Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Februari 2024

HAMZAH ||Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Perjuangan

"Upangipi sala toi, mua' nemenjaria Caleg (Mimpipun tak pernah jika saya harus jadi Caleg)" . Pungkas Hamzah suatu ketika kepada penulis. Guratan takdirlah yang  mengusung namanya sebagai salah satu deretan Caleg DPRD Polman Dapil 3 dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hamzah mungkin tak setenar dan sekaya dengan Caleg lain. Bahkan mustahil memiliki kemampuan untuk melakukan serangan fajar.

Satu-satunya yang dimiliki oleh pria kelahiran Berampa Katumbangan, 28 September 1988 ini adalah harapan. Harapan yang dibungkus dengan semangat untuk mempertanggung jawabkan suara dan amanah rakyat yang di setiap TPS pada Pemilu 2024 yang akan digelar pada tanggal 14 Februari. Inilah yang menjadi impian besar Hamzah dalam kontestasi lima tahunan kali ini. 

Menjadi wakil rakyat sejatinya diraih dengan cara bermartabat, bukan dengan cara mempedaya rakyat dengan imbalan uang, sembako atau sarung dan voucher. Politisi yang menggunakan uang harus dijadikan sebagai musuh bersama, sehingga kedepan rakyat benar-benar memiliki perwakilan di gedung rakyat. Harus difahami, selama ini hak-hak sebagai rakyat telah dihilangkan oleh bandit-bandit demokrasi yang punya uang tapi miskin integritas. 

Hamzah adalah caleg yang lahir dari rahim rakyat, ia lahir di sebuah kampung bernama Berampa Desa Katumbangan. Ia mengenal pendidikan dasarnya di SD Inpres 039 Katumbangan. Lalu melanjutkan ke MTs. Mas'udiyah Wonomulyo. Ia sempat sekolah di SPP (Sekolah Pertanian Pembangunan) Polewali sampai kelas dua dan berakhir di MA. Darul Falah Tomandar Campalagian 2011. 

Perjalanan hidup Hamzah jangan bayangkan sebagai seorang yang dimanjakan fasilitas. Untuk bisa sekolah, ia harus nyambi bekerja di Toko Citra Mas Wonomulyo. M. Said Sidar memberinya kesempatan menyelesaikan studinya di tingkat SMA. Terhitung sejak tahun 2004 hingga 2011, ia menjadi karyawan PT. Citra Mas Silolongi mulai dari Wonomulyo sampai ke Fajar Mas Mapilli dan Albar Cell yang juga milik Said Sidar (politisi yang telah 4 periode jadi anggota DPRD Polman). 

Hamzah sempat merantau ke Negeri Seberang, Kuala Lumpur selama 2 tahun setengah. Sepulang dari sana, ia kembali dipanggil oleh Said Sidar sebagai Sopir Pribadinya dari tahun 2014 sampai 2021. Politisi PAN itu menjadikan Hamzah banyak berbaur dengan politisi di DPRD Polman. Ia banyak belajar dari para politisi dan mengenal banyak karakter yang berbeda. Jika kemudian Hamzah menjadi politisi tentu bukan hal yang tabu, sebab ia faham betul bagaimana harusnya menjadi wakil rakyat. 

Hamzah telah mengambil keputusan maju sebagai Caleg dari PAN No. 5 Dapil 3 Polman. Keputusannya itu harus kita sambut gembira dengan dukungan suara dan doa. Harapan kita tak lain adalah menjadi bagian dari perjuangan rakyat untuk meretas gerakan politisi kotor yang selama ini mencederai demokrasi di negeri ini. 

Kami mengajak semua pihak bergerak secara kolektif dan menjadikan Politik Uang sebagai musuh bersama. Kedepan, masyarakat harus berdaya dan mendapatkan hak-haknya yang azasi sebagai rakyat. 

Jika anda sepakat, maka Jangan Panggil Aku, Jika Bukan Untuk Perjuangan. 
Salam Demokrasi !!! 



Minggu, 04 Februari 2024

MENGENAL IMAM JANGGO'

MENGENAL IMAM JANGGOQ, IMAM LEGENDARIS MESJID AL HURRIYYAH TINAMBUNG.

By Muhammad Ridwan Alimuddin

Dari sekian imam mesjid Al Hurriyyah Tinambung, ada satu yang melegenda. Mungkin karena sapaannya yang nyentrik dan mudah diingat, Imam Janggoq "imam berjanggut". Nama aslinya K. H. Achmad Alwy, ulama dari Pambusuang yang lahir di Mekkah di awal abad ke-20. Achmad lahir bisa lahir di Mekkah karena saat menunaikan ibadah haji, ibunya, bernama Puang Sapi, sedang hamil.

Selain belajar agama dari orangtuanya, K. H. Alwy "Annangguru Kaeyyang", juga berguru ke pamannya, K. H. Yasin (Annangguru Kacing, menjadi warga negara Arab Saudi dan wafat di sana), K. H. M. Ghalib (Annangguru Gale), K. H. Syed Hasan bin Sahil, dan K. H. Syahabuddin (bukan K. H. Syahabuddin pendiri Univ. As Syariah Mandar).

Imam Janggoq memegang amanah sebagai imam mesjid Tinambung dua periode. Pertama dari tahun 1936 – 1942, menggantikan ayahandanya yang wafat di tahun 1936, tepat 1 Ramadhan kala memimpin jamaah tarwih (imam) di rakaat terakhir shalat witir.

Jabatan imam dilepaskan ketika terlibat dalam perang kemerdekaan. Alwy muda terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Pambusuang. Hal itu membuatnya jadi buronan Belanda. Lewat campur tangan Imam Lapeo, Alwy diungsikan ke luar Mandar, berpindah dari satu pulau kecil ke pulau kecil lain di Selat Makassar dan Laut Jawa sambil tetap berdakwah.

Sang imam berjuang lewat organisasi Jami’atul Islamiyah dan KRIS Muda Mandar. Sebelumnya pada 1929 mulai aktif politik lewat partainya HOS Cokroaminoto, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia cabang Mandar.

Tahun 1959 bekerja di Kantor Legiun Veteran Cabang Mandar yang berkedudukan di Makassar di bawah pimpinan Riri Amin Daud. Tahun 1962 diutus ke Bandung mempelajari persuteraan alam. Imam Janggoq-lah pionir budidaya ulat sutera di Mandar, yang mana sebelumnya bahan baku benang sutera diimpor dari Cina.

Kembali diminta menjadi imam mesjid Tinambung pada awal Januari 1963. Andi Depu, sang Raja Balanipa, mengutus adiknya Abdul Malik Pattana Endeng ke Pambusuang, menemui K. H. Ahmad Alwy. Jabatan imam terus diembang sampai wafatnya, 19 Maret 1983. Makamnya di dalam "koqba" di Kompleks Makam Koqba, Pambusuang.

