Tulisan ini adalah Makalah yang
disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia)
Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10
November 2016:
B. Pembahasan
Julukan
Orang Mandar Pelaut Ulung sangatlah tepat. Beberapa penemuan dan bukti-bukti
yang mendukung julukan tersebut dapat kita temukan melalui kajian sejarah di
tanah Mandar. Penemuan yang paling berharga bagi pelaut Mandar dalam mengarungi
samudera ke berbagai negeri di Nusantara adalah telah ditemukannya Teluk Tomini.
Bukan hanya itu, pelaut Mandar juga mendirikan kerajaan Kasimbar dan kerajaan
Moutong di wilayah teluk Tomini di sekitar abad ke-16 Masehi. Teluk Tomini di kabupaten
Parigi Moutong, provinsi Sulawesi Tengah adalah teluk terbesar di dunia dan
merupakan segitiga terumbu karang (Coral
Triangle) terbaik dunia, dengan luas 1.031 hektar, memiliki hutan mangrove
seluas 785.10 hektar dan Taman Nasional Laut Kepulauan Togean dikenal sebagai “The Heart Of Coral Triangle“. International Hydrographic Organization
(IHO) Mendefinisikan sebagai salah satu perairan Kepulauan Hindia Timur.
Tomini berasal dari bahasa Mandar dengan asal kata
“ Tau dan Mene “. Tau artinya orang
dan Mene berarti naik atau baru
datang. Dalam bahasa lokal (bahasa
Kaili) berarti orang yang baru datang, karena yang baru datang di teluk
terbesar dunia itu adalah orang-orang Mandar maka orang Kaili sebagai penduduk
asli menyebut orang Mandar sebagai Tomene.
Dalam perjalanan sejarah, kata Taumene dipengaruhi
oleh bahasa dan dialek Tiola maka Taumene
berubah menjadi Toumini dan terakhir
menjadi Tomini.
Kehadiran pelaut Mandar di teluk Tomini diperkirakan
pada abad ke-16 Masehi. Konon ceritanya, orang-orang Kaili Kasimbar bermukim di
atas gunung dengan menanam binte (jagung).
Mereka turun dari gunung dan tiba-tiba menemukan perahu orang-orang Mandar.
Dalam berkomunikasi tentu tidak nyambung tapi orang Mandar memberi bahasa
isyarat yang menandakan bahwa mereka bukanlah musuh.
Kehadiran orang-orang Mandar di teluk Tomini,
bertepatan dengan adanya imperialisme kerajaan Gorontalo ke negeri-negeri yang
ada di wilayah teluk Tomini. Kelompok-kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Olongian-Olongian – kurang lebih sama
dengan Tomakaka’ di Mandar (pemimpin komunitas), tidak dapat bekerjasama untuk mengusir
penjajah dari negeri lain karena di antara kelompok terjadi pertikaian. Dalam
kondisi seperti itu, maka dengan sangat mudah dikuasai oleh kerajaan Gorontalo.
Kehadiran orang-orang Mandar di wilayah Tomini dipimpin oleh Daeng Manase dari
kerajaan Sendana. Kedatangan orang-orang Mandar diwilayah teluk Tomini
berdampak positif bagi kehidupan politik penduduk setempat.
Untuk mengenang kehadiran pelaut Mandar di teluk Tomini,
pemerintah kabupaten Parigi Moutong bersama seluruh komponen masyarakat,
mengabadikan peristiwa itu melalui tarian Tomene-Tomini.
Tarian klosal Tomene-Tomini pernah
ditampilkan pada acara penyambutan Presiden Joko Widodo bersama dengan Mantan
Presiden Megawati Sukarno Putri serta sejumlah menteri Kabinet Gotong Royong
dalam acara “Festival Teluk Tomini Momentum Menuju Sail Teluk Tomini 2015”.
