Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Maret 2024

SEJARAH PENERJEMAHAN AL-QURAN DAN PENERBITAN KOROANG MALA'BI'

KORO’ANG MALA’BI’ adalah Al-Qur’an terjemahan Bahasa Mandar dilengkapi dengan bahasa Indonesia. Project Penyusunan Koro’ang Mala’bi’ ini digagas oleh Dr. Idham Khalid Bodi yang terbit pertama dalam bentuk 30 Juz dan dicetak kerjasama dengan Pemda Majene sebelum kemudian diterbitkan secara resmi di Makkah pada tahun 2005. 
 Koroang Mala’bi’ ini sudah proses cetakan ketiga yang dalam setiap cetakan disertai dengan revisi. Tahun 2019 merupakan tahun dimana tahapan revisinya digarap secara besar-besaran dengan melibatkan sebanyak 32 tim pentashih, termasuk penulis. Penulis terlibat sebagai tim pentashih ini diajak langsung oleh Dr. Idham Khalid Bodi saat proses finalisasi di Villa Bogor Majene yang dilaksanakan selama 3 hari yaitu dari tanggal 4 – 6 Agustus 2019.
Sejarah Penerjemahan al-Quran


SEJARAH PENERJEMAHAN AL-QURAN

Adalah menjadi  keinginan bagi setiap muslim untuk membaca  dan memahami Al Qur’an dalam bahasanya yang asli, bahasa Arab.  Namun tidak semua orang  mempunyai  kemampuan atau  kesempatan  yang sama, maka  keinginan tersebut tidak dapat dicapai  oleh setiap muslim. Untuk itu Al Qur’an diterjemahkan ke dalam berbagai  bahasa di dunia, seperti ke dalam bahasa-bahasa di Barat-Timur,  Nasional, dan Daerah; termasuk ke dalam bahasa Indonesia, dan yang  ada di hadapan anda adalah terjemahan Al Qur’an dalam bahasa daerah Mandar.
 Sebelum  berkembangnya  bahasa-bahasa Eropa, maka yang berkembang di Eropa  adalah bahasa Latin. Oleh karena itu, terjemahan Al Qur’an  dimulai ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu  dilakukan  untuk keperluan biaya Clugny  pada sekitar tahun 1135. Prof. W. Montgomeny Watt  dalam bukunya Bell’s 

Introduction to the Qur’an (Islamic Surveys: 8) menyebutkan bahwa  pertanda dimulainya  perhatian Barat  terhadap studi Islam  adalah dengan kunjungan  Peter the Venerable, Abbot of Clugny ke Toledo pada  abad ke 12. Di antara  usahanya  itu (terutama di Andalus) sebagai  bagian dari kegiatan tersebut adalah menerjemahan  Al Qur’an ke dalam bahasa Latin  yang dilakukan oleh Robert of Ketton (Robertus Retanensis) dan selesai  pada Juli 1143.

Pada abad Renaissance di Barat memberi dorongan lebih besar untuk menerbitkan  buku-buku Islam. Pada awal abad ke-16, buku-buku Islam banyak diterbitkan, termasuk penerbitan teks Al Qur’an pada tahun 1530 di Venice dan terjemah Al Qur’an ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton, tahun 1543 di Basle dengan penerbitannya Bibliander. Dari terjemahan bahasa Latin inilah kemudian Al Qur’an diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa.
 
Adapun terjemahan ke dalam bahasa Inggris yang pertama oleh A. Ross yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh Du Ryer pada tahun 1647 dan diterbitkan beberapa tahun kemudian. George  Sale  seorang yang berhasil menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1734. Terjemahannya  sebanding dengan terjemahan kepada terjemahan Ludovici Maracci. Bahkan catatan-catatan dan pendahuluannya sebagian besar  juga didasarkan  karangan Maraci. Mengingat  bahwa tujuan Maracci  menerjemahkan Al Qur’an untuk menjelek-jelekkan Islam  di kalangan masyarakat Eropa, maka terjemahannya dianggap yang terbaik dalam dunia yang berbahasa Inggris dan telah dicetak berulang kali dan dimasukkan dalam seri apa yang dikatakan “Chandos Classic” dan mendapat pujian  dan restu  dari Sir E. Denison Ros. Pada tahun 1812 terjemahan George Sale diterbitkan di London dalam edisi baru (dalam dua jilid). Terjemahan tersebut diberi judul The Koran atau The Alcoran of Muhammad: translated from the oroginal Arabic. Disebutkan  dalam terjemahannya berdasarkan sumber bahasa Arab, para mufassir muslim, terutama tafsir al Baidlowi.

 Pada abad ke-19 penerjemahan Al Qur’an semakin berkembang. Gustav Flugel (meninggal 1870) menerjemahkan Al Qur’an sejak tahun 1834 dan telah mengalami cetak ulang  dan direvisi oleh Gustav Redslob. Diikuti kemudian oleh Gustav Weil (meninggal 1889)  yang juga menulis sejarah Nabi Muhammad (tahun 1843). Usahanya diteruskan  oleh pelanjutnya  yaitu Aloys Sprenger dan William Muir. Keduanya  mempunyai perhatian yang besar dalam mempelajari Al Qur’an dan sejak nabi Muhammad. William Muir dikenal pula dengan bukunya Das Leben und  die Lehra des Mohammad (terbit tahun 1861). Dalam edisi Inggris , The Life of Mahomet (London, 1858-61), dalam 4 jilid. Bukunya telah mengalami cetak ulang beberapa kali.

 Di kalangan umat Islam timbul pula usaha penerjemahan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris. Diantara faktor  pendorong  penerjemahan Al Qur’an  adalah meluasnya pengertian yang salah akibat penulisan atau tejemahan para orientalis secara tidak benar. Ketidakbenaran  tersebut  terjadi karena kesengajaan untuk menyimpangkan ajaran dan kandungan Al Qur’an  yang benar atau karena  kesalahpahaman  dan keterbatasan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab  dan ajaran Islam. Sarjana muslim yang pertama menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Inggris adalah  Dr. Muhammad Abdul Hakim Chan  dari Patiala pada tahun 1905, Mizza Hazrat dari Delhi juga menerjemahkan Al Qur’an  dan diterbitkan pada tahun 1919. Nawab  Imadul Mulk Sayid Husain Bilgrami dari Hyderabat Deccan juga menerjemahkan sebagian Al Qur’an dan beliau meninggal dunia sebelum menyelesaikan terjemahan seluruh Al Qur’an. 

 Terjemahan Al Qur’an yang  terkenal di dunia barat ataupun timur adalah terjemahan Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an; Text. Translation and Commentary, telah diterbitkan berulang kali. Terjemahannya dilengkapi dengan uraian pengantar dan footnotes. Pada awal surat dilengkapi  dengan keterangan singkat  tentang surah  dan kesimpulan ayatnya. Dicetak pertama  pada tahun 1934/1353 H dan dicetak ulang beberapa kali. Terjemahan Al Qur’an lainnya  yang dilakukan oleh orang Islam  adalah terjemahan NJ. Dawood dari Irak, The Koran, diterbitkan  oleh Penguin Calassic tahun 1956. Terjemahannya mendapat pujian beberapa orientalis karena terjemahnya baik.

 Tentang terjemahan Al Qur’an di Afrika dapat dicatat beberapa hal  penting dari tulisan  Mufakhkhar Husain  Khan (Dhaka University). Di Afrika pada  mulanya  menerjemahkan Al Qur’an  selalu mendapat tantangan  dari para ulama. Sementara di Asia Selatan, ulama  Benggali berpendapat  bahwa penerjemahan Al Qur’an, merupakan suatu gerak maju menuju penghinduan orang Islam. Di Afrika tengah, ulama  Tatar  berpendapat bahwa penerjemahan Al Qur’an mendekati  penghinaan kepada  Tuhan. Ketika Kamal  Ataturk  ingin mendapatkan terjemahan Al Qur’an, ulama Al Azhar  di Mesir  menyatakan menentang penerjemahan Al Qur’an. Umumnya negeri-negeri Afrika mengikuti pendapat ulama Al Azhar tersebut. Ulama Hausa sangat keras menentang  penerjemahan Al Qur’an,   J.Spencer Trimingham (penulis A History of Islam in West Afrika) mencatat bahwa ketika penerjemahan Al Qur’an ke dalam bahasa Hausa disetujui, sangat mengejutkan mereka. Menurut mereka bahwa hal tersebut akan melenyapkan  barkah Allah  (blessing power).

 Jauh sebelum terjemahan Al Qur’an diterima  oleh sebahagian kaum muslimin di Afrika, para missionaris  Nasrani telah mengambil inisiatif  untuk menerjemahkan Al Qur’an  ke dalam beberapa  bahasa Afrika. Ketika para missionaris  mengadakan kegiatan di Afrika, mereka membawa terjemahan Al Qur’an disamping tugas utamanya  menbagi-bagikan  lembaran-lembaran risalah  dan terjemahan Bible  dalam bahasa daerah sederhana. Untuk menunjukkan kelebihan Nasrani mereka juga menerbitkan  judul-judul yang bermaterikan Islam, yang dalam hubungan ini dimaksudkan  untuk menunjukkan bahwa  terjemahan Al Qur’an mengandung pengertian yang banyak, sehingga penduduk dapat membandingkan antara Al Qur’an dan pesan-pesan  yang terdapat dalam Bible. Para missionaris di  Nigeria umpamanya mulai menerjemahkan Kitab Suci Al Qur’an ke dalam bahasa  Yoruba diawal abad ini. Yoruba adalah salah satu  bahasa  yang luas pengaruhnya  yang digunakan lebih  dari 16 juta penduduk di Nigeria bagian selatan. Hampir  separuh dari  suku Yoruba adalah muslim.

