Rabu, 04 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 5) " Sendana dan Persekutuan Bocco Tallu "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Belum ditemukan data otentik tahun berapa pendatang dari Tabulahang mendiami Sa’Adawang, begitu juga dengan kedatangan dua bersaudara Daeng Palulung dan Daeng Sirua yang kemudian mampu menjadi generasi pembaharu diinternal banua Sa’Adawang dengan mengusung nama Sendana. Di Sa’-adzawang puncak bukit Putta’da’ itulah kedua bersaudara ini mengambil peran masing-masing dalam rangka ikut menjalankan roda pemerintahan, meski masih berbentuk semi kerajaan, yaitu tomemmara-mara’dia. Sendana mulai menampakkan tanda-tanda memenuhi syarat disebut sebuah kerajaan/negara setelah penyelenggaraan pemerintahan berada di Podang (sekarang desa Banua Sendana) yang pemerintahannya dijalangkan oleh Puatta I Podang, seorang koordinator lembaga adat  (pa’bicara kaiyyang) disekitar akhir abad ke-14 Masehi. Puatta I Podang sendiri diamanahi tugas setelah Daeng Maritu selaku pemimpin wilayah, tomemmara-mara’dia  pergi merantau entah kemana dan tidak lagi kembali ke Sendana. Puattta I Podang selaku koordinator lembaga adat  (Pa’bicara kaiyyang) mengambil peran dalam melaksanakan roda pemerintahan dan memperluas wilayah.
Kembali ke masa Daeng Palulung dan Daeng Sirua. Pertalian keluarga Daeng Sirua ke Alu menjadi awal yang cukup membuat Sendana dan Alu mempunyai kekuatan. Alu saat itu sudah memenuhi syarat untuk sebuah kerajaan sebab kedua anaknya juga menjadi pemimpin di daerah Taramanu dan Tu’bi. Hanya saja pada saat yang sama Passokkorang telah dipimpin oleh generasi Tomata Bassi yang tak mengikuti pola pemerintahan sebelumnya. Itu mungkin disebabkan karena jabatan diperoleh dari proses penggulingan atau kudeta kekuasaan. Kondisi yang terjadi di Passokkorang cukup membuat Alu sangat terancam sebab anaknya, Puatta  di Galu-galung dan Puatta I Lepong sudah menjadi Raja. Puatta  di Galu-galung menjadi Raja Alu  dan Puatta I Lepong menjadi Raja di Taramanuq. Perampokan dan upaya adudomba antara kerajaan satu dengan kerajaan lainnya dilakukan oleh orang-orang Passokkorang saat itu nyaris menghancurkan seluruh Mandar. Keadaan yang sangat meresahkan ini membuat  Puatta I Saragiang, Maraqdia Alu pada saat itu menjadi sangat khawatir mengingat dua orang putranya masing-masing
Hubungan pernikahan antara Daeng Sirua dengan putri Puatta I Saragiang ini mendorong hubungan kedua wilayah ini dijadikan wilayah persekutuan. Persekutuan itu diwujudkan dalam sebuah ritual di Sibunoang yang dikenal dengan nama Puraloa di Sibunoang. Istilah Bocco Tallu itu terdiri dari kata Bocco dan Tallu memiliki pengertian Harfiah yaitu;  Bocco sama dengan kumpulan atau perkumpulan dan Tallu sama dengan tiga. Jadi Bocco Tallu adalah  persekutuan atau persatuan dari tiga kerajaan: Alu, Taramanu dan Sendana. Perjanjian dan persekutuan ini juga yang menandai terbangunnya tradisi baru dan sebagai ikrar perjanjian pertama yang terjadi di tanah Mandar. Itulah sebabnya, dalam beberapa kasus yang terjadi setelanya, seberat dan serumit apapun selalu bisa terselesaikan secara baik dan bijaksana.  
Tentang Paraloa ini, Abdul Muis Mandra dalam bukunya Assitalliang menyebutkan bahwa perjanjian ini terjadi sekitar abad ke-12. Namun peninggalan atau artefak sejarah yang mendukung pernyataan itu belum ditemukan. Beberapa artefak yang terakhir ditemukan di Sa’Adawang adalah sejenis keramik yang menurut informasi dari Horst H. Liebner bahwa keramik tersebut berasal dari Sukothai Thailand (pra Islam) yang dibuat pada sekitar akhir abad ke-14 atau sekiatar tahun 1380 (sepanjang penelusuran satu tahun terakhir ini, keramik inilah yang umurnya paling tua yang sempat ditemukan dilapangan).  
