Tampilkan postingan dengan label Situs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Situs. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Maret 2017

PINDANG MATOA DARI SENDANA : JEJAK PERADABAN MANDAR TAHUN 1380-1480



Pindang Matoa Sendana adalah salah satu penemuan dari program penelusuran sejarah MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Sulbar di kaki bukit buttu Suso Sa’Adawang Sendana. Horst H. Liebner ketika benda ini diperlihatkan mengatakan bahwa ini adalah keramik Sukothai, dibuat akhir abad ke-14 (artinya, 1380 ...) sampai awal abad ke-15 (1400+).
            Horst membuktikan hasil percakapannya itu di fanpage fb yang ia kelola sendiri.
Many thanks for your efforts, clearly dating the piece into, let’s call it, early 15th century. I forwarded the information to the person in charge, and will see him, I suppose, next week in Mandar. However, due to another assignment I will only be able to follow up on this and other finds in the area end May, I fear.
For the time being, people interested in our present pre-survey may have a look at https://www.facebook.com/situs2mandar/?fref=ts, where a number of young enthusiasts began to collect data on their region’s pre-Islamic history. (It’s in Bahasa Indonesia, but there are photos and coordinates for those who ….)
The clear classification of the Sukhothai bowl underlines that there is much more to Mandar history then allowed for in the recognised local historiographies which, except for scattered and rather foggy apostilles on earlier players, commence only with the establishment of the ‘kingdom’ of Balanipa and the Mandar confederation in the late 16th century. 

Again, thanks a lot,

Horst Liebner

From: Southeast Asian Ceramic Archaeologists list [mail to: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU] On Behalf Of Cort, Louise
Sent: Tuesday, 12 April, 2016 02:11
To: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU
Subject: Re: [SEACERAMARCH] imported ceramic in w-sulawesi

To confirm Don’s dating of the Sukhothai vessel to C14-15, Roxanna Brown’s study of shipwreck materials indicates that this sort of Sukhothai vessel, with underglaze-black fish and floral motifs, appears on wrecks datable to “about the end of the 14th century until about 1480.” (Brown 2009:51).

Brown, Roxanna Maude. 2009. The Ming Gap and Shipwreck Ceramics in Southeast Asia; Towards a Chronology of Thai Trade Ware. Bangkok: Siam Society. 

From: Southeast Asian Ceramic Archaeologists list [mailto:SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU] On Behalf Of Don Hein
Sent: Sunday, April 10, 2016 9:41 PM
To: SEACERAMARCH@SI-LISTSERV.SI.EDU
Subject: Re: imported ceramic in w-sulawesi

I agree with John Miksic of a Sukhothai – Thai attribution, made certain by the exposed fabric of the base which clearly shows large quartz inclusions typical of Sukhothai (absent from Vietnamese ware). Such ware were widely traded throughout the Southeast Asian archipelago.
Production site evidence (including up to three sequential kilns) suggests a manufacturing term of about 100 years. However (compared to Sawankhalok) very little study study/excavation has been conducted at Sukhothai (although Kun Prachote Sangkhanukij is presently undertaking such a program). Dating is fuzzy, but a best guess may be C14-C15.
Don Hein.

From: Minh Tri [mailto:tri_vnceramics@yahoo.com] 
Sent: Friday, 8 April, 2016 17:15
To: Horst Liebner <khmail@INDOSAT.NET.ID>
Subject: Re: imported ceramic in w-sulawesi

This dish from Thailand and date late 14th early 15th century.

Đã gửi từ iPhone của tôi 

From: Miksic John N
Sent: Saturday, 9 April, 2016 03:03
To: Horst Liebner <khmail@INDOSAT.NET.ID>
Subject: RE: imported ceramic in w-sulawesi

This looks very Sukhothai to me. it could be late 14th century, but it could have been imported or disposed of by burial at a later period, say first half of the 15th century.[1]


[1]https://www.facebook.com/situs2mandar/photos/a.742022265931858.1073741828.742011879266230/779203188880432/?type=3&theater

Jumat, 03 Maret 2017

FSM-4 Tahun 2017 : Membangun Kesadaran Kolektif !