 Pergaulan di antara Muslim  dan Nasrani menjadi salah satu kemudahan bagi para missionaris untuk mencapai tujuan mereka. Untuk menunjukkan  bahwa kegiatan-kegiatan mereka  bukan hanya  bagi kepentingan Nasrani, maka mereka juga mengadakan  kegiatan penerjemahan Al Qur’an. Terjemahan yang penting  artinya  adalah terjemahan Kitab Suci Al Qur’an ke dalam bahasa Yoruba  oleh M.S. Cole. Sebagai usaha kedua dalam menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Yoruba ialah menggabungkan diri dengan  Ahmadiyah  yang salah satu kegiatannya  menerjemahkan Al Qur’an. Ahmadiyah mengerjakan kegiatannya di Negeria sejak tahun 1916 dan sangat cepat mendapat pengikut.

 Setelah sekitar 7 tahun  (pada tahun 1976) panitia menerbitkan  cetakan pertama  dengan penerbit University Press Ibadah. Pada  penerbitan kedua  (tahun 1978) telah dicetak sebanyak 5000 eks. Di Hongkong dengan beberapa koreksi, modifikasi dan pengembangan. Ulama Yoruba  memulai menerjemahkan Al Qur’an. Saran dan usul  untuk menerjemahkan Al Qur’an itu juga datang  dari Tuan Ahmadu Bello, mantan Perdana Menteri  Nigeria Utara. Persatuan Muslim Nigeria di Lagos ikut bergabung  dalam tugas tersebut. Tugas penerjemahan ini dilaksanakan oleh suatu panitia  yang terbentuk pada bulan Desember 1962. Tugas ini berhasil  diselesaikan dan  mendapat rekomendasi pada bulan Januari  1973. Terjemahan tersebut dicetak  oleh Dar al Arabiyah Beirut yang disebarkan  di Maiduguri (25.000 eks.), diantaranya dicetak  dengan biaya  dari Raja Arab Saudi. Cetakan kedua diterbitkan  dalam tahun 1977.

 Terkhusus di Indonesia, Al Qur’an  telah diterjemahkan  pada pertengahan abad ke-17 oleh Abdul Ra’uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel, Aceh, ke dalam bahasa Melayu. Walaupun mungkin bahwa  terjemahan itu  ditinjau dari segi sudut ilmu bahasa Indonesia modern belum sempurna, tetepi pekerjaan itu adalah besar jasanya  sebagai pekerjaan perintis jalan. Diantara terjemahan-terjemahan  Al Qur’an ialah terjemahan yang telah dilakukan  oleh kemajuan Islam Yogyakarta; Qur’an Kejawen dan Qur’an Sundawiyah; penerbitan  percetakan A.B. Sitti Syamsiah Solo, diantaranya Tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Munawar Chalil; Tafsir Qu’an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Al Furqan dan Tafsir Qur’an oleh A. Hasan dari Bandung (1928); Tafsir Al Qur’an oleh H. Zainuddin  Hamidies (1959); Hibarna disusun K.H. Iskandar Idris; Al Ibris disusun oleh K.H. Bisyri Musthafa dari Rembang (1960); Tafsir Al Qur’an Hakim oleh H.M. Kasim Bakry cs (1960); Tafsir Al Azhar oleh Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) (1973); Tafsir An Nur oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy (1952) dan banyak lagi yang lain, ada yang lengkap dan ada yang belum seperti penerbitan terjemah  dan tafsir dari Perkumpulan Muhammadiyah, Persatuan Islam Bandung dan Al Ittihadul Islamiyah (AII di bawah pimpinan K.H. A. Sanusi Sukabumi) beberapa penerbitan terjemahan  dari Medan, Minangkabau, dan lain-lain. Sementara terjemahan-terjemahan  ke dalam bahasa Jawa  diantara-nya: Al Qur’an Suci Basa Jawi oleh Prof. K.H. R. Muhammad Adnan (1969), Al Huda oleh Drs, H. Bakri Syahid (1972).

SEJARAH PENERBITAN KOROANG MALA'BI'

 Penyusunan Koroang Mala’bi’ dimulai pada tahun 1995 oleh Idham Khalid Bodi. Berawal dari sebuah kerinduan terhadap kampung halaman yang kemudian disalurkan lewat penyusunan terjemahan Juz Amma ke dalam bahasa Mandar. Idham yang saat itu masih aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Bahaa Arab IAIN Alauddin (sekarang UIN) Makassar, menyampaikan hasil tersebut kepada para ulama dan budayawan Mandar. Apa yang dilakukan oleh Idham tersebut diapresiasi oleh para alim ulama untuk ditindak lanjuti menerjemahkan al-Quran Bahasa Mandar 30 Juz. 
Tahun 1998, oleh MUI Sulawesi Selatan menerbitkan SK No. 114/MUISS/SK/1998 Tentang Panitia Penerjemahan dan Penerbitan Al-Quran Mandar Indonesia dengan komposisi Penerjemah, Muhammad Idham Khalid Bodi. Ketua Panitia; Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA. Sekretaris; Muhammad Idham Khalid Bodi, dan Bendahara Drs. Mahmud Hadjar. Adapun Pentashih Bahasa Mandar adalah Drs. KH. Abdul Rahman Halim, MA (koordinator) dan anggota Dr. KH. Sahabuddin, Husni Djamaluddin, Drs. Ahmad Sahur, M. Si. Dan Drs. Suradi Yasil. Surat Keputusan tersebut ditanda tangani oleh KH. Sanusi Baco, Lc. (Ketua MUI Sulawesi Selatan) dan Dr. Hamka Haq, MA (Sekretaris MUI Sulawesi Selatan).
Pada awalnya, terjemahan Al-Quran ini hanya menggunakan bahasa Mandar. Akan tetapi atas saran dari Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, agar memasukkan terjemahan bahasa Indonesia dengan alas an, bahwa masih banyak orang Mandar yang belum bisa berbahasa Indonesia, demikian juga sebaliknya. Diharapkan dengan membaca terjemahan tersebut, orang lebih mengenal bahasa Mandar, jadi semacam kamus. 

Pada taHun 2000, Ketua Panitia (Ahmad M. Sewang) atas usul dari Baharuddin Lopa untuk menjejaki kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Pada tahun tersebut, Ahmad Sewang ke Rabithah Alam Islami sebagai organisasi terbesar di Arab Saudi dan dari sana disarankan untuk memohon ke Mujamma’ Malik Fahd di Madinah. Karena terbatasnya waktu, maka proposal tersebut di kirim ke lembaga tersebut. Pihak Mujamma menyambut dengan baik sehingga Direktur Mujtama yang juga pengajar di Universitas Madinah mencari mahasiswa asal Indonesia, khususnya yang berasal dari Mandar. Ternyata di Universitas Madinah ditemukan mahasiswa dari Mandar, yakni Irwan Fitri Atjo. Saat liburan, Irwan ditugaskan pulang ke Indonesia untuk mencari penerjemah dan membawa Al-Quran Terjemahan bahasa Mandar utuh 30 Juz. 

Sesampainya ke Indonesia (Makassar), Irwan menemui Idham Khalid Bodi dan menceritakan kemungkinan akan diterbitkannya terjemahan ini di Arab Saudi. Karena terjemahan belum di tashih semuanya, maka Idham berjanji akan mengantar langsung naskah tersebut ke Arab Saudi tahun 2001 (saat musim haji). Sebelum ke Arab Saudi (menunaikan ibadah haji), Idahm mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk file yang tersimpan dalam disket (saat itu belum dikenal flash disk maupun hardisk eksternal). Termasuk menghubungi Baharuddin Lopa mengatur jadwal bertemu dan menysun langkah selanjutnya. Sesampainya di Mekah, Idham menguubungi lagi Baharuddin Lopa di Jeddah karena saat itu masih menjabat sebagai Duta Besar Indonesia di Arab Saudi. Idham dan Baharuddin Lopa sepakat akan bertemu dua hari kemudian di Azisiyah, Mekah. 

Setelah menunaikan ibadah haji, Idham ke Madinahuntuk arba’in dan menemui Irwan untuk menghadap ke Direktur Majamma’ Malik Fahd. Ia disambut dengan sangat luar biasa dan disepakati bahwa Mujamma’ akan menerbitkan naskah tersebut untuk ummat, tanpa royalty. Semua Lillahi Ta’ala. Tahun 2005, al-Quran Bahasa Mandar benar-benar diterbitkan. Dicetak sebanayk 20.000 eksemplar dan menjadi satu-satunya bahasa daerah yang diterbitkan di penerbit bergengsi tersebut, bersanding dengan terjemah bahasa-bahasa negara di dunia. Masalahnya kemudian karena penerbitan di Arab Saudi ini tidak melalui prosedur kenegaraan di Indonesia, tidak melalui Kementerian Agama RI (Dalam hal ini Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran). Sementara semua mushaf yang beredar harus ada tanda tashih dari lembaga tersebut. Drs. H. Fadhal AR, M.Sc, sebagai Kepala Pusat Lektur yang membawahi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran menyarankan agar Al-Quran-Mandar tersebut tetap ditashih sebelum beredar. Tim pun dibentuk untuk maksud tersebut, dan tetap melibatkan penerjemah. Pentashihan dilakukan di Ciawi, Bogor selama sepekan.   