Sebagai ulama cum pejuang dan praktisi (sutera), Imam Janggoq aktif berdakwah, mengelola mesjid, dan sosial kemasyarakatan. Perawatan dan pengembangan mesjid Raya yang bertiang 100 buah, pagar-pagar, dan sebagainya, semuanya menjadi tanggung jawab beliau di samping menjaga agar jama’ah mesjid tetap terpelihara. 

Imam Janggoq-lah yang memulai pengadaan lampu listrik di mesjid Tinambung serta penyediaan "kollang" untuk berwudhu. Penting dicatat, masa Imam Janggoq-lah sehingga mesjid di Tinambung memiliki nama. Awalnya hanya disebut Mesjid Jami Tinambung untuk kemudian menjadi Mesjid Al Hurriyyah Tinambung.

Jumat, 22 April 2022

SAMBUTAN KELUARGA BESAR Hj. SITTI MAEMUNAH DJUD PANTJE

 


Assalamu Alaikum Wr. Wb.

 

            Hamdan wa Syukran Ilallah, Shalatan wa Salaman ‘ala Rasulillah. Pertama-tama, atas nama pribadi dan keluarga, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Sulawesi Barat terutama Adinda Muhammad Munir dan semua yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Terima kasih, telah bersedia meluangkan waktunya untuk melacak jejak Hj. Maemunah Djud Pantje yang notabene kakak kami dari pihak ayah, Muhammad Saleh. Kami tentu bahagia, sebab tiba-tiba saja keluarga kami dari Baruga Majene menelpon ke Makassar sekaligus menyambungkan kepada Dinda Muhammad Munir. Hari itu Munir menyampaikan hasil penjejakannya terhadap sosok Maemunah mulai dari kampung kelahirannya sampai ke tempat pemakaman terakhirnya di Pekuburan Dadi Makassar.

 

            Upangipi sala toi, jika kemudian buku ini bisa terbit, sebab selama ini kami tak pernah berfikir membukukan apalagi harus membentuk tim penulis untuk menuliskan jejak Maemunah sebagai sosok pejuang, sebab keluarga kami berjuang adalah pilihan hidup, lain tidak. Jika saja Memunah berfikir sebagai pribadi, ia tentu tetap menjadi guru atau pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, ia bisa menikmati hidup dengan nyaman dan berlimpah materi. Tapi pilihan untuk berjuang bersama rakyat adalah keputusan yang tak mungkin dicegah. Begitupun konsekwensi atas perlawanan yang dilakukannya harus membuatnya menderita, bahkan nyaris seumur hidupnya ia habiskan demi perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Saya sekeluarga ikut merasakan bagaimana rasanya hidup dalam kungkungan penjajahan.Betapa masa-masa pergolakan di Mandar ikut membuat kami harus terusir dari tanah kami dilahirkan.

 

            Sebagai saudara, Maemunah adalah sosok yang akan terus kami banggakan. Tak peduli apakah sebagai pejuang ia diberi penghargaan atau tidak. Sebab harga yang telah dibayarkan Maemunah selama hidupnya tentu tak akan mampu kami takar. Terlebih jika harus menggunakan nama besarnya untuk ajang gagah-gagahan. Maemunah adalah guru , pejuang yang tak kenal kompromi. Bagi kami dan bagi Maemunah sendiri memilih hidup bermanfaat bagi sesama, ia ingin hadir membahagiakan, bukan untuk membahayakan. Itulah makanya, nyaris selama hidupnya ia tetap berjuang guna memberi manfaat pada Mandar dan bangsa Indonesia.

 

            Sebagai keluarga, kami tau dan kami faham. Sejak wafatnya, ia dimakamkan di Pekuburan Dadi Makassar bersama ribuan warga masyarakat Makassar. Tak ada yang istimewa dari makamnya. Tak ada penanda yang mencerminkan sebagai sosok pejuang. Itu kami biarkan, sebab kami bukan type keluarga yang haus dengan penghargaan dan penghormatan. Kami biarkan begitu, sebab bangsa ini sejak lahirnya, slogan Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Pahlawannya kerap didengungkan dalam setiap momentum. Dan ketika Dinda Muhammad Munir berinisiatif menulis buku tentang beliau, praktis kami mendukung sepenuhnya hingga buku ini lahir sebagaimana adanya. Harapan kami tentu saja menginginkan jejak beliau bisa kembali dibaca minimal oleh keluarga besar kami, bersyukur jika kemudian bisa diakomodir sebagai bacaan umum di sekolah-sekolah di Mandar.

 

            Proses lahirnya buku ini juga kami tak ingin terlibat secara penuh selain mendukung, sebab kami sepenuhnya memberikan restu dan kewenangan kepada penulis untuk mengungkap dan menyingkap Sosok Maemunah sesuai data dan fakta yang ada. Kami bahkan tak ingin memberi catatan apresiasi andai penulisnya tidak memohon dengan sangat. Makanya apresiasi ini kami buat kepada pemerintah dan kepada penulis saja, sebab yang anda baca pada buku ini adalah hasil penjejakan murni dan ditulis berdasarkan data yang ada. Andai kata buku ini kemudian menghasilkan rekomendasi bahwa Maemunah adalah sosok yang layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, semua kami serahkan kepada pemerintah dan kepada masyarakat Mandar Sulawesi Barat.

           

            Akhir kata, semoga semua yang terlibat dalam proses lahirnya buku ini diberikan umur yang panjang, sehat dan sukses serta ma’barakka’ diseseta iyanasanna. Amin.

 

Makassar, 30 September 2021

 

 

 

 

ABRAR

 

Sabtu, 21 September 2019

HUSNI DJAMALUDDIN: "Ya, Betul. Dia Panglima. Titik!".

Catatan Muhammad Munir
Foto alm.Husni Djamaluddin saat Megawati Soekarno Putri kunjungan kerja ke Polewali Mandar, 26 Juni 2004

15 Tahun Sulawesi Barat ini, izinkan saya melisan tuliskan sosok Husni Djamaluddin, kendati saya bukan orang orang yang pernah berguru langsung. Bertemu pun tak pernah selain hanya melihatnya beberapa kali dalam kurun waktu 1999, 2000, 2001 dan terakhir 2004, itupun hanya sekedar melihatnya sepintas.
Pernah suatu ketika saya ditanya siapa yang menjuluki Husni Djamaluddin sebagai Panglima Puisi?. Pertanyaan ini tentu saja membuat saya tersentak sebab pembacaan dan pemahaman saya tentang beliau sebatas pada Trilogi Bacaan: Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal; Adakah Kita Masih Bertanya?; Indonesia, Masihkah Kau Tanah Airku?. Saya yakin pertanyaan ini akan terus muncul dan bisa menjadi bom waktu bagi penggiat literasi ketika tak mampu memberikan jawaban.