Bukti lain bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung,
adalah adanya istilah dalam masyarakat Mandar yang dikenal dengan Mallekka’ dapurang, yaitu kebiasaan orang-orang Mandar pindah ke tempat
lain (bermigrasi) dengan membawa serta isi dapur dan lain sebagainya ke tempat
tujuan, ada pun yang tidak bisa dibawa serta, mereka jual semuanya. Mereka
meninggalkan kampung halaman dengan melalui jalur lalulintas laut dan
menggunakan perahu sande’ untuk
mencari kehidupan yang lebih baik. Ada juga dengan alasan keamanan karena di kampung halamannya terjadi pemberontakan.
Orang-orang Mandar asal Ba’babulo (Pambuang) misalnya malleka’
dapurang (bermigrasi) ke berbagai daerah di Nusantara karena kampung
halaman mereka hangus dibakar oleh pengacau (gerombolan), begitu juga pasukan gurillah
(pasukan Kahar Muzakkar) yang
dikenal dengan DI/TII tahun 1950 – 1965. Mereka bermigrasi ke Pulau Kalimantan,
khususnya ke Pulau Laut, Karassiang, Tanjong Saloka, Karajaan, Tali Sayang, Masalima,
dan beberapa daerah lain. Pemikiran di atas juga diperkuat oleh Said dan
Prabowo (2010), dalam buku “Diaspora Bugis dalam Alam Melayu Nusantara“.
Akar kemaritiman orang-orang Mandar dapat
diketahui dari beberapa literatur yang banyak mengkaji jiwa orang-orang Mandar.
Cristian Pelras dengan tegas mengemukakan dalam bukunya The Bugis (1996) bahwa sebenarnya orang bugis bukanlah pelaut ulung
seperti yang banyak dikatakan orang selama ini. Orang Bugis sebenarnya adalah Pakkambilo (pedagang) dan yang mengantar
sampai ke pulau-pulau atau daerah tujuan adalah perahu sande’ orang Mandar. Laut dan perahu hanyalah media atau sarana yang digunakan untuk
memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung maka
paling tepat sebutan itu ditujukan pada orang orang Mandar. Dalam lontar di Mandar, banyak sekali
ditemukan pantun yang berhubungan dengan kemaritiman dan itu merupakan salah
satu bukti bahwa orang Mandar sudah sangat akrab dengan kehidupan laut sejak
jaman dahulu kala. Berikut ini adalah beberapa contohnya :
1)
Tania tau passobal : Bukanlah pelaut ulung
Moa’ mappelinoi : Jika menunggu rebahnya ombak
Lembong di tia : Justru ombaklah
Mappadzottong labuang. : Yang
mengantarkan pada tujuan.
2)
Lembong tallu di lolangang : Walau ombak
setinggi gunung
Sitonda tali purrus :
Serta kilat sambar-menyambar
Uola toi : Kuarungi jua
Ma’itai dalle’ u. :
Untuk mencari rezki.
3)
Tikkalai nisobalang :
Kalau layar sudah terkembang
Dotai lele ruppu : Lebih baik tenggelam dan hancur
Dadzi lele tuali : Dari pada kembali
Dilolangang. : Surut ke belakang.
4)
Moa’ diang mating bura : Jikalau ada
busa menghampiri
Dise’dena lopimmu : Di dekat perahu
Dao pettule’ : Usahlah bertanya
Salili’ u mo tu’ u. :
Itulah tanda rinduku padamu.
Dalam Memorie Leyds, Asistant Resident Van Mandar (1937 -1940) ditemukan catatan
jalur-jalur pelayaran yang ditempuh oleh pelaut-pelaut Mandar (yang berlangsung
sampai saat penjajahan Belanda), bukan hanya terbatas sampai Maluku tetapi
bahkan sampai ke Papua Nugini. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pelaut dari
Sulawesi yaitu suku Mandar, Makassar, Bugis merupakan pelaut ulung yang kerap
kali mengarungi lautan hingga ke Madagaskar. Di provinsi Sulawesi Barat dan
Sulawesi Selatan dikenal ada empat etnis utama yang berdiam di wilayah ini,
yaitu etnis Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja. Etnis ini telah menciptakan
jaringan luas, tradisi wirausaha dan komunitas persebaran serta pelibatan diri
yang lebih jauh dalam segala aspek kehidupan. Dibekali keberanian mengarungi
lautan, mereka melakukan pelayaran untuk mencari kehidupan baru yang
menjanjikan. Selain itu, banyak di antara para pelaut yang telah melakukan
perdagangan sepanjang garis pantai Asia Tenggara merupakan pelaut yang berasal/
orang yang bersuku Mandar, Bugis, dan Makassar. Beberapa tempat yang mereka
diami dan tinggali adalah Jawa bagian tengggara, selat Malaka (Malaysia dan
Riau), kepulauan Nusa Tenggara (Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timor), kepulauan
Maluku (Ambon, Ternate, Tidore dan Seram), Kalimantan (Samarinda, Balik Papan,
dan Banjarmasin).