Catatan Muhammad Munir 
 
Sungai adalah salah satu makhluk tuhan yang memiliki peran penting dalam sejarah kemanusiaan. Sejarah mencatat mulai dari zaman purbakala sungai tak pernah beranjak dari takdirnya sebagai media berlangsungnya ekosistem sekaligus menjadi sumber kehidupan masyarakat yang berada di sekitar DAS (daerah aliran sungai). Pun sejarah juga membeberkannya pada kita bagaimana dinamika kehidupan manusia yang tak pernah ingin menjauh dari keberadaan sungai.
 
Namun ada sebuah ironi dari kehidupan masyarakat kita hari ini. Entah karena dalih kemajuan atau memang pemahamannya yang dangkal sebab justru keberadaan sungai di jaman modern tetap mempunyai arti penting, baik secara fisik, sosial maupun kultur. Dan kenyataan yang kita dapati, semakin minimnya lembaga atau instansi yang fokus menjaga sungai. Sungai bahkan dianggap sebagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir) paling canggih bagi ribuan ton sampah. Pun tak jarang dianggap sebagai ruang paling aman untuk limbah industri.

Keberadaan sungai di Sulawesi Barat khususnya sungai Mandar juga tak luput dari perlakuan diskrimintif masyarakat sekitar yang tinggal tak jauh dari sungai. Kenyataan sungai Mandar yang mengalir dari Ulumandaq ke Tinambung saat ini jika dibandingkan dengan jaman penjajahan. justru lebih terjaga kebersihannya dibanding hari ini. Dalam beberapa cerita tutur orang tua yang sempat menjalani kehidupan dizaman itu, justru tak jarang ditemukan warga yang terkena hukuman dari tentara Belanda akibat kedapatan membuang sampah ataupun membuang hajat ke sungai. Sebangsat itukah bangsa kita hari ini dibanding para penjajah? Sebuah pertanyaan yang tak butuh didebati sebab tujuan tulisan ini adalah menjadi renungan bersama.

Beruntunglah, disekitaran DAS Mandar Polewali Mandar, ada sebuah lembaga yang intens memperlakukan sungai layaknya sebagai makhluk hidup yang butuh sahabat, cinta dan sentuhan. Uwake’ Cultuur Fondation yang dipunggawai oleh Muhammad Rahmat Muchtar adalah satu-satunya yang intens membuat gerakan dan rekomendasi kepada pemerintah Polewali Mandar untuk tidak memunggungi sungai. Tahun ini adalah tahun keempat event Festival Sungai Mandar digelar. Sejak tahun 2014 lalu sudah 3 kali event FSM berlalu dan berlangsung diarea perkotaan Tinambung tak jauh dari muara sungai.

Sejak FSM I sampai ke FSM III Isu-isu tematik seputar bagaimana kita mencintai sungai dari segala pencemaran yang berdampak buruk bagi kehidupan. Berbagai pihak termasuk komunitas seni yang menampilkan kritik dan keprihatinannya terhadap sungai yang dijadiakan pembuangan sampah, perlahan telah menjadi kerinduan yang selalu ditunggu. Respon pemerintah juga masih sebatas sumbangsih MOBIL TRUK SAMPAH dari pemda serta perluasan kerja Bentor (pengangkut sampah) ke wilayah lingkungan yang masih terbatas.

Pahlawan Sampah yang membangun tempat pengelolaan sampah (sebagai percontohan tingkat lingkungan). Meski masih banyak yang perlu didorong diwilayah kawasan hilir, seperti TPA yang belum jelas secara profesional, perhatian ke muara Sungai (Ga’de & Kampung Para’), daya guna tanggul sungai sebagai public wisata dan yang lainnya masih jauh dari harapan kita.

Tahun 2017 ini FSM akan dihelat pada tanggal 20 -27 Maret di tiga titik lokasi di DAS Mandar yaitu Alu (20-21 Maret 2017), Palece (23-24 Maret 2017) dan Lekopa’dis (26-27 Maret 2017). Penyelenggara FSM tahun ini sengaja meninggalkan wilayah kota sebagi upaya memperluas rasa peduli sungai dimana Sungai Mandar mengalir di Hulu (Ulumanda’) sampai ke Hilir (Tinambung). Penguatan rasa memiliki, mencintai dan berbuat secara kolektif dengan pemerintah dan masyarakat. Menurut Rahmat Muchtar, dari tiga titik itu nantinya bisa saling memberi info, memperingati, menjaga serta menkonservasi Sungai & DAS yang didalamnya terdapat kerja2 edukasi, ekologi, perhatian pada mata air yang mulai mengering, penanaman pohon serta pada ekowisata.