                Terlepas dari hal tersebut, persekutuan Bocco Tallu ini mampu membuat ketiga kerajaan ini bertahan dari ganguan Passokkorang. Moment pertalian kekeluargaan  ini semakin membuka jalan  bagi Puatta I Saragiang untuk mewujudkan impiannya. Ide itu kemudian dibicarakan bersama dengan Daeng  Palulung yang di sambut dengan sangat gembira. Keduanya lalu membicarakan ke hadat  masing masing dan membuahkan kesepakatan  untuk mengadakan pertemuan puncak di Sibunoang, salah satu wilayah Alu pada saat itu. Dalam pertemuan itulah dibuat beberapa butir perjanjian dan kesepakatan lalu ditutup dengan pengucapan sumpah atau ikrar kesetiaan yang akan memegang amanah, mematuhi  segala kesepakatan yang didapatkan dalam pertemuan.
Prosesi  pengucapan ikrar  tersebut dilakukan dengan menggenggam Kalupping (daun sirih bersama telur dan emas) yang kemudian dibuang kedalam sungai secara bersama sama. Yang menggenggam  dan membuang kalupping tersebut  secara bersama  sama adalah Puatta I Galu-Galung atau Maraqdia Alu, Puatta I Lepong Raja Taramanuq  dan Daeng Sirua mewakili Sendana, tapi yang mengucapkan  mengucapkan sumpah atau ikrar adalah Puatta I Saragian bersama Daeng Palulung disaksikan oleh segenap Hadat  dari ketiga kerajaan. (Bersambung)




NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 4) " Dari Sa' Adawang menjadi Sendana: "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Pertemuan dua kakak beradik yang kemudian sepakat membangun perkampungan yang bernama Sa' Adawang dan mulai menerapkan kepemimpinan Memmara-maraqdia ini kemudian berkembang menjadi pusat peradaban. Tongkat yang dipakai oleh Tomesaraung Bulawang saat menuju ke Sa'Adawang itu dipancangkan dan tumbuh dengan subur. Atas dasar kayu atau pohon yang dinamakan Sendana itulah nama Sa'Adawang diganti menjadi Sendana. Cerita tentang Sendana.
Di Sendana Daeng Palulung bersama istirinya, Tomesaraung Bulawang melahirkan empat orang anak, dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, masing-masing bernama : Ita’da’ (kelak menurunkan bangsawan hadat di Putta’da’); Puatta I Sa’adzawang (kelak yang menurunkan Pa’bicara Kaiyyang);  Indara (kelak menurunkan bangsawan raja di Sendana) dan Patta Pance’ (kelak menurunkan raja-raja di kerajaan Mamuju). Indara (Inda) kawin dengan Tomanurung di Langi’ dan melahirkan tiga orang anak masing-masing bernama Daeng Maritu’, Daeng Malona’ dan Tasaripi’ (perempuan). Daeng Maritu inilah yang melahirkan keturunan Mara’dia Sendana.
                Membincang sejarah tentang Sendana laksana memasuki hutan belantara, banyaknya versi dan penulis yang semuanya menulis dengan versi yang berbeda. Pembaca kemudian digiring kesemak tutur yang tak lagi peduli keilmiahan sebuah cerita sejarah. Cerita tutur berkembang dan menjadi acuan dari masa kemasa. Dalam tulisan Darmansyah berjudul “Sejarah dan Pemerintahan Kerajaan Sendana” mengutip tuturan Muhammad Soenoesi, Pa’bicara Tangnga Sendana yang juga pernah ditulis oleh Drs. H. Kalang Sadaid dalam “Sejarah Sendana Selayang Pandang” sebagai masukan pada seminar Kebudayaan Mandar yang dilaksanakan di Majene pada tahun 1984. Disebutkan dalam tulisan itu bahwa kerajaan Sendana pertama kali didirikan oleh I Mana Pahodo, berdasarkan sumber dari salah seorang pemuka adat Ulu Salu, Tumpang Parengge. I Mana Pahodo adalah Mara’dia pertama di kerajaan Sendana dengan gelar “Tomesaraung Bulawang” orang yang bertopi emas.