Orang-orang Mandar sudah melakukan perdagangan
lintas pulau. Mereka sudah berdagang sampai ke Gersik Jawa Timur, Malaysia
Timur, Bangka Belitung, Malaka. Menurut Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH. pedagang
Mandar itu disebut Passa’la’ dan Pa’abo.
Pa’abo adalah pedagang orang-orang Mandar yang pergi ke Maluku untuk
membeli rempah-rempah, kemudian dibawa
ke Semenanjung Malaka (Passa’la’)
untuk kemudian dijual secara barter dengan produk luar negeri seperti benang, kain
(terutama sutera), dan barang pecah belah dari bahan keramik cina (Passa’la’ polei mambawa cawalla). Ada juga yang disebut dengan Pa’jawa atau Passelatan,
yaitu pedagang orang-orang Mandar yang menyeberangi laut Jawa. Pattawao’ juga adalah pedagang orang-orang
Mandar yang meyeberang sampai ke Negara Malaysia. Perdagangan orang-orang
Mandar ini diperkirakan berlangsung sejak abad ke-15 hingga tahun 1990. Koloni
orang-orang Mandar di Jawa Timur diabadikan melalui Peraturan Daerah kabupaten
Bayuangi tentang Pembentukan kelurahan Kampung Mandar di kecamatan Bayuangi. Di
Pulau Panggang – Jakarta Utara, telah ditetapkan Peraturan Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta Tentang pembentukan kelurahan Lagoa. Lagoa adalah seorang
Pendekar Darah Putih asal Mandar yang telah berjasah mengusir bajak laut di
kepulauan seribu disekitar abad ke-17, sezaman dengan tokoh legendaries Betawi,
Sipitung.
Keberanian
orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan perahu tradisionalnya, dibuktikan
oleh leluhur KALEMDIKPOL RI, Komjen Pol. Drs. H. Syafruddin Kambo, M.Si. yang mampu
menunaikan ibadah haji di Mekkah pada tahun 1889. Keberanian orang-orang Mandar
dalam mengarungi samudera didasarkan pada keyakinan dan ilmu pengetahuan yang
dimilikinya. Keyakinan dan ilmu pengetahuan kelautan, dikenal di Mandar dengan
sebutan Paissangang Pole’bo’. Mengenai paissangang Pole’bo’ ini, penulis
mengklasifikasinya menjadi dua jenis. Pertama Paissangang (mantra) yang dapat memberi keyakinan/semangat bahwa
apabila mantra (do’a) dibaca maka
hambatan berupa ombak dan badai akan bisa teratasi. Umumnya pelaut di Mandar,
yang paling ditakutkan adalah laso anging
(angin tornado) dan Indo urang (hujan
siklonal), oleh karenanya seorang jurumudi
(nahkoda) harus mengetahui mantra yang dapat membelokkan badai. Contoh
Mantra : Bismillahirrahmanirrahim – leseo
mating anging – nanaolai mating ipanjala-jala lino – laso diting – laso dini. Barakka’
do’a bisa lao di Allah Ta’alah kumfayakum; artinya : Dengan menyebut nama
Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang – badai yang ada dihadapanku
membeloklah – si penjelajah dunia akan lewat –pusaran angin disitu – pusaran
angin yang di sini - Berberkahlah do’a mujarab ini karena Allah semata – Maka
terkabullah do’a ini.