Tepatlah kiranya jika tema pessungo pota’ pettamao randang mulai ditinggalkan untuk lebih spesifik mengusung tema yang lebih mengglobal, Balance (keseimbangan). Dan pesertanya juga memungkin kan dari pemuda, pelajar serta perangkat desa yang ada didesa masing2 sebagai pendukung kedaulatan Sungai untuk turut bekerjasama dalam mengelola permasalahan yang ada diwilayah aliran Sungai Mandar.

Sungai Mapilli

Selain sungai Mandar, terdapat sungai yang juga tergolong besar dan panjang. Jika sungai Mandar mengalir dari hulu Ulumanda Kabupaten Majene maka Sungai Mapilli justru mengalir dari Masunni Kecamatan Bulo/Matangnga ke Desa Buku Kec. Mapilli Kabupaten Polewali Mandar. Masunni sendiri hanya sebatas titik pertemuan antara sungai atau Lembang Mapi yang hulunya dari lereng gunung Aralle, Tabulahan dan Mambi dengan aliran sungai Lili yang merupakan aliran dari dari Sumarorong dan Tondok Kalua dan lereng gunung dipelosok Tapango Anreapi. Hal ini pula yang melatari sehingga dinamakan Maloso Mapilli yang tak lain adalah gabungan Mapi dengan Lilli sehungga disebut Mapilli.

Sungai Mapilli atau Maloso Mapilli ini juga mempunyai fungsi yang amat strategis karena Daerah Aliran Sungai (DAS) ini cukup luas dan panjang. Disamping itu, pasokan airnya menjadi sumber pengairan bagi ratusan ribu areal pesawahan di Kabupaten Polewali Mandar. Bendungan Sekka-Sekka adalah satu-satunya bendungan terbesar di Sulbar yang air nya dikonsentrasi ke Maloso kiri dan Maloso Kanan.

Kondisi sungai Mapilli dengan sungai Mandar secara kualitas air masih cenderung sama. Yang berbeda adalah masalah penanganannya. Jika sungai Mandar punya masalah sampah yang indikator tingkat pencemaran air termasuk tinggi akibat akumulasi limbah yang berasal dari hulu maupun tingkat intensitas aktivitas perkotaan. Aktivitas masyarakat yang tidak memperhatikan faktor lingkungan menjadi masalah bagi sungai Mandar. Sementara di sungai Mapilli, penurunan kualitas air tidak terlalu memprihatinkan, termasuk masalah sampah juga bukan masalah serius di sungai Mapilli. Masalah seriusnya adalah keamanan sungai Mapilli dari masyarakat yang berdiam di DAS Mapilli ini.

Sungai Mapilli hari ini jauh berbeda dengan kondisi pada tahun sebelum 80-90-an, sebab terhitung tahun 2000-an, keberadaan buaya jenis buaya Cekdam menjadi persoalan besar bagi masyarakat sekitar. Buaya Cekdam ini adalah bekas peliharaan di sebuah penangkaran buaya di Tenggelang Luyo pada tahun 85-90-an yang banyak lepas ke alam bebas karena tak mendapat perhatian dari pihak pengelola. Tahun 1997-2001 ternyata buaya-buaya ini berkembang biak di sungai Mapilli. Hal tersebut dibuktikan dari adanya dua korban anak manusia disamping hewan peliharaan warga yang juga ikut menjadi korban buaya dari sungai Mapilli ini.

Sejak tahun 2001 sampai hari ini korban jiwa termakan buaya ada 2 orang, hewan peliharaan warga tak terhitung dari jenis kambing, ayam bahkan sapi. Semua penyebabnya adalah buaya. Ini tentu akan sangat berimbas pada prospek jika sungai Mapilli mau dikelola sebagai kawasan ekowista dan peningkatan potensi sungai. Selain buaya, tambang pasir yang tak mempunyai izin lingkungan jjuga marak di sekitaran DAS Mapilli ini.  