TIM PENTASHIH KOROANG MALA'BI' 2019

1. KH. Nur Husain
2. Drs. H. Alimuddin Lidda
3. Dr. Suradi Yasil
4. Dr. H. Mahmud Hadjar
5. KH. Sauqaddin Gani
6. Prof. Dr. Ahmad M. Sewang, MA.
7. Prof. Dr. H. Arifuddin Ismail, M.Pd.
8. M. Nadir Soekarno
9. Dr. KH. Nafis Djuaeni, MA.
10. Dr. KH. Ilham Saleh
11. Dr. H. Mukhlis Latief, M.Si
12. Dr. H. Burhanuddin Djafar
13. KH. Bisri M. Pd.I
14. Dr. Srimusdikawati, M.Si.
15. Tammalele
16. Suparman Sopu, S.Pd., M.Pd.
17. KH. Karib S.P.I
18. KH. Abd. Syahid Rasyid
19. Dr. KH. Syamsuri Halim, M.Pd
20. Dr. Muhammad Rais, M.Si.
21. Dr. Ulfiani Rahman, M.Si.
22. KH. Irwan Fitri Atjo
23. KH. Munu S.Pd.I (Muhasib, S.Pd)
24. Muhsinin, S.Pd.I
25. Amran H. Borahima, M.Pd
26. Dr. M. Dalif, M. Ag.
27. Dr. Dalilul Falihin, M.Si
28. Abd. Wahid Noer, M.Pd
29. Amril Hamka
30. Muhammad Munir
31. Syarifuddin, M.Hum
32. Makmur, M. Th.I

Sumber:
Muhammad Munir, dkk 2021 Ensiklopedia Sulawesi Barat Jilid 6

Rabu, 28 Februari 2024

BUTUH BACAAN TENTANG MANDAR?



Untuk mencari buku lama ttg bahasa Mandar, bisa berselancar di laman kami:

https://repositori.kemdikbud.go.id/cgi/search/archive/simple?q=Tata+bahasa+mandar&screen=Search&dataset=archive&order=&_satisfyall=ALL&_action_search=Search

Silahkan download bukunya. 

Kamis, 08 Februari 2024

𝗪𝗘 𝗜𝗠𝗔𝗡𝗜𝗥𝗔𝗧𝗨 𝗔𝗥𝗨𝗡𝗚 𝗗𝗔𝗧𝗔 𝗦𝗨𝗟𝗧𝗔𝗡𝗔𝗛 𝗦𝗔𝗟𝗜𝗠𝗔𝗛 𝗥𝗔𝗝𝗜𝗬𝗔𝗧𝗨𝗗𝗗𝗜𝗡, 𝗠𝗔𝗧𝗜𝗡𝗥𝗢𝗘 𝗥𝗜 𝗞𝗘𝗦𝗦𝗜'. (𝗥𝗔𝗧𝗨 𝗕𝗢𝗡𝗘 𝗞𝗘-𝟮𝟱) 𝟭𝟴𝟮𝟯-𝟭𝟴𝟯𝟱).


Dalam lembaran sejarah Kerajaan Bone ditemukan banyak catatan yang memperlihatkan keberagaman sikap raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Sikap yang bernilai kejuangan baik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negerinya dari serangan musuh, maupun dalam tata cara pelaksanaan system pemerintahannya.

Interpretasi kesejarahan tentang Kerajaan Bone memang telah dilakukan oleh banyak pihak berupa rekaman masa silam melalui berbagai tulisan dan pemaparan. Namun sejumlah keterangan baik dalam lontarak maupun cerita lisan terasa masih sangat kurang, bahkan banyak yang sulit untuk dipahami dan hanya dapat dipandang sebagai mitologi belaka. Oleh karena itu penggalian data dan fakta sejarah selanjutnya dibutuhkan untuk menemukan mata rantai sejarah yang hilang utamanya pasa masa kedatangan bangsa asing dari Eropah (Inggris dan Belanda) dengan maksud penjajahannya.

Mengangkat nilai juang We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835) ini, pada dasarnya merupakan penelusuran eksistensi ke jatidirian masyarakat Bone dimasa lampau. Data yang sedikit ini diharapkan dapat member konstribusi sejarah lokal (kerajaan Bone) yang berhubungan dengan tema “ Penggalian nilai-nilai Kepahlawanan We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV “
Walaupun harus diakui bahwa materi data dan fakta tang diketengahkan dalam tulisan ini masih sangat kurang bahkan mungkin tidak terlalu penting, namun penulis berharap semoga dianalisis oleh peserta seminar. Artinya, apa yang diketengahkan oleh penulis setidaknya dapat menjadi sekedar “ tanda baca “ dari untaian kalimat sejarah-sejarah Kerajaan Bone yang panjang dan berliku-liku.
Penuturan sejumlah rentetan peristiwa dalam rangka upaya mengungkapkan data dan fakta sejarah Kerajaan Bone, terutama pada masa kedatangan bangsa asing dengan maksud penjajahannya, memang sangat penting untuk dilakukan. Karena data dan fakta sejarah tersebut, tidak hanya memberikan dan mengungkapkan keterangan-keterangan yang objektif berhubungan sikap dasar orang Bugis yang dikenal dengan “ SIIRII NAPESSE' (Harga diri dipegang teguh)’ “Tetapi juga tentang nilai-nilai kejuangan yang dilakukan oleh seorang raja dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan wilayah kekuasaannya.

We Maniratu Arung Data merupakan salah satu dari enam raja perempuan yang pernah memerintah di Kerajaan Bone, Yaitu ; 1. We Banrigau Makkalempie Mallajange’ ri Cina Raja Bone-IV (1496-1516), 2. We Tenri Pattuppu Raja Bone-X (1602-1611), 3. Batari Toja Daeng Talaga Raja Bone-XVII (1714-1715), kemudian terpilih lagi sebagai Raja Bone-XXI (1724-1749)  4. We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835), 5. Pancaitana Besse Kajuara Raja Bone-XXVIII (1857-1860), dan 6. Fatimah Banri Raja Bone-XXX (1871-1895).
Atas mufakat dari anggota Dewan Ade’ Pitu Kerajaan Bone dalam tahun 1823, We Maniratu Arung Data diangkat menjadi Raja Bone-XXV menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Matinroe’ ri Ajang benteng Raja Bone-XXIV (1812-1823). Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data dikenal sebagai raja yang paling anti penjajahan Belanda.
Untuk lebih mengenal seseorang perlu ada upaya untuk mengorek lebih jauh tentang nama, gelar, dan atribut lain yang melekat pada dirinya. Bahkan lebih dari itu, perlu pula ditelusuri tentang asal-usulnya, nama kedua orang tuanya, tempat dan waktu kelahirannya. Seperti halnya Raja Bone-XXV yang memerintah dari tahun 1823-1835, kelihatannya ada beberapa versi tentang namanya yang dituliskan oleh sejumlah penulis sejarah Sulawesi Selatan.

Dari berbagai catatan ditemukan beberapa nama Raja Bone-XXV yang digelar Matinroe ri Kessi (Yang wafat di Kessi), di mana sejumlah penulis sejarah mencatatnya, antara lain ;

1. Abdul Razak Daeng Patunru dkk. Dalam “sejarah Bone “ yang diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Tahun 1989,menuliskan nama Raja Bone-XXV (1823-1835) adalah I Benni Arung Data Matinroe ri Kessi.

Catatan ; menurut berbagai sumber dari tokoh masyarakat setempat mengatakan bahwa nama I Benni Arung Data, ditemukan pada catatan-catatan Belanda yang berusaha untuk menguasai Bone pada masa pemerintahan Raja Bone-XXV tersebut. Kalau keterangan ini benar, maka kemungkinan nama I Benni Arung Data hanyalah mengikuti ucapan Belanda yang tidak terlalu pasih dalam menyebut We Maniratu Arung Data. Tentang hal ini, mungkin perlu untuk dilakukan penggalian dan penelusuran yang lebih mendalam.

2.Dalam lontarak Akkarungeng Bone yang diterbitkan dengan biaya pemerintah Daerah Tkt. I Sulawesi Selatan Tahun 1985, tertulis nama Arungpone ke 25, adalah We Manneng Arung Data.

3. Dalam buku Bone Selayang Pandang yang ditulis oleh Andi Muhammad Ali (1986) menyebut nama Arungpone-XXV adalah I Mani Arung Data.

4. Dalam buku Arus Perjuangan di Sulawesi Selatan, tahun 1989 yang ditulis oleh Drs. Sarita Pawiloi, menyebutkan nama Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah I Maning Arung Data.

5. Dalam naskah sejarah Bone yang ditulis oleh Andi Palloge Petta Nabba (tanpa tahun) menyebutkan nama Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah I Maniratu Arung Data digelar Sultanah Rajituddin Matinroe’ ri Kessi.