Minggu, 06 Mei 2018

Melacak Jejak Topole di Balitung (3) "Gara-Gara Literasi"

Melacak Jejak Topole di Balitung (3)
"Gara-Gara Literasi"

Pak Mansur dan Danu
  
      Secara geografis Pulau Belitung berada pada posisi 2°30’ - 3°15’ Lintang Selatan dan 107°35’ - 108°18’ Bujur Timur pada bagian utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur Selat Karimata, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Gaspar dan batas Selatan dengan Laut Jawa. Pulau Belitung banyak dikelilingi pulau-pulau besar dan kecil dengan jumlah sekitar 189 pulau. Luas wilayah Pulau Belitung seluas 34.496 km² terdiri dari 4.800 km² daratan dan 29.606 km² perairan. Daerah ini sekarang terbagi dalam dua wilayah kabupaten, Kabupaten Belitung yang terletak di bagian barat pulai ini beribukota Tanjungpandan dan Kabupaten Belitung Timur yang ibukotanya adalah Manggar. Di Belitung Timur inilah Ahok (Basuki Tjahya Purnama) pernah menorehkan sejarah sebagai Bupati.
          Setelah jadi Bupati, Ahok kemudian mencoba meraih peruntungan ke Senayan dan lolos jadi Anggota DPR RI untuk selanjutnya jadi Wakil Gubernur mendampingi Jokowi. Setelah Jokowi jadi RI 1, Ahok kemudian menempati posisi nomor 1 di DKI. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Ahok disandung perkara Al-Maidah 51 yang terkesan dipolitisasi sehingga harus menjadi pesakitan dan sekarang harus berada di Hotel Prodeo. Gaerah Belitung Timur saat ini dinakhodai oleh saudara Yusril Ihza Mahendra. Adapun Kabupaten Belitung yang ibukotanya Tanjungpandan ini menjadi tujuan utama untuk melacak Jejak I Calo Ammana Wewang. Rupanya disini pula DN. Aidit, tokoh sentral dalam perbincangan dan literatur Komunis Indonesia ini dilahirkan.


          Senja mulai menggoda, gemercik air dari sungai kecil dibelakang Kandang Gapabel ikut menjadi penikmat suasana. Diskusi tentang I Calo Ammana Wewang semakin seru ketika Mansur Mas’ud muncul memenuhi panggilan Bang Yongki. Mansur Daeng Sila adalah sesepuh masyarakat Bugis Belitung yang di internal Gapabel termasuk dituakan. Wajahnya sangat familiar bagiku. Bukan lantaran sebelumnya sudah pernah bertemu, tapi lebih disebabkan oleh kemiripan wajah dan postur tubuhnya dengan A’ba Tammalele. Dalam hatiku, ini mungkin orang Mandar, bukan orang Bugis. Tapi bagaimanapun antara Bugis dan Mandar sesungguhnya merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan integral ketika kita mentadabburinya dengan pepesan dari leluhur.
          Kendati Pak Mansur juga barusan mendengar nama I Calo Ammana Wewang, jelas dari mimik dan bahasa tubuhnya cukup meyakinkanku bahwa di Belitung ini, misi utamaku akan sangat terbantu dengan keberadaan Jaringan Pustaka Bergerak. Hal itu terbukti dari banyaknya mereka menghubungi beberapa tokoh di Belitung ini dan menyampaikan informasi kedatangan saya ini ke Belitung. Bahkan saat itu juga ada yang Yanto dkk datang menyapa serta terlibat dalam diskusi awal yang membuatku tak merasakan lelah dari perjalanan panjangku sejak pukul 23.00 kemarin dari Mandar ke Belitung. Pak Rosihan, adalah salah satu tokoh budaya dan sejarawan adalah nama pertama yang direkomendasikan kawan-kawan dari Gapabel, dan saya hanya mengiyakan, kapan saja untuk bisa dipertemukan dengan beliau.
          Setelah berdiskusi lebih 1 jam, mereka kemudian pamit satu-satu. Dita dan Danu serta Bang Jokie telah memberiku spirit untuk tetap semangat. Sesaat setelah mereka pergi, Saya kemudian minta ijin pada Pifin Herianto, pemuda gondrong yang ternyata merupakan Ketua Gapabel. Pifin inilah yang menamniku di Kandang (sebutan untuk Markas atau Sekretariat) untuk menyegarkan tubuh di kamar kecil yang ada disamping kandang. Guyuran pertama air di Belitung begitu segar. Cuaca panas dan seharian tak mandi membuat tubuhku terasa penat. Ti’au pai uwai anna ti’au alaweu” Sebuah bi’jar atau sejenis mantra leluhur yang kerap jadi pesan utama kakekku saat pertama kali mandi di kampung orang. Sesederhana itulah kearifan lokal leluhur Mandar bahwa air dimanapun didunia ini selain menjadi elemen dasar kebutuhan manusia, air juga menjadi kunci pertama untuk menjaga diri (jiwa dan raga) dimanapun.
          Mandar adalah suku yang sejak tak lain konotasi maknanya adalah air atau sungai. Filosofi tentang air yang mengalir menemukan jati dirinya pada titik-titik terendah. Tak sekalipun air mencari kesejatiannya pada titik-titik yang lebih tinggi. Air selalu mengalir pada tempat-tempat yang rendah. Air ketika keluar dari mata air, akan terus mengalir tenang, enggan berhenti. Kendati air dibendung pun ia tetap harus dialirkan agar bendungan tak dibobol. Dalam skala terkecil air disumbat, maka ia akan menghindari obyek yang menghalangi, terus dan terus mencari dimana titik bisa mengalir dengan nyaman. Filosofi ini mengajari setiap generasi Mandar bahwa dalam hal apapun, jangan pernah menjadi manusia yang angkuh dan ingin menjadi yang paling benar atau disanjung. Pun jika ada yang mencoba mengganggu, maka menghindarlah.
Begitulah air. Ia mengalir mencari alur, membuat arus. Pada posisi ia selalu diganggu kenyamannya maka tunggulah, air akan menjadi air bah yang mampu meluluh lantakkan apa saja yang menghalanginya. Air hanya patuh kepada titah tuhan untuk terus mencari alur untuk mengalir. Maka jangan heran jika orang yang betul-betul Mandar hanya akan patuh pada orang yang patut untuk dipatuhi. Selain filosofi, elemen air dan sungai rupanya menjadi simbol yang abadi dalam literatur sejarah Mandar.
Tanah Mandar berarti Tanah dan Air. Maka konsep tanah air itu terbukti bahwa 14 kerajaan di Mandar merupakan kerajaan yang dibangun dengan semangat Sipamandar atau Passemandarang yang maknanya saling mengautkan. Pitu Ulunna Salu (Tujuh kerajaan di hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binaga (Tujuh Kerajaan di muara sungai) adalah konsep Negara Konfederasi yang leluhurnya pun berasal dari konsepsi tomanurung yang kesemuanya identic dengan air (Tobisse di Tallang, Tokombong di Bura, Tomonete di Tarauwe dan Todisesse di Tingalor) bahkan leluhur Pongkapadang dan Torije’ne’ yang dikonsepsikan sebagai manusia pertama peletak dasar peradaban di Mandar ini tak lepas dari air. Pongkapadang yang merupakan simbo air pegunungan dan Torije’ne (istrinya) merupakan symbol air dari pesisir.


