jangan hanya diartikan sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lalu, atau nilai yang sudah kadaluarsa tapi harus dipahami sebagai investasi untuk dijadikan modal dalam menafsir masa kini, dan bahan baku untuk merancang masa depan.

Orang yang kehilangan ingatan masa lalu, serta tidak memiliki nilai budaya berarti ia orang pikun, tak menyadari apa yang terjadi disekelilingnya, tak mampu memikirkan diri dan bangsanya. Dan bangsa yang kehilanngan sejarah dan tidak ingat kearifan pendahulunya (leluhurnya), saat itulah akan tersesat dan menerima siapapun yang menuntunnya.

Sejarah dan kebudayaan bukanlah pengetahuan masa lalu, melainkan ilmu masa kini dan masa depan. Bangsa yang menghargai sejarah dan kebudayaannya akan senantisa tegak di muka bumi, mereka sadar akan budaya dan masa lalunya, menafsirkan masa kini, dan menenun masa depan. Benar kata Bung Karno “JASMERAH” jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.

Jumat, 13 Mei 2016

MUSDA PAN IV: PERBEDAAN PENDAPAT ATAU PENDAPATAN BERBEDA ? (Bagian 1) “ Pemilu 1999 diantara Tragedi dan Komedi”



Oleh: Muhammad Munir
(Kader PAN sejak 2006-2016- Tnggal di Tinambung)

Sabtu, 14 Mei 2016, Hotel Ratih untuk kedua kalinya menjadi penyaksi atas peristiwa bersejarah bagi DPD PAN Polman. Musda PAN ini adalah kali ke-empat digelar. Musda PAN I berlangsung di Cadika Ammana Pattolawali Manding, 2000. Musda PAN II di Rotan Polish Wonomulyo tahun 2006 dan Musda PAN III di Hotel Ratih tahun 2011. Musda PAN IV kali ini setidaknya menjadi ruang konsolidasi bagi kader PAN di Polewali Mandar dimana pada periode ini bukan saja carut marut tapi kepengrusannya tidak pernah dilantik.

Tulisan kali ini mencoba mengangkat sebuah refleksi perjalanan Partai Amanat Nasional sejak Polewali Mamasa hingga sekarang menjadi DPD PAN Polewali Mandar, terhitung sejak PAN dideklarasikan pada tanggal 23 Agustus 1998. Mengapa perjalanan panjang PAN ini perlu ditulis dan difahami oleh segenap pembaca dan Masyarakat Sulbar pada umumnya, sebab dalam perjalanannya, PAN Polewali Mandar mempunyai siklus dan dinamika politik yang begitu menarik untuk ditelisik, setidaknya menjadi acuan banding bagi segenap kader dan para pengurus partai lainnya. Tentu saja ini bukan dalam rangka mengkampanyekan PAN terlebih lagi tendensi untuk menjelekkan, tapi sekedar menarasikan sebuah proses dinamika berpartai yang mendinamisasi sikap dan karakter pra politisi. Jika didalamnya ada sebuah kejadian yang menginsprasi, tak ada salahnya jika kita belajar. Namun yang pasti jika hal yang tergambarkan adalah sebuah fakta yang kurang berkenan, lagi-lagi penulis berharap cukup pembaca melangitkan do’a agar kiranya terjauhkan dari karakter seperti itu. Penulis mencoba menuliskan Hitam Putih DPD PAN Polman dari tahun ke tahun berdasarkan cerita dan interview langsung dengan beberapa kader dan pengurus teras partai.

Sejak dideklarasikannya PAN ditingkat Nasional oleh Muhammad Amin Rais 1998, PAN Polewali Mandar (dulu Polewali Mamasa) langsung terlibat dalam pemilu 1999. PAN masuk dalam deretan 48 partai yang bertarung di Pemilu perdana pasca tumbangnya Rezim Orde Baru. Hasil Pemilu tahun 1998, hanya mampu meraup suara 1 kursi yang dinikmati oleh Syafiuddin dari Mambi-Mamasa. Perolehan kursi tersebut membuat deklarator PAN Polewali Mandar, Kasim Pallao dkk. semakin terlecut jiwanya untuk mengembangkan PAN bersama barisan Keluarga Besar Muhammadiyah. Awalnya PAN masuk di Polewali Mandar melalui jaringan Muhammadiyah, seba Amin Rais sendiri sebagai Ketua Umum PAN adalah salah satu tokoh nasional yang pernah menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Kasim Pallao mencoba memperbaiki struktur dan infrastruktur partai, termasuk menyelenggarakan Musda PAN Pertama di Polewali Mandar yang diselenggarakan di Gedung Pramuka atau Cadika Ammana Pattolawali.