6.Sedangkan dalam Surek Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe’ ri Rompegading Raja Bone-XXV (1775-1812) yang tidak lain adalah ayah kandung Raja Bone-XXV, diketahui bahwa anak perempuannya itu bernama We Maniratu. Pada saat Riulo’ sulolona (acara tradisional atas kelahiran seorang anak) dihadiahkan akkarungeng (wilayah kekuasaan) yaitu “Data”.
Menurut sejumlah tokoh masyarakat, tempat itu berada dalam wilayah Lalebbata (Ibukota Kerajaan Bone). Dengan demikian anak perempuannya itu bernama lengkap We Maniratu Arung Data. Tentang tempat yang bernama “Data” sampai saat sekarang juga masih menjadi kontroversi, sebab ada yang berpendapat bahwa Data berada dibagian selatan Kerajaan Bone.

Dalam Sure bilang La Tenri Tappu To Appaliweng tersebut diketahui bahwa We Maniratu Arung Data lahir pada tanggal 14 Oktober 1776, seperti bunyi catatan;
“14 Oktober 1776, purai 10 garagatae’ najaji anakna Puanna Batara Tungke-Makkunrai Anakna-Alhamdu lillah” artinya; 14 oktober 1776, sesudah pukul sepuluh malam- lahirlah anak Puanna Batari Tungke- Perempuan anaknya- Alhamdu lillah”.

“Upakuru sumange- I Puanna Batara Tungke se’ddi je’mma- anakna uwa’re’ng inungeng butung- karawik ulaweng” artinya; saya bangkitkan semangat Puanna Batara Tungke dengan memberinya orang satu- anaknya saya beri gelas minum butung- karawak emas”.
Selanjutnya pada tanggal 23 Desember 1776, La Tenri Tappu To Appaliweng kembali menulis catatan :

“Utudattudang ri Salassae’ mita-itai We Maniratu” artinya; saya duduk-duduk di selassae’ menemui We Maniratu”
Menurut Sure’ Bilang tersebut, Batara Tungke Arung Timurung adalah anak pertama La Tenri Tappu To Appaliweng dengan istrinya We Fadauleng atau We Tenri Fada, yang lahir pada tanggal 12 April 1775, We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835) adalah anak ke-2 yang lahir pada tanggal 14 Oktober 1776. Sedangkan La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka Raja Bone-XXIV (1812-1823) adalah anak ke-3 yang lahir pada tanggal 12 Mei 1791.

Dalam Lontara Akkarungeng ri Bone diketahui bahwa La Tenri Tappu To Appaliweng dengan isterinya We Tenri Fada ada melahirkan 13 orang anak, yaitu; 1. Batara Tungke' Arung Timurung, 2. We Maniratu Arung Data, 3. La Mappasessu To Appatunru Arung Palakka, 4. La Mappaseling Arung Pannyili, 5. La Tenri Sukki Arung Kajuara, 6. We Kalaru Arung Pallengoreng, 7. La Tenri Bali Arung Taa’, 8. La Mappaewa Arung Lompu, 9. La Paremma' Rukka Arung Karella, 10. La Temmu Page Arung Paroto, 11. La Pattuppu Batu Arung Tonra, 12. La Pawawoi Arung Timurung, dan 13. I Mamuncaragi.

Mungkin banyak yang berpendapat bahwa apalah apalah arti sebuah nama untuk dipermasalahkan, namun menurut heman penulis “nama” adalah identitas yang paling melekat pada diri seseorang sekaligus membuatnya abadi dalam lembaran sejarah kehidupannya. Apalagi nama seorang Raja seperti We Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV yang pada masa hidupnya memiliki banyak aktivitas yang berorientasi kepada kemaslahatan negeri dan bangsanya dalam menghadapi penjajah Belanda.
Karena itu, melalui tulisan yang singkat ini, penulis mengajak kepada pemerhati  sejarah lokal untuk membuat kesepakatan bahasa siapa sesungguhnya nama Arungpone ke-25 yang memerintah dari tahun 1823-1835 itu. Hal ini dimaksudkan agar generasi kita yang akan dating tidak terjebak dalam suatu pemahaman yang berbeda-beda mengenai nama raja wanita yang terkenal keberaniannya dalam melawan Belanda tersebut.

Siapa itu We Maniratu Arung Data ?
Sebelum mengungkap lebih jauh tentang kisah-kisah heroiknya dalam mempertahankan Kerajaan Bone dari serbuan tentara Belanda pada masa pemerintahannya sebagai Raja Bone-XXV (1823-1835), ada baiknya menelusuri sedikit tentang siapa sesungguhnya We Maniratu Arung Data itu. Baginda adalah anak ke-2 dari La Tenri Tappu To Appaliweng Matinroe’ ri Rompegading Raja Bone-XXIII (1775-1812) dengan isterinya We Fada Uleng atau We Tenri Fada Arung Timurung. 

Dalam lontara Akkarungeng ri Bone diketahui bahwa La Tenri Tappu To Appaliweng adalah anak dari We Hamidah Arung Takalarak yang juga dikenal dengan gelar Petta Matowae’ dengan isterinya La Mappapenning Daeng Makkuling sepupu satu kalinya yang bernama We Fadauleng atau We Tenri Fada, anak dari saudara laki-laki We Hamidah Arung Takalarak, yaitu La Baloso To Akkaottong Ponggawa Bone dengan isterinya Arung Lompeng. Dari perkawinan tersebut, melahirkan 13 orang anak diantaranya adalah We Maniratu Arung Data yang kemudian menjadi Raja Bone-XXV (1823-1835).
La Tenri Tappu To Appaliweng dan We Mahidah Arung Takalarak adalah anak La Temmassonge To Appaweling Raja Bone-XXII Matinroe ri Malimongeng (1749-1775) dengan isterinyan We Mommo Sitti Aisyah yaitu cucu Syekh Yusuf (Tuanta Salamaka ri Gowa). Sedangkan La Temmassonge To Appaweling adalah anak dari La Patau Matanna Tikka Matinrore’ri Nahauleng Raja Bone-XVI (1696-1714) dengan istrinya We Sundari Datu Baringeng (Soppeng).
Dari Sure’ Bilang (catatan harian) La Tenri Tappu To Appaliweng diketahui bahwa We Maniratu Arung Data lahir pada tanggal 14 Oktober 1776 di Lalebata (Watampone). Pada waktu itu La Tenri Tappu To Appaliweng baru satu tahun memangku jabatan sebagai Arungpone (Raja Bone).
Cerita lisan yang terdapat dalam masyarakat Bone mengatakan bahwa sejak kecil We Maniratu telah memperlihatkan sikap pemberani yang melebihi sikap laki-laki. Walaupun dia seorang anak perempuan, tetapi keberaniannya senantiasa terlihat terutama dalam membela teman-temannya yang mendapat masalah dengan orang lain, termasuk dalam hal mempertahankan pendapat yang dianggapnya benar.
Keberaniannya dalam mempertahannkan hak-hak yang dianggapnya benar semakin Nampak ketika diangkat oleh Dewan Adek Pitu Kerajaan Bone menjadi Arungpone (Raja Bone)-XXV pada tahun 1823. Pengankatannya itu adalah untuk menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Palakka Raja Bone-XXIV yang juga dikenal sebagai raja yang sangat anti penjajahan.
Misalnya saja pada masa pemerintahannya We Maniratu Arung Data dikenal sebagai pelopor bagi sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan dalam menolak pembaharuan perjanjian Bungaya (18 November 1667) yang dikehendaki Oleh Belanda setelah memenangkan Perang Eropah dengan mengalahkan Inggris. Sebagai akibat pembangkangan Raja Bone We Mani itu, maka pada tanggal 14 Maret 1824, Kerajaan Bone di bawah kepemimpinan We Mani diserang oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh jenderal Van Goen melalui Pantai Bajoe (Andi Muh. Ali, 1986 ; 60).
Kekuatan militer Belanda di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Jenderal Van Goen, memang kelihatan kewalahan untuk menhadapi perlawanan raja-raja yang menolak untuk menjalin kerja sama , terutama Raja Bone yang dengan tegas menyatakan tidak mau kerja sama dengan pihak Belanda.
Kedatangan bangsa asing dari Eropa (Inggris dan Belanda) di Sulawesi Selatan dimulai kembali pada tahun 1814. Ketika itu bangsa Inggris menggantikan Belanda menjajah Nusantara sejak tahun 1811. Pada akhir tahun 1811, Inggris menduduki Makassar. Residen bangsa Inggris yang bernama Philips berkeinginan mengatur segala sesuatunya baik pemerintahan maupun perdagangan dan lain-lain sesuai dengan kemauannya semata. Tetapi maksud tersebut ditolak oleh Raja Bone To Mappatunru Arung Palakka yang merupakan saudara kandung We Maniratu Arung Data. Raja ini cukup keras dan anti penjajahan asing.
Setiap rencana penguasa Inggris ditolaknya dengan tegas, akhirnya pada tanggal 2 Juni 1814 penguasa Inggris mengirim pasukan ke Bone dibawah pimpinan Jenderal Mayor Nightingale untuk menyerang dan melumpuhkan pertahanan Raja Bone To Appatunru. Karena kalah kuat, maka pasukan Bone mundur kearah Maros dan tetap melakukan perlawanan dengan taktik perang gerilya. Dengan demikian, pasukan Inggris berhasil menduduki kota Watampone. Tetapi pasukan Inggris tidak menetap di kota Watampone dan kembali ke Makassar. Hal ini membuat pasukan Bone lebih bebas mengatur perlawanan yang dibantu oleh pasukan Maros dan kerajaan lainnya.
Pada tahun 1816 berdasarkan Comvention London, Belanda mengambil alih kekuasaan tersebut dari Inggris. Di Makassar penyerahan kekuasaan tersebut berlangsung pada bulan Oktober 1818. Selanjutnya pada tahun 1824 Gubernur Jenderal Van der Capellen datang ke Makassar. Ia sangat khawatir dengan berkobarnya perlawanan yang makin hebat dari kalangan raja-raja di Selawesi Selatan. Untuk itu diundanglah raja-raja di Sulawesi Selatan ke Makassar guna diajak kerja sama. Sejumlah raja memang bersedia hadir untuk menanda tangani perjanjian Ujung Pandang yang merupakan pembaharuan dari Perjanjian Bungaya. Akan tetapi raja Bone, Luwu, Wajo, Soppeng, Suppa dan raja-raja Mandar tidak hadir.