Lalu kaitan Mandar dengan Belitung itu dimana? Selain Topole di Balitung yang dibuang Belanda pada Abad-20, sebelumnya leluhur orang Mandar atau Raja Sendana, Tomatindo di Balitung atau Tomottong di Balitung. Ia adalah sosok yang sekitar abad ke-17 Masehi di Kerajaan Sendana lahir sosok “Tomatindo di Balitung” yang di negeri seberang berjuang melawan kebiadaban kolonialisme Belanda. Beliau oleh Prof. Dr. H. Zainal Abidin Farid, SH. menyebutkannya sebagai ”Sijago dari Selat Malaka”. Dalam banyak catatan, Tomatindo di Balitung juga diketahui banyak melahirkan falsafah yang berhubungan dengan etika kepemimpinan di tanah Mandar, termasuk yang memasukkan bibit kayu jati ke Mandar dan Tumarra (Timah) untuk keperluan ladung dan pemberat pada alat tangkap ikan seperti pukat dan tappe (alat tangkap ikan dengan kail dan tasi).
Maka tak salah kemudian jika saya begitu yakin ke Belitung seorang diri, sebab di tanah ini pernah tertanam jazad seorang raja dari Mandar yang tubuhnya itu diurai oleh tanah dan menjadi saripati yang diserap oleh akar tanaman sehingga tanaman tumbuh dengan subur dan menjadi nutrisi penting dalam proses metabolism tubuh manusia Belitung. Jadi Mandar dan Belitung pernah terjalin hubungan kekerabatan yang begitu kuat, maka hari ini saya menawarkan diri pada personil Gapabel bahwa inilah generasi Mandar yang halal menjadi saudara kalian. Kalian adalah sosok-sosok yang sangat berharga dan oleh karenanya, kalian saya abadikan dalam tulisan saya.
                  
WW. House Belitong, 22 April 2018                                                                        23:40

Melacak Jejak Topole di Balitung (2) "Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Melacak Jejak Topole di Balitung (2)
"Tapak-Tapak Itu Mulai Nampak"