Sekedar diketahui bahwa PAN Polewali Mandar sekaligus juga menjadi embrio bagi lahirnya DPW PAN Sulbar ketika Provinsi Sulawesi Barat lahir dan Muswil Pertama DPW PAN Sulbar juga lahir dari Cadika yang mengamanahkan pertama kali ke Abdul Jawas Gani. Terkait Musda PAN I yang dimotori oleh Kasim Pallao ini melahirkan sebuah kesepakatan, yaitu menunjuk Mas’ud Djalil sebagai Ketua DPD PAN Polewali Mamasa saat itu. Hasil Musda I yang berlangsung di Cadika ini sebenarnya deadlock, namun tahapan untuk melahirkan pemimpin harus ada, sehingga keterpilihan untuk Mas’ud Djalil sudah tidak lahir di Cadika melainkan lahir dalam keputusan rapat di Gedung Aisyiah dan Nike Ardila Wonomulyo. Penyebab Musda Deadlock disebabkan oleh ulah Syafiuddin (Anggota DPRD dari PAN) yang membawa peserta ke ajang Musda namun ditolak oleh forum sebab yang bersangkutan bukanlah orang yang berasal dari daerah Mambi-Mamasa. Musda di Cadika akhirnya tak melahirkan kesepakatan (deadlock). Hasil akhir dari Musda I ini menjadi embrio perpecahan diinternal PAN diawal perjalanan.

Setidaknya informasi ini penulis dapatlkan dari penuturan Jamar, JB yang diamini oleh rekan-rekanya baik di DPRD maupun di Internal pengurus PAN. Jamar sendiri adalah salah satu deklarator yang sejak awal intens membenahi partai bersama Kasim Pallao. Disamping keberadaan Nuyadin Pawennari,Hasan Manja, Rahman Bande, Idris Mukaddas, Nahar Bakri, Sirajuddin, H. Darwis, Muhammad Asikin dll. PAN saat itu memang menjadi sorotan utama pasca Musda. Kejadian yang disebabkan oleh Syafiuddin tersebut mencederai semangat persatuan dan kebersamaan. Terbentuknya Pengurus DPD PAN Polewali Mamasa saat itu adalah sebuah sikap yang mesti ditempuh untuk menjadikan image PAN dimasyarakat terlihat solid. Mas’ud Djalil menjadi Ketua dan Syafiuddin tetap menjadi Angota DPRD Polewali Mamasa. Namun seiring waktu berjalan ada upaya-upaya yang secara politis menghilangkan etika, namun demi sebuah kepentingan atas nama PAN terus berjalan sehingga periode Mas’ud Djalil terusik dengan digelarnya Musdalub di Rotan Polish Wonomulyo pada tahun 2002. Musdalub menghasilkan keputusan Nuryadin Pawennari didaulat forum untuk menjadi Ketua DPD PAN. Tak berhenti sampai disitu, Kursi empuk bagi Syafiuddin terasa panas yang membuatnya tak dapat lagi menikmatinya dengan nyaman. Faktanya kemudian, Syafiuddin harus tergusur dan di PAW sehingga kursi harus dinikmati oleh Rahman Bande.
      
Musdalub dan PAW adalah bahasa halus dalam dunia partai politik diera reformasi yang tak lain adalah sebuah proses pemecatan yang asbabnya sangat mungkin sebabkan oleh dua hal, yaitu mosi tidak percaya atau emosi kepentingan yang meluap. Pertanyaannya kemudian apakah Musdalub dan PAW adalah solusi terbaik dari sebuah proses demokrasi politik. Jawabanya tentu memberi ruang untuk berintepretasi secara berbeda. Dalam kondisi paling nyaman dan aman seklipun tidaklah menjadikan fakta sejarah itu berakhir dari sebuah proses perbedaan, sebab selain perbedaan pendapat yang mengbongsai nilai-nilai persudaraan di PAN, juga soal perbedaan pendapatan tentu menjadi peluang untuk bisa saling sikut menyikut. Perbedaan pendapat dan pendapatan inilah yang kemudian abadi tidak saja diinternal PAN tapi terjadi disemua partai di Indonesia. Kondisi itulah kemudian yang membuat para elit partai bersaing keras untuk memperebutkan posisi dipartai. Inilah yang menarik dan membuat orang tertarik di dunia politik, disamping regulasi yang lahir selanjutnya memberi ruang untuk itu.

(Bersambung).