Diantara raja-raja yang tidak mau menjalin kerja sama dengan belanda adalah Raja Bone yang pada waktu itu telah dijabat oleh We Maniratu Arung Data Matinroe’ ri Kessi. Raja perempuan ini adalah saudara dari Raja Bone-XXIV To Appatunru Arung Palakka yang kelihatannya lebih anti penjajahan asing. We Maniratu Arung Data lebih tegas menyatakan penolakannya untuk kerja sama dengan pihak penjajah.
Menurut sumber-sumber lisan, untuk memperkuat pasukannya We Maniratu Arung Data membentuk pasukan wanita yang dilengkapi dengan senjata Lawida (semacam alat tenun yang runcing). Disamping itu, semakin ditingkatkan pula jumlah pasukan laki-laki yang ditempatkan diberbagai  titik pertahanan. Lalu dengan jjiwa kesatria We Maniratu Arung Data bersama pasukan wanitanya terjun langsung ke medan perang untuk menghadapi musuh.

Melihat kekuatan pasukan Bone dan Rajanya yang sangat anti penjajahan, membuat belanda sangat khawatir. Apalagi setelah diketahui bahwa Raja Bone mengadakan kerjasama dengan kerajaan tetangganya seperti Maros, Sinjai, Pangka jenne, Soppeng, Wajo, Luwu dan lain-lain. Oleh karena itu, colonel van Schelle selaku pimpinan Belanda di Makassar terpaksa meminta bantuan tambahan pasukan dan persenjataan dari Batavia. Untuk itu, dikirimlah dari Batavia pasukan di bawah pimpinan Kolonel Bischoff dan bertugas untuk merebut kembali Maros, Pangka jenne, dan Sigeri dari kekuasaan pasukan Bone yang telah lama mendudukinya.

Kemudian pada akhir tahun 1824 Jenderal Mayor J.J.Van Geen datang pula dari Batavia dengan tugas ekspedisi yang teerdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri, dan angkatan laut yang dipimpin Kapten Terzee Piterzen. We Maniratu Arung Data selaku Raja Bone memang telah menyusun suatu strategi dan persiapan yang cukup matang untuk menghadapi ekpedisi Jenderal Mayor Van Geen tersebut. Raja wanita yang berhati baja itu tidak henti-hentinya membakar semangat pasukan Bone untuk melawan pasukan penjajah Belanda. “ Jangan biarkan penjajah Belanda itu menginjakkan kakinya di Tana Bone “ demikian kalimat-kalimat yang selalu diserukan oleh We Maniratu Arung Data kepada pasukan Bone yang sedang berada di medan perang.

Menurut cerita lisan yang terdapat dalam masyarakat Bone diketahui bahwa We Maniratu Arung Data adalah seorang wanita yang keberaniannya melebihi keberanian sebahagian laki-laki. Hal ini Nampak pada saat memimpin pertempuran melawan Belanda di berbagai tempat. Masih menurut cerita lisan tersebut mengatakan bahwa We Maniratu Arung Data kemanapun ia pergi selalu membekali diri dengan keris di pinggang, walaupun ia tetap dijaga oleh pasukan kerajaan Bone.

Untuk memasuki wilayah kerajaan Bone, pasukan Belanda terlebih dahulu harus berhadapan dengan pasukan Maros, Bantaeng, Bulukumba dan Sinjai. Oleh karena itu ekpedisi van Geen baru bias menembus pertahanan pasukan Bone di Bajoe pada tanggal 24 Maret 1825, setelah membumi hanguskan Sinjai pada tanggal 19 Maret 1825.

Kenyataan tersebut menandakan bahwa Raja Bone We Maniratu Arung Data mendapat dukungan kuat dari raja-raja tetangganya dalam melawan penjajah Belanda. Setelah pesisir selatan, seperti Bulukumba dan Bantaeng di bersihkan oleh tentara Belanda dibawah pimpinan Mayor Lobron de Vosela, melanjutkan perjalanan ke Kajang dan Sinjai dengan maksud bertemu dengan induk pasukan yang akan memasuki Bone (Abdurrazak Daeng Patunruk, 1989 ; 247)
Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan We Maniratu Arung Data melawan Belanda hingga akhir tahun 1835 yaotu setelah We Maniratu Arung Data wafat dan digantikan oleh saudaranya La Mappaseling Arung Panynyili sebagai Raja Bone-XXVI.

Dalam lontarak akkarungen Bone disebutkan bahwa We Maniratu Arung Data wafat pada tahun 1835 di Kessi pada usia 59 tahun. Menurut berbagai sumber mengatakan bahwa tempat yang bernama Kessi itu berada dalam Lalebbata (Ibukota Kerajaan Bone).
Namun sampai hari ini belum ditemukan bukti akan keberadaan tempat tersebut, sehingga masih menjadi kontraversi dikalangan pemerhati sejarah local. Karena sebagian pula yang mengatakan bahwa Kessi berada dibagian selatan Kerajaan Bone. Mungkin perbedaan seperti itu perlu dilakukan penelusuran yang lebih jauh untuk menentukan tempat yang bernama Kessi dimana We Maniratu wafat. Dikatakan pula bahwa We Maniratu Arung Data selama hidupnya tidak pernah menikah, sehingga tidak memiliki keturunan langsung.

Inilah sedikit data dan fakta sejarah tentang We I Maniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835). “ALAI CÉDDÉ'É NARÉKKO ENGKAI MAPPEDÉCÉNG – SAMPÉYANGNGI MAÉGAÉ NARÉKKO ENGKAI MAKKASOLANG” (ambillah yang sedikit kalau dapat berguna – tolaklah yang banyak kalau bakal menyulitkan).
(Teluk Bone) 


𝗪𝗘 𝗕𝗔𝗡𝗥𝗜 𝗚𝗔𝗨 𝗦𝗨𝗟𝗧𝗔𝗡𝗔𝗛 𝗙𝗔𝗧𝗜𝗠𝗔𝗛, 𝗗𝗔𝗧𝗨𝗞 𝗖𝗜𝗧𝗧𝗔 (𝗥𝗔𝗧𝗨 𝗕𝗢𝗡𝗘 𝗞𝗘-𝟯𝟬) 𝟭𝟴𝟳𝟭-𝟭𝟴𝟵𝟱

  

We Fatimah banri, Datu Citta Matinroé RI Bolampare'na,  We Fatimah Banri atau We Banri Gau Arung Timurung menggantikan ayahnya Singkeru’ Rukka Arung Palakka menjadi Mangkauk di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Fatimah dan digelarlah We Fatimah Banri Datu Citta.

Dalam tahun 1879 Masehi menikah dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Magguliga Bangkung Karaeng Popo, anak dari We Pada Daeng Malele Arung Berru dengan suaminya I Malingkaang KaraengE ri Gowa. Dari perkawinannya itu lahirlah We Sutera Arung Apala.

Setelah Arung pone kawin dengan Karaeng Popo, Fatimah Banri memberikan kepada suaminya Akkarungeng di Palakka. Setelah Arung pone We Banri Gau meninggal dunia pada tahun 1895 M. berupayalah Karaeng Popo untuk menggantikan isterinya sebagai Arungpone.Untuk itu ia mendekati Hadat Tujuh Bone agar dirinya dapat diangkat menjadi Mangkauk di Bone menggantikan isterinya Fatimah Banri atau We Banri Gau Matinroé ri Bolampare’na.

Akan tetapi maksudnya itu dihalangi oleh iparnya yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada waktu itu menjadi Tomarilaleng ri Bone. Alasannya adalah bahwa Karaeng Popo ketika isterinya masih hidup telah banyak melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh orang Bone. Karaeng Popo bersama Jowana (pengawalnya) sering melakukan tindakan keras yang membuat rakyat kecil menderita.

Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dengan orang banyak sepakat untuk mengangkat anak Fatimah Banri yang bernama We Besse Sutera Bau Bone Arung Apala menjadi Mangkauk di Bone. Pada waktu itu Besse Sutera Bau Bone baru berusia 13 tahun.