                Dari sumber tersebut pembaca dihadapkan pada dua situasi yang membingungkan. Sumber pertama menyebutkan bahwa Tomesaraung Bulawang adalah seorang perempuan yang diperistri oleh Daeng Palulung sementara sumber kedua mengatakan bahwa Tomasaraung Bulawang adalah I Mana Pahodo yang tak lain adalah Mara’dia pertama Sendana. Sementara dalam penelusuran ditemukan berdasarkan petunjuk dari tokoh adat bahwa makam yang ada di Sa’Adawang adalah Daeng Palulung (Topapo) dengan istrinya yang benama Tomesaraung Bulawang. Penulis kemudian mengambil kesimpulan bahwa perbedaan tersebut bisa jadi karena penafsiran gona atau gelaran yang kemudian terlanjur dilisan tuliskan secara turun temurun. Jika memang I Mana Pahodo adalah Tomesaraung Bulawang itu juga bisa deiterima, pun istri Daeng palulung bernama Tomesaraung Bulawang juga bisa dietrima dengan pertimbangan sebagai gelaran. Hal sama juga terjadi di Balanipa. Todilaling di Gowa punya gelaran I Billa-Billami, dan setelah punya anak gelaran itu digunakan oleh anaknya yang bergelar Tomepayung.
                Berdasarkan beberapa perbedaan tersebut, penulis berharap semua tokoh adat, sejarawan di sendana mesti membuat kesepakatan sehingga nantinya informasi yang akan ditulis adalah mengandung keseragaman, nukan keberagaman pendapat. Sebab jika perbedaan-perbedaan itu tidak segera disudahi, maka generasi berikutnya akan dilanda krisis kepercayaan terhadap sejarah perruqdusanna (asal-usulnya). Mungkin bijak jika perbedaan tersebut kita tarik benang merahnya dengan asumsi bahwa Sa’adzawang pertama kali ditemukan oleh Dettumana/Demmangana atau I Mana Pahodo dari Tabulahan yang  memimpin di era “Bawa Tau”. Begitu juga Daeng Palulung dan Topapo serta Daeng Sirua atau Todzibonde adalah orang yang sama dan diberi amanah sebagai pemimpin atas dasar kemampuan pengetahuan dan pemikirannya yang lebih maju.
                Dengan berakhirnya era bawa tau, maka Sa’Adawang kemudian berubah nama menjadi Sendana yang sekaligus menjadi penanda bahwa telah terjadi sebuah perubahan mendasar dari sistim bawa tau ke sistim memmara-mara’dia. Istilah Memmara-mara’dia juga digunakan sebab pada era Daeng Palulung belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai kerajaan. Syarat menjadi sebuah kerajaan atau Mara’dia bagi Sendana adalah ketika pusat pemerintahannya berada di Podang, yaitu di era Puatta I Podang. Sistem pemerintahan Memmara-mara’dia ini masih bisa dipadankan dengan Tomakaka atau banua. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya persekutuan Bocco tallu yaitu Sendana, Alu,dan Taramanu. Persekutuan itu berawal ketika Daeng Sirua menikah dengan anak dari Tomakaka di Alu.
                Sampai disini sudah bisa dirumuskan periodesasi sejarah Kerajaan Sendana yaitu dari periode Bawa Tau di era Dettumana dan I Mana Pahodo, periode Memara-mara’dia di era Daeng palulung dan periode kerajaan atau mara’dia di era Puatta I Podang yang juga ditandai dengan berpindahnya pusat pemerintahan Sendana dari Sa’Adawang ke Podang. Perpindahan pusat pemerintahan juga didasari oleh pertimbangan peningkatan taraf hidup masyarakat kerajaan Sendana, yaitu dengan mengelola perikanan dan kelautan, karena perkebuanan dan pertanian sudah bisa diandalkan. Sa’dawang yang mempunyai hamparan luas untuk persawahan dan luasan perbukitan dan pegunungan yang hijau dianggap cukup untuk menghidupi warga dari hasil kebun dan pertanian. Postur tanah dan kontur alam Podang juga tak jauh beda dengan Sa’Adawang, yaitu mempunyai luasan lahan persawahan dan perkebunan.