Melihat perbandingan dua sungai di Polewali Mandar tersebut, tentunya membuat kita esimis terhadap prosepekpengembangan potensi sungai dan wisata sungainya, sebab jika melihat apa yang dilakukan oleh warga di sekitar sungai Brisbane Australia, yang menjadikan sungai itu sebagai ikon daerah Brisbane.Dari beberapa informasi di media dikatakan bahwa Sungai Brisbane semula sangat tercemar. Pemukiman di sekitarnya juga kumuh. Pembenahan pendekatan teknologi, seperti membangun IPAL dan melakukan pembersihan serta penjernihan air sungai, hasilnya masih kurang memuaskan. Baru setelah dilakukan pendekatan sosial budaya, dengan memperhatikan budaya masyarakat lokal hanya dalam kurun waktu empat tahun telrihat kemajuan yang amat berarti.

Ternyata pendekatan sosial budaya justru lebih cepat dari pendekatan teknologi. Lalu mapukah kita sebagai masyarakat atau sebagai pemerintah untuk menata pemukiman di sekitar sungai, industri-industri dipindahkan ke wilayah yang memadai dan bantaran sungai dijadikan arena aktivitas sosial dan budaya yang di dukung oleh masyarakat di sekitarnya. Hasilnya sungai ini menjadi ikon kota dan masyarakat di sekitar sungai tentu akan lebih nyaman dan aman.

Dalam hal ini mengelola Sungai, perlu sinergitas antara masyarakat lokal, pemerintah daerah dan swasta, dengan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat melalui peningkatan pengetahuan masyarakat dalam hal pengelolaan sungai. pendekatan melalui institusi pemerintah dan pemberdayaan masyarakat adalah upaya yang sangat strategis dalam mengembalikan fungsi sosial sungai.

Semoga penyelenggaraan FSM 4 kali ini mampu memberi perubahan mendasar bagi masyarakat disekitaran sungai, termasuk pemerintah juga bisa lebih serius untuk sedikit demi sedikit mengadopsi cara masyarakat dan pemerintah di Brisbane Australia adalam pengelolaan sungai.

Selamat dan Sukses FSM 4 Tahun 2017.


BINTEK PENGELOLA MUSEUM: Evaluasi Kinerja Mutlak Dilakukan !


Catatan Muhammad Munir

Untuk kesekian kalinya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat melalui UPTD Museum mengadakan Bimbingan teknik pengelola Museum Tingkat Dasar dan Lanjutan. Meski UPTD Museum Sulbar juga belum memiliki gedung Museum tapi program-program penegmbangan dunia permuseuman terus ditingkatkan.  Bintek tersebut digelar di di Hotel Berkah Mamuju selama 3 hari mulai 1-3 Maret 2017.

Dalam laporannya, Ketua Panitia, Hj. Nurcahyani, SE mengatakan bahwa Bintek tahun ini diikuti oleh peserta utusan dari6 kabupaten yang terdiri dari pengelola museum dan tim pendata cagar budaya kabupaten. Sementara Kepala UPTD Museum, Jamal Abdullah, S.Sos dalam sambutannya berharap pelatihan  kali ini memberi konstribusi besar kepada setiap kabupaten yang sudah mempunyai museum dan bagi kabupaten yang belum mempunyai museum juga diharapkan menjadi spirit untuk lebih maksimal mendorong lahirnya sebuah kebijakan untuk membangun museum, baik dari unsur masyarakat maupun dari pemerintah kabupaten.

Bintek tahun ini mengahdiran pemateri dari Balai Pelestaruan Cagar Budaya Makassar, Muhammad Natsir Sitonda. Ia adalah salah satu pakar dan ahli tentang permuseuman dan cagar budaya.   Apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Barat melalui UPTD Museum ini patut diapresiasi, sebab keterlibatan pemerintah dalam meningkatkan kapasitas pengelola museum memang sangat diharapkan, disamping mempunyai kemampuan anggaran, sarana dan prasarana, ia juga memiliki kekuatan eksekusi pada poin yang dianggap lebih mendesak untuk dilakukan.

Namun, hal yang perlu dipertimbangkan oleh pihak Dinas atau pemerintah provinsi, agar dalam menyelenggarkan kegiatan semacam pelatihan, workshop, bintek dan sejenisnya, kesiapan dan persiapan mesti maksimal. Jangan terkesan dipaksakan dan apa adanya, sebab keikut sertaan peserta dari daerah sesungguhnya adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan sebanyak-banyaknya dari sebuah program yang menggunakan anggaran puluhan juta.