Akan tetapi kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan segenap orang Bone belum disetujui oleh Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang yang bernama Tuan Braan Manrits. Alasannya ada kekhawatiran Bone dengan Gowa akan bersatu melawan Kompeni Belanda. Untuk itu, Pembesar Kompeni Belanda sendiri yang langsung masuk ke Bone. Adapun kesepakatan Pembesar Kompeni Belanda Tuan Braan Manrits dengan Hadat Tujuh Bone yang akan diangkat menjadi Mangkauk ri Bone adalah saudara Matinroé ri Bolampare’na sendiri yang bernama La Pawawoi Karaeng Sigeri. 

Minggu, 04 Februari 2024

BUKU WARISAN PASSOKKORANG

Selamat datang Buku "Warisan Passokkorang" dalam deretan diksi sejarah di Mandar. Semoga kehadiranmu menjadi pemantik bagi siapapun yang punya keinginan untuk merekonstruksi kembali Babad Tanah Passokkorang. 

Passokkorang mungkin akan menjadi salah satu kosakata sulit dan tak lagi dikenal generasi hari ini. Tapi mengabaikan Passokkorang tentu bukan langkah bijak bagi siapapun. Ia adalah narasi penting untuk menemukenali Jejak Mandar yang sesungguhnya. 

Mari bersama mengulik dan menguliti suguhan narasi yang disuguhkan oleh Muhammad Munir ini.

MENGENAL IMAM JANGGO'

MENGENAL IMAM JANGGOQ, IMAM LEGENDARIS MESJID AL HURRIYYAH TINAMBUNG.

By Muhammad Ridwan Alimuddin

Dari sekian imam mesjid Al Hurriyyah Tinambung, ada satu yang melegenda. Mungkin karena sapaannya yang nyentrik dan mudah diingat, Imam Janggoq "imam berjanggut". Nama aslinya K. H. Achmad Alwy, ulama dari Pambusuang yang lahir di Mekkah di awal abad ke-20. Achmad lahir bisa lahir di Mekkah karena saat menunaikan ibadah haji, ibunya, bernama Puang Sapi, sedang hamil.

Selain belajar agama dari orangtuanya, K. H. Alwy "Annangguru Kaeyyang", juga berguru ke pamannya, K. H. Yasin (Annangguru Kacing, menjadi warga negara Arab Saudi dan wafat di sana), K. H. M. Ghalib (Annangguru Gale), K. H. Syed Hasan bin Sahil, dan K. H. Syahabuddin (bukan K. H. Syahabuddin pendiri Univ. As Syariah Mandar).

Imam Janggoq memegang amanah sebagai imam mesjid Tinambung dua periode. Pertama dari tahun 1936 – 1942, menggantikan ayahandanya yang wafat di tahun 1936, tepat 1 Ramadhan kala memimpin jamaah tarwih (imam) di rakaat terakhir shalat witir.

Jabatan imam dilepaskan ketika terlibat dalam perang kemerdekaan. Alwy muda terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Pambusuang. Hal itu membuatnya jadi buronan Belanda. Lewat campur tangan Imam Lapeo, Alwy diungsikan ke luar Mandar, berpindah dari satu pulau kecil ke pulau kecil lain di Selat Makassar dan Laut Jawa sambil tetap berdakwah.

Sang imam berjuang lewat organisasi Jami’atul Islamiyah dan KRIS Muda Mandar. Sebelumnya pada 1929 mulai aktif politik lewat partainya HOS Cokroaminoto, yaitu Partai Syarikat Islam Indonesia cabang Mandar.

Tahun 1959 bekerja di Kantor Legiun Veteran Cabang Mandar yang berkedudukan di Makassar di bawah pimpinan Riri Amin Daud. Tahun 1962 diutus ke Bandung mempelajari persuteraan alam. Imam Janggoq-lah pionir budidaya ulat sutera di Mandar, yang mana sebelumnya bahan baku benang sutera diimpor dari Cina.

Kembali diminta menjadi imam mesjid Tinambung pada awal Januari 1963. Andi Depu, sang Raja Balanipa, mengutus adiknya Abdul Malik Pattana Endeng ke Pambusuang, menemui K. H. Ahmad Alwy. Jabatan imam terus diembang sampai wafatnya, 19 Maret 1983. Makamnya di dalam "koqba" di Kompleks Makam Koqba, Pambusuang.

Sebagai ulama cum pejuang dan praktisi (sutera), Imam Janggoq aktif berdakwah, mengelola mesjid, dan sosial kemasyarakatan. Perawatan dan pengembangan mesjid Raya yang bertiang 100 buah, pagar-pagar, dan sebagainya, semuanya menjadi tanggung jawab beliau di samping menjaga agar jama’ah mesjid tetap terpelihara. 

Imam Janggoq-lah yang memulai pengadaan lampu listrik di mesjid Tinambung serta penyediaan "kollang" untuk berwudhu. Penting dicatat, masa Imam Janggoq-lah sehingga mesjid di Tinambung memiliki nama. Awalnya hanya disebut Mesjid Jami Tinambung untuk kemudian menjadi Mesjid Al Hurriyyah Tinambung.

TARIAN PATTU'DU'



Buku Claire Holt yang bagus dan menarik, Dance quest in Celebes, yang memberikan deskripsi berbagai tarian dalam bentuk laporan perjalanan, telah menunjukkan kepada kita betapa Berbagai ekspresi tarian ditemukan di wilayah ini.

Pattu'du' ini dapat ditemukan di bentang alam Mandar di pesisir barat Sulawesi Selatan, kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja Mandiri dengan gelar Mara'dia, dibantu oleh dewan tokoh terkemuka, yang dalam bahasa resmi Sulawesi Selatan biasa disebut Hadat. Untuk membedakannya dari Maradia yang lebih rendah, yang menguasai wilayah yang lebih kecil dari mana Lanskap Berpemerintahan Sendiri dibangun, pangeran utama kadang-kadang juga disebut sebagai aradjang.

Pattu'du' muncul dari kalangan bawah serta dari kelas anggota hadat, dari topia. Dalam kasus pertama seseorang berbicara tentang pattu'du' sassaoarrang, karena tarian mereka adalah sassaoarrang, layanan wajib bagi raja, kategori kedua disebut sebagai pattoe'du' ke pia. Lebih jauh lagi, di lanskap Mandarian pattu'du' masih dibedakan menurut kampung atau distrik asalnya. Semua pattoe'du' ini membentuk kelompok terpisah yang terdiri dari sepuluh hingga enam belas anak perempuan atau laki-laki. Bahkan gadis-gadis dari kelas kerajaan suka menerapkan tarian ini; ketika gadis-gadis seperti itu hadir di pesta, mereka tidak membentuk kelompok terpisah, tetapi bergabung dengan salah satu kelompok lain, sering kali dalam pattu'du' sassauarrang. 

Perbedaan status diekspresikan terutama dalam pakaian. Gadis-gadis dari kalangan kaya dihias dengan harta karun berupa perhiasan emas senilai beberapa ribu gulden, dan mereka juga mengenakan semacam sarung negara dari kain polos yang berharga dengan ujung yang terdiri dari emas batangan kecil (a'di' ). Pakaian penari kelas bawah jauh lebih sederhana; perhiasannya juga tidak begitu banyak dan lebih murah.

Gadis-gadis nubile, yang mengenakan pakaian renang transparan yang bagus, dan gadis-gadis yang lebih kecil, yang tampil bertelanjang dada, juga dibagi menjadi beberapa kelompok. Atribut penari adalah kain sempit dari bahan halus, di salah satu ujungnya diikat semua jenis benda emas atau perak dan kipas.

Sedangkan anak laki-laki, mereka yang termasuk golongan mampu mengenakan cerutu sebagai hiasan kepala, gulungan kain merah yang dililitkan di kepala dan disulam dengan lempengan emas, pakaian yang di daerah Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan termasuk pakaian negara pangeran atau pengantin pria. Sebuah topi, biasanya dihiasi dengan manik-manik emas atau emas, adalah hiasan kepala para penari kelas bawah. Tombak, agak seperti kemoceng, dengan perisai yang menyertainya, peniup atau kipas, menjadi atribut yang digunakan oleh anak laki-laki.

Peristiwa pattu'du' terjadi terbatas pada beberapa upacara kerajaan yang berhubungan dengan ritual khusus, yang disebut pappogauang dalam bahasa Mandar. Kesempatan seperti pelantikan raja, perkawinan, pengarsipan gigi, upacara mengayunkan anak kecil, khitanan, dan lain-lain. Hanya ketika berita telah diterima dari bahwa pesta sudah dekat, pattoe'du' dimulai dari awal.
untuk memiliki tarian pattoe du di lingkaran keluarganya pada upacara-upacara penting. Di sana-sini terjadi juga pada festival pattoe'du' Mara'dia yang lebih rendah; penggunaan tersebut kemudian didasarkan pada alasan sejarah, izin dari den Aradjang, bagaimanapun, selalu diperlukan.