Diskusi di Rumah Baca Akar, Kandang Gapabel Belitung

Bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 10.25 pada Minggu pagi melalui Terminal 1A gate 4 Bandara Internasional Soekarno Hatta. Ribuan rasa menyeruak yang membuatku terus membatin. Setelah tiba di Belitung, saya mengarah kemana ya? Postingan saya di grup Literasi Bangka Belitung tak ada respon, sampai kemudian pesawat Boeing 737 maskapai penerbangan Lion Air. Udara kian terik ketika pesawat tepat menyentuh runway Bandara Belitung. Pukul 11.30 para penumpang bergegas mengambil barangnya dari atas kabin pesawat. Sejurus kemudian mereka beranjak dan berjalan bagai serdadu menuju pintu keluar bagian depan pesawat. Aku masih duduk dengan tenang.
Aku sengaja menjadi orang yang terakhir turun dari pesawat. Kurogoh kantong jaketku dan mengeluarkan gawai untuk terhubung dengan dunia diluaran sana. Harapan terbesarku adalah sebuah pesan yang bisa menolongku untuk melangkah pasti ketika kali pertama kakiku menjejak di tanah Belitung. Harapan itu ternyata tak ada. Begitupun dengan yang kuharapkan dari WAG Literasi Bangka Belitung. Ada asa yang terus kueja dalam benakku bahwa tujuanku ke Belitung jelas merupakan sebuah wujud pengabdianku pada tanah lehurku, Mandar.
Satu keyakinan bahwa di Belitung ini, ada leluhurku yang merelakan seluruh apa yang dia miliki dan apa yang ada padanya menjadi nutrisi bagi tanah Belitung. Inilah spirit yang terus membangun jiwaku pada satu harapan bahwa: Ketika kakiku menginjak bumi Laskar Pelangi ini, maka semua yang punya tapak di tanah ini pasti merasakan getarannya. Keyakinan itu yang membuat jiwa besarku melangkah menuju terminal kedatangan Bandara.
Dalam terik yang kian menusuk ubun, ada sebuah pemandangan yang menghentak ketika akan melangkah masuk dalam terminal kedatangan bandara. Tepat diatas bangunan bandara, sangat jelas sebuah kalimat bertuliskan Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin. Yah, Bandara Internasional yang dimiliki oleh sebuah daerah sekelas kabupaten Belitung. Saya nyaris tak percaya, jika di Kabupaten Belitung bagian barat ini memiliki fasilitas. Berskala Internasional.
Berada diantara ratusan penumpang di Terminal kedatangan, saya melihat sosokku berada di hutan belantara. Rimbun semak manusia tak satupun aku kenal. Dengan sisa tenaga aku terus berjalan menyusuri petunjuk keluar bandara, kata exit bagiku sudah sangat hafal dan faham. Begitu tiba diluar bandara, para driver silih berganti menawarkan layanan antar dan paket penginapan. "Maaf, saya dijemput sama keluarga, Mas". Begitulah aku berdalih pada mereka. Toh saya juga belum tahu akan mengarah kemana, sebab dari WAG tak satupun tanggapan yang masuk. Setelah sebatang rokok Urban kunikmati, kucoba melangkah ke arah kanan pintu terminal. Disudut kanan itu terdapat sebuah Kantin Darma Wanita Bandara. Sekedar mengisi waktu sekaligus membayar tagihan perut yang sejak pagi belum terpenuhi. Soto daging dan segelas kopi susu jadi pilihan.
Sekali-sekali saya mengintip layar ponsel dan berharap ada info dari member WAG Bangka Belitung Literasi. Tak terhitung berapa batang rokok yang saya jadikan nisan pada mangkok soto sebagai asbak. Suara adzan tanda waktu dhuhur berkumandang dari masjid yang tak jauh dari bandara. Kuucap syukur alhamdulillah seiring takbir Allahu Akbar dengan lirih. Kepada Tuhan jualah segalanya kuserahkan, sebab Dialah pemilik dan penentu segala rencana. Ketika sedang asik-asiknya menyeruput kopi, tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ternyata ada pesan masuk di WAG. Kali ini pesan yang masuk ada di beranda WAG Literasi Bangka Belitung. Sederet kalimat komentar tersusun beberapa baris. Pesan dari salah satu member WAG yang mengucapkan selamat datang di Belitung.
Kalimat selanjutnya adalah permintaan maaf sebab tak bisa menjemput ke Bandara lantaran hari ini bertepatan hari Bumi, 22 April 2018. "Kak Munir keluar dari bandara via taksi menuju ke belakang stadion dibawah warna-warni, biasanya sopir faham itu sekret Gapabel". Komentar yang singkat itu laksana terpaan hujan ditengah kemarau. "Siap. Saya menikmati suasana dulu di bandara". Tulisku pada komentar sebagai basa basi. Bandara Bulutumbang yang sekarang menjadi Bandara Internasional H. AS. Hananjoedin ini tak lagi jadi penjara bagiku. Setidaknya aku sudah bisa bergerak dengan arah yang jelas.
Gapabel (Gabungan Pecinta Alam Belitung) itulah yang akhirnya menjadi titik awal kehadiran saya dalam misi pelacakan Jejak I Calo Ammana Wewang. Jejak itu mulai mulai tampak sekaligus menandai tapak pertamaku ketika keluar dari bandara. Sopir Taksi bernama Abus (62 tahun) mengantar saya ke Kandang Gapabel. Dalam perjalanan menuju secret Gapabel, Pak Abus yang ternyata orang Bugis ini banyak memberi info terkait Belitung setelah mengetahjui bahwa saya dari Sulawesi.
Hanya dalam hitungan belasan menit kami sudah tiba di Stadion Tanjungpandan. Kami mengelilingi jalanan disekitara stadion mulai dan sampai di depan Kantor Kelurahan Pangkallalang Kec. Tanjungpandan kami harus bertanya pada warga sekitar tentang Warna-Warni. Ternyata warga faham betul tentang Warna-Warni yang ternyata adalah WW.House Belitong. Kami kemudian memutar untuk mencari dimana Kandang Gapabel berpijak. Sempat mobil kami melampaui Kandang yang kami cari, tapi rupanya Dita (Penanggungjawab Rumah Baca Akar Belitung) melihat mobil kami melintas. Ia kemudian menelfonku Via WA, dan meminta kami segera putar haluan untuk kembali.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, nampak seorang wanita berkaca mata bening yang langsung menyapa ketika mobil yang saya tumpangi berhenti. Sebuah bangunan mungil model panggung yang cukup artistik. Di beranda terdapat beberapa anak kecil yang sementara mewarnai gambar. Begitulah Dita dan beberapa personil selama ini memesrai anak-anak Belitung dalam penguatan literasi anak-anak. Rumah Baca Akar merupakan bentukan program baru dari Gapabel untuk berkonstribusi dalam mencerdaskan anak negeri ini melalui Jaringan Pustaka Bergerak Indonesia besutan Nirwan Ahmad Arsuka dkk.
Rumah Baca Akar memang masih baru dan menjadi satu-satunya rumah baca di Kota Tanjungpandan. Barang-barang di bagasi mobil yang terdiri dari rangsel dan bagtour kin berada di Beranda. Selain Dita dan anak-anak yang sedang asik mewarnai gambar, ada juga anak muda bernama Danu yang menyambutku dengan sangat ramah. Masyarakat Belitung pada umumnya sopan dan hormat pada tamu. Belajar dari Sopir Taksi dan warga yang saya tanya tentang secretariat Gapabel tadi menjadi indicator penilaian. Mereka langsung cair dan responsip.
Dita dan Danu menemaniku berbincang-bincang santai. Kami berhadapan dimeja yang terbuat dari rangka perahu tradisional Belitung. Panjang perahu sekitar 2 meter. Bagian atas ditutup dengan triplek 5 mm sehingga berfungsi ganda, bisa meja untuk belajar sekaligus meja buat ngopi bareng. Selang beberapa menit kemudioan, muncul sosok yang agak kekar. Tubuhnya besar agak hitam manis. Rupanya Bang Jokie (demikian sapaan pria yang bernama lengkap Jookie Vebriansyah ini) inilah penggagas Gapabel. Bang Jokie ternyata sosok yang sangat peramah. Tadinya saya agak ragu dan segan melihat penampilannya. Tapi setelah mulai diskusi nampak sebuah pribadi yang sangat arif dan empati.
Bang Jokie, Danu dan Dita sibuk mengontak beberapa personil Gapabel. Dalam hitungan menit, sosok muda yang bernama Wahyu Kurniawan muncul. Kami berjabat tangan. Tak lama kami pun larut dalam diskusi. Saya mengutarakan maksud kedatangan ke Belitung. “Saat ini kami sedang mempersiapkan penulisan Biografi salah seorang Tokoh Pejuang Mandar yang akan diusulkan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan dari Mandar Sulawesi Barat. Bel;iau adalah I Calo Ammana Wewanng yang bergelar Topole di Balitung. Beliau ini dibuang Belanda tahun 1907 dan berdiam kembali ke Mandar pada tahun 1944”.
Wahyu dan semuanya maksyuk mendengarkan penuturan saya. Wahyu kemudian mengambil kamere digitalnya dan meminta saya untuk berpose bersama Dokumen tentang I Calo Ammana Wewang dengan memperlihatkan selembar Kaos Oblong bergambar I Calo Ammana Wewang dengan tulisan ditas foto “Topole di Balitung”. Kaos tersebut sebagai penegasan bahwa kami sejak dulu mengenal Belitung dalam gelar salah satu pejuang kami. Rupanya Wahyu adalah seorang Jurnalis di Media POS Belitung. Ia mengorek keterangan dari saya untuk rilisnya di Koran Harian Terbesar oplahnya di Belitung ini. Selain Jurnalis, ia rupanya seorang Penulis Buku. Hal itu saya tau ketika ia menyerahkan satu eks buku dengan cover warna oranye berjudul “Tambang Timah Belitong Dari Masa ke Masa”. Setelah cukup keterangan, ia kemudian pamit dan berlalu meninggalkan Kandang Gapabel. Bang Jokie, Danu, Dita masih menemani kami dengan kopi dan penganan alakadarnya di sore menjelang senja itu.


                                                   Minggu, Rumah Baca Akar, 22 April 2018


Melacak Jejak Topole di Balitung (1) "Iyau Tomandar"

Melacak Jejak Topole di Balitung (1) 
"Iyau Tomandar"


Malam kian beranjak. Gerimis sempat mengintip malu-malu ketika usai makan malam bersama keluarga besar Rumpita di Warung Barokah di sudut kiri simpang tiga Taman Kota Tinambung yang terdapat Patung Andi Depu. Warung Barokah menjadi alternatif bagi keluarga Rumpita untuk jika dalam kondisi emergency. Warung Barokah bersih, makanannya enak dan dikelola oleh orang Jawa. Menu favoritku di warung ini pasti nasi goreng kalau bukan pangsit. Menunya pas dan terkesan murah untuk sekedar memanjakan lidah. 1 porsi nasi goreng maupun pangsitnya hanya dibandrol 10K.
Begitulah, setelah ngopi dan sedikit diskusi dan berwejangan sama anak-anak Rumpita terkait beberapa agenda Wisata Buku, saya akhirnya berkemas untuk bersiap-siap berangkat ke Makassar. Asrar mengambil peran menunggu mobil yang kemudian disusul oleh Kadir, Adhy, Nizar, Ade, Indi dan tentu saja Erna, mamanya Ibnu. Erna, sosok wanita yang dengan setia merangkai do'a untuk saya, kendati harus melupakan kenikmatan do'a untuk dirinya. Tepat pukul 22.30 menit, mobil Bus Sipatuo milik perusahan PIPOSS berhenti tepat di depan Masjid Nurul Amin Kandemeng. Sisa kopiku masih sempat kuseruput untuk selanjutnya saya berjalan menuju ke arah depan dimana mobil dan anak-anak Rumpita menunggu.
Satu persatu kusalami, Aku larut pada lingkup berkah ketika doa kulangitkan diantara pelukan kasih sayang dan ciuman mesra pada kening istri dan anakku sebagai pola pamitan. Terima kasih sayang. Kau masih setia dan merelakan duniamu kugelapi dan kuterangi ! Aku berangkat sayang. I Love You.... Mesin mobil menderu, sedetik kemudian bergerak pelan pada saat saya sudah duduk tenang di Jok kursi nomor tiga dibelakang kondektur dan sopir. Dibilangan 21 April 2018 Pukul 22.40 menit menandai perjalanan panjangku dimulai.
Bertolak dari Kota Para Daeng (Mandar) menuju Kota Daeng (Makassar). Route Tinambung, Polewali, Pinrang, Parepare, Barru, Panggkep, Maros berujung pada gerbang Bandara Internasional Hasanuddin. Dingin AC mobil terasa menyengat sampai keulu hatiku ketika kondektur berteriak Bandara....bandara....Lewat pintu bandara, mobil melaju masuk ke arah pintuk keberangkatan bandara. Disamping jalan kiri kanan sepanjang akses ke termanal bandara, nampak promosi OPPO F5 berjejer laksana serdadu.
Lebih dekat ke terminal OPPO diganti dengan promosi produk Class Mild. Hingga saat jarum jam menunjuk angka 04-50 mobil berhenti tepat dipintu keberangkatan. Saya bangkit dari tempat duduk menuju pintu keluar mobil bagian depan. Pas di trotoar pintu terminal keberangkatan, puluhan anak-anak berhamburan menyerbu ke arah Bus yang saya tumpangi. Bocah-bocah itu ternyata kawanan kuli panggul di bandara. Kendati mungkin keberadaannya tidak resmi, sebab rata-rata mereka adalah anak usia sekolah atau dibawah umur tapi paling tidak ada yang menarik untuk saya catat dari mereka itu. Menunggu bag tour yang semalam saya bagasikan lewat kondektur, belum sempat saya sentuh kopor itu sudah ditadah sama bocah-bocah kecil itu.
Saya berusaha merebutnya tapi dia malah memotong jarak dan melompati pembatas besi tang terdapat di koridor terminal bandara. Hanya satu kata yang terucap dari mulutnya saat saya ikut dibelakangnya, "Saya bantuki pak, ndak usah dibayar". Beberapa saat kemudian bag tourku diletakkan pas dipintu masuk bandara. Kendati ia mengatakan tidak usah bayar, tapi sebagai manusia, tentu saja uang 2.000an bukan masalah, justru lembaran 5.000an yang saya serahkan. Pukul 06.00 pagi, setelah melalui pintu yang terdapat detektor dan pelayanan boarding pas saya langsung menuju ke eskalator sebab panggilan untuk Chek In sudah ada.
Pesawat milik maskapai penerbangan Lion Air ini mengantar penumpang tujuan Jakarta termasuk saya yang transit di Jakarta untuk menuju ke Kota Timah Belitung. Setelah melewati waktu tempuh 2.15 menit, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng tepat pada jam 07.15 menit waktu Jakarta. Tiba diterminal kedatangan. Barisan pekerja jasa travel dan hotel segera menyerbu menawarkan diri untuk layanan antar ke tujuan. Dipintu keluar bandara, segera kuambil arah kiri untuk masuk ke Terminal Keberangkatan 1 sambil menunggu penerbangan ke Belitung.
Didalam area terminal keberangkatan segera kukabarkan pada sanak famili sebab jam 10.00 pesawat tujuan Jakarta Belitung lepas landas. Pagi di lembar 22 April 2016 kurenda di ruang tunggu Gate 4 Bandara Soekarno Hatta. Saat Handphone kuaktifkan, puluhan pesan via WA masuk dari grup keluarga Rumpita. Termasuk pesan dari Yuyun Husni Djamaluddin, yang menanyakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan di Hotel Maleo Mamuju mengenai pengembangan dunia literasi. Belum sempat japriannya kubalas, beliau menelpon langsung. Poin penting dari percakapan kami adalah spirit yang kerap ia ingat dari almarhum ayahnya, "Iyau Tomandar". Bahasa yang singkat, namun penuh makna yang dalam dan panjang untuk dinarasikan. Selain menjadi pengisi waktu menunggu pesawat, rupanya diskusi saya dengan doktor cantik putri Sang Beruang Sulbar atau Panglima Puisi ini ternyata memberi spirit untuk perjalanan saya ke Belitung.
Maka, sepakatlah saya dengan Mbak Yuyun bahwa Diskusi Remapping Sulbar harus mengusung tema Iyau Tomandar. Demikian hasil perbincangan saya dengan dosen Perpolisian Masyarakat yang pada Debat Kandidat Pilgub Sulbar 2017 lalu menjadi Host atau pemandu. Spirit "Iyau Tomandar" dari Yuyun ini sampai ke Belitung menjadi sebuah jawaban bahwa melacak jejak seorang diri dengan obyek Melacak Jejak Topole di Balitung ini merupakan tindakan berani dan nekat. Begitulah teman-teman di Kandang Gapabel mencandaiku. Jawaban singkat saya "Iyau Tomandar" Pesawat akhirnya take off menuju Belitung, Kota Laskar Pelangi tepat jam 10.30 dan tiba di Bandara Belitung jam 11.25 menit.


                                                          Jakarta-Belitung, Minggu 22 April 2018

Jumat, 09 Juni 2017

Mengenal Muhammad Daeng Patompo (Dari Binuang ke Kota Daeng)


 
Muhammad Daeng Patompo, dilahirkan pada tanggal 16 Agustus 1926 di Lembah Binuang Kabupaten Polewali Mandar. Binuang merupakan dataran subur dengan hamparan persawahan ini merupakan tempat kenangan indah yang tidak bisa dilupakan oleh Patompo. Di Desa inilah ia menghabiskan masa kanak-kanaknya, bermain-main dan dibesarkan oleh orangtuanya dengan penuh cinta dan kasih sayang.
     Ayahnya, Puang Bakkidu adalah seorang pedagang besar keturunan bangsawan, pemuka agama yang berasasal dari dari Rappang dan Wajo.  Ibunya, Andi Besse Mappa adalah seorang keturunan Raja di Kerajaan Binuang, Andi Paenrongi. Ketika itu adalah raja atau Selfbestuur di Kerajaan Binuang yang berbatasan dengan Balanipa-Tinambung kerajaan Majene Pambauang-Mamuju yang disebut Pitu Babbana Binanga.
Nama kecil Patompo adalah Andi Sappewali yang dibesarkan oleh ibunya sendiri, dan mempunyai kakak kandung  yang bernama Andi Iskandar yang  juga kelahiran Binuang pada 17 Desember 1923.[1]