Paissangan kedua,
berupa ilmu pengetahuan (kecerdasan) atau keterampilan. Pelayaran dengan
menggunakan perahu layar sangat terkait dengan angin dan cuaca. Apabila
anginnya bagus, perahu akan melaju dengan cepat, begitu pula sebaliknya. Angin
juga menentukan arah haluan dan kibaran layar. Posisi layar boleh berpindah ke kiri
atau ke kanan, tergantung keinginan dan arah yang akan dituju. Ada beberapa
istilah yang harus dikuasai oleh seorang jurumudi
(nahkoda), sebagaimana dikemukakan Dr. Arifuddin Ismail dalam bukunya Agama
Nelayan (2012 : 88), diantaranya adalah sebagai berikut : (a). Bilu’ :
perahu diarahkan menghadap arah angin; (b) Turu’
: perahu diarahkan keluar dari arah angin; (c) Tunggeng Turu’ : perahu dibelokkan dengan mengikuti arah angin; (d)
Tunggeng Bilu’ : perahu dibelokkan ke
arah angin. Penentuan arah tersebut terkait juga dengan posisi layar. Oleh
sebab itu, tali yang mengikat pada sumbu bagian bawah layar harus digerakkan
dengan lincah. Begitu juga guling (kemudi)
yang terdapat di bagian belakang (buritan) perahu harus diseimbangkan dengan
arah yang dituju.
Lanjut Dr. Arifuddin Ismail (2012: 89) menyebutkan
bahwa pelaut Mandar mengenal beberapa tanda-tanda alam, baik yang ada di laut
(gelombang, arah angin, dan arus air), maupun yang ada di daratan (gunung,
tanjung, burung, dan tanda-tanda alam tertentu), begitu juga tanda-tanda alam
yang ada di langit (awan, bintang-bintang, bulan, dan matahari). Semua tanda
alam tersebut dijadikan petunjuk dalam menentukan posisi dan arah perahu. Tanda-tanda
alam di laut berupa ombak terkait dengan angin, arus, dan karang. Pelaut Mandar
mengenal beberapa jenis lembong (ombak),
diantaranya : (1) Lembong kaiyyang (ombak
besar); (2) Lembong sirua-rua (ombak
sedang); (3) Lembong keccu’ (ombak
kecil); (4) Lembong siruppa-ruppa’ (pertemuan
ombak yang terjadi karena adanya arus yang saling bertemu dan menimbulkan
pusaran air); (5) Lembong silatu-latu’ (ombak
yang datang dari berbagai arah). Hubungannya dengan karang laut yang dalam
bahasa Mandar disebut taka’, bagi
nelayan Mandar – lembong (ombak)
dijadikan petunjuk utama. Kalau ombaknya tidak besar, kemudian memiliki jarak
yang rapat, ukurannya sekitar 1,5 - 2 meter, jarak antara satu ombak dengan
ombak lainnya sekitar 1 meter, itu berarti ada karang laut. Begitu juga,
apabila warna air laut sudah tidak terlalu biru, ada perubahan mendadak dari
hitam kebiru-biruan menjadi biru muda.
Tanda-tanda alam di daratan seperti gunung,
karang, tanjung, burung darat juga digunakan pelaut Mandar sebagai pedoman ketika
sedang berlayar. Misalnya, ketika berada di perairan Selat Makassar, dari jauh
sudah kelihatan Tanjung Rangas di Majene. Gunung itulah yang dijadikan tanda
dalam menentukan arah haluan untuk mendarat. Demikian pula dengan gunung, kalau
gunungnya tinggi lagi terjal (berjurang) dan dekat ke bibir pantai, itu berarti
lautan di sekitarnya dalam. Begitu juga sebaliknya, bila gunung jauh dari bibir
pantai, gunungnya tidak tinggi menjulang, daratannya luas, maka itu berarti
lautan di sekitarnya dangkal.