                Pengembangan pada bidang pertanian, perkebunan, perikanan inilah yang membuat Sendana berjaya dan mencapai puncak keemasannya di era Puatta Iku’bur. Sendana tak lagi bisa diremehkan. Ia punya rakyat yang terjamin penghidupannya, sehingga pemerintah (Negara) waktu itu bisa menjadi kerajaan yang penyuplai logistik bagi kerajaan tetangga yang menjadi sekutunya. Saat persekutuan Ba’ba Binanga, Sendanalah yang menyuplai logistik ke Balanipa saat menghadapi perang. Pertimbangan kesejahteraan itu pulalah yang melatarinya sehingga Sendana menjadi Indo atau Ibu bagi persekutuan di Ba’ba Binanga yaitu Balanipa, Banggae, Pambauang, Sendana, Tappalang, Mamuju dan Binuang. (Bersambung)


Selasa, 03 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian3) " Sa'Adawang dalam imperium Sejarah Kerajaan Sendana "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Desa Putta'da adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Drs. Darmansyah adalah salah satu orang yang pernah menjadi Kepala Desa sebelum memilih masuk jalur politik untuk menjadi anggota DPRD Majene. Berawal dari sebuah aktifitas pemerhati lingkungan, Darmansyah berhasil menjadi Kepala Desa Putta'da. Desa Putta'da dan masyarakatnya menjadi bagian dari investasi pilitik yang mengantarnya menjadi Anggota DPRD sampai sekarang mempertemukan takdirnya sebagai Ketua DPRD Majene.
Di DPRD, Darmansyah membuat Putta'da tidak saja menjadi sebuah desa yang sedikit maju dibanding desa pegunungan yang lain, tapi ia juga berhasil memperjuangkan semua dusun di wilayah Desa Putta'da menjadi sebuah Desa. Diantara Dusun yang berhasil ia perjuangkan menjadi desa tersebut adalah Lalattedong, Binanga, Leppangan, Pundau dan Paminggalan. Saat ini Darmansyah lagi mengawal sebuah perda tentang Pelestarian Cagar Budaya di Kab. Majene. Ini adalah salah satu diantara obsesi besar yang akan ia wujudkan selama ia menjabat jadi Ketua DPRD.
Darmansyah juga menginginkan jejak sejarah peradaban di Mandar tidak sekedar menjadi sejarah tutur dan mitos, melainkan bisa dibuktikan dengan keberadaan situs yang kelak bisa lebih benar dan ilmiah. Kedepan ilmu sejarah dibutuhkan lebih tangguh untuk merekonstruksi apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang. Olehnya itu, perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Jika ilmu sejarah tidak tangguh untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan menghilangkan kesadaran penghuni zamannya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak. Kedepan sejarah dibutuhkan sebagai pengawal setiap idea of progres.
Membincang sejarah Kerajaan Sendana tak bisa dilepaskan dari sebuah nama Kampung yang bernama Sa'Adawang yang konon ditemukan oleh Daeng Tumana (Dettumana/Demmangana) salah satu keturunan dari Tomakaka Tabulahan di Pitu Ulunna Salu. Suatu ketika Tomakaka Tabulahan turun gunung bersama pengikutnya untuk mencari keperluan kebutuhan hidup digunung seperti ikan, garam dll. Dalam perjalanan mereka menemukan kawasan yang panorama alamnya sangat indah. Hal ini membuat Tomakaka tertarik untuk menjadikan wilayah itu sebagai tempat peristirahatan saat turun dari gunung ke pantai. Dalam perjalanan sejarah, wilayah ini tidak saja menjadi persinggahan tapi sebagian dari orang Tabulahan dijadikan sebagai tempat bermukim secara tetap.
Kondisi alam dan kontur tanah memang sangat mendukung sebagai hunian baru, sebab selain bukit dan gunung yang hijau subur, juga terdapat luasan tanah datar yang cocok dijadikan tanah persawahan. Wilayah Sa'Adawang kian hari kian bertambah perduduk yang mendiaminya, sehingga terbentuk sebuah komunitas masyarakat yang berkoloni itu mendaulat Daeng Tumana sebagai orang yang dipertuan atau tomakaka yang kepemimpinan awalnya disebut sebagai "Bawa Tau". Kepemimpinan Daeng Tumana belumlah memenuhi persyaratan sebagai sebuah kerajaan selain hanya sebuah komunitas atau banua.