Masa Sekolah
Patompo masuk sekolah di SR yaitu sekolah rakyat pada sekitar 1933 tapi kemudian dibawa pamannya ke Rappang. Di sana ia disekolahkan di Madrasah Ibtidaiah Muhammadiyah. Saat di kelas 3, Patompo masuk kepanduan Hizbul Wathan (HW). Karena tak merasa betah terpisah dan jauh dari ibunya, Ia hanya bertahan satu tahun di Rappang. Patompo kembali ke Binuang dan menamatkan sekolahnya di Volkschool. Setelah tamat,  melanjutkan pelajaran di perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Maman Sophian Patompo. Ia diterima duduk di kelas 4 melalui ujian. Tapi ibunya lalu memindahkan lagi ke sekolah Belanda HIS di Majene dan duduk di kelas 5.
Saat itu pendudukan Jepang, semua sekolah ditutup diganti dengan sekolah Jepang. Patompo memilih melanjutkan sekolah di Makassar. Di Makassar Patompo dapat berbahasa Jepang dalam jangka enam bulan. Patompo tinggal di salah satu rumah di muka Masjid Arab yang terletak di tengah-tengah kampung Cina.  Patompo merasa dibentuk oleh situasi keagamaan. Di Masjid itu dua orang muballig dan khatib tetap yang sangat disenanginya, Ali Ba’bud dan Asaagaf.
Jadi jangan heran jika kewajibannya melaksanakan ibadah shalat lima waktu tidak pernah ditinggalkannya. Apalagi dengan shlalat Subuh dirasakannya satu latihan yang kemudian membentuk satu kebiasaan baginya untuk cepat bangun pagi sholat shubuh berzikir, dan berdoa

Masa Remaja
Karena di Makassar hampir setiap malam sering terjadi pemboman oleh sekutu, maka Patompo kembali ke kampung halamannya. Dikampungnya Ia melihat ada satu Maschappy Jepang dan pada 1 Juli 1942 Patompo diterima bekerja di perusahaan itu ditempatkan sebagai jurus tulis sebab ia pintar bahasa Jepang.
Patompo bekerja hanya hanya enam bulan saja karena merasa tidak cukup dengan gaji yang ia terima. Ia juga tidak tahan dengan kekerasan Jepang sehingga ia pun meminta berhenti bekerja.
Patompo mendaftarkan diri unrtuk masuk Heiho, tapi tidak lulus. Perawakannya dianggap kecil.  Karena tidak ingin hidup menganggur, ia mencari jalan bagaimana mengisi kekosongan waktunya. Ia teringat ketika bekerja di perusahaan Jepang. Ia kemudian melirik barang-barang kebutuhan para perwira Jepang, baik berupa makanan maupun bahan pakaian serta barang-barang perlengkapan lukis lainnya.
Patompo mencoba menelusuri bagaiamana ia dapat memperoleh stok perwira-perwira Jepang tersebut. Akhirnya melalui suatu jaringan kepercayaan orang Jepang, Patompo memilih kegiatan untuk membeli barang-barang Jepang itu secara sembunyi-sembunyi dan menjualnya kepada umum. Karena untungnya banyak, maka ia merasa keadaan hidupnya agak jauh lebih baik daripada kawan-kawan yang lain.
Hasil yang sempat diraihnya memberi kesempatan untuk membiasakan diri beramal dan itu dilakukannya melalui celengan masjid atau sarana amal lainnya, selebihnya Patompo dapat menutupi biaya hidupnya  serta membeli alat-alat musik. Diwaktu senggang Patompo sangat senang mengisi waktu dengan hiburan musik di kampungnya.  Patompo memang gemar main musik bersama teman-temannya.
Patompo juga sangat gemar bermain sepak bola, suka bergerombol dengan teman-temannya meski sesekali berkelahi namun cepat baik-baikan lagi. Patompo memiliki karakter yakni merasa gembira kalau membantu teman-temannya. Begitu juga kecenderungan untuk selalu mandiri mengatur diri sendiri tanpa terlalu banyak merepotkan orang tua meski ia juga cengeng dan sangat manja.

Dalam kancah revolusi
Ada sebuah kebiasaan bagi Patompo jika menjelang sore yakni nongkrong dirumah salah seorang tetangganya yang bernama Sigar, seorang Langsa (Asisten Wedana) di Polewali Mamasa. Patompo begitu bahagia mendengar berita-berita dari radio yang masih merupakan barang mewah dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memilikinya. Terlebih saat itu, Polewali Mamasa yang berada jauh dari kota Makassar
            Tiba-tiba sebuah berita menarik melintas di telinganya para pemimpin bangsa ini telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Mereka telah meneguhkan eksistensi bangsa Indonesia untuk mulai berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia ini. Terbebas dari penjajahan melilit selama beratus-ratus tahun.
Diberitakan bahwa saudara tua Jepang telah menyerah kepada sekutu setelah kota Hirosima dan Nagasaki hancur akibat ledakan bom atom dari sekutu.
     Patompo sebagai pemuda yang pernah mengenyam pendidikan di Taman Siswa, Polewali sangat bersukacita mendengar berita itu. Selama di Taman Siswa, ia di didik oleh Manai Sophian dan tentunya telah menguratkan nilai-nilai nasionalisme yang dalam. Pada tahun 1939 Mr Sunarjo yang belakangan menjadi Menteri dalam kabinet masa Soekarno pernah pula datang ke Taman Siswa Polewali. Kehadiran Partai Parindra di Polewali juga dirasakan Patompo sebagai dasar terbentuknya jiwa dan semangat kemerdekaan buat menentukan nasib sendiri.

Kibarkan Merah Putih
Bersama rekannya, Atjo Men alias, Patompo berkeliling memberitahu semua rakyat di daerahnya bahwa Indonesia telah merdeka. Polewali Mamasa sebagai bagian dari negara Indonesia harus siap-siap untuk mempertahankan kemerdekaannya yang baru saja diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Patompo sangat tahu persis bahwa mempertahankan sesuatu yang telah diraih jauh lebih sulit dicapai dibanding dengan  mencapainya. Banyak pemuda dan pemimpin yang datang ke Polewali Mamasa untuk memberi penerangan tentang proklamasi kemerdekaan RI,  namun terjadi kontoversi. Sebagian mendukung dan sebagian lagi menentang habis-habisan terutama dari kalangan raja-raja yang masih sangat kuat dominasinya. Kalangan kerabat Patompo sendiri, termasuk pamannya yaitu Mattulada yang menjadi Selfbestur menggantikan neneknya serta seluruh keluarganya tidak mengingkan agar Belanda berkuasa kembali.
Namun keadaan itu tidak mempengaruhi semangat Patompo bahkan ia mengajak pemuda-pemuda di Polewali mengorganisir diri untuk melawan setiap orang yang menghambat perjuangan kemerdekaan bangsa. Terjadilah permufakatan pada waktu itu untuk mengibarkan bendera merah putih di Polewali dan Patompo kemudian dengan keberanian mengibarkan sang Merah putih  di Polewali pada tanggal 20 Agustus 1945.