Penulis menganggap, Bintek tahun ini kurang bermutu dan terkesan dipaksakan, sebab waktu yang digunakan selama 3 hari dengan hanya menghadirkan 2 pembicara termasuk perbuatan yang mubazzir dan dipaksakan. Kegiatan ini sebenarnya bisa dilakukan hanya dengan 1 hari. Jika tetap dipertahankan harus selama 3 hari, maka paling tidak, pihak penyelenggara minimal menghadirkan enam orang pembicara ahli dibidangnya. Ini penting, agar anggaran yang digelontorkan berbanding lurus dengan manfaat kegiatan, baik bagi dinas terlebih lagi bagi peserta.  Yang tak kalah penting adalah, usulan para peserta dari 6 kabupaten tersebut mesti diserap secara utuh sekaligus bisa mengevaluasi kinerja dan program yang akan datang.

Sekedar diketahui bahwa utusan dari Polewali Mandar diikuti oleh Nurdin, Muhammad Basith, Dalif, Zulfihadi, termasuk penulis juga ikut menjadi peserta dalam kegiatan tersebut.       

Senin, 27 Februari 2017

Catatan Kecil dari WISATA SEJARAH MA. NURUL MAARIF PARIANGAN-LUYO (2)


”Situs Ondongan dan Peluang Wisata Terpadu Bukan Sekedar Omongan”
 (Bagian 2 –Selesai)


Catatan : Muhammad Munir

Tepat Pukul 16.00 Wita, para peserta Wisata Sejarah Madrasah Aliayah Nurul Maarif tiba disebuah bukit dipusat kota Majene. Rombongan Kepala Sekolah dan guru-guru tiba bersamaan dengan pemandu yang terdiri dari Tammalele, Thamrin, Ifrat dan Penulis. Bukit kecil tersebut berada diantara area Rujab Bupati Majene dan Taman Kota Majene. Para pengunjung lebih mengenalnya sebagai Situs Ondongan yang didalamnya ada sekitar 480 buah makan raja-raja, pejabat dan kerabat raja Banggae.

Kompleks makam ini terletak di Kampung Ondongan, Kelurahan Pangaliali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Begitu tiba di kompleks, sontak para siswa-siswi segera berhamburan di areal kompleks, sekedar selfie-selfie dan mengabadikan momentum tersebut. Siapapun yang datang ke kompleks ini, pasti merasakan sesuatu yang begitu indah. Panorama birunya laut, jirat dan nisan yang menggunakan beberapa macam bahan, seperti batu cadas, andesit, dan kayu melengkapi perjalanan wisata sejarah MA Nurul Maarif sore ini.  


Kompleks Raja-Raja Banggae di Ondongan ini berderet dari timur ke barat. Thamrin dan Tammalele serta Ifrat berusaha menjadi bagian dari peramu wisata yang profesional. Mereka mengambil bagian memberi informasi kepada anak-anak yang bertanya dan atau kebetulan memperhatikan bentuk dan jirat makam yang ada di kompleks ini. Penulis yang juga menjadi bagian dalam perjalanan wisata ini mencoba memberi penjelasan kepada beberapa siswa dan guru-guru yang mengikuti penulis. Pada mereka penulis jelaskan bahwa di kompleks ini ada 480 makam yang masuk dalam inventarisasi Situs cagar budaya Ondongan di BPCB Makassar dengan nomor inventaris 151 yang terdiri dari makam makam besar dan kecil.

Adapun diantara tokoh-tokoh yang dimakamkan di kompleks ini antara lain Makkidaeng Manguju tomatindo di Lanriseng (Arajang Balanipa dan Mara’dia Banggae) cucu Arajang Balanipa ke-15, ada juga makam I Besse Kajuara anak Arung Pone yang menjadi Raja Bone ke-27 (1857—1859), ia menikah dengan Makkidaeng Manguju. Makam I Besse Sompung istri pertama Arajang Balanipa, Tomappellei Pattuyuanna juga dimakamkan disini.. Tentu saja masih banyak makam lain yang tidak diketahui siapa dan kapan dimakamkan. Menurut Thamrin, makam-makam ini pernah diberi nama-nama penghuni makam, tapi karena pertimbangan lain nama di makam-makam tersebut dilucuti satu persatu.  