(Supplement op het Triwindoe-Gedenkboek Mangkoe Nagoro VII-1940)

Sabtu, 03 Februari 2024

BUKU IMAM LAPEO


IMAM LAPEO: Wali dari Mandar Sulawesi Barat

Penulis: Zuhriah
Penerbit: Gading

Harga: 65.000

Buku ini membahas tentang kehidupan seorang yang dianggap wali di Mandar, Sulawesi Barat, KH. Muhammad Thahir, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Lapeo. Buku ini berisi biografi, yang mencakup silsilah, pendidikan (tempat belajar), dan dakwah Imam Lapeo. Kemudian, konstruksi kewalian Imam Lapeo yang terungkap dalam beberapa hal; sakralisasi kewalian tercermin dari silsilah, dianggap punya keunggulan pengetahuan luar biasa, dianggap dapat berperan sebagai perantara dengan Tuhan, mempunyai kemampuan luar biasa, yaitu karamah dalam mitologi, mempunyai "power" luar biasa untuk memobilisasi (membentuk tarekat), mempunyai kelebihan dan kebajikan dalam karakter, dan punya pengaruh melampaui masanya.
Hari ini, tempat ziarah; rumah Imam Lapeo (Boyang kayyang), masjid Imam Lapeo (Masigi), dan makam Imam Lapeo (Ko'bah) menjadi tempat yang penting untuk diziarahi, tempat spiritual journey. Terakhir tentang Islam tradisional di Lapeo. Kajian ini terkait dengan analisis peranan Imam Lapeo dalam masyarakat Mandar. Bagaimana wali dipandang dalam dunia sosio-kultural (peziarah), terutama oleh Islam tradisional juga termasuk pembahasan seputar fenomena ziarah itu sendiri dan bagaimana penerapan pribumisasi Islam di Lapeo (Mandar), Sulawesi Barat.

Minggu, 17 Desember 2023

KOA-KOAYANG

 

KOA-KOAYANG berasal dari nama koa', sejenis burung yang sudah jarang ditemukan dan hampir punah. Burung koa’ ini mempunyai ciri berbadan besar, terbang tinggi sekuat tenaga. Menurut Nurdin Hamma (budayawan Balanipa), selain 'koa' burung ini dahulu dijuluki 'kali arung' (kali artinya kadhi atau hakim dan arung adalah yang dituakan atau pemimpin) . Burung kali arung ini diberi kesempatan oleh tuhan meluruhkan seluruh bulunya dan mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arasy.
Dahulu kala, koa-koayang dikenal dengan nama 'pammanu-manu', ini menjadi ritual pada acara pernikahan di Mandar. Pammanu-manu ini dilaksanakan pada malam setelah proses akad nikah disiang harinya. Mempelai wanita dipakaikan kostum dari sarung yang tak dikenal oleh mempelai laki-laki. Sehingga lelaki harus mencari dan mengejar wanitanya sampai ia dapatkan. Ini menjadi sebuah ritual pernikahan yang mengandung hiburan.
Perjalanan selanjutnya kemudian dieksflorasi menjadi seni pertunjukan seni tradisi parrawana tommuane yang kemudian dinamai pakkoa-koayang. Pada fase ini pakkoa-koayang menjadi sebuah seni pertunjukan yang berlangsung puluhan tahun dan tampil kadang dibuatkan panggung. Untuk saat ini, kelompok parrawana tommuane yang masih melestarikan tradisi ini adalah kelompok rebana yang ada di Lamase Kec. Tinambung.
Pakkoa-Koayang pertama kali diangkat dalam seni teater oleh kelompok Teater Flamboyant (TF) yang diberi judul Koa-Koayang. Sutradara Teater Koa-Koayang awalnya Amru Sa'dong sekaligus penulis naskahnya tahun 1997, lalu adaptasi naskah Koa-koayang yang ditulis Rahman Baas pada pentas teater di TMII Jakarta tahun 2010 yang di sutradarai oleh Ramli Rusli beberapa kali. Kemudian pentas trater koa-koayang 2014 kembali di Jakarta disutradarai oleh Candrawali, kemudian teater koa-koayang 2015 di Mamuju kembali sutradarai oleh Ramli Rusli.
Tahun 1997 itu menjadi momentum paling bersejarah karena lewat penampilan dipentas seni teater di IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta ini, melahirkan sebuah konsep cerdas mengenai pembacaan kondisi bangsa Indonesia dibawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Lewat bangsa koa-koayang dari Mandar ini sampai pada simpulan bahwa Indonesia selama ini berada di selangkangan elit yang tak serius dan kesalahan paling besar terletak pada ketidak seriusannya dalam pengertian tidak boleh berfikir normal dalam situasi tidak normal.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku

Minggu, 10 Desember 2023

JEPA

JEPA adalah makanan tradisional yang terbuat dari singkong atau ubi yang diparut terlebih dahulu kemudian diperas untuk menghilangkan kadar airnya dan kemudian diayak dan dicampurkan dengan parutan buah kelapa untuk memberinya rasa gurih dan nikmat. 

Jepa dapat dijadikan sebagai bahan makanan pokok, pengganti nasi karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi, seperti yang selalu dijadikan bahan logistik oleh para nelayan Mandar saat melaut, dimana di laut lepas mereka membutuhkan bahan makanan yang dapat disajikan dengan cepat sebagai pengganti nasi. Pada beberapa orang yang telah berumur dan mengidap penyakit sistemik seperti diabetes melitus maka jepa dapat dijadikan bahan makanan non nasi yang dikonsumsi saat makan siang dan makan malam. Kandungan karbohidratnya kurang lebih sama dengan yang dikandung oleh nasi. 

Untuk jenis-jenis jepa anda dapat menemukannya dalam berbagai macam modifikasi, pengggolongan jenis jepa adalah berdasarkan bahan pembuatnya, misalnya saja : 1. Jepa katong, yaitu jepa yang terbuat dari katong atau sagu 2. Jepa golla mamea, yaitu jepa yang memiliki campuran gula merah atau gula aren di dalamnya 3. Jepa-jepa, yaitu jepa dengan ukuran yang lebih kecil (bahan logistik utama nelayan Mandar saat melaut) yang dibuat dengan membuat permukaan jepa agak tipis lalu kemudian dijemur, setelah dijemur ia kemudian dihancurkan, lalu untuk proses penyajiannya bisa dicampurkan dengan gula aren atau dengan potongan daging kelapa muda.

Membuat bahan utama jepa sederhananya adalah dengan terlebih dahulu memarut ubi kayu atau singkong, lalu kemudian hasil parutan tersebut diperas untuk dikeluarkan kandungan airnya. Ampas yang tertinggal lah (berwarna putih) yang menjadi bahan utama pembuatan jepa. Ini yang lalu di campur dengan bahan-bahan lain untuk melengkapi bahan utamanya misalnya dengan menambahkan parutan kelapa, atau gula merah (gula aren). Untuk jepa yang seperti biasanya, tanpa campuran apa-apa bahan utama ini kemudian ditaburkan diatas piring berbentuk bundar dari tanah liat dan dipanaskan diatas tungku. Wanita Mandar biasa menggunakan tungku yang terbuat dari tanah liat untuk memanaskan jepa. 

Untuk membuat kuliner Mandar yang lezat ini kaum wanita atau ibu-ibu biasa membuatnya dengan alat yang disebut dengan nama panjepangang dengan bentuk seperti piring namun dengan permukaan yang halus terbuat dari tanah liat. Membuat jepa membutuhkan keterampilan dalam menuang bahan baku diatas panjepangang dengan gerakan yang agak cepat dan terukur, jika terlalu lama memanggangnya maka permukaan jepa akan terlihat hitam, cukup dengan membuatnya berwarna coklat keemasan maka jepa tersebut sudah bisa diangkat.

Menyinggung soal nilai gizi jepa, sepertinya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap hal ini. Proses pengolahannya yang sedemikian rupa mungkin saja akan mengurangi beberapa kandungan gizi didalamnya. Belum lagi metode pengolahan yang lama seperti misalnya dengan pengeringan. Namun sejak dulu kuliner ini telah menggantikan fungsi beras atau nasi sebagai karbohidrat yang notabene digunakan sebagai sumber energi untuk tubuh. Sejatinya jepa telah lama berfungsi sebagai sumber karbohidrat efisien yang mudah dibuat.

SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.
#ensiklopediasulbar #pusakaku_official #mandar #pusakaku 


 

Minggu, 12 November 2023

KAWAO

KAWAO adalah ‘gurita raksasasa’ yang dipercayai sebagai isyarat baik atau sebaliknya pertanda buruk bagi nelayan yang sedang melaut. Agar terhindar bertemu dengan kawao, perlu disiapkan sesajian berupa makanan atau telur yang dibuang ke dalam laut sebagai persembahan.
Kepercayan kepada makhluk gaib seperti kawao ini juga ditemukan dalam kepercayaan nelayan di Wakatobi dan mereka menyebutnya dengan gurita berkaki sembilan. Kawao di tengah laut bisa ditafsirkan sebagai pertanda akan terjadi musibah atau malah sebaliknya yaitu, keberuntungan. Makhluk kawao ini sering dilihat atau muncul di tempat-tempat tertentu seperti di Baturoro di Kabupaten Majene atau di Tanjung Rangas (semacam segitiga bermuda) di laut Mandar (Dahri Dahlan, Rahman Hamid, 2018).
Kemunculan kawao ditengah laut menurut Suradi Yasil (2022:81), dari kejauhan matanya yang sebesar bola kaki menyala seperti lampu listrik yang menyala kemerah-merahan. Ketika mendekat seluruh jari-jarinya (tentakel) tampak menyala di dalam laut. Ia menyerang dengan melilitkan salah satu jari-jarinya melingkari badan perahu atau menarik tiangnya lalu membalikkannya. Giginya seperti paruh burung kakatua sebesar kapak yang dapat melukai atau membunuh mangsanya.
Untuk menghindari serangan kawao, maka awak kapal ketika berada diperairan yang disinyalir tempat tinggal kawao seperti di Pulau Sembilan (antara pulau Kalimantan Selawesi), termasuk Tanjung Ngalo, Tanjung Buku dan lainnya akan memadamkan lampu atau memindahkan semua benda yang menyala di perahu. Ritual membuang terasi atau tembkau di laut adalah salah satu cara yang dilakukan para awak kapal. Ada juga yang menirukan suara kokok ayam untuk memberikan rasa takut pada makhluk ini sebab suara kokok ayam identik dengan daratan dan kawao tidak menginginkan tinggal di dekat perkampungan.
SC : JEJAK-JEJAK MANDAR (kamus, sejarah, kebudayaan & ensiklopedia tokoh.