Hijrah ke makassar
Pengibaran bendera tersebut membuat KNIL datang ke Polewali. Patompo berharap ada dukungan dari pemerintahan di Polewali tapi  ternyata hampir seluruh jajaran pemerintahan di Polewali Mamasa pro KNIL waktu itu. Bahkan pemuda-pemuda yang tadinya setia pada Patompo terpaksa membubarkan diri.
Kondisi ini membuatnya berfikir untuk hijrah ke Makassar. Dia mengontak mengontak pemuda-pemuda yang sudah terorganisir.  Patompo menemui Mr. Tadjoeddin Noer dan Mr. Soepardi yang ketika itu menjabat ketua PNI daerah Sulawesi Selatan. Ia juga berjumpa dengan Dr. Ratulangi. Mereka saling berdiskusi dan mencoba merumuskan berbagai kemungkinan yang harus ditempuh dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Agaknya mereka maklum bahwa Belanda dalam tindakan penjajahannya.
Mr. Tadjoeddin menjelaskan kepada Patompo tentang penggunaan jalur diplomasi dalam menindaklanjuti perjuangan fisik. Maka ia meminta Patompo agar sebaiknya mengurungkan niatnya ke pulau Jawa atau Polombangkeng. Dr. Ratulangi secara terpisah menjelaskan pula kepada Patompo bahwa perjuangan bidang diplomasi itu sama pentingnya dengan perjuangan bersenjata.
Mendapat nasehat itu, Patompo yang sedang bergelora jiwanya tentu saja tersinggung karena terlihat tak seorang pun pemimpin yang mau mengover kekuasaan. Maka keputusan pemuda-pemuda di Makasaar waktu itu yakni memusatkan perjuangan di Polombangkeng atau ke Jawa.[2]

Menjadi wali kota makassar
Patompo menjadi Komandan Kodim di Polewali pada tahun 1964 sekaligus wakil Pengurus Perang Daerah (PEPERDA). Ini tentu sebuah tugas yang sangat berat. Namun di tangan Patompo semuanya dilalui dengan sukses dimana pengalamannya semasa di pulau Jawa berhasil merangsang partisipasi masyarakat Polewali Mamasa untuk ikut menjaga ketertiban dan  kestabilan demi suksesnya operasi kilat.
Sejak tahun 1961 Patompo sebagai BPH  teknik/pembangunan telah memperlihatkan semangat dan obsesinya tentang bagaimana cara penggunaan mesin-mesin pembangunan di kota Makassar, dari sebuah perkampungan kumuh menjadi kota dengan segala dimensi dan dinamika yang melingkupinya.
Pengalaman-pengalaman itulah yang membuatnya menjadi Walikota Makassar dan prosesnya berjalan mulus. Semua pihak berpihak dengannya dan menyatakan dukungannya. Padahal dikalangan partai biasanya sering timbul ketidakcocokan dan ketidaksamaan bahasa. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah bahkan melakukan hal yang tidak terpuji. Patompo menjadi walikota yang ke-6 yang merupakan kolonel TNI. Patompo dilantik pada tanggal 8 Mei 1965. Dalam pelantikan itu, Patompo mengucapkan pidato penerimaan jabatan dengan penuh sukacita. Baginya itu adalah amanat yang harus ia pegang teguh menyangkut cita-cita kota Makassar.
Langkah pertama yang dilakukan Patompo adalah merangkul para wartawan dan tokoh masyarakat dalam sebuah forum pikiran. Menurut Patompo, mereka adalah penerjemah yang handal dan merupakan penyambung aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Kondisi pemerintahan kota pada waktu itu kurang mendukung seorang walikota yang baru diangkat bisa berhasil dengan rancangan program yang besar. Kondisi kehidupan warga yang krisis akibat kekacauan yang membawa warganya dalam kehidupan yang apatis.
Patompo menganggap bahwa realitas pemerintahan kota serta kondisi yang menyelimuti warganya tersebut merupakan akar persoalan yang mesti dituntaskan. Sehingga pada saat itu Patompo membentuk sebuah program 3 K. Di depan sidang DPRD Kotamadya Makassar, Patompo menawarkan ide-ide dan programnya untuk mendapatkan masuka-masukan, kesamaan bahasa dan persepi.
Lahirlah sebuah kerangka kerja yang disusun dalam Pola Dasar Pembangunan Kotamadya Makassar dengan sasaran memberantas 3 K, yaitu Kemiskinan, Kebodohan, dan Kemelaratan. Sebagai mantan BPH tekni/pembnagunan Patompo sangat hafal semua jalan yang menyatakan bahwa hampir 90% warga kota jatuh pada kemiskinan, kebodohan, dan kemelaratan. Patompo juga membangun Kota Baru seperti Kampung Lette dan Tanggul Patompo.[3]

Restorasi Patompo Mengiringi Makassar Ke Pergaulan Global
Patompo yang menyadari bahwa kota Makassar hanya dapat dibangun oleh pondasi pemikiran tangguh dan kemauan bersama Gebrakan revolusioner sebagai manifestasi dari ide-ide atau gagasan dari para tokoh masyarakat dan wartawan yang dipilihnya sebagai mitra kerja.
Kondisi kehidupan yang semakin tak kondusif bahkan semakin cenderung memprihatinkan. Sehingga Patompo menciptakan aneka perubahan. Namun perjalanan Patompo tidak semulus yang dibayangkan karena Patompo harus dihadapkan pada sejumlah persoalan yaitu kondisi keuangan, kondisi sosial-ekonomi hingga masalah perkataan dari sebagian orang yang tidak baik yang menganggap bahwa ide-ide Patompo tidak hanya sebagai impossible dream dan tidak akan menjadi sebuah kenyataan.
Tantangan tersebut justru menjadi catatan Keberhasilan Patompo mewujudkan cita-cita Kota Makassar secara restoratif-revolutif.  Lapangan kerja mulai terbuka, perekonomian berjalan lancar dan pengadaan siaran TV dilakukan dengan kerja sama enterpreneur asal Jepang ang bernama Drs. Gobel.
Hal yang paling menarik dari strategi yang diterapkan Patompo adalah ujicoba kelayakan pembangunan yakni kegemarannya mencari tahu dan mengukur seberapa besar respon dan partisipasi penduduknya. Tidak hanya kemampuan Patompo dalam mendekati warganya, ia juga pintar dalam mendekati para ilmuwan sebagai variabel pendukung atas kesuksesan yang diraihnya.
Berdasarkan master plan yang dirancang, maka kota Makassar dibagi atas 5 kawasan yaitu :
1.    Kawasan Kota Lama,
2.    Kawasan Panakukkang,
3.    Kawasan Biringkanaya Timur
4.    Kawasan Biringkanaya Utara,
5.    Kawasan Mariso[4]


[1] Mattaliu Abdurrazaq. 1997. H. M. Daeng Patompo Biografi Perjuangan. Ujung Pandang : Berita Utama

[4]Dr. Ahmadin, M. Pd.  Menemukan Makassar Di Lorong Waktu, Makassar : pustaka refleksi. 2008