Burung juga membantu para nelayan, jika burung
sudah nampak mencari makanan di sekitar perahu, bertengger pada batang pohon
yang hanyut, itu berarti daratan sudah dekat. Burung-burung terbang
meninggalkan daratan paling jauh 40 kilometer. Burung tersebut orang Mandar
menyebutnya burung jagong, bentuknya
mirip burung bangau, lehernya panjang, kakinya agak kecil panjang, warnanya
hitam bercampur putih keabu-abuan. Burung ini beroperasi di laut pada pagi hari
dan kembali ke sarangnya di darat menjelang malam.
Baharuddin Lopa
dalam buku “Hukum Laut : Pelajaran
dan Penerapan” menyebut tanda–tanda alam lain yang sangat
membantu pelaut adalah bintang-bintang yang ada di langit. Pelaut Mandar
memahami ilmu astronomi, dari bintang-bintang, mereka dapat memahami pergantian
musim dan posisi keberadaannya di laut. Ada empat jenis bintang yang digunakan
untuk mengetahui arah dan pergantian musim, diantaranya adalah sebagai berikut
: (1) Balunus, (2) Tallu-tallu, (3)
Towalu, (4) Sapo kepang. Sapo kepang, terbit sesudah isya dan menghilang
menjelang subuh. Jika bintang sapo kepang
sudah tidak kelihatan, para nelayan Mandar akan segera berangkat ke laut.
Bintang balunus dapat menandai arah
selatan sedangkan Tallu-tallu untuk
menentukan arah utara. Petunjuk bintang ini digunakan pada saat berlayar di malam
hari. Sedangkan di siang hari, mereka menggunakan arah ombak dan tanda alam
lain baik yang ada di darat maupun yang ada di laut. Awan oleh pelaut Mandar,
juga dijadikan pedoman dalam mengarungi samudra. Bila sedang berlayar, lalu
melewati awan tebal di angkasa raya maka itu berarti perairan di sekitarnya
sangat dalam. Bila langit di perairan dijumpai awan yang tipis dan bersisik serta
lautannya berombak kecil maka itu berarti disekitar perairan terdapat banyak
ikan. Demikian pula di waktu pagi hari, dijumpai awan kemerah-merahan dan
menjulang tinggi ke angkasa diikuti dengan terbitnya matahari, maka itu berarti
akan terjadi kemarau panjang (paceklik).
Perhitungan bulan Qamariah dan bulan Syamsiah, juga
digunakan sebagai pedoman pelaut Mandar untuk turun ke laut. Para nelayan
Mandar tidak mau melaut pada perhitungan awal bulan qamariah (1 – 3), juga bulan pertengahan (14 – 16), begitu juga
pada hitungan bulan (27 – 30). Tanggal-tanggal pada perhitungan bulan qamariah ini, orang Mandar menyebutnya teppu lotong (langit gelap-gulita).
Pelaut Mandar berkeyakinan bahwa pada tanggal-tanggal itu biasanya angin
kencang dan ombak besar sehingga ikan sukar didapat. Begitu juga penanggalan Syamsiah, pelaut Mandar menggunakan
perhitungan bulan Masehi untuk menentukan musim. Musim barat dimulai pada bulan
Oktober – Nopember hingga bulan Maret – April. Musim timur dimulai pada bulan April
– Mei hingga September – Oktober. Bila musim timur tiba, nelayan Mandar
beraktifitas di laut untuk mencari telur ikan terbang (Pa’otto’/Pattallo’), mencari ikan terbang (tui-tuing/banggulung). Pada musim barat, nelayan Mandar
beraktifitas di laut untuk mencari ikan cakalang/bambangang
yang dikenal dengan istila Pakkalor/Palladzung.
Petunjuk lain yang digunakan nelayan Mandar adalah bulan sabit. Apabila
bulan sabit agak miring ke utara, maka yang terjadi adalah musim barat. Musim
barat ditandai dengan angin bertiup secara terus-menerus dan kadang kala
disertai gemuruh (Guntur) dan hujan lebat. Dan apabila bulan sabit agak miring
ke selatan, maka yang berlangsung adalah musim timur. Angin akan bertiup dari arah tenggara ke
barat daya. (BERSAMBUNG)