 

Jumat, 22 April 2022

SAMBUTAN KELUARGA BESAR Hj. SITTI MAEMUNAH DJUD PANTJE

 


Assalamu Alaikum Wr. Wb.

 

            Hamdan wa Syukran Ilallah, Shalatan wa Salaman ‘ala Rasulillah. Pertama-tama, atas nama pribadi dan keluarga, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Pemerintah Sulawesi Barat terutama Adinda Muhammad Munir dan semua yang terlibat dalam proses penerbitan buku ini. Terima kasih, telah bersedia meluangkan waktunya untuk melacak jejak Hj. Maemunah Djud Pantje yang notabene kakak kami dari pihak ayah, Muhammad Saleh. Kami tentu bahagia, sebab tiba-tiba saja keluarga kami dari Baruga Majene menelpon ke Makassar sekaligus menyambungkan kepada Dinda Muhammad Munir. Hari itu Munir menyampaikan hasil penjejakannya terhadap sosok Maemunah mulai dari kampung kelahirannya sampai ke tempat pemakaman terakhirnya di Pekuburan Dadi Makassar.

 

            Upangipi sala toi, jika kemudian buku ini bisa terbit, sebab selama ini kami tak pernah berfikir membukukan apalagi harus membentuk tim penulis untuk menuliskan jejak Maemunah sebagai sosok pejuang, sebab keluarga kami berjuang adalah pilihan hidup, lain tidak. Jika saja Memunah berfikir sebagai pribadi, ia tentu tetap menjadi guru atau pejabat pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, ia bisa menikmati hidup dengan nyaman dan berlimpah materi. Tapi pilihan untuk berjuang bersama rakyat adalah keputusan yang tak mungkin dicegah. Begitupun konsekwensi atas perlawanan yang dilakukannya harus membuatnya menderita, bahkan nyaris seumur hidupnya ia habiskan demi perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Saya sekeluarga ikut merasakan bagaimana rasanya hidup dalam kungkungan penjajahan.Betapa masa-masa pergolakan di Mandar ikut membuat kami harus terusir dari tanah kami dilahirkan.

 

            Sebagai saudara, Maemunah adalah sosok yang akan terus kami banggakan. Tak peduli apakah sebagai pejuang ia diberi penghargaan atau tidak. Sebab harga yang telah dibayarkan Maemunah selama hidupnya tentu tak akan mampu kami takar. Terlebih jika harus menggunakan nama besarnya untuk ajang gagah-gagahan. Maemunah adalah guru , pejuang yang tak kenal kompromi. Bagi kami dan bagi Maemunah sendiri memilih hidup bermanfaat bagi sesama, ia ingin hadir membahagiakan, bukan untuk membahayakan. Itulah makanya, nyaris selama hidupnya ia tetap berjuang guna memberi manfaat pada Mandar dan bangsa Indonesia.

 

            Sebagai keluarga, kami tau dan kami faham. Sejak wafatnya, ia dimakamkan di Pekuburan Dadi Makassar bersama ribuan warga masyarakat Makassar. Tak ada yang istimewa dari makamnya. Tak ada penanda yang mencerminkan sebagai sosok pejuang. Itu kami biarkan, sebab kami bukan type keluarga yang haus dengan penghargaan dan penghormatan. Kami biarkan begitu, sebab bangsa ini sejak lahirnya, slogan Bangsa Yang Besar Adalah Bangsa Yang Menghargai Pahlawannya kerap didengungkan dalam setiap momentum. Dan ketika Dinda Muhammad Munir berinisiatif menulis buku tentang beliau, praktis kami mendukung sepenuhnya hingga buku ini lahir sebagaimana adanya. Harapan kami tentu saja menginginkan jejak beliau bisa kembali dibaca minimal oleh keluarga besar kami, bersyukur jika kemudian bisa diakomodir sebagai bacaan umum di sekolah-sekolah di Mandar.

 

            Proses lahirnya buku ini juga kami tak ingin terlibat secara penuh selain mendukung, sebab kami sepenuhnya memberikan restu dan kewenangan kepada penulis untuk mengungkap dan menyingkap Sosok Maemunah sesuai data dan fakta yang ada. Kami bahkan tak ingin memberi catatan apresiasi andai penulisnya tidak memohon dengan sangat. Makanya apresiasi ini kami buat kepada pemerintah dan kepada penulis saja, sebab yang anda baca pada buku ini adalah hasil penjejakan murni dan ditulis berdasarkan data yang ada. Andai kata buku ini kemudian menghasilkan rekomendasi bahwa Maemunah adalah sosok yang layak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, semua kami serahkan kepada pemerintah dan kepada masyarakat Mandar Sulawesi Barat.

           

            Akhir kata, semoga semua yang terlibat dalam proses lahirnya buku ini diberikan umur yang panjang, sehat dan sukses serta ma’barakka’ diseseta iyanasanna. Amin.

 

Makassar, 30 September 2021

 

 

 

 

ABRAR

 

Sabtu, 21 September 2019

Mandar Writers And Culture Forum 2019



“Ajarkan sastra kepada anak-anakmu karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani” Demikian Umar Bin Khattab RA berwasiat. Andai sebagian besar manusia ‘menyukai’ sastra, maka bisa dibayangkan betapa dunia ini akan dipenuhi oleh manusia-manusia pemberani namun berhati lembut, bak Umar bin Khattab. Sayang sekali, hanya segelintir orang yang tertarik pada dunia sastra.
Di tengah ruwetnya persoalan bangsa, di tengah hancurnya moral bangsa, dari kenakalan, hingga korupsi yang masih saja menggerogoti negara ini,  sastra hadir, diantaranya untuk mengembalikan ruh bangsa yang telah nyaris mati. Maka telah menjadi tugas kita, para pelaku sastra, untuk menyebarluaskan nilai-nilai moral yang tertuang dalam karya-karya sastra dalam beragam bentuk.
Di zaman pra dan awal kemerdekaan, banyak karya-karya fenomenal yang mampu mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat. Sebutkan beberapa roman, diantaranya Siti Nurbaya. Bahkan sampai saat ini ungkapan ‘ini bukan zaman siti Nurbaya’ masih sering diucapkan sebagai kalimat penolakan atas suatu perjodohan. Pertanyaannya, mampukah kita, dewasa ini, di tengah rendahnya budaya literasi masyarakat, juga menghasilkan karya yang mengisnpirasi?
Sastra bukan sekedar roman picisan yang hanya membuat pembaca berurai air mata atau tersenyum bahagia. Sastra bukan sekedar kisah yang kalau tidak happy ending pasti sad ending. Lebih dari itu, sastra sejatinya berangkat dari keresahan hati akan realitas sosial yang terjadi. Sastra adalah cerminan masyarakat di mana sebuah karya sastra berasal.  
Maka, tidak bisa dipungkiri, sastra memegang peranan penting terhadap pemulihan-pemulihan kondisi sosial yang kita alami sekarang. Karena itulah, membudayakan sastra, mengajak para generasi untuk cinta membaca dan menulis, atau sekedar menikmati sajian-sajian budaya, adalah salah satu yang harus dilakukan demi terwujudnya masyarakat beradab dan berbudaya.
Untuk tujuan itulah sehingga MANDAR RITER ADN CULTURE FORUM I 2019 digagas dan dihelat untuk wilayah Sulawesi Barat. MWCF I 2019 dilkasanakan bekerjasama dengan beberapa komunitas literasi Kegiatan ini merupakan forum pertemun para penulis dan pekerja-pekerja kreatif di Sulawesi Barat sebagai sebuah perayaan atas karya-karya yang telah dihasilkan. Kegiatan ini rencananya akan dilaksanakan setiap tahun. MWFF diharapkan menjadi ruang berkreasi menuangkan imajinasi menjadi sebuah karya yang menginspirasi.


NAMA KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF I) 2019

TEMA KEGIATAN
Putika: Spiritual, Sosiologis dan Masa Depan Mandar

TUJUAN KEGIATAN
Kegiatan MWCF I 2019 bertujuan :
1.      Memberikan ruang bagi Penulis-penulis di Sulawesi Barat untuk berkreasi.
2.      Memperkenalkan budaya literasi bagi masyarakat Sulawesi Barat.

WAKTU PELAKSANAAN KEGIATAN
Mandar Writers and Culture Forum I (MWCF) I 2019 akan dilaksanakan pada tanggal 25- 28 Oktober 2019

Kontak Person 
Muhammad Munir : 
WA 082113008787
telp. 085228777027