Hingga pada suatu hari Daeng Palulung datang bersama Istrinya yang bernama Tomesaraung Bulawang. Daeng Palulung sebagaimana disebutkan dalam lontar adalah adalah keturunan bangsawan kerajaan Luwu dan Tomesaraung Bulawang adalah salah satu putri dari Arung Pone (Bone). Seperti yang dikisahkan dalam lontaraq yang dikutip oleh Darmansyah menyebutkan, Daeng Palulung sampai ke Sa'Adawang adalah proses akhir dalam perjalannya mencari adiknya Daeng Sirua yang meninggalkan Luwu menuju Timpuru-Donggala. Daeng Sirua sendiri dikisahkan berangkat dari Donngala menuju Labuan Rano (Tappalang sekarang).
Di Labuang Rano tersebut ia memerintahkan pengawalnya kedarat untuk mencari kayu bakar. Didarat, pengawalnya tadi dikejar oleh bara api yang membuatnya harus lari ke pantai dan melapor ke tuannya. Berdasarkan laporan itulah, I Daeng Sirua memerintahkan pengawalnya naik kedarat menangkap bara api itu. Ternyata setelah bara itu ditangkap oleh pengawal dan diserahkan ke Tuannya adalah penjelmaan dari sebuah keris yang diberi nama I Jarra atau Ijarre dan lebih dikenal dengan nama I Po’ga. Daeng Sirua kemudian menuju ke arah selatan dan tiba di Parrassangan. Di Parrassangan mereka menebas hutan sampai ke sungai Mosso.
Saat yang sama Daeng Palulung juga tiba ditempat itu. Sebuah pertemuan dari hampir sepuluh tahun pencariannya terhadap adiknya, Daeng Sirua. Pertemuan yang membahagiakan itu kemudian membuatnya mencari tempat dan tiba disebuah wilayah yang bernama Lakkading.Sebulan lebih ia tinggal di Lakkading. Dari Lakkading, Daeng Palulung dan Daeng Sirua kemudian menuju sebuah gunung yang disana telah dihuni oleh keturunan dari Tabulahang yaitu Sa'Adawang. Proses kepemimpinan Bawa Tau dilanjutkan oleh Daeng Palulung. Daeng Palulung inilah yang mengubah konsep kepemimpinan Bawa tau menjadi Memmara-Mara'dia sebab ia lebih memilki pengalaman dalam menata pemerintahan lantaran berasal dari Luwu dan Bone.(Bersambung)


Senin, 02 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian2) " Makam Daeng Palulung dan Daeng Sirua "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Turun dari puncak Buttu Suso dengan ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut, penelusuran dilanjutkan dengan mencari keberadaan Makam Daeng Palullung. Dengan diantar oleh I Tangka, salah satu petani sawah di areal perkapungan Sa'Adawang kami berjalan meniti pematang sawah. Setelah itu menembus semak belukar ke sebuah bukit yang berada pas di kaki gunung Buttu Bulidzo. Buttu Bulidzo ini memiliki situs berupa Gua Bulidzo. Gua yang memiliki panjang sekitar 10 meter dengan lebar 4,5 cm dan tinggi ruang kurang lebih 1,5 meter. Menurut pengakuan Jahar dan I Tangka, gua tersebut memiliki sejarah yang panjang sepanjang sejarah peradaban masyarakat Kerajaan Sendana. Gua ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Dalam perjuangan melawan penjajah, gua inipun berperan sebagai pusat persembunyian para pemimpin pasukan untuk memantau lawan.