Dari beberapa sumber catatan sejarah, banyak menyebutkan bahwa kompleks makam raja-raja hadat Banggae ini mulanya berpusat di Salabose atau perkampungan Salabose yang berada didataran tinggi di kota Majene ± 120 mdpl. Banggae sendiri pada mulanya adalah kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Ketua suku yang digelar Tomakaka yang belakangan dikenal sebagai Tomakaka Poralle. Selain Tomakaka Poralle ada juga Tomakaka Pullajonga, Tomakaka Salogang, Tomakaka Totoli, Tomakaka Pepattoang yang memimpin komunitas masyarakatnya dan tinggal di sekitaran Banggae. Keberadaan Tomakaka-tomakaka itulah yang kemudian menata diri dan membentuk kerajaan Banggae.

Membincang Banggae, Topole-pole adalah nama yang familiar dikalangan masyarakat Majene. Pemilik gelar Topole-pole ini adalah salah satu pendatang dari kerajaan Majapahit yang kemudian kawin dengan Tomerrupa-rupa Bulawang, putri Tomakaka  Poralle. Topole-pole ini memiliki kecakapan dalam hal penataan masyarakat sehingga Tomakaka Poralle sepakat membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang dikenal sebagai pemerintahan Tomakaka Poralle. Sistem pemerintahan inilah yang menjadi cikal bakal  terbentuknya Kerajaan Banggae.

Awal pembentukan sistem pemerintahan ini sempat bergejolak dengan pertentangan antara Tomakaka Poralle dan Tomakaka Totoli terkait batas wilayah. Pertentangan akhirnya bisa diselesaikan dengan cara perkawinan antara Daenta Melanto putra Tomakaka Poralle dengan seorang putri Tomakaka Totoli, yang mengakibatkan kedua pemerintahan Tomakaka berjalan aman dan damai. Dari sejarah perkembangan Kerajaan Banggae telah tercatat raja raja yang memerintah baik sebagai maradia matoa ataupun maradia malolo. Mara’dia yang diketahui hanya 25 orang mulai dari mara’dia Daenta Melanto  sampai  Rammang Pettalolo (1907-1949).


Sekilas informasi itulah yang dapat penulis sampaikan kepada para peserta Wisata sejarah. Demikian juga Tammalele, Tamrin dan Ifrat memberikan informasi kepada mereka sesuai dengan apa yang membuat para siswa penasaran dan bertanya pada pemandu. Dari pengamatan penulis, baik guru maupun siswa-siswi sangat menyenangi dan puas bisa sampai ke Ondongan ini. Mereka selain tertarik dengan wisata sejarahnya, mereka juga terpesona dengan suasana yang begitu menyenangkan di bukit ini. Panorama laut yang membentang dihadapan bukit Ondongan ini adalah daya tari tersendiri bagi mereka. Namun waktu jua yang membuat mereka terpaksa harus merelakan kenikmatan itu direnggut dan mengharuskan mereka pulang.

Hal yang menarik perhatian penulis dari keberadaan situ Ondongan ini adalah letaknya yang strategis. Ondongan juga telah dianggarkan dalam APBN melalu BPCB Makassar, mulai dari pemeliharaan sampai biaya operasional kompleks ini. Yang sedikit mengganjal adalah sikap Pemda majene yang terkesan abai pada obyek ini. Pemerintah Majene seharusnya bisa mengelola secara kereatif profesional kompleks ini. Kompleks ini sangat berpotensi dikelola oleh Pemda sebagai pusat wisata sejarah, wisata kuliner dengan memnfaatkan fasilitas BPCB. 


Sejatinya Pemda tak hanya menarik retribusi dari pengunjung, tapi pemerintah bisa membangun fasilitas wisata kuliner bagi masyarakat sekitar untuk membantu meningkatkan taraf ekonominya. Pemda bisa menarik retribusi dari para penjual yang ada dikompleks selain memungut dari pengunjung. Dan ini sangat memungkinkan mengingat banyaknya pengunjung yang datang dari berbagai daerah dan setiap hari jumlah kunjungan ini puluhan bahkan ratusan orang yang datang. Ini tentu menjadi peluang untuk meningkatkan PAD dan pendapatan warga disekitar kompleks.