Dari balik semak belukar tepat di lereng gunung Bulidzo tersebut, terdapat 2 buah makam yang diyakini sebagai makam Topapo atau Daeng Palulung, suami dari Tomesaraung Bulawang. Entah pertimbangan apa, sehingga makamnya harus terpisah dari istri tercintanya, Tomesaraung Bulawang. Justru disekitar makamnya terdapat makam Daeng Sirua. Makam Daeng Sirua ini ditandai dengan batu yang bentuknya sangat sederhana. Daeng Sirua dan Daeng Palulung adalah bersaudara. Daeng Sirua inilah yang menikah dengan putri Mara'dia Alu (Puatta Di Saragiang) yang kemudian menjadi awal pertalian dalam membentuk persekutuan Bocco Tallu, yaitu Alu, Sendana dan Taramanu. Kedua makam tersebut juga tak luput dari penggalian dan penjarahan benda-benda purbakala pada tahun 1971-1973. Hanya saja, menurut informasi dari I Tangka, di situs ini, tak banyak harta kekayaan yang berhasil didapatkan oleh para penjarah. Bekas galiannya masih nampak dan membuat kondisi situs ini dangat memprihatinkan. Penggalian dan penjarahan kubuuran tua oleh masyarakat sekitar inilah yang menghilangkan jejak kepurbakalaannya.
Penggalian situs purbakala yang dilakukan oleh masyarakat Putta’da Sendana ini adalah bentuk kejahatan yang lebih kejam dari penjajah Belanda. Penjajah Belanda, meski mengambil untung dari aset bangsa ini, tapi tetap menjaga kelestarian cagar budaya dan menyimpan banyak arsif tentang sejarah lampau kerajaan ini. Yang ironi kemudian, karena jusru warga peribumi yang nota bene keturunan dari Topapo atau Daeng Palulung ini justru rela dan tak merasa berdosa menjarah kekayaan yang dimiliki oleh leluhur mereka. Peristiwa penjarahan benda-benda purbakala dari tahun 1971 sampai hari inipun terus dilakukan oleh masyarakat. Tak terkecuali pemerintah juga sudah seenaknya merubah, merusak, memindahkan situs-situs budaya yang merupakan jejak nenek moyang.
Sejatinya, situs sejarah dan artefak tersebut dijaga, dipelihara olen masyarakat dan pemerintah, bukan malah menjadi pelaku dari proses itu. Apapun alasannya, jika menyangkut benda-benda purbakala, itu tak bisa ditolerir. Meski dengan alasan pembangunan sekalipun semestinya tidak dilakukan, sebab benda atau situs tersebut adalah cagar budaya yang sekaligus menjadi sumber informasi untuk penelitian membuktikan eksistensi mereka pada masa lalu itu ke generasi selanjutnya. Situs tersebutlah yang akan menerangkan bahwa pernah di Sa'Adawang ini,  terbangun sebuah peradaban, sebuah kampung tua yang didalamnya pemerintahan dalam bentuk tomakaka sampai bentuk kerajaan (Mara'dia) pernah terlakonkan.
Merusak, memindahkan dan menghilangkan situs-situs tersebut adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak hanya terhadap masyarakat hari ini, tapi menjadi sebuah proyek pengkaburan yang berimbas pada pengibulan sejarah kedepan. Dan tindakan ini tentu saja harus difahami sebagai dosa turunan dari masyarakat pelaku penjarahan maupun pemerintah yang melakukannya atas dasar apapun. Pemerintah seharusnya menjadi pelestari dari semua situs yang terdapat dalam peta wilayah pemerintahannya. Masyarakat juga seharusnya merasa malu ketika didaulat dalam acara upacara adat sebagai Puang, Daeng tapi disatu sisi ia melupakan dan menjadi pelaku dari proses penjarahan atas aset kekayaan leluhurnya.
Saatnya keturunan adat tidak saja bangga karena dipanggil Puang, Daeng tapi mesti merasa bertanggung jawab terhadap situs sejarah perru'dusang. Tomesaraung Bulawang dan Daeng Palulunglah yang membuat mereka jadi terhormat, kaya dan dipanggil Puang, Daeng tapi ketika melihat kondisi makam leluhur mereka justru berbanding terbalik dengan kehormatan yang membuatnya merasa bangga. Malulah kita hari ini yang punya strata Puang dan Daeng tapi tak mengetahui atau membiarkan situs sejarah leluhur dijarah, dirusak, dipindahkan, dihilangkan. Lalu dimana letak Puang dan Daeng akan dialamatkan andai kata tak ada leluhur ? Masihkan gelar itu pantas disematkan pada mereka yang tak peduli dengan leluhur yang membuatnya punya kedudukan